Usai shalat Subuh dan si kembar masih belum bangun. Aku menyegerakan ke dapur. Namun, di dapur ternyata Ibu mertua sudah berkutat di depan meja kitchen set."Masak apa, Bu?" tanyaku setelah menghampirinya."Eh, Nak. Ini, ibu buat nasi goreng buat kita sarapan. Di kulkas soalnya cuma ada telur sama sosis, jadi ibu bikin nasi goreng. Gak papa, ya?" jawab serta tanyanya.Aku tersenyum kecil. "Enggak apa-apa, Bu. Nanti agak siangan, biar aku belanja buat stok di kulkas."Sejak sebulan yang lalu. Bukan hanya ponsel yang mertuaku berikan. Tetapi mereka juga memberiku kartu debit, untuk kebutuhanku, si kembar dan juga keperluan rumah.Selama ini, sejak awal pernikahan ini. Ayah si kembar tetap mengingat tanggungjawabnya sebagai suami.Terlepas dari hubungan tanpa cinta yang kami jalani, dia tetap memberikan uang bulanan sebagai bentuk nafkah yang harus dipenuhinya. Apalagi untuk kebutuhan rutin si kembar. Mulai dari susu formulanya hingga bedak dan minyak telon yang harus selalu siap.Lalu s
Lima bulan kemudian ….🌻POV Hilma.Kondisi Yuda masih belum menunjukkan perubahan signifikan. Dia masih tergolek lemah seperti sebelumnya. Keajaiban dari Sang Pemilik Kehidupan, masih belum datang hingga detik ini.Aku baru saja selesai melakukan tugasku di sore hari. Kupandangi Yuda yang terbaring tak berdaya."Yud, kamu tidak ingin bangun? Kamu tidak ingin melihat perkembangan si kembar hmmm? Sekarang usia mereka sudah satu tahun, Yud. Mereka sedang senang-senangnya belajar berjalan. Kamu masih ingin seperti ini? Kamu tidak ingin melihat, bagaimana antusiasnya mereka mencari pegangan untuk kemudian berjalan pelan merambat? Kamu tidak ingin mendampingi mereka hmmm?"Aku berbicara pada Yuda. Meski tidak ada sahutan seperti yang sudah-sudah. Hanya denting dari jarum jam yang seakan menjawab ucapanku."Si kembar sudah bisa memanggilku. Mereka sering bersahutan menyeru namaku. Tidakkah kamu ingin melihat dan mendampingi mereka? Bangunlah, Yud! Sampai kapan kamu akan membiarkan Ibumu ter
Sekujur tubuhku membeku karena mendengarnya."Iya, Nak. Kami sebagai orang tua Yuda, yang akan mengambil tanggung jawab merawat anak kami. Kami tidak tega melihat kamu setiap harinya hanya mengurusi Yuda yang tidak kunjung sembuh. Sementara kebutuhan kamu, tidak bisa dipenuhi Yuda sebagaimana mestinya. Keadaan seperti ini, memperbolehkan kamu sebagai istri, untuk mengajukan gugatan perceraian yang akan diproses oleh hakim pengadilan," beber Pak Candra kemudian.Menggugat cerai?Selama ini, aku dan Yuda memang tidak saling mencintai. Kami terbelenggu, dengan perasaan kami masing-masing.Namun, selama ini, aku mencoba tetap bersabar. Lalu dalam keadaannya yang seperti sekarang, aku ikhlas merawatnya. Meski, aku juga tidak tahu sampai kapan akan begini.Aku menunduk, mencerna baik-baik, apa yang kedua mertuaku ini sarankan. Dan memang benar, aku berhak atas hidupku selanjutnya.Yuda tidak menunjukkan perubahan. Apa dia bisa bertahan lalu akan sembuh, ataukah justru sebaliknya.Tidak ada
🌻POV HilmaSetelah sekian lama. Akhirnya kaki ini kembali menginjak pondok yang kurindukan.Dewan yayasan menyambut dan menerima kedatanganku dengan begitu hangat. Mereka menganggapku sudah seperti bagian keluarga di yayasan ini.Selesai menemui dewan yayasan. Aku pun menuju kamar santri khusus pengajar. Di mana santri yang telah selesai mondok, diwajibkan mengabdi pada yayasan. Mengajar selama satu atau dua tahun sebelum kemudian benar-benar dilepas di lingkungan masyarakat.Namun, jika ingin meneruskan mengajar dan kembali ke sini sepertiku, yayasan dengan senang hati akan menerima. Bahkan jika kami terus mengajar hingga lima tahun lamanya setelah masa bakti. Pihak yayasan akan membantu kami meraih peluang menjadi anggota pegawai negeri sipil.Kamar khusus pengajar yang didatangi, dihuni banyak pengajar baru. Tentu saja yang dulunya adik tingkatku saat mondok.Teman-temanku hanya tinggal sedikit, karena kebanyakan tentunya sudah menikah, dan tidak lagi di sini.Namun, meski dengan
Aku terdiam sejenak. Memastikan apa yang kudengar bukanlah satu kesalahan. "T-ta-aruf, Mi?"Azmi mengangguk cepat. "Hilma, izinkan aku jujur tentang satu hal. Tentang satu rasa yang selama ini kupendam sendirian.""Sudah sejak lama, aku menaruh hati terhadap kamu, Hil. Tapi, seperti yang sudah kamu ketahui sendiri. Semua anggota keluarga di yayasan ini, menikah karena perjodohan yang ditetapkan para dewan dan sesepuh. Sehingga aku tidak bisa menolak, saat perjodohanku ditetapkan. Meski ternyata bukan dengan kamu, melainkan dengan Diba. Aku dituntut patuh, dan menerima. Tapi ternyata takdir berkata lain. Pernikahanku bersama Diba harus batal. Karena Diba berpulang. Aku mencari kamu, Hil. Aku berharap, kamulah yang akan menggantikan Diba menjadi pendampingku. Tapi, aku harus kembali menerima kenyataan, jika kamu sudah menikah.""Mungkin, sekarang takdir akan berpihak pada perasaanku, Hil. Entah perasaanku ini akan bersambut ataukah hanya bertepuk sebelah tangan. Apa pun itu, izinkan aku
🌻POV YudaTubuhku terasa ringan melayang. Aku kesulitan membuka mata. Semuanya terasa begitu gelap.Sangat gelap.Sunyi dan juga sepi.Tubuhku seakan melayang-layang entah akan ke mana. Aku bahkan kesusahan mengendalikannya.Hingga kurasakan tubuh ini perlahan diam. Tak lagi melayang. Lalu serbuan cahaya, menyelinap masuk merambat pada netraku.Sampai akhirnya, aku bisa membuka mata yang rasanya begitu lengket, meski perlahan-lahan. Gumpalan cahaya yang semakin menyeruak, akhirnya membuatku berhasil membuka seluruh netraku.Hamparan langit tanpa awan terbentang tanpa batas, menjadi pemandangan pertama saat netra ini berhasil terbuka.Aku terdiam sejenak. Mencoba memahami, di mana saat ini aku berada.Aku tidak mengenalinya.Kuarahkan kepala menoleh ke samping kanan. Sejauh mata memandang, hanya hamparan rerumputan yang hijau sempurna membentang tanpa ujung.Aku benar-benar tidak mengenali tempat ini.Lantas kugerakan kepalaku menoleh ke samping kiri.Keningku mengernyit."Khanza?" gu
Namun, aku tidak dapat mengingatnya. Hanya satu hal yang kutahu.Aku tengah terbaring di kamarku saat masih remaja. Kamarku di rumah ibu. Entah kenapa aku ada di sini.Tenggorokanku rasanya kering dan tercekik. Tubuhku terasa begitu lemah untuk digerakkan.Aku memaksakan untuk menggerakan tanganku.Sangat pelan sampai akhirnya bisa digerakkan.Tidak ada siapa-siapa di sini."Yuda? Kamu sadar, Nak? Ya Allah, Nak. Bapak! Yuda bangun, Pak! Ke mari, Pak! Bapak! Ya Allah Alhamdulillah, hu hu hu. Kamu sudah sadar, Nak. Ya Allah … Ya Allah. Terima kasih, hu hu hu …."Suara Ibu terdengar begitu riuh. Bahkan berteriak-teriak memanggil Bapak.Ibu menghambur mendekapku dengan isakan tangisnya."Masya Allah, Alhamdulillah. Nak, kamu sudah sadar? Ya Allah, Bu … anak kita sadar Bu."Kini suara Bapak yang kudengar. Bergetar seperti menahan tangis yang ingin pecah.Mereka memelukku yang masih terbaring.Kedua orang tuaku seakan diliputi haru dan bahagia yang bersamaan.Sampai akhirnya, Ibu melepaskan
🌻POV Yuda"Aku tidak pernah menceraikan Hilma, Bu! Tidak pernah!" ucapku menggebu.Penjelasan Ibu sangatlah mencengangkan. Aku mengira Hilma tidak ada di sini, karena dia ada di rumahku, atau mungkin di rumah Ibunya bersama dengan Arsa untuk bermain saja di sana.Tapi ternyata?Akh.Aku tidak bisa mempercayainya. Aku berharap Ibu tidak bersungguh-sungguh dengan penjelasannya tadi itu. Tapi, tidak mungkin juga Ibu berbohong dan mengada-ada dalam hal seserius ini."Memang tidak, Nak. Tapi pengadilan telah memutuskan dan mengabulkan gugatan yang Hilma daftarkan. Kamu tidak sadarkan diri berbulan-bulan, Nak. Kami kasihan pada Hilma, yang tentu saja membutuhkan sosok seorang suami. Selama kamu sakit, dia begitu tulus, mengabdikan diri untuk turut serta bersama Ibu, bergantian merawat kamu. Sehingga kami merelakan Hilma untuk melakukan gugatan perceraian terhadap kamu, Yud," papar Ibu kembali.Aku menggeleng cepat. Kuraup wajahku kasar dengan kedua tangan. Kutatap tak percaya kedua orang t
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y