Selepas kedatangan Fahreza yang menjengukku. Esoknya aku sudah kembali bekerja. Keadaanku berangsur membaik, usai bercerita semuanya pada sahabatku itu. Sehingga bisa kembali bekerja dan kini aku sudah benar-benar sehat.Selama aku sakit. Hilma yang benar-benar mengurusku. Dia bahkan membatalkan kepergiannya ke yayasan. Karena sakitku yang tiba-tiba dan berbarengan dengan jadwal keberangkatannya ke yayasan saat itu.Hari ini weekend. Aku pulang lebih awal dari kantor. Membawa mobilku dari kantor dan tidak buru-buru ke rumah. Melainkan melipir terlebih dulu ke sebuah resto bintang lima.Setelah memarkirkan mobil, cepat aku pun masuk ke dalam bangunan resto. Lalu mengutarakan keperluanku di resto ini pada pelayan yang bertugas.Dan setelah selesai, aku kembali ke mobil. Meninggalkan resto dan pulang ke rumah. Sebelum malam nanti, aku akan membawa Hilma ke mari.***********"Hallo, Bu? Ibu di mana?" tanyaku melalui sambungan telepon. Mobilku telah sampai di depan rumah. Aku tidak buru-bu
Rasanya ini terlalu aneh.Aku takut ditolak oleh perempuan yang statusnya sudah jelas sebagai istriku sendiri. Aneh sekali bukan?Laki-laki lain menyatakan perasaan sebelum ada ikatan. Tapi aku, malah sebaliknya. Sungguh aneh.Hatiku rasanya tidak berhenti berdebar. Bahkan setelah kini aku berganti pakaian.Menyisir rambut hingga rapi dan membenahi kemeja. Mematut diriku di cermin entah untuk keberapa kalinya.Aku sangat gugup.Berulangkali kali aku mengatur napas, untuk mengurai rasa gugup yang menguasai.Klek!Pintu kamar dibuka dari luar.Pandanganku otomatis bertemu dengan Hilma yang baru saja masuk."Kata Ibu, Ibu sama Bapak ke sini buat jaga si kembar, karena kita mau ke luar malam ini. Benar begitu?" tanya Hilma setelah kini berdiri di dekat lemari.Aku mengangguk cepat. "Iya. Aku sudah siap. Aku tunggu kamu di mobil!" perintahku seraya merapikan rambut. Padahal rambutku sudah rapi dan tidak berantakan."Emm, kita mau ke mana?" Hilma kembali bertanya."Ikut saja. Nanti kamu jug
Keluar dari kamar mandi, cepat aku pun naik kembali ke roof top. Hilma sendirian di sini. Nampak dari belakang, Hilma tengah berdiam di belakang tembok pembatas. Mungkin sedang memandangi pekatnya awan malam ini.Di mana malam semakin beranjak. Udara dingin semakin menyelimuti. Hembusan angin semakin terasa. Langit malam pun nampak mulai mendung.Aku melangkah pelan di belakangnya, hendak mendekat pada Hilma yang sepertinya tidak menyadari kedatanganku.Aku akan memeluknya secara tiba-tiba. Lalu setelah itu, dalam pelukanku, akan kuutarakan perasaanku terhadapnya.Akan kubicarakan padanya dengan hati-hati, apa yang sebenarnya aku rasakan.Pelan-pelan aku melangkah tanpa menimbulkan suara.Namun tiba-tiba saja ponsel dalam saku celanaku berdering cukup nyaring. Membuatku terkesiap dan Hilma pun berbalik.Cepat-cepat aku merogoh saku celana dan mengambil benda pipih yang membuyarkan rencana dadakanku."Reza? Ngapain si?" gumamku dengan lirih saat melihat nomor Fahreza yang tertera di la
Tengah malam, aku tetap terjaga.Hilma dan si kembar tertidur dengan pulas.Sedangkan aku tidak dapat tidur. Aku masih memikirkan cara untuk mengungkapkan perasaan ini pada Hilma.Karena dinner romantis yang awalnya memang kusiapakan untuk mengatakan perasaanku, nyatanya gagal total dan harus berakhir sia-sia.Aku tidak mau memendamnya lebih lama.Aku tidak tahan, merasakannya sendirian.Aku ingin Hilma menyambut perasaan ini.Aku ingin, Hilma tahu perasaanku yang sebenarnya.Denting dari jarum jam, menemani sepinya malam ini. Waktu pun terus bergulir dan aku masih terus terjaga. Hingga tanpa terasa, waktu sudah memasuki dini hari.Aku pura-pura memejam ketika mendengar suara dari arah sofa tempat tidur Hilma. Tak lama, disusul suara pintu kamar yang dibuka.Aku pun membuka mata dan mendapati sofa itu telah kosong.Hilma pasti akan ke mushola. Haidnya sepertinya sudah usai.Serta merta aku bangkit dan terduduk.Cepat beringsut turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi.Membasuh wajahk
🌻POV Hilma."Aku mau ke luar dulu sebentar. Kamu apa mau titip sesuatu?"Aku menggeleng menanggapi pertanyaan Yuda."Ehm, yakin?"Aku mengangguk kali ini. "Iya."Nampak Yuda manggut-manggut. Entah ke luar mana yang ia maksud. Aku tidak ingin tahu juga. Yuda terlihat sudah rapi dengan pakaian sehari-harinya, karena sekarang hari libur."Ya sudah. Aku pergi dulu."Aku kembali mengangguk. Aku masih menyuapi si kecil sarapan bubur di ruangan bermain.Aku sedikit mendongak. Karena tangan Yuda yang terulur di depanku. Dia hanya mengangguk, seakan meyakinkan, bahwa dia memang tengah berpamitan dan aku harus mencium tangannya.Karena masih menyuapi si kembar. Aku pun dengan segera mencium punggung tangan laki-laki bergelar suamiku ini. Hanya sebentar dan aku kembali fokus dengan si kembar. Mereka sedang lahap menikmati sarapannya.Sebelum berangkat, seperti biasanya, Yuda akan mengusap lembut kepala kedua putranya ini. Lalu setelah itu, ia pun bergegas meninggalkan ruangan bermain ini.Seja
"Tanpa kamu bicara, ibu tahu kamu menyukai laki-laki shaleh itu. Tapi … karena keadaan dan keputusan kami, kamu tidak bisa bersama dengannya. Maafkan kami ya, Sayang." Ibu berucap diikuti helaan napas berat.Aku menunduk. Meraup dengan rakus oksigen untuk memasok dadaku. Kemudian mendongak menatap wajah Ibu.Senyum kecil coba aku pamerkan padanya. Ibu berhak tahu perasaanku. Meski perasaan ini tidak akan pernah sampai. Karena sekarang aku telah menikah. Tapi, dengan berbicara pada ibu. Aku rasa, dapat mengurai sedikit sesak yang membelenggu dalam dadaku selama ini."Bu, sampai hari ini, perasaanku pada Azmi masih tetap sama. Dia … masih menjadi laki-laki yang mengisi tempat khusus di hatiku, Bu."Aku mengakuinya pada Ibu. Membuat Ibu memandangku lamat. Hingga keheningan, sejenak menyelimuti kami berdua saat ini.Ibu tidak berucap apa pun. Seperti masih menunggu pengakuanku lebih lanjut. Ibu tidak menyalahkanku atas perasaan putrinya ini. Meski posisinya saat ini, aku telah bersuami."
Bapak membawa mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Membelah jalanan malam yang sunyi sepi. Menjauh dari rumah dan sudah masuk hampir ke luar daerah.Arka di gendongan tertidur pulas. Begitu juga dengan Arsa yang kubaringkan di sisi kursi yang kosong, dan tak lepas dari pengawasanku.Bapak masih fokus mengendalikan stir mobilnya. Sehingga tidak juga mengatakan siapa yang masuk rumah sakit.Di rumah tadi, Yuda juga belum pulang.Padahal ini sudah lewat dari tengah malam.Hampir satu jam dari rumah. Bapak menghentikan mobilnya di salah satu rumah sakit umum daerah.Bapak membantu membukakan pintu. Mengambil Arsa dan menggendongnya. Aku pun turun dengan masih menggendong Arka.Aku mengikuti langkah Bapak memasuki gedung rumah sakit. Menyusuri tiap koridor hingga tiba dan berhenti di depan sebuah ruangan ICU.Kedua mertuaku sudah ada di sini. Pun dengan Ibuku yang nampak seperti tengah menguatkan Bu Aida.Melihat kedatanganku, Bu Aida menghambur dan memelukku. Beliau masih terisak."Hikss
🌻POV Hilma.Satu Minggu berlalu.Kamar kedua di rumah ini telah disulap. Berubah menjadi ruangan rawat untuk sang pemilik rumah.Yuda terbaring lemah di atas springbed single di kamar ini. Infus serta alat bantu tertentu masih dibiarkan terpasang di beberapa bagian tubuhnya.Satu Minggu berlalu sejak kecelakaan yang dialaminya. Keadaan Yuda tidak kunjung membaik.Dia masih dinyatakan koma. Setelah dipindahkan ke rumah sakit terdekat di sekitar sini.Tidak ada perkembangan apa pun terhadap kondisinya.Sehingga kedua orang tuanya, memutuskan untuk membawa Yuda pulang dan merawatnya di sini, di rumah Yuda.Mata hazel dengan tatapan bak elang itu memejam rapat. Tidak ada pergerakan sedikit saja darinya. Tubuhnya tergolek denga deru napas yang nampak begitu lemah.Beberapa bagian wajahnya dipenuhi lebam. Seperti terkena benturan."Nak, ibu dan Bapak akan tinggal sementara waktu di sini. Ibu akan merawat Yuda. Kamu tidak keberatan 'kan?" tanya Bu Aida dengan lingkaran matanya nampak cekung
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y