POV Yuda.–Pulang dari rumah Fahreza. Kini mobilku telah terparkir di depan garasi. Hari sudah semakin sore saat aku tiba di rumah.Keluar dari mobil. Aku berjalan lunglai memasuki rumahku. Berjalan pelan tanpa tenaga.Pikiranku kacau. Hatiku apalagi.Kenapa rasanya sangat menyakitkan sekali?"Hil, sekarang bukannya mau masuk tahun ajaran baru? Biasanya di yayasan suka ada acara imtihan 'kan? Tahun ini enggak ada?" Sayup terdengar suara Ibu mertua dari arah ruang bermain.Aku menghentikan langkah. Mematung di tembok sekat ruang bermain dengan ruang depan rumahku."Ada kok, Bu. Itu 'kan acara rutin setiap tahun di yayasan," jawab Hilma. Rupanya Hilma telah pulang dari makam dan lebih dulu tiba di rumah."Terus kamu enggak ke sana?" tanya Ibu mertuaku lagi.Belum ada jawaban dari Hilma. Hingga beberapa saat terdengar helaan napas berat darinya. "Enggak, Bu. Mas Yuda gak izinin pergi.""Lho … kenapa? Itu 'kan acara tahunan dan kamu pasti selalu hadir.""Gak tahu, Bu. Gak papa aku gak pe
POV Yuda.–Hilma telah kembali ke kamar ini. Setelah keluar dengan membawa baskom danhanduk kompresnya. Lalu mengambil Arka yang merengek baru bangun dari tidurnya. Dibawanya Arka keluar dari kamar. Biasanya akan Hilma pindahkan ke bouncer. Membasuh wajahnya untuk kemudian diberikan susu.Sedangkan aku masih terbaring di atas tempat tidur. Aku sudah tidak begitu menggigil seperti tadi. Namun nyeri di sekujur tubuh masih tetap terasa pun dengan lemasnya. Begitu juga dengan kepala yang masih pusing.Mungkin, ini karena aku mandi terlalu lama kemarin. Serta dalam keadaan perut yang kosong. Sehingga aku sakit seperti sekarang ini.Tak lama Hilma kembali ke kamar dan mendekat ke samping tempat tidur.Dia mengulurkan tangannya menyentuh dahiku. "Panasnya agak turun. Tapi kamu masih pucat. Emm, kamu butuh sesuatu?" tanyanya.Krubukk KrubukkkMulut yang terasa kering dan belum sempat menjawab pertanyaan Hilma. Akhirnya terwakili oleh suara perutku yang cukup keras.Hilma seakan mengerti. Tan
"Tapi sekarang aku mencintai kamu, Hilma … aku mencintai kamu," ujarku dengan lirih. Hanya bisa terdengar olehku sendiri.Aku hanya tidak ingin kamu terus peduli. Kamu tahu kenapa? Karena kepedulian kamu, justru membuatku akan semakin jatuh cinta padamu, Hilma. Sedangkan kamu tidak.************************Dua hari berikutnya.–Aku masih sakit. Meski demamnya sudah tidak lagi kurasa. Begitu juga dengan pusing yang berangsur hilang, tetapi badanku masih terasa sakit seluruhnya.Dokter sudah memeriksa dan memberiku obat. Sayangnya, aku enggan untuk disuntik. Sehingga harus mengkonsumsi obat yang diberikannya sebanyak dua kali sehari. Kata dokter, aku hanya kelelahan dan masuk angin.Ibu Bapakku serta mertuaku bahkan sampai menginap di rumah. Mereka ikut sibuk mengurus si kembar, sementara Hilma fokus merawatku.Sudah dua hari pula aku izin tidak masuk kerja. Jangankan untuk bekerja, untuk mandi saja sudah tiga hari aku tidak mandi.Selama sakit. Hilma sangat telaten merawatku. Mulai d
Selepas kedatangan Fahreza yang menjengukku. Esoknya aku sudah kembali bekerja. Keadaanku berangsur membaik, usai bercerita semuanya pada sahabatku itu. Sehingga bisa kembali bekerja dan kini aku sudah benar-benar sehat.Selama aku sakit. Hilma yang benar-benar mengurusku. Dia bahkan membatalkan kepergiannya ke yayasan. Karena sakitku yang tiba-tiba dan berbarengan dengan jadwal keberangkatannya ke yayasan saat itu.Hari ini weekend. Aku pulang lebih awal dari kantor. Membawa mobilku dari kantor dan tidak buru-buru ke rumah. Melainkan melipir terlebih dulu ke sebuah resto bintang lima.Setelah memarkirkan mobil, cepat aku pun masuk ke dalam bangunan resto. Lalu mengutarakan keperluanku di resto ini pada pelayan yang bertugas.Dan setelah selesai, aku kembali ke mobil. Meninggalkan resto dan pulang ke rumah. Sebelum malam nanti, aku akan membawa Hilma ke mari.***********"Hallo, Bu? Ibu di mana?" tanyaku melalui sambungan telepon. Mobilku telah sampai di depan rumah. Aku tidak buru-bu
Rasanya ini terlalu aneh.Aku takut ditolak oleh perempuan yang statusnya sudah jelas sebagai istriku sendiri. Aneh sekali bukan?Laki-laki lain menyatakan perasaan sebelum ada ikatan. Tapi aku, malah sebaliknya. Sungguh aneh.Hatiku rasanya tidak berhenti berdebar. Bahkan setelah kini aku berganti pakaian.Menyisir rambut hingga rapi dan membenahi kemeja. Mematut diriku di cermin entah untuk keberapa kalinya.Aku sangat gugup.Berulangkali kali aku mengatur napas, untuk mengurai rasa gugup yang menguasai.Klek!Pintu kamar dibuka dari luar.Pandanganku otomatis bertemu dengan Hilma yang baru saja masuk."Kata Ibu, Ibu sama Bapak ke sini buat jaga si kembar, karena kita mau ke luar malam ini. Benar begitu?" tanya Hilma setelah kini berdiri di dekat lemari.Aku mengangguk cepat. "Iya. Aku sudah siap. Aku tunggu kamu di mobil!" perintahku seraya merapikan rambut. Padahal rambutku sudah rapi dan tidak berantakan."Emm, kita mau ke mana?" Hilma kembali bertanya."Ikut saja. Nanti kamu jug
Keluar dari kamar mandi, cepat aku pun naik kembali ke roof top. Hilma sendirian di sini. Nampak dari belakang, Hilma tengah berdiam di belakang tembok pembatas. Mungkin sedang memandangi pekatnya awan malam ini.Di mana malam semakin beranjak. Udara dingin semakin menyelimuti. Hembusan angin semakin terasa. Langit malam pun nampak mulai mendung.Aku melangkah pelan di belakangnya, hendak mendekat pada Hilma yang sepertinya tidak menyadari kedatanganku.Aku akan memeluknya secara tiba-tiba. Lalu setelah itu, dalam pelukanku, akan kuutarakan perasaanku terhadapnya.Akan kubicarakan padanya dengan hati-hati, apa yang sebenarnya aku rasakan.Pelan-pelan aku melangkah tanpa menimbulkan suara.Namun tiba-tiba saja ponsel dalam saku celanaku berdering cukup nyaring. Membuatku terkesiap dan Hilma pun berbalik.Cepat-cepat aku merogoh saku celana dan mengambil benda pipih yang membuyarkan rencana dadakanku."Reza? Ngapain si?" gumamku dengan lirih saat melihat nomor Fahreza yang tertera di la
Tengah malam, aku tetap terjaga.Hilma dan si kembar tertidur dengan pulas.Sedangkan aku tidak dapat tidur. Aku masih memikirkan cara untuk mengungkapkan perasaan ini pada Hilma.Karena dinner romantis yang awalnya memang kusiapakan untuk mengatakan perasaanku, nyatanya gagal total dan harus berakhir sia-sia.Aku tidak mau memendamnya lebih lama.Aku tidak tahan, merasakannya sendirian.Aku ingin Hilma menyambut perasaan ini.Aku ingin, Hilma tahu perasaanku yang sebenarnya.Denting dari jarum jam, menemani sepinya malam ini. Waktu pun terus bergulir dan aku masih terus terjaga. Hingga tanpa terasa, waktu sudah memasuki dini hari.Aku pura-pura memejam ketika mendengar suara dari arah sofa tempat tidur Hilma. Tak lama, disusul suara pintu kamar yang dibuka.Aku pun membuka mata dan mendapati sofa itu telah kosong.Hilma pasti akan ke mushola. Haidnya sepertinya sudah usai.Serta merta aku bangkit dan terduduk.Cepat beringsut turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi.Membasuh wajahk
🌻POV Hilma."Aku mau ke luar dulu sebentar. Kamu apa mau titip sesuatu?"Aku menggeleng menanggapi pertanyaan Yuda."Ehm, yakin?"Aku mengangguk kali ini. "Iya."Nampak Yuda manggut-manggut. Entah ke luar mana yang ia maksud. Aku tidak ingin tahu juga. Yuda terlihat sudah rapi dengan pakaian sehari-harinya, karena sekarang hari libur."Ya sudah. Aku pergi dulu."Aku kembali mengangguk. Aku masih menyuapi si kecil sarapan bubur di ruangan bermain.Aku sedikit mendongak. Karena tangan Yuda yang terulur di depanku. Dia hanya mengangguk, seakan meyakinkan, bahwa dia memang tengah berpamitan dan aku harus mencium tangannya.Karena masih menyuapi si kembar. Aku pun dengan segera mencium punggung tangan laki-laki bergelar suamiku ini. Hanya sebentar dan aku kembali fokus dengan si kembar. Mereka sedang lahap menikmati sarapannya.Sebelum berangkat, seperti biasanya, Yuda akan mengusap lembut kepala kedua putranya ini. Lalu setelah itu, ia pun bergegas meninggalkan ruangan bermain ini.Seja