Selepas waktu isya, Pak Candra baru kembali ke rumah ini. Aku dan Bu Aida tengah berkumpul di ruangan bermain si kembar. Pintu kamar di mana Yuda terbaring, selalu dibiarkan terbuka. Hanya akan tertutup saat tubuhnya hendak dibersihkan.Pak Candra datang dengan membawa nasi goreng untuk kami makan malam. Kami makan bersama seperti biasanya.Namun, Bu Aida hanya makan sampai setengahnya saja. Aku mengerti, perasaannya tak menentu saat ini."Nak Hilma, kamu tidak memiliki ponsel, ya?" tanya bapak mertuaku saat makan malam kami sudah selesai."Punya, Pak. Tapi rusak. Aku belum sempat buat benerin," jawabku."Ya itu sama saja tidak punya, Nak. Apa nggak bosan, kamu gak pegang hape kalau di rumah seperti ini?" selidik Pak Candra lagi.Aku menggeleng cepat. "Sudah biasa, Pak. Di pondok, mana ada hape. Jadi ya, sudah terbiasa.""Kamu enggak main media sosial berarti?" Kali ini Bu Aida ikut bersuara."Dulu cuma main akun biru, Bu. Itu juga udah berapa tahun terakhir gak aku buka. Mungkin suda
🌻POV Hilma."Bagaimana keadaannya, Dok?"Seorang dokter tanpa pakaian dinas, dengan stetoskop yang masih mengalung di lehernya itu menghela napas panjang, sebelum akhirnya menggeleng lemah."Tidak ada perkembangan berarti. Yuda masih seperti sebelumnya," ujarnya bernada kecewa.Bu Aida yang berdiri di sampingku, merunduk dan tenggelam dalam dadaku. Cepat aku pun merangkul dan menenangkannya."Sampai kapan Yuda seperti ini, Dok?" tanya Pak Candra lirih."Tidak ada yang bisa memastikannya, Pak. Hanya keajaiban dari Yang Mahakuasa yang dapat jadi jawabannya," sahut sang dokter.Pak Candra nampak putus asa. Begitu juga Ibu mertua dalam dekapanku saat ini.Sekarang sudah hampir satu bulan lamanya.Yuda terbaring dalam komanya.Tanpa ada perkembangan baik dengan kondisinya. Setiap satu Minggu sekali, dokter yang menangani Yuda akan datang ke mari dan melakukan pemeriksaan rutin.Dokter Mirwan, dokter yang menangani Yuda selama ini. Baru saja selesai melakukan pemeriksaannya.Namun, seperti
Usai shalat Subuh dan si kembar masih belum bangun. Aku menyegerakan ke dapur. Namun, di dapur ternyata Ibu mertua sudah berkutat di depan meja kitchen set."Masak apa, Bu?" tanyaku setelah menghampirinya."Eh, Nak. Ini, ibu buat nasi goreng buat kita sarapan. Di kulkas soalnya cuma ada telur sama sosis, jadi ibu bikin nasi goreng. Gak papa, ya?" jawab serta tanyanya.Aku tersenyum kecil. "Enggak apa-apa, Bu. Nanti agak siangan, biar aku belanja buat stok di kulkas."Sejak sebulan yang lalu. Bukan hanya ponsel yang mertuaku berikan. Tetapi mereka juga memberiku kartu debit, untuk kebutuhanku, si kembar dan juga keperluan rumah.Selama ini, sejak awal pernikahan ini. Ayah si kembar tetap mengingat tanggungjawabnya sebagai suami.Terlepas dari hubungan tanpa cinta yang kami jalani, dia tetap memberikan uang bulanan sebagai bentuk nafkah yang harus dipenuhinya. Apalagi untuk kebutuhan rutin si kembar. Mulai dari susu formulanya hingga bedak dan minyak telon yang harus selalu siap.Lalu s
Lima bulan kemudian ….🌻POV Hilma.Kondisi Yuda masih belum menunjukkan perubahan signifikan. Dia masih tergolek lemah seperti sebelumnya. Keajaiban dari Sang Pemilik Kehidupan, masih belum datang hingga detik ini.Aku baru saja selesai melakukan tugasku di sore hari. Kupandangi Yuda yang terbaring tak berdaya."Yud, kamu tidak ingin bangun? Kamu tidak ingin melihat perkembangan si kembar hmmm? Sekarang usia mereka sudah satu tahun, Yud. Mereka sedang senang-senangnya belajar berjalan. Kamu masih ingin seperti ini? Kamu tidak ingin melihat, bagaimana antusiasnya mereka mencari pegangan untuk kemudian berjalan pelan merambat? Kamu tidak ingin mendampingi mereka hmmm?"Aku berbicara pada Yuda. Meski tidak ada sahutan seperti yang sudah-sudah. Hanya denting dari jarum jam yang seakan menjawab ucapanku."Si kembar sudah bisa memanggilku. Mereka sering bersahutan menyeru namaku. Tidakkah kamu ingin melihat dan mendampingi mereka? Bangunlah, Yud! Sampai kapan kamu akan membiarkan Ibumu ter
Sekujur tubuhku membeku karena mendengarnya."Iya, Nak. Kami sebagai orang tua Yuda, yang akan mengambil tanggung jawab merawat anak kami. Kami tidak tega melihat kamu setiap harinya hanya mengurusi Yuda yang tidak kunjung sembuh. Sementara kebutuhan kamu, tidak bisa dipenuhi Yuda sebagaimana mestinya. Keadaan seperti ini, memperbolehkan kamu sebagai istri, untuk mengajukan gugatan perceraian yang akan diproses oleh hakim pengadilan," beber Pak Candra kemudian.Menggugat cerai?Selama ini, aku dan Yuda memang tidak saling mencintai. Kami terbelenggu, dengan perasaan kami masing-masing.Namun, selama ini, aku mencoba tetap bersabar. Lalu dalam keadaannya yang seperti sekarang, aku ikhlas merawatnya. Meski, aku juga tidak tahu sampai kapan akan begini.Aku menunduk, mencerna baik-baik, apa yang kedua mertuaku ini sarankan. Dan memang benar, aku berhak atas hidupku selanjutnya.Yuda tidak menunjukkan perubahan. Apa dia bisa bertahan lalu akan sembuh, ataukah justru sebaliknya.Tidak ada
🌻POV HilmaSetelah sekian lama. Akhirnya kaki ini kembali menginjak pondok yang kurindukan.Dewan yayasan menyambut dan menerima kedatanganku dengan begitu hangat. Mereka menganggapku sudah seperti bagian keluarga di yayasan ini.Selesai menemui dewan yayasan. Aku pun menuju kamar santri khusus pengajar. Di mana santri yang telah selesai mondok, diwajibkan mengabdi pada yayasan. Mengajar selama satu atau dua tahun sebelum kemudian benar-benar dilepas di lingkungan masyarakat.Namun, jika ingin meneruskan mengajar dan kembali ke sini sepertiku, yayasan dengan senang hati akan menerima. Bahkan jika kami terus mengajar hingga lima tahun lamanya setelah masa bakti. Pihak yayasan akan membantu kami meraih peluang menjadi anggota pegawai negeri sipil.Kamar khusus pengajar yang didatangi, dihuni banyak pengajar baru. Tentu saja yang dulunya adik tingkatku saat mondok.Teman-temanku hanya tinggal sedikit, karena kebanyakan tentunya sudah menikah, dan tidak lagi di sini.Namun, meski dengan
Aku terdiam sejenak. Memastikan apa yang kudengar bukanlah satu kesalahan. "T-ta-aruf, Mi?"Azmi mengangguk cepat. "Hilma, izinkan aku jujur tentang satu hal. Tentang satu rasa yang selama ini kupendam sendirian.""Sudah sejak lama, aku menaruh hati terhadap kamu, Hil. Tapi, seperti yang sudah kamu ketahui sendiri. Semua anggota keluarga di yayasan ini, menikah karena perjodohan yang ditetapkan para dewan dan sesepuh. Sehingga aku tidak bisa menolak, saat perjodohanku ditetapkan. Meski ternyata bukan dengan kamu, melainkan dengan Diba. Aku dituntut patuh, dan menerima. Tapi ternyata takdir berkata lain. Pernikahanku bersama Diba harus batal. Karena Diba berpulang. Aku mencari kamu, Hil. Aku berharap, kamulah yang akan menggantikan Diba menjadi pendampingku. Tapi, aku harus kembali menerima kenyataan, jika kamu sudah menikah.""Mungkin, sekarang takdir akan berpihak pada perasaanku, Hil. Entah perasaanku ini akan bersambut ataukah hanya bertepuk sebelah tangan. Apa pun itu, izinkan aku
🌻POV YudaTubuhku terasa ringan melayang. Aku kesulitan membuka mata. Semuanya terasa begitu gelap.Sangat gelap.Sunyi dan juga sepi.Tubuhku seakan melayang-layang entah akan ke mana. Aku bahkan kesusahan mengendalikannya.Hingga kurasakan tubuh ini perlahan diam. Tak lagi melayang. Lalu serbuan cahaya, menyelinap masuk merambat pada netraku.Sampai akhirnya, aku bisa membuka mata yang rasanya begitu lengket, meski perlahan-lahan. Gumpalan cahaya yang semakin menyeruak, akhirnya membuatku berhasil membuka seluruh netraku.Hamparan langit tanpa awan terbentang tanpa batas, menjadi pemandangan pertama saat netra ini berhasil terbuka.Aku terdiam sejenak. Mencoba memahami, di mana saat ini aku berada.Aku tidak mengenalinya.Kuarahkan kepala menoleh ke samping kanan. Sejauh mata memandang, hanya hamparan rerumputan yang hijau sempurna membentang tanpa ujung.Aku benar-benar tidak mengenali tempat ini.Lantas kugerakan kepalaku menoleh ke samping kiri.Keningku mengernyit."Khanza?" gu