"Nak, kamu di sini?" Ibu Hilma nampak beranjak dari sisi Ayah dan melihat ke arahku. Sementara Ayah, hanya memalingkan wajahnya hingga dapat melihatku saat ini."Ada apa, Nak? Apa yang kamu jatuhkan ke lantai?" Ibu Hilma sudah berada di dekatku dan memunguti kresek yang terlepas dari tangan."B-bu ... i-itu ... berita kecelakaan?" ucapku tersendat."Iya, Nak. Kasihan sekali, korbannya perempuan sama anak bayi," sahut Ibu Hilma diikuti gelengan kepala tak percaya."I-itu ... perempuan itu ... korban kecelakaan itu, M-Maira, Bu!" ucapku tersendat.Tubuhku gemetar. Ayah yang sedari tadi masih duduk pun nampak berdiri setelah mendengar ucapanku."Apa? Kamu bilang apa?" Ayah nyaris berteriak. Kini dia sudah ada di hadapanku. Pun dengan Ibu Hilma."Iya, kamu bilang apa, Nak? Mana mungkin itu Maira?" bantah Ibu Hilma tak percaya.Aku mengangguk lemas. "Baju tadi, Bu, Yah. Baju di balik koran penutupnya. Sama persis dengan kain baju yang dipakai Maira tadi pagi," jelasku gemetaran."Jangan m
_"Saya terima nikah dan kawinnya Humaira Thahani Althafunnisa dengan mas kawin emas seberat lima gram dan seperangkat alat shalat dibayar tunai!"_Ijab qobul di hadapan penghulu saat aku menjabat wali hakim yang menikahkan ku dengan Maira, terngiang jelas memenuhi telinga dan pikiranku.Ijab qobul tiga bulan yang lalu terjadi, seolah menari-nari dalam ingatan. Bagaimana aku menikahi istri dari mendiang abangku sendiri saat itu.Tanpa cinta, tanpa rasa dan tanpa keinginan. Semua terjadi karena permintaan dan desakan Ayah juga Ibu Hilma.Aku terpekur di dalam mobil. Keluar dari rumah Ayah, aku segera memasuki mobilku dan berdiam di balik kemudi.Memikirkan segala sikap dan perlakuan burukku selama ini terhadap Maira. Namun tidak pernah dia membalasnya. Dia seolah menerima semua tindakan kasarku terhadapnya. Sampai akhirnya hari ini, aku justru harus mendengar kabar mengejutkan darinya.Kusandarkan kepala pada badan kursi. Menengadah sembari mendesah pelan. Kututup wajah dengan kedua tan
"Selain kalung, rekan saya juga menitipkan sapu tangan ini," sambung petugas di depanku. Mengulurkan kain persegi kecil dengan motif anak bebek.Dadaku sesak dengan tangan menggenggam kalung yang petugas ruang jenazah tersebut berikan. Begitu juga dengan kain sapu tangan. Sapu tangan yang sering kulihat di jemuran belakang rumah. Sapu tangan yang sering digunakan Maira pada Keanu.Tubuhku lunglai hingga merosot. Aku tergugu tak dapat menahan air mataku.Kalung ini, seperti yang Ibu Hilma jelaskan. Korban itu benar-benar Maira dan bayinya. Aku menangis sendirian. Hatiku sakit dengan rasa bersalah yang kian mendera. Karena secara tidak langsung, akulah yang telah menyebabkan Maira pergi dari rumah dan sampai mengalami kecelakaan itu."Apa jasad di dalam itu anggota keluarga Bapak?" tanya petugas yang kini berjongkok di sebelahku.Aku mengangguk. "Dia ... istri saya," jawabku diiringi isak tangis.Pundakku ditepuk berulangkali olehnya. "Innalilahi wa innailaihi roojiuun ... yang tabah ya
Aku tak bisa membantah. Menyanggah atau mengelak dari semua ucapan Ayah yang menyalahkanku. Karena apa yang Ayah ucapan memang semuanya benar. Memang akulah penyebab dari semua ini. Akulah yang sudah menyebabkan Mai pergi dari rumah dan akhirnya mengalami musibah ini. Akulah yang telah menyebabkan keponakanku sendiri pergi. Dan Bang Arka, pasti sangatlah kecewa.Aku masih hanya menunduk. Tak mampu menatap Ayah yang begitu kecewa terhadapku. Kedua tanganku sibuk menyeka pipiku yang selalu basah oleh air mata."Apa yang kamu tangisi?" tanya Ayah begitu dingin.Kepalaku terangkat pelan. Memberanikan diri untuk menatap Ayah, sampai kudapati tatapan sengit menusuk yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya. Di mana tatapan Ayah yang selalu hangat dan penuh kasih terhadapku."Apa yang kamu tangisi sekarang? Maira? Keanu? Atau apa? Ayah tahu, kamu belum bisa menerima pernikahan bersama Mai. Kamu beli mencintai dia. Lalu apa yang kamu tangisi? Mai tidak ada di hati kamu. Bagaimana bisa kamu ikut
Ayah lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Cukup lama hingga aku hanya bisa termenung memandangi gundukan tanah di depanku.Terdengar hembusan napas berat dari Ayah. Sampai kemudian Ayah mengajakku untuk pulang. Bersama Ayah, aku pun menjauh dari pusara dan berjalan menyusuri blok demi blok hingga keluar dari area pemakaman.Komplek pemakaman berada di blok paling belakang perumahan tempat tinggal Ayah. Sekitar sepuluh menit berjalan kaki, aku dan Ayah pun akhirnya tiba di depan rumah.Melewati pagar, Ayah melangkah lebar masuk ke dalam rumah meninggalkanku di belakangnya. Membuatku tertinggal agak jauh dari Ayah. Punggung tegap Ayah telah masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan aku baru saja menghempas bobotku di sofa ruang tamu.Hafsa dan juga Halwa keluar dari dalam kamar Ayah. Mereka mendekat dan duduk di sebelahku."Bang, kasihan Ibu," ucap Halwa seketika."Iya, Bang. Ibu gak mau makan. Gak ada yang masuk ke perutnya dari semalam," sambung Hafsa.Aku menatap pada kedua ad
Aku menggeleng cepat dan membuka mata segera. Mengenyahkan bayangan dari wajah serta senyum Maira yang memenuhi pikiran ini. Kutarik napas panjang hingga perlahan bayangan itu memang sirna.Tanganku kemudian merogoh saku celana. Aku bahkan belum pulang ke rumahku sejak kemarin malam. Celana pun masih belum berganti dan baju Koko yang terpasang di tubuhku saat ini adalah milik Ayah.Aku menatap memperhatikan lekat kalung yang menjuntai dan berayun di tangan ini. Terutama pada bagian bandulnya yang berupa inisial huruf H. Hingga keningku bertaut setelah menyadari, ada percikan darah yang telah mengering di bandulnya ini."Entah bagaimana kecelakaan itu terjadi, apa begitu hebatnya? Hingga bercak darah bisa sampai mengenai bandul ini?" gumamku lirih dengan jari meremas liontin dari kalungnya. Membayangkan kecelakaan yang begitu ngeri menimpa Maira. Terbayang bagaimana sebuah mobil besar menghantam tubuhnya sekaligus.Ah. Aku ngilu hanya membayangkannya saja."Mai, semua keluargaku menyal
TOK TOK TOK!Kembali pintu diketuk. Kali ini, sedikit lebih nyaring. Kuhela napas kasar kemudian bergegas cepat turun dari tempat tidur. Melangkah menuju pintu lalu akhirnya keluar dari kamar.Tok Tok Tok!Pintu kembali diketuk tak sabar."Iyaaa!" Aku berteriak setelah menutup pintu kamar. Mengucek kedua mata dan mengusap wajahku seraya berjalan menjauh dari depan pintu kamar. Terus melangkah hingga akhirnya berdiri di depan pintu utama.Cklek!Kuputar anak kunci dan meraih knop pintu. Menariknya hingga pintu pun terbuka.Mataku membeliak sempurna. Seperti hendak melompat keluar meninggalkan kelopaknya."M-mm-mm ...." Aku bahkan tak mampu mengatakan apa yang kulihat. Bibirku bergetar begitu juga kedua kaki ini.Mataku pun kaku hanya untuk sekedar berkedip. Seseorang di hadapanku, memandangku sayu dengan bibir pucatnya.Aku ingin berlalu pergi secepat kilat dar
"M-mai? Kamu yakin? Tapi bagaimana dengan Ibu? I-ibu pasti akan sangat bersedih jika ia tahu keputusan kamu. Apalagi kemarin itu, kamu ...," ucapku menggantung."Aku? Aku kemarin kenapa, Mas?" Maira bertanya dengan wajah kebingungan.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Jika Mai masih hidup malam ini dan dia kembali ke rumah ini sekarang, lalu siapa yang kemarin aku dan keluargaku tangisi? Siapa yang sudah aku beserta Ibu dan ayah ratapi?"Mas? Mas Arsa? Kamu kenapa diam saja, Mas?""A—ah iya, Mai, ke—kenapa?"Aku tergeragap ketika Mai mengibaskan tangannya di depan wajahku. Membuatku tersadar dari lamunan serta pikiran yang tengah menerawang kejadian kemarin.Terdengar Maira menarik napas panjang. "Soal Ibu Hilma, biar aku yang akan bicara dengannya. Pelan-pelan dan aku harap, Ibu Hilma mau mengerti dan menerima keputusanku. Apa aku boleh masuk Mas? Aku hanya perlu mengambil berkas dan mengambil kalung milikku yang sepertinya tertinggal di lemari.