Namun, aku tidak dapat mengingatnya. Hanya satu hal yang kutahu.Aku tengah terbaring di kamarku saat masih remaja. Kamarku di rumah ibu. Entah kenapa aku ada di sini.Tenggorokanku rasanya kering dan tercekik. Tubuhku terasa begitu lemah untuk digerakkan.Aku memaksakan untuk menggerakan tanganku.Sangat pelan sampai akhirnya bisa digerakkan.Tidak ada siapa-siapa di sini."Yuda? Kamu sadar, Nak? Ya Allah, Nak. Bapak! Yuda bangun, Pak! Ke mari, Pak! Bapak! Ya Allah Alhamdulillah, hu hu hu. Kamu sudah sadar, Nak. Ya Allah … Ya Allah. Terima kasih, hu hu hu …."Suara Ibu terdengar begitu riuh. Bahkan berteriak-teriak memanggil Bapak.Ibu menghambur mendekapku dengan isakan tangisnya."Masya Allah, Alhamdulillah. Nak, kamu sudah sadar? Ya Allah, Bu … anak kita sadar Bu."Kini suara Bapak yang kudengar. Bergetar seperti menahan tangis yang ingin pecah.Mereka memelukku yang masih terbaring.Kedua orang tuaku seakan diliputi haru dan bahagia yang bersamaan.Sampai akhirnya, Ibu melepaskan
🌻POV Yuda"Aku tidak pernah menceraikan Hilma, Bu! Tidak pernah!" ucapku menggebu.Penjelasan Ibu sangatlah mencengangkan. Aku mengira Hilma tidak ada di sini, karena dia ada di rumahku, atau mungkin di rumah Ibunya bersama dengan Arsa untuk bermain saja di sana.Tapi ternyata?Akh.Aku tidak bisa mempercayainya. Aku berharap Ibu tidak bersungguh-sungguh dengan penjelasannya tadi itu. Tapi, tidak mungkin juga Ibu berbohong dan mengada-ada dalam hal seserius ini."Memang tidak, Nak. Tapi pengadilan telah memutuskan dan mengabulkan gugatan yang Hilma daftarkan. Kamu tidak sadarkan diri berbulan-bulan, Nak. Kami kasihan pada Hilma, yang tentu saja membutuhkan sosok seorang suami. Selama kamu sakit, dia begitu tulus, mengabdikan diri untuk turut serta bersama Ibu, bergantian merawat kamu. Sehingga kami merelakan Hilma untuk melakukan gugatan perceraian terhadap kamu, Yud," papar Ibu kembali.Aku menggeleng cepat. Kuraup wajahku kasar dengan kedua tangan. Kutatap tak percaya kedua orang t
*Adzan Subuh berkumandang di masjid besar di komplek perumahan ibu.Karena tak dapat tidur dengan baik, aku memutuskan mandi. Setelah mandi, tubuhku merasa benar-benar segar dan mulai bertenaga lagi.Selesai mandi, aku menunaikan shalat Subuh di mushola rumah Ibu. Berjamaah dengan Bapakserta Ibu, sementara Arka masih tidur.Setelah selesai, aku pun bersalaman dengan kedua orang tuaku. Hal yang baru aku lakukan lagi setelah sekian lamanya.Bapak dan Ibu memelukku bergantian. Segala doa dan harapan terbaik, mereka ucapkan. Mereka seakan tidak ingat, dengan luapan kekesalanku semalam. Karena, begitu besarnya mereka mengasihi putranya ini.Di mata mereka aku tetaplah anak-anak.Tak ingin membuang waktu. Aku meninggalkan mushola. Masuk ke kamar dan bersiap. Lalu menagih janji mereka semalam untuk pergi ke rumah Hilma.Ibu menyuarakan protes, sebab masih terlalu pagi. Pun karena Arka yang masih tidur.Akhirnya, aku pergi berdua diantar Bapak. Sementara Ibu, menunggui Arka. Tidak sampai hat
🌻POV Yuda."T—taaruf, Pak? Azmi—mau menikahi Hilma?" tergagap aku bertanya.Pak Wisnu mengangguk cepat."Iya, Nak Yuda. Hilma sedang menjalani ta'aruf dengan Nak Azmi, teman lamanya saat masih mondok. Azmi merupakan lulusan dari Kairo. Bulan depan, mereka akan menikah. Rencananya, setelah menikah, Nak Azmi akan memboyong Hilma kembali ke pondok. Menempati rumah yang sudah disiapkan di sana, supaya Hilma bisa tetap mengajar di sana," ungkap Pak Wisnu berhasil melemaskan engsel engsel persendianku.Aku menelan Saliva dengan susah payah. Benar firasatku. Jika seorang Azmi, pasti akan mencuri start dariku.Ah, menyebalkan."Owh, begitu ya, Pak Wisnu? Mohon maaf sekali, kami tidak tahu," timpal Bapak merasa tidak enak.Nampak Pak Wisnu menggangguk pada Bapak.Huh.Tanganku mengepal. Aku kehabisan napas mendengarnya. Aku tak bisa lagi bersuara. Masih sulit mengendalikan diri. Rasa tak percaya juga kecewa berlipat-lipat menggulung di hati.Secepat itukah Hilma menerima pinangan Azmi?Sebesa
Hilma itu jodohku. Azmi lebih baik balik ke Kairo sajalah, menikah dengan unta sana jangan dengan Hilma.Kusentak napas kasar.Gegas aku turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah orang tuaku.Di dalam rumah, Bapak sedang berbicara dengan Ibu. Bisa kudengar, Bapak tengah menceritakan apa yang sebenarnya di rumah Bu Devi tadi.Entah apa reaksi Ibu, karena aku memilih masuk ke kamarku.Kuhempaskan tubuh di atas springbed. Meraup wajah dengan kedua tangan.Dua Minggu lagi, Hilma baru pulang.Ingin menyusulnya, tapi Ibu dan Bapak pasti akan menentang. Pergi diam-diam, pasti akan tetap ketahuan.Entah apa yang harus kulakukan lagi.******Satu Minggu berlalu.Aku baru kembali bekerja di kantor. Aku juga sudah kembali ke rumahku. Tinggal berdua dengan Arka dan mengurusnya sendiri. Kemudian, kutitipkan kembali pada Ibu ketika aku harus bekerja.Sementara Arsa, masih tinggal bersama Bu Devi dan Pak Wisnu. Tanpa ada tanda-tanda akan segera pulang ke rumahku.Satu Minggu berlalu, tidak sa
Naik Ranjang🌻POV Yuda.Hari-hari berjalan terasa melambat. Hingga waktu yang kutunggu akhirnya tiba. Yakni, kepulangan Hilma ke rumah orangtuanya. Karena sekarang sudah masuk dua Minggu, sejak kedatanganku ke rumah Pak Wisnu hari itu.Entah Hilma pulang jam berapa, tetapi aku sudah bersiap berangkat siang hari ini.Arka dibawa menginap oleh Ibu. Sehingga tidak ada siapa-siapa di rumahku. Bahkan aku tidak memberitahu Ibu dan Bapak, bahwa aku akan kembali ke rumah orang tua Hilma. Karena bukan tidak mungkin, Bapak dan Ibu akan mencegahku pergi.Gegas aku mengeluarkan motor dari dalam garasi. Menghangatkannya sebentar lantas membawanya meninggalkan rumahku.Saat ini aku belum memiliki mobil kembali pasca kecelakaan yang kualami. Hingga aku mulai membiasakan diri sering-sering mengendarai motor.Sekitar lima belas menit berkendara. Motor yang ku kendarai sudah memasuki komplek perumahan tempat tinggal orangtua HilmaKulajukan motor sedikit lebih kencang. Hingga tinggal beberapa meter la
Naik Ranjang🌻POV Yuda.Aku berjalan mendekat pada Hilma tanpa menjawab pertanyaannya. Kuraih kedua pundaknya Cepat dan menahan Hilma di sudut kamar ini."Apa-apaan kamu?! Keluar! Sebelum aku teriak!" ancamnya dengan wajah panik.Aku tersenyum miring. "Ayok teriak. Biar Ibu dan Bapak kamu denger. Memergoki kita di sini, lalu, kita akan dinikahkan lagi."Hilma menggeleng cepat. "Gila kamu ya!" desisnya dengan netra melotot.Aku tersenyum miring. Kuulurkan kedua tanganku di sisi pundaknya hingga membuat Hilma terkurung. "Iya aku gila. Sekarang aku sudah gila, karena kamu mengakhiri pernikahan kita disaat aku sedang koma dan aku tidak menerima perpisahan ini."Aku menatapnya tajam. Dahi Hilma nampak berkerut dengan netra memicing menatapku."Aku juga gila, karena kamu menghindariku tadi siang. Kenapa? Kenapa kamu menghindar dariku? Aku hanya ingin bertemu dengan kamu. Aku ingin bertanya, kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu menggugat ceraiku? Kamu tidak kasihan dengan si kembar yang h
Naik Ranjang🌻POv Azmi."Mi, tinggal hitungan Minggu lagi pernikahan kamu sama Hilma berlangsung. Tapi design kartu undangannya belum ada yang kamu pilih. Sebentar lagi lho ini. Kamu sebenarnya bener-bener mau nikah enggak sama Hilma?"Ambu mencecarku. Bukan hanya kali ini saja. Tetapi sudah dari kemarin-kemarin. Karena aku yang tidak kunjung menentukan design untuk kartu undangan. Sementara pernikahanku dan Hilma tinggal hitungan Minggu lagi saja."Nanti saja, Ambu. Aku belum bisa memilih. Ada yang belum aku sampaikan pada Hilma," jawabku santai.Terdengar Ambu menghela napasnya berat. "Mi, ingat umur. Enggak perlulah kamu kukuh dengan keinginan kamu itu. Ambu gak mau sampai Hilma menolaknya dan kamu justru tidak jadi menikah sama dia. Ambu yakin, dia mencintai kamu dengan tulus. Seharusnya, kamu juga membalasnya dengan tulus," timpal Ambu dengan mukena masih terpasang, duduk di sofa ruangan keluarga."Ya, justru karena Hilma mencintaiku, Ambu. Hilma harusnya bisa mengerti apa yang
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y