*************Rapat selesai di jam istirahat makan siang. Selama rapat, aku kehilangan fokus. Sekretaris baru sang bos bernama Felicia, benar-benar mengganggu fokusku. Bukan apa, garis wajahnya amat mirip dengan almarhumah Khanza. Entah ini kebetulan atau apa. Aku pun masih tidak mengerti.Bukan hanya aku yang menilai Feli memiliki kemiripan dengan Khanza. Tapi Fahreza, dan beberapa staff lain pun, mengatakan hal demikian.Aku memutar-mutar ujung sedotan di tangan. Benar-benar heran dengan hari ini. Hilma yang tengah ngidam tidak mau dekat-dekat denganku. Lalu kedatangan Feli sebagai sekretaris baru di kantor ini, yang sangat mirip dengan almarhumah Khanza. Membuatku pusing memikirkannya."Bengong aja, Lo!" Sentakan di pundak terasa begitu keras, seiring dengan kedatangan Fahreza yang duduk di sebelahku.Aku mendecak, karena kedatangan Fahreza cukup mengagetkan. "Resek Lo, ah!""Lo mikirin apa? Pasti mikirin si Feli, ya?" tebaknya dengan tepat.Kutarik napas dalam-dalam. "Elo pasti ta
Hari sudah beranjak malam. Pekerjaan tersisa sedikit lagi. Tubuhku sudah cukup lelah dengan pekerjaan hari ini. Apalagi hari ini, harus lembur. Sudah jam sembilan malam, aku masih di dalam ruangan.Nampak layar ponselku menyala. Kuhentikan sejenak aktivitas di layar laptop. Lalu beralih pada ponselku.Senyum tersungging di bibirku. Melihat nomor istriku yang menghubungi lewat sambungan video. Cepat aku menggeser layar untuk menerimanya."Hallo, Sayang?" sapaku semringah. Ku lambaikan tangan pada layar ponsel. Namun, Hilma justru terlihat cemberut.Nampak dia mengenakan jubah tidur pink fanta. Rambutnya diikat tinggi-tinggi. Memperlihatkan leher putih mulusnya yang terdapat bercak keunguan. Bekas ulahku beberapa hari yang lalu.Tidak biasanya Hilma melakukan video call dengan gaun tidurnya itu. Entah apa maksudnya malam ini, menghubungiku dalam keadaan yang memancing hasratku."Ay, kamu lembur?" Hilma bertanya lesu. Bibirnya semakin mengerucut."Iya, Sayang. Bentar lagi juga pulang. In
Kuhembus napas berat. "Ya sudah."Akhirnya aku menemani Feli menunggu ojol pesananku. Hanya keheningan yang tercipta di antara kami. Tidak ada obrolan yang mengisi. Selain suara dari kendaraan lewat yang bisa dihitung jari.Untungnya ojol yang kupesan datang lebih awal lima menit. Sehingga aku tidak tertahan lebih lama lagi di sini.Setelah Feli pergi dengan ojol yang membawanya. Lekas aku pun tancap gas. Menyusuri jalanan malam dengan kecepatan tinggi. Meluncur ke tempat pedagang martabak langganan.Karena jalanan sepi, aku tiba lebih cepat di tempat pedagang martabak. Lalu memesan seperti yang Hilma inginkan.Menunggu beberapa saat, menunggu sesuai antrian. Akhirnya pesananku selesai. Segera aku pulang dengan martabak terang bulan kismis persis seperti permintaan Hilma.***Tidak sampai sepuluh menit. Aku telah tiba di rumahku. Dengan menjinjing kresek berisi martabak, aku melangkah cepat ke dalam rumah setelah memutar kunci cadangan yang kubawa.Rumah sudah sepi. Pasti para penghun
*********"Yang bener aja, Sayang? Masa' kita tidur terpisah?" Aku terheran-heran dengan apa yang diucapkan Hilma. Aku bahkan sampai bangkit dari tidur hingga kini terduduk.Terdengar helaan napas berat dari Hilma. Tanpa suara, dia beringsut ke sisian tempat tidur ini, dengan guling di tangannya."Lho, kamu mau ke mana?" tanyaku sembari mencekal lengan Hilma yang hampir turun dari springbed."Ke kamar kedua!" jawabnya singkat seraya menepis cekalan tanganku.Kuhembus napas kasar. "Jangan, jangan! Kamu di sini. Biar aku yang ke luar. Biar aku yang tidur di kamar itu."Hilma tak merespon. Hanya bergeming di sisian tempat tidur. Aku lekas turun. Memaksakan tubuh yang terasa berat untuk bangkit dan menjauh dari tempat tidur.Jalanku terseret. Mulutku tak henti menguap. Mataku begitu berat dan perih. Hingga aku keluar dari kamar dan menjatuhkan tubuhku di sofa ruangan bermain si kembar. Sudah tak kuat lagi berjalan masuk kamar kedua.Tanpa mempedulikan apa pun lagi. Aku memejamkan mataku d
Hilma menepati ucapannya. Setelah hanya lima menit kami terjaga di atas sofa, dan dia tak hentinya menghidu pakaian depanku. Akhirnya Hilma beranjak. Turun dari atas tubuhku dan aku beranjak ke mushola.Berwudhu lalu menunaikan ibadah wajib dua rakaat. Hingga selesai dan berdzikir beberapa saat. Sampai kemudian aku keluar dari mushola dan bergegas memasuki kamar utama.Hilma nampak sudah berbaring di atas tempat tidur. Si kembar masih di kasurnya. Aku berjalan pelan dan mengendap. Lalu merangkak naik ke atas tempat tidur dan menyergap Hilma dari belakang. Aku membungkus tubuh kami dengan selimut.Aku memeluknya erat dari belakang. Menciumi kepalanya, turun ke telinga, lalu leher. Turun ke pundak dan Hilma nampak menerima perlakuanku.Jari jemariku mulai melancarkan aksinya. Menginvasi tubuh bagian bawah dari Hilma.Nampak Hilma menggigiti bibir bawahnya. Meredam suara yang mungkin ingin dia teriakan.Aku semakin menenggelamkan wajahku di cerukan lehernya. Tak lupa, kutinggalkan tanda
"Dalam rangka apa?" Aku bertanya tanpa melihatnya."Karena semalam, Bapak sudah membantu saya. Memesankan ojek online. Lalu menunggui saya sampai ojeknya datang. Kalau tidak ada Bapak, mungkin saya sendirian dan terus mendorong motor," jelasnya kemudian."Ohh. Itu. Sudah?""Sudah, Pak. Hanya itu. Saya permisi. Semoga Bapak suka dengan pemberian saya siang ini."Aku tak menyahut. Hingga pintu ruangan ini terdengar telah ditutup. Barulah aku mengalihkan perhatian dari depan laptop.Sebuah Tote bag hitam teronggok di atas meja ini. Aku lantas meraihnya dan membongkar.Isinya sebuah kotak makan. Kubuka tutupnya dan ternyata berisi menu makanan lengkap.Krubuk!Perutku sudah menyalakan alarmnya.Entah apa maksudnya Feli mengirimku makan siang seperti ini. Jika untuk sekedar ucapan terima kasih, kurasa terlalu berlebihan. Karena aku membantunya tanpa mengharap apa pun.Kututup kembali kotak makan dari Feli. Memasukkannya lagi ke dalam Tote bag seperti semula. Keluar dari ruanganku dengan ce
SEASON 2***********🌻POV YudaJam bubaran kantor. Aku duduk merenung di atas jok motor. Di depan sana, di bagian parkir khusus mobil, terlihat Feli sudah berada di dalam sebuah mobil.Aku melihatnya yang duduk di bangku kemudi, di mana kaca mobilnya diturunkan penuh. Feli membolak-balik kotak makan yang tadi dia berikan padaku. Senyuman mengembang di bibirnya. Menghiasi wajahnya yang masih full dengan riasan itu.Aku sampai terheran-heran dengan reaksi Feli di dalam sana. Apa dia senang makanannya habis? Pasti dia mengira, aku yang sudah memakannya. Padahal, makanan tadi itu mendarat mulus di perut Fahreza, bukan di perutku.Kaca mobilnya lalu ditutup. Mobilnya kemudian melaju meninggalkan parkiran. Sedangkan aku masih duduk di jok motorku. Kembali galau karena memikirkan tugas mutasi yang ditetapkan kantor.Lalu tak lama, Fahreza datang mendekati motornya di sisiku. Dia menepuk pundak ini, seperti kebiasaannya yang selalu resek."Kenapa lo?" tanyanya seraya menaiki jok motor milikn
Tut.Panggilan telah dimatikan oleh Hilma. Sementara, aku mengusap wajah dengan kasar."Bakso bakar? Ada-ada aja maunya ibu hamil. Harus cari di mana coba?" Kuhela napas berat seraya mengutak-atik layar ponsel. Menanyakan pada Fahreza, mungkin dia tahu di mana aku bisa membeli makanan itu.Sayangnya, nomor Fahreza tidak aktif. Lantas, kucoba untuk mencarinya di pencarian maps. Mengetikkan pada simbol kaca pembesar. Lalu memilih alamat paling dekat dari sini.Kutarik napas panjang kembali. Paling dekat ada di sebuah kedai dengan jarak sekitar 7 km dari tempatku kini. Mau tak mau, akhirnya kunyalakan mesin motorku lagi. Lalu bergegas sesuai petunjuk arah dari layar ponsel yang kuingat.Hari semakin senja, saat aku akhirnya tiba di sebuah kedai. Tinggal beberapa menit lagi, adzan magrib akan berkumandang.Kedai baso yang menjadi tujuan, tidak begitu ramai pembeli. Cepat aku pun memesan, dan menunggu pesananku dibuatkan."Lho, Pak Yuda? Bapak di sini?" Aku memutar kepala, saat terdengar