Hari semakin menjelang malam, hujan turun begitu deras tanpa disertai petir. Hujan mengguyur sejak memasuki waktu magrib tadi. Hingga kini jam sepuluh malam, belum kunjung reda. Mengakibatkan signal ponsel tidak stabil, dan aku kesulitan menghubungi Hilma. Sampai akhirnya, aku hanya mengirimkan pesan padanya. Mengingatkan agar dia tidur tidak terlalu malam dan tidak lupa meminum susu khusus ibu hamilnya sebelum tidur.Aku bersama ketiga temanku, tengah berkumpul sambil menonton siaran televisi. Ruangannya hanya terhalang rak televisi itu sendiri dari ruang depan yang tanpa sofa.Hujan turun seperti ditumpahkan begitu saja dari langit. Sangatlah deras. Membuat hawa sekitar kami menjadi dingin. Kami semua terbungkus sarung, menonton televisi dengan kaki selonjor serta sarung yang melekat. Duduk berjejer sudah seperti menunggu antrian.Volume kencang dari televisi, seakan berlomba dengan derasnya curah hujan yang turun di luar sana.Di tengah asyiknya kami menonton siaran televisi ditema
SEASON 2************🌻POV Yuda.~Satu Minggu berlalu menetap di kota Surabaya.Hujan tak hentinya mengguyur sejak pertama aku dan tim tinggal di kota ini.Bekerja satu Minggu di kantor baru, aku dan tim benar-benar diharuskan bekerja solid. Membangun perusahaan yang baru menetas di bawah kepemimpinan anak sang direktur.Hampir setiap malam, Feli tak berhenti mengantar makanan atau sekedar camilan ke hunian yang aku tempati. Entah apa maksudnya. Ketiga temanku menikmati setiap apa yang Feli berikan, tetapi tidak denganku.Cukup hanya wajah dan cara berpakaiannya saja yang mirip, dan selalu mengingatkan aku akan Khanza. Aku tidak mau, kebaikannya malah semakin menggali ingatanku akan almarhumah istriku.Jarak dari hunian ke kantor baru, dapat ditempuh hanya lima menit dengan berjalan kaki. Sehingga meski hujan di pagi hari, aku tetap dapat pergi bekerja di bawah derai hujan yang membasahi. Pun dengan sore bahkan malam yang juga kehujanan.Karenanya, satu pekan di sini, aku bekerja ta
Entah sudah berapa lama aku meringkuk di balik selimut dalam keadaan tertidur. Saat membuka mata, hidungku masih rasa tersumbat, kepala juga masih terasa sakit, hanya panas tubuhku saja yang sedikit turun.Aku menyibak selimut sampai ke pinggang Badanku benar-benar tidak enak rasanya. Kupaksa untuk bangkit, beringsut mengambil ponsel yang disimpan di dalam lemari. Kembali duduk dan bersandar pada dinding di belakangnya. Kembali aku bersin-bersin.Kulihat layar ponsel, sudah jam sebelas siang Mengecek log panggilan, ada satu panggilan tidak terjawab dari istriku, lekas aku menghubunginya balik. Berharap tidak terputus karena baterai ponsel yang tinggal sedikit.Tiga kali berdering, akhirnya panggilanku diterima."Halo, Sayang?" sapaku cepat."Halo, Ay? Kamu kenapa? Sakit?" balas Hilma di seberang sana.Dia bahkan bisa menebak keadaanku dengan tepat hanya dengan mendengar suaraku."E ... cuma gak enak badan kok, Sayang. Makanya aku gak masuk hari ini. Di sini gak berhenti hujan, Sayang.
Esok harinya, tubuhku kembali meriang. Demam kembali melanda. Tidak ada perubahan signifikan mengenai kondisiku. Semalaman tidurku tidaklah nyenyak."Yud, gue anter ke dokter aja, yuk? Kita periksa?" Wijaya yang baru selesai mandi mengajakku untuk periksa."Enggaklah, Jay. Elo 'kan harus kerja. Kalau elo anter gue, yang ada lo malah gak kerja," jawabku."Ya gak papa, gue bisa izinlah. Kantor pasti ngerti. Daripada elo gini terus?"Aku menggeleng. Dari dulu, aku memang tidak suka diperiksa ke dokter. Apalagi bertemu jarum suntik."Enggak, Jay. Besok juga gue udah baikan ini." Aku berkilah."Iya kalo baikan. Kalo enggak?""Ya besoknya lagi, Jay!""Ah, elo. Susah banget dikasitahunya!" Wijaya ngedumel dan aku hanya mengulum senyum. Wijaya telah berpakaian rapi seperti hari-hari biasa dia berangkat bekerja."Beneran elo gak mau dianter periksa, Yud?" tanyanya sekali lagi."Bener, Jay. Elo kerja aja. Besok gue udah sembuh, kok. Sebelum berangkat, gue titip bubur lagi ya!" pintaku padanya.
Aku mendecih. "Karena saya tidak suka kamu merawat saya dan datang ke sini tanpa izin. Saya bisa merawat diri saya sendiri. Dan tidak perlu banyak drama, dengan mengatakan saya seolah membenci kamu.""Yakin Bapak bisa merawat diri Bapak sendiri? Tadi saja Bapak itu menggigil. Panas tubuh Bapak juga tinggi. Saya cek hampir empat puluh derajat. Saya inisiatif mengompres, dan ternyata memang bisa menurunkan panasnya. Sekarang, Bapak makan dulu ya? Saya sudah bikinkan sup ayam. Tadi A Wijaya bilang, pesanan bubur Pak Yuda gak ada, soalnya pedagang buburnya gak jualan. Jadi, saya bikinkan sup ayam sama nasi tim untuk Bapak makan siang ini." Feli menjelaskan panjang-lebar.Kuhirup napas dalam. Panas di tubuhku memang naik turun. Tapi siang ini, memang tidak begitu terasa apalagi karena keringat yang sudah keluar."Tapi saya bisa mengurus diri saya sendiri, Feli! Apa kamu tidak berpikir sebelum memasuki hunian ini? Jika di sini, hanya ada saya. Bagaimana jika orang-orang sekitar hunian ini j
🌻POV Yuda"Yud, elo ngapain si Feli, sih?!" Agus tiba-tiba datang ke kamar. Sekarang sudah malam, mereka baru saja tiba. Kemungkinan mereka sehabis lembur.Aku yang sedang melakukan panggilan dengan Hilma sontak mematikannya, lalu menaruh ponselku di samping."Ngapain apanya, sih, Gus? Dateng-dateng bukannya ngucapin salam, malah nyeruduk ke sini!" Aku tak kalah heran dengan sikap dan pertanyaan Agus.Tiba-tiba Indra datang dan menahan Agus yang semakin merangsek maju ke arah kasur yang kutempati."Elo gak tau terima kasih, Yud. Si Feli itu bela-belain izin sama Bos Angga, supaya bisa ke hunian ini, buat ngerawat Lo biar cepet sembuh. Ehh, elo malah usir dia sambil marah-marah! Gak tahu terima kasih!" celoteh Agus menggebu.Keningku mengernyit. Untungnya keadaanku sudah berangsur membaik. Setelah Feli pergi dan aku terpaksa membereskan kekacauan yang dibuatnya. Aku kembali tidur di balik selimut, membuat tubuhku berkeringat lagi dan menjadikannya lebih ringan."Udah, Gus. Gue rasa bu
🌻POV Yuda~Empat hari terbaring sakit. Hari ini aku sudah agak lebih baik. Tetap makan dan minum, serta banyak tidur. Tubuhku akhirnya pulih. Kini, aku sudah mulai masuk kerja lagi.Hubunganku dengan Agus agak renggang. Meski di antara kami sudah damai, tetapi dia seakan menjaga jarak denganku. Padahal, kami diharuskan solid selama bekerja di sini.Aku tidak paham. Kenapa Agus terkesan berada di pihak Feli, bukan berarti aku ingin dia lebih berpihak padaku. Tidak!Agus bukan lagi seperti temanku sebelum Feli ada di lingkungan kantor kami. Entah apa yang sudah terjadi padanya. Mungkin memang dia menganggap Feli seperti adik perempuannya dan menjauhiku yang sudah lama dia kenal.Hari pertama kembali bekerja, aku sudah harus menghadapi lembur.Jam setengah enam petang, sebelum memulai lembur, diberikan waktu istirahat hingga selesai shalat magrib nanti.Aku keluar dari ruangan untuk mencari makan. Sebelum pergi, aku mencari temanku yang lain. Pasti mereka juga akan mencari makan petang
Aku menghentikan gerakan jemariku di atas keyboard."Lo pikir ini juga kantor nenek lo? Yang bisa seenaknya lo masuk ke ruangan gue tanpa ketuk pintu dulu, hah?" Aku balas menghardiknya.Agus terdengar mendecak. "Bisa aja lo balikin omongan gue.""Ya elo, sadar gak apa yang lo omongin? Gue emang telat masuk karena gue ke mesjid dulu. Bos Angga aja yang mimpin ini kantor gak masalah, kenapa jadi elo yang ribet, sih?" tukasku kesal bukan main."Gue sebagai teman lo, cuma mau ngingetin aja. Biar lo gak masuk sesuka hati kayak barusan. Gue gak mau kebawa jelek gara-gara elo yang gak disiplin dengan aturan kantor!" hardiknya kembali.Aku menatapnya tak mengerti. "Gak jelas, lo!" desisku pada Agus.Agus mendengkus.Brukk!Lalu dia menghempas map kuning yang sejak tadi diapit tangannya."Tuh, kerja yang bener! Jangan lo korupsi duitnya!" ujarnya dengan nada menekan. Dia lantas berbalik badan, berjalan menjauh dari mejaku hingga menghilang di balik pintu.Aku melongo.Kuraih map kuning yang b