*********"Yang bener aja, Sayang? Masa' kita tidur terpisah?" Aku terheran-heran dengan apa yang diucapkan Hilma. Aku bahkan sampai bangkit dari tidur hingga kini terduduk.Terdengar helaan napas berat dari Hilma. Tanpa suara, dia beringsut ke sisian tempat tidur ini, dengan guling di tangannya."Lho, kamu mau ke mana?" tanyaku sembari mencekal lengan Hilma yang hampir turun dari springbed."Ke kamar kedua!" jawabnya singkat seraya menepis cekalan tanganku.Kuhembus napas kasar. "Jangan, jangan! Kamu di sini. Biar aku yang ke luar. Biar aku yang tidur di kamar itu."Hilma tak merespon. Hanya bergeming di sisian tempat tidur. Aku lekas turun. Memaksakan tubuh yang terasa berat untuk bangkit dan menjauh dari tempat tidur.Jalanku terseret. Mulutku tak henti menguap. Mataku begitu berat dan perih. Hingga aku keluar dari kamar dan menjatuhkan tubuhku di sofa ruangan bermain si kembar. Sudah tak kuat lagi berjalan masuk kamar kedua.Tanpa mempedulikan apa pun lagi. Aku memejamkan mataku d
Hilma menepati ucapannya. Setelah hanya lima menit kami terjaga di atas sofa, dan dia tak hentinya menghidu pakaian depanku. Akhirnya Hilma beranjak. Turun dari atas tubuhku dan aku beranjak ke mushola.Berwudhu lalu menunaikan ibadah wajib dua rakaat. Hingga selesai dan berdzikir beberapa saat. Sampai kemudian aku keluar dari mushola dan bergegas memasuki kamar utama.Hilma nampak sudah berbaring di atas tempat tidur. Si kembar masih di kasurnya. Aku berjalan pelan dan mengendap. Lalu merangkak naik ke atas tempat tidur dan menyergap Hilma dari belakang. Aku membungkus tubuh kami dengan selimut.Aku memeluknya erat dari belakang. Menciumi kepalanya, turun ke telinga, lalu leher. Turun ke pundak dan Hilma nampak menerima perlakuanku.Jari jemariku mulai melancarkan aksinya. Menginvasi tubuh bagian bawah dari Hilma.Nampak Hilma menggigiti bibir bawahnya. Meredam suara yang mungkin ingin dia teriakan.Aku semakin menenggelamkan wajahku di cerukan lehernya. Tak lupa, kutinggalkan tanda
"Dalam rangka apa?" Aku bertanya tanpa melihatnya."Karena semalam, Bapak sudah membantu saya. Memesankan ojek online. Lalu menunggui saya sampai ojeknya datang. Kalau tidak ada Bapak, mungkin saya sendirian dan terus mendorong motor," jelasnya kemudian."Ohh. Itu. Sudah?""Sudah, Pak. Hanya itu. Saya permisi. Semoga Bapak suka dengan pemberian saya siang ini."Aku tak menyahut. Hingga pintu ruangan ini terdengar telah ditutup. Barulah aku mengalihkan perhatian dari depan laptop.Sebuah Tote bag hitam teronggok di atas meja ini. Aku lantas meraihnya dan membongkar.Isinya sebuah kotak makan. Kubuka tutupnya dan ternyata berisi menu makanan lengkap.Krubuk!Perutku sudah menyalakan alarmnya.Entah apa maksudnya Feli mengirimku makan siang seperti ini. Jika untuk sekedar ucapan terima kasih, kurasa terlalu berlebihan. Karena aku membantunya tanpa mengharap apa pun.Kututup kembali kotak makan dari Feli. Memasukkannya lagi ke dalam Tote bag seperti semula. Keluar dari ruanganku dengan ce
SEASON 2***********🌻POV YudaJam bubaran kantor. Aku duduk merenung di atas jok motor. Di depan sana, di bagian parkir khusus mobil, terlihat Feli sudah berada di dalam sebuah mobil.Aku melihatnya yang duduk di bangku kemudi, di mana kaca mobilnya diturunkan penuh. Feli membolak-balik kotak makan yang tadi dia berikan padaku. Senyuman mengembang di bibirnya. Menghiasi wajahnya yang masih full dengan riasan itu.Aku sampai terheran-heran dengan reaksi Feli di dalam sana. Apa dia senang makanannya habis? Pasti dia mengira, aku yang sudah memakannya. Padahal, makanan tadi itu mendarat mulus di perut Fahreza, bukan di perutku.Kaca mobilnya lalu ditutup. Mobilnya kemudian melaju meninggalkan parkiran. Sedangkan aku masih duduk di jok motorku. Kembali galau karena memikirkan tugas mutasi yang ditetapkan kantor.Lalu tak lama, Fahreza datang mendekati motornya di sisiku. Dia menepuk pundak ini, seperti kebiasaannya yang selalu resek."Kenapa lo?" tanyanya seraya menaiki jok motor milikn
Tut.Panggilan telah dimatikan oleh Hilma. Sementara, aku mengusap wajah dengan kasar."Bakso bakar? Ada-ada aja maunya ibu hamil. Harus cari di mana coba?" Kuhela napas berat seraya mengutak-atik layar ponsel. Menanyakan pada Fahreza, mungkin dia tahu di mana aku bisa membeli makanan itu.Sayangnya, nomor Fahreza tidak aktif. Lantas, kucoba untuk mencarinya di pencarian maps. Mengetikkan pada simbol kaca pembesar. Lalu memilih alamat paling dekat dari sini.Kutarik napas panjang kembali. Paling dekat ada di sebuah kedai dengan jarak sekitar 7 km dari tempatku kini. Mau tak mau, akhirnya kunyalakan mesin motorku lagi. Lalu bergegas sesuai petunjuk arah dari layar ponsel yang kuingat.Hari semakin senja, saat aku akhirnya tiba di sebuah kedai. Tinggal beberapa menit lagi, adzan magrib akan berkumandang.Kedai baso yang menjadi tujuan, tidak begitu ramai pembeli. Cepat aku pun memesan, dan menunggu pesananku dibuatkan."Lho, Pak Yuda? Bapak di sini?" Aku memutar kepala, saat terdengar
Selesai makan malam. Bergegas aku ke kamar. Melewati ruangan bermain, kresek putih yang tadi berisi bakso bakar nampak telah kosong.Aku tersenyum karenanya. Merasa tidak sia-sia aku membelinya meski jauh. Bahkan, kotak pembungkus bakso tadi, telah benar-benar bersih. Nampaknya, Hilma memang sangat ingin memakannya. Aku bahkan sampai tidak dibagi.Kubuang kemudian kresek itu ke tempat sampah di dapur. Lalu kembali menuju kamarku.Di dalam kamar, Hilma baru saja beranjak dari kasur tempat tidur si kembar. Aku berjalan di belakangnya, sampai Hilma duduk di sisian tempat tidur."Ay, jangan bobok di sini. Aku mau bobok sendiri," ucapnya merengek. Memeluk guling di atas pahanya dan menatapku di hadapannya saat ini."Lagi?" Aku terheran. Kupikir, ngidamnya yang aneh itu tidak akan terulang malam ini.Hilma mengangguk cepat. "Iya. Kalau ada kamu, aku malah jadi susah tidur, Ay," jawabnya kemudian.Bahuku merosot, diikuti hembusan napas beratku. Aku lantas meraih satu bantal dan mendekapnya.
"Aku kangen, Sayang," ucapku lirih. "Si junior kapan boleh dikunjungin?" sambungku masih dengan nada lirih.Hilma menggeleng. "Ya enggak tahu. Si junior aja gak mau kita bobok barengan, Ay!"Bibirku cemberut. Lekas aku pun bangkit. Menatap Hilma yang nampak sudah mengantuk. "Tega banget si junior gak mau deket-deket sama Ayahnya. Padahal aku yang banting tulang bikinnya hampir setiap malam. Udah jadi, malah gak mau ditengokin," keluhku membuat Hilma terkekeh."Ya udah, aku tidur di luar ya, Sayang. Kamu bobok juga ya!" pesanku kemudian. Melihat netranya yang telah sayu, membuatku tak tega untuk terus merayunya.Kuusap lembut puncak kepala Hilma sebelum akhirnya aku keluar dari kamar.Melangkah menuju sofa dan memasang bantalnya, lalu merebahkan diriku segera. Menyalakan televisi untuk sekedar menemani malam yang mulai sunyi ini.Menonton siarannya membuat netraku perlahan memejam lalu mengerjap. Hingga akhirnya kubiarkan netraku benar-benar memejam dengan televisi yang masih menyala.
SEASON 2*POV YudaMenggosok rambut yang basah di depan cermin rias. Lalu mengeringkan badanku yang basah. Akhirnya, aku bisa mengunjungi si junior pagi ini, di bawah kucuran air shower tadi. Ah, benar-benar penyambutan pagi yang syahdu.Setelah rambut serta tubuhku lumayan kering, lekas aku berpakaian. Sementara Hilma, baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menggelung di atas kepalanya."Sayang, aku tunggu di mushola, ya?" ucapku sesaat setelah Hilma menjauh dari pintu kamar mandi.Hilma mengangguk cepat. Gegas aku keluar dari dalam kamar, melangkah ke arah mushola, mengambil wudhu lalu masuk ke area mushola. Lantas duduk menunggu Hilma menyusulku.Aku merenung kembali.Pagi ini benar-benar terasa indah. Sejatinya, pernikahan memang ladang untuk beribadah bersama pasangan. Meraih sebanyak-banyaknya pahala untuk bisa bersama-sama sampai di Jannah-Nya.Bersama Hilma, aku menemukannya. Bersama Hilma, aku coba melakukannya.Aku semakin galau karenanya, mengingat tugas muta
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y