Tut.Panggilan telah dimatikan oleh Hilma. Sementara, aku mengusap wajah dengan kasar."Bakso bakar? Ada-ada aja maunya ibu hamil. Harus cari di mana coba?" Kuhela napas berat seraya mengutak-atik layar ponsel. Menanyakan pada Fahreza, mungkin dia tahu di mana aku bisa membeli makanan itu.Sayangnya, nomor Fahreza tidak aktif. Lantas, kucoba untuk mencarinya di pencarian maps. Mengetikkan pada simbol kaca pembesar. Lalu memilih alamat paling dekat dari sini.Kutarik napas panjang kembali. Paling dekat ada di sebuah kedai dengan jarak sekitar 7 km dari tempatku kini. Mau tak mau, akhirnya kunyalakan mesin motorku lagi. Lalu bergegas sesuai petunjuk arah dari layar ponsel yang kuingat.Hari semakin senja, saat aku akhirnya tiba di sebuah kedai. Tinggal beberapa menit lagi, adzan magrib akan berkumandang.Kedai baso yang menjadi tujuan, tidak begitu ramai pembeli. Cepat aku pun memesan, dan menunggu pesananku dibuatkan."Lho, Pak Yuda? Bapak di sini?" Aku memutar kepala, saat terdengar
Selesai makan malam. Bergegas aku ke kamar. Melewati ruangan bermain, kresek putih yang tadi berisi bakso bakar nampak telah kosong.Aku tersenyum karenanya. Merasa tidak sia-sia aku membelinya meski jauh. Bahkan, kotak pembungkus bakso tadi, telah benar-benar bersih. Nampaknya, Hilma memang sangat ingin memakannya. Aku bahkan sampai tidak dibagi.Kubuang kemudian kresek itu ke tempat sampah di dapur. Lalu kembali menuju kamarku.Di dalam kamar, Hilma baru saja beranjak dari kasur tempat tidur si kembar. Aku berjalan di belakangnya, sampai Hilma duduk di sisian tempat tidur."Ay, jangan bobok di sini. Aku mau bobok sendiri," ucapnya merengek. Memeluk guling di atas pahanya dan menatapku di hadapannya saat ini."Lagi?" Aku terheran. Kupikir, ngidamnya yang aneh itu tidak akan terulang malam ini.Hilma mengangguk cepat. "Iya. Kalau ada kamu, aku malah jadi susah tidur, Ay," jawabnya kemudian.Bahuku merosot, diikuti hembusan napas beratku. Aku lantas meraih satu bantal dan mendekapnya.
"Aku kangen, Sayang," ucapku lirih. "Si junior kapan boleh dikunjungin?" sambungku masih dengan nada lirih.Hilma menggeleng. "Ya enggak tahu. Si junior aja gak mau kita bobok barengan, Ay!"Bibirku cemberut. Lekas aku pun bangkit. Menatap Hilma yang nampak sudah mengantuk. "Tega banget si junior gak mau deket-deket sama Ayahnya. Padahal aku yang banting tulang bikinnya hampir setiap malam. Udah jadi, malah gak mau ditengokin," keluhku membuat Hilma terkekeh."Ya udah, aku tidur di luar ya, Sayang. Kamu bobok juga ya!" pesanku kemudian. Melihat netranya yang telah sayu, membuatku tak tega untuk terus merayunya.Kuusap lembut puncak kepala Hilma sebelum akhirnya aku keluar dari kamar.Melangkah menuju sofa dan memasang bantalnya, lalu merebahkan diriku segera. Menyalakan televisi untuk sekedar menemani malam yang mulai sunyi ini.Menonton siarannya membuat netraku perlahan memejam lalu mengerjap. Hingga akhirnya kubiarkan netraku benar-benar memejam dengan televisi yang masih menyala.
SEASON 2*POV YudaMenggosok rambut yang basah di depan cermin rias. Lalu mengeringkan badanku yang basah. Akhirnya, aku bisa mengunjungi si junior pagi ini, di bawah kucuran air shower tadi. Ah, benar-benar penyambutan pagi yang syahdu.Setelah rambut serta tubuhku lumayan kering, lekas aku berpakaian. Sementara Hilma, baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menggelung di atas kepalanya."Sayang, aku tunggu di mushola, ya?" ucapku sesaat setelah Hilma menjauh dari pintu kamar mandi.Hilma mengangguk cepat. Gegas aku keluar dari dalam kamar, melangkah ke arah mushola, mengambil wudhu lalu masuk ke area mushola. Lantas duduk menunggu Hilma menyusulku.Aku merenung kembali.Pagi ini benar-benar terasa indah. Sejatinya, pernikahan memang ladang untuk beribadah bersama pasangan. Meraih sebanyak-banyaknya pahala untuk bisa bersama-sama sampai di Jannah-Nya.Bersama Hilma, aku menemukannya. Bersama Hilma, aku coba melakukannya.Aku semakin galau karenanya, mengingat tugas muta
"Ayang, Bu," sahutku menjelaskan."Ayang? Ayang beb?"Aku mengangguk cepat. Ibu hanya mengulum senyum mendapati tanggapan dariku."Ya belum tentu, Sayang. Soalnya itu kantor baru banget beroperasi. Entah butuh waktu berapa lama untuk bisa berkembang. Tapi pengalamanku, paling cepet tiga tahunan," jelasku kemudian."Kalau kamu bawa Hilma dan si kembar, pasti Ibu akan kangen sama kalian semua. Apalagi si kembar. Terus, gimana nanti Hilma pas lahiran? Ibu jadi kepikiran, Yud," ujar Ibu."Tapi kalau Hilma gak ikut, aku yang kangen sama mereka, Bu. Makanya, aku ingin rundingan sama kalian bagaimana baiknya," ucapku lagi."Kamu bersedia ikut, Nak Hilma?" Ibu bertanya pada Hilma.Yang ditanya, tak langsung menjawab, melainkan menatapku lekat."Aku di sini saja, Ay. Di sini ada Ibu kamu sama Ibuku. Aku juga lagi hamil, beberapa bulan lagi lahiran. Kita pasti membutuhkan bantuan kedua orang tua kita nanti. Enggak mungkin aku lahiran di sana, selagi kamu bekerja, siapa yang akan menemani aku me
SEASON 2************🌻POV YudaBandung~Surabaya.Akhirnya aku tiba di kota yang mendapat julukan sebagai kota Pahlawan. Meninggalkan kota Paris Van Java, kota kelahiran dan tempat tinggalku selama ini.Keluar dari bandara, seluruh tim sudah dijemput mobil travel. Satu jam dari bandara, kami semua tiba di hunian yang telah disiapkan di belakang bangunan kantor.Staff yang memboyong keluarganya, menepati satu rumah. Sedangkan yang tidak membawa keluarganya sepertiku dan tiga orang lainnya, ditempatkan dalam satu rumah yang sama.Sampai di sebuah rumah dengan tipe 36. Aku langsung menuju kamar. Terdapat dua kamar di rumah bercat putih ini. Lalu diputuskan aku akan satu kamar dengan Wijaya, staff HRD. Sementara kamar kedua, diisi Agus dan Indra yang sama-sama bekerja sebagai kepala gudang.Wijaya serta Agus, tidak membawa keluarganya, dikarenakan ada anak-anaknya yang masih bersekolah. Sementara Indra, sama sepertiku yang mana istirnya tengah hamil anak pertama.Di dalam kamar, terdapat
Aku beserta dua temanku mencari makanan dengan berjalan kaki. Hari sudah hampir sore saat ini. Hingga kami menjatuhkan pilihan untuk membeli soto ayam yang dijual di pinggiran jalan.Menunggu pesanan dibuat. Aku bersama kedua temanku lantas menunggu di bangku panjang pedagang soto ini.Aku mengitari tempatku saat ini. Tempat yang benar-benar terasa asing bagiku. Tempat yang baru pertama kali aku jejaki."Eh, Feli. Beli soto ayam juga?" Agus seketika menyapa, saat Feli mendatangi pedagang tempat ini."Iya, A Agus," jawabnya terdengar begitu ramah pada Agus.Aku memalingkan wajah, melihat ke arah jalanan di mana kendaraan berlalu lalang. Tidak ingin melihat Feli di tempat ini. Apalagi sekilas tadi kulihat, dia memakai kaus ketat dengan celana jeans selutut. Entah kebetulan apa lagi, gaya berpakaiannya sama dengan Khanza sewaktu masih hidup.Aku tak mengalihkan pandangan sedikit pun dari jalan. Meski yang kulihat adalah tetap sama, yakni kendaraan roda dua dan empat. Hingga akhirnya pesa
Hari semakin menjelang malam, hujan turun begitu deras tanpa disertai petir. Hujan mengguyur sejak memasuki waktu magrib tadi. Hingga kini jam sepuluh malam, belum kunjung reda. Mengakibatkan signal ponsel tidak stabil, dan aku kesulitan menghubungi Hilma. Sampai akhirnya, aku hanya mengirimkan pesan padanya. Mengingatkan agar dia tidur tidak terlalu malam dan tidak lupa meminum susu khusus ibu hamilnya sebelum tidur.Aku bersama ketiga temanku, tengah berkumpul sambil menonton siaran televisi. Ruangannya hanya terhalang rak televisi itu sendiri dari ruang depan yang tanpa sofa.Hujan turun seperti ditumpahkan begitu saja dari langit. Sangatlah deras. Membuat hawa sekitar kami menjadi dingin. Kami semua terbungkus sarung, menonton televisi dengan kaki selonjor serta sarung yang melekat. Duduk berjejer sudah seperti menunggu antrian.Volume kencang dari televisi, seakan berlomba dengan derasnya curah hujan yang turun di luar sana.Di tengah asyiknya kami menonton siaran televisi ditema
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y