TOK TOK TOK!Kembali pintu diketuk. Kali ini, sedikit lebih nyaring. Kuhela napas kasar kemudian bergegas cepat turun dari tempat tidur. Melangkah menuju pintu lalu akhirnya keluar dari kamar.Tok Tok Tok!Pintu kembali diketuk tak sabar."Iyaaa!" Aku berteriak setelah menutup pintu kamar. Mengucek kedua mata dan mengusap wajahku seraya berjalan menjauh dari depan pintu kamar. Terus melangkah hingga akhirnya berdiri di depan pintu utama.Cklek!Kuputar anak kunci dan meraih knop pintu. Menariknya hingga pintu pun terbuka.Mataku membeliak sempurna. Seperti hendak melompat keluar meninggalkan kelopaknya."M-mm-mm ...." Aku bahkan tak mampu mengatakan apa yang kulihat. Bibirku bergetar begitu juga kedua kaki ini.Mataku pun kaku hanya untuk sekedar berkedip. Seseorang di hadapanku, memandangku sayu dengan bibir pucatnya.Aku ingin berlalu pergi secepat kilat dar
"M-mai? Kamu yakin? Tapi bagaimana dengan Ibu? I-ibu pasti akan sangat bersedih jika ia tahu keputusan kamu. Apalagi kemarin itu, kamu ...," ucapku menggantung."Aku? Aku kemarin kenapa, Mas?" Maira bertanya dengan wajah kebingungan.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Jika Mai masih hidup malam ini dan dia kembali ke rumah ini sekarang, lalu siapa yang kemarin aku dan keluargaku tangisi? Siapa yang sudah aku beserta Ibu dan ayah ratapi?"Mas? Mas Arsa? Kamu kenapa diam saja, Mas?""A—ah iya, Mai, ke—kenapa?"Aku tergeragap ketika Mai mengibaskan tangannya di depan wajahku. Membuatku tersadar dari lamunan serta pikiran yang tengah menerawang kejadian kemarin.Terdengar Maira menarik napas panjang. "Soal Ibu Hilma, biar aku yang akan bicara dengannya. Pelan-pelan dan aku harap, Ibu Hilma mau mengerti dan menerima keputusanku. Apa aku boleh masuk Mas? Aku hanya perlu mengambil berkas dan mengambil kalung milikku yang sepertinya tertinggal di lemari.
"Apa, Mas? Memulainya dari awal? Mencoba membuka hati dan menerima pernikahan ini? Apa telingaku sudah bermasalah mendengar kamu berkata seperti barusan?" Mai menatapku penuh selidik."Kamu tidak salah dengar, Mai. Aku memang berkata seperti itu. Apa salahnya kita mencobanya, Mai? Tolong, kamu tarik keputusanmu. Tinggalah kembali di sini, bersamaku, tetap menjadi bagian keluargaku. Tetap menjadi menantu pilihan dan kesayangan ibu. Tolong, Mai ...," ucapku dengan suara melemah di akhir.Cukup lama aku dan Mai hanya saling bersitatap tanpa suara. Aku menunggu jawaban Mai, dan kuharap dia mau mengubah keputusannya itu. Pembatalan pernikahan ini memang sangat mungkin akan mudah dikabulkan, mengingat aku dan Mai belum pernah melakukan hubungan suami istri selama menikah. Tapi aku tak bisa membayangkan lagi, andai Ibu serta Bapak tahu jika Mai masih hidup namun aku tidak bisa mempertahankannya bersamaku. Mereka pasti tidak akan menerima apa pun alasanku.Mai menarik tangannya cepat hingga t
Mai menjauhkan badannya dariku dengan netra membulat mengarah padaku. Sedangkan aku, tersenyum penuh seringai. Entah apa yang baru saja kulakukan, tetapi instingku yang seolah menuntut agar aku menyentuh Mai. Insting lelaki yang berdekatan dengan lawan jenisnya, apalagi kami merupakan pasangan yang halal dan sah.Perempuan berstatus istriku ini masih menatapku tak percaya. Bibirnya nampak melongo dan tangannya menyentuh pipi yang tadi kukecup."Mas? Apa yang kamu lakukan?" tanya Maira dengan suara pelan."Apa? Apa tidak boleh, aku mengecup perempuan yang sudah sah aku nikahi?" tanyaku balik.Maira nampak memandang ke bawah diikuti gelengan kepala. Sebelum kemudian dia kembali mengangkat wajahnya dan menatapku. "Mas, tolong kembalikan kalungnya, Mas. Setelah itu, aku akan segera pergi dari rumah kamu," ucapnya memelas.Tentu saja aku menggeleng cepat. "Aku enggak akan memberikan kalung ini. Karena aku yakin, kamu gak akan pergi tanpa kalung ini. Iya 'kan? Jadi lebih baik aku tahan kalu
"Tunggu sebentar di sini!"Aku tidak menyia-nyiakan waktu yang Mai berikan. Buru-buru aku keluar dari dalam kamar Maira menuju kamarku. Mengambil ponselku lalu menghubungi Hafsa lewat panggilan seluler. Tanpa memikirkan jika ini sudah tengah malam untuk menghubunginya.Namun ternyata, ada panggilan tak terjawab dari Hafsa yang berdering sebanyak lima kali. Aku cepat-cepat menghubunginya balik.Menunggu Hafsa menerima panggilan dariku. Aku kembali menuju kamar Maira dengan ponsel di tangan. Tombol loud speaker sudah lebih dulu ku aktifkan. Mai di hadapanku, menatapku penuh tanya dan selidik."Hallo, assalamualaikum, Bang." Akhirnya Hafsa menerima panggilan dariku."Ya hallo, Dek. Kamu belum tidur? Ada apa kamu nelpon abang?" tanyaku cepat."Ibu masuk rumah sakit, Bang. Tiba-tiba aja Ibu pingsan di kamar mandi tadi. Ini aku sama ayah lagi di rumah sakit," ucapnya terdengar panik."P-pingsan? Memangnya Ibu kenapa sampai pingsan? tanyaku tak kalah panik."Ibu gak mau makan, Bang. Susah ba
"Kamu bahkan melihat sendiri bagaimana jasad itu dikuburkan. Jangan main-main kamu ini!" hardik Ayah dengan keras.Aku menggeleng cepat. "Aku tidak main-main, Yah. Aku ... bicara serius. Maira ternyata masih hidup," ucapku pelan karena tidak ingin menggangu keadaan di dalam ruangan ini.Ayah mendecih. "Ayah dan Ibu, serta kedua adik perempuan kamu, memang begitu kehilangan Maira, Sa. Tapi kami tidak sampai gila seperti kamu. Mengira orang yang jelas-jelas sudah dikuburkan masih hidup. Bagaimana kamu ini?!" cecarnya tidak mempercayaiku."Tapi Yah—""Sudah cukup. Jangan mengada-ada kamu! Kamu gak lihat, keadaan ibu sampai seperti ini? Sekarang kamu mau kasih tahu dia, kalau menantunya itu masih hidup? Begitu? Jangan gila kamu, Sa!" Ayah benar-benar tidak mempercayaiku."Yah tolonglah dengar du—""Tidak, Sa. Kamu kelewatan. Bahkan kamu sendiri yang memastikan jasad itu di rumah sakit, dan membawanya ke rumah.""Iya, Yah. Ta
Jam enam pagi, aku menunaikan janjiku.Kubawa Maira ke pemakaman umum, di mana jasad yang aku dan seluruh keluargaku mengira itu dirinya dikuburkan. Memarkirkan roda empatku lalu melewati gapura TPU. Berjalan di depan Maira menyusuri beberapa blok makam lain. Hingga tibalah di sebuah pusara yang masih baru. Bunga tabur bahkan masih memenuhi seluruh badan makam. Patok nisan yang masih berupa papan, mengukir dengan jelas nama serta tanggal lahir Maira, pun hari naasnya.Aku berdiri tegap di samping makam, dan Maira ada di sebelahku. Ia menoleh padaku dan menatap penuh tanya."Inilah yang membuat Ibu Hilma sakit dan sekarang harus dirawat di rumah sakit," ucapku membuka pembicaraan.Maira nampak menggelengkan kepalanya. "S—siapa yang kalian kuburkan? N—ni—san itu tertulis namaku? Kenapa bisa?" tanyanya tergagap.Aku mengangguk lemah. Kuhela napas kasar seraya membuat tubuh ini berjongkok."Biar kuceritakan, kemari lah," pintaku pada
********Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Menunggu persetujuan Maira akan permintaanku.Perempuan berwajah teduh di hadapanku ini, terlihat memejamkan matanya. Mengambil napas dalam-dalam sebelum kemudian menghembusnya kasar. Matanya lalu terbuka. Pandanganku dengannya pun bersirobok."Baiklah, Mas. Aku akan memenuhi apa yang kamu mau. Hanya tiga puluh hari saja. Jika semua masih sama setelah tiga puluh hari ke depan. Aku tidak memiliki rasa apa-apa terhadapmu, begitu juga dengan perasaanmu yang tidak berubah padaku. Kita bisa mengakhiri hubungan ini. Begitu 'kan?"Aku mengangguk kaku. "I—iya, iya. Seperti itu. Tapi jika setelah tiga puluh hari nanti perasaan kita sama-sama berubah. Aku tidak akan pernah mengakhiri hubungan ini. Kamu setuju 'kan?" Aku perlu memastikan.Maira mengangguk dengan sepasang netranya yang memejam. Hembusan napas beratnya pun turut terdengar. "Iya. Tapi jika semua tetap sama, tidak ada lagi alasan agar pern
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y