POV Yuda🌻🌻🌻🌻🌻Waktu terasa begitu cepat berlalu. Hari demi hari terlewati berganti minggu lalu bulan. Hingga saat ini, usia kehamilan Hilma sudah memasuki sembilan bulan. Perutnya sudah semakin membuncit. Bahkan, dia jadi mudah lelah dan kepayahan saat beraktivitas karena kehamilannya yang semakin besar. Persalinannya pun semakin dekat. Berdasarkan pemeriksaan terakhir, semuanya tetap baik dan normal. Posisi bayi pun sudah sangat bagus untuk lahir nanti.Toko yang aku kelola, semakin hari semakin berkembang. Pelanggan semakin berdatangan. Sudah satu bulan terakhir, aku memperkerjakan orang untuk mengantar barang-barang pesanan pelanggan. Karena aku kewalahan jika mengerjakannya sendirian. Selain mengantar barang, karyawanku itu pun juga membuka toko lebih awal, lalu menutupnya lebih malam. Sehingga pemasukan bisa semakin meningkat. Aku juga menambah item jualanku berupa sayur mayur dan lauk pauk yang kubeli di pasar Induk. Maka setiap pagi, toko ku selalu ramai oleh para ibu-ibu
Setibanya di rumah sakit yang hanya sepuluh menit. Hilma langsung dibawa ke ruangan bersalin. Hilma memintaku menemaninya.Seorang dokter perempuan telah siap membantu persalinan hari ini. Dokter yang selama ini juga menangani Hilma saat hamil. Karena saat pemeriksaan di klinik, dokter di sana menyarankan kami untuk check up di rumah sakit besar. Guna mengantisipasi hal lain karena Hilma mengandung bayi kembar.Satu dokter dan satu perawat berada di ruangan ini. Aku pun berjongkok di sisi ranjang di mana Hilma terbaring.Hilma menggenggam tanganku kuat-kuat, saat mengikuti berbagai instruksi dari dokter.Hilma mulai mengejan. Dia menarik tangannya dari tanganku. Beralih meremas rambut di kepalaku.Rambutku dijambak begitu keras setiap Hilma mengejan. Rasanya kepalaku hendak tertarik saking kuatnya jambakan yang Hilma lakukan.Tangisan bayi mulai terdengar. Hilma pun berhenti menjambakku. Napasnya sedikit terengah sampai kemudian teratur kembali. Keringat telah membanjiri seluruh wajahn
25 TAHUN KEMUDIAN🍒🍒🍒"Oee ... oee ... oee"Aku menoleh ke arah kamar di belakangku saat suara tangisan terdengar begitu kencang memekakkan gendang telinga. Tangis yang tak kunjung berhenti, teramat menggangguku yang sedang menonton televisi di pagi hari."OEEE ... OEEE ... OEEE!" Tangis itu kembali terdengar. Aku mengepalkan tangan di atas meja di depanku."OEE OEE OEEE!" Bukannya mengecil, tangis bayi itu justru semakin keras saja. Membuatku muak sekali. Rumahku yang tadinya tenang dan damai, tidak kurasakan lagi sejak tiga bulan terakhir. Sejak bayi itu lahir dan ibunya tinggal di rumahku."OEEE ...."Kuteguk kopi latte dalam cangkir hingga tandas lalu beranjak cepat dari sofa dan masuk ke dalam kamar. Di mana bayi itu memang masih terus menangis di atas tempat tidur."Berisik, berisik! Diem!" hardikku setelah berada di ujung tempat tidur.Namun, tangisnya tetap saja tak mau berhenti. Bayi berusia tiga bulan lebih itu tak kunjung diam.Cklekk!Pintu kamar mandi dalam kamar ini
Jam delapan pagi, aku baru selesai mandi untuk bersiap ke rumah sakit. Aku merupakan seorang dokter umum yang bertugas di rumah sakit swasta ternama. Sudah sekitar empat tahun aku mengabdikan diri pada pelayanan kesehatan tersebut.Selesai mengeringkan tubuh ini dengan handuk. Aku mulai mencari kemejaku di dalam lemari. Namun, hanya tersisa beberapa potong celana dan kaos saja ternyata. Sepertinya aku memang belum membereskan kemeja milikku di ruangan laundry. Karena beberapa hari terakhir ini aku sibuk dan pulang agak malam. Di mana biasanya, aku sudah pulang sebelum jam tiga.Kupakai celana katun hitam lebih dulu. Membiarkan tubuh atasku bertelanjang dada dengan handuk kecil melingkar di leher.Keluar dari dalam kamar. Hidungku mengendus-endus bau yang tiba-tiba saja terhidu. Tak hentinya aku mengendus untuk memastikan bau apa yang sebenarnya tercium.Hingga aku menyadari dan mengenali baunya. Seperti aroma gosong. Namun entah dari mana.Aku pun melangkahkan kaki menjauh dari depan
"Halah! Aku gak butuh penjelasan kamu. Memang dasarnya saja, kamu itu perempuan pembawa sial!" teriakku lantang karena merasa muak."ARSA!"Aku menoleh cepat saat suara Ayah meneriakkan namaku. Benar saja, Ayah dan Ibu Hilma berjalan bersamaan menghampiriku di depan kamar Maira saat ini. Entah kapan mereka datang. Aku bahkan tidak mendengar ketukan pintu akan kedatangannya."Bagaimana bisa kamu mengatakan seperti itu pada istri kamu?!" Ayah bertanya dengan suara tingginya."Istighfar, Nak. Apa kesalahan Mai, sampai kamu berkata keterlaluan seperti itu?" Kali ini, Ibu Hilma yang bertanya. Dia mendekat pada Maira dan merangkul menantunya itu."Dia ini memang pembawa sial, Bu, Yah! Ibunya meninggal saat melahirkan dia, Papanya pun harus meninggal karena kecelakaan saat dia masih dalam kandungan. Bahkan ibu angkatnya pun juga meninggal. Lalu Bang Arka, abangku juga harus meninggal saat bertugas di perbatasan. Itu semua karena perempuan ini, Bu, Yah. Dia ini hanya pembawa sial. Pembawa sia
Tak tentu harus ke mana aku pergi. Akhirnya aku putuskan mendatangi makam Bang Arka. Setelah membeli lebih dulu air mawar dan bunga tabur. Gegas aku pun memasuki komplek pemakaman.Berjalan kaki cukup jauh dari gerbangnya, melewati tiga blok makam yang lain, akhirnya tibalah aku di pusara saudara kembarku."Assalamualaikum yaa ahlal kubur ...," ucapku sembari berjongkok di sisi pusaranya. Kubacakan doa untuknya, lantas kutuangkan air dalam botol membasahi kepala nisan serta badan makam. Kemudian, kutaburkan pula bunga dalam plastik di tanganku. Memenuhi permukaan makam yang seluruhnya ditumbuhi rumput Jepang.Kuusap kepala nisan yang berupa marmer hitam. Terurik nama Arkana Batra Prayuda di atasnya. Tanggal lahir yang sama denganku serta hari kepergiannya empat bulan yang lalu.Kuhembus napas berat. "Bang, kenapa Abang harus pergi secepat ini? Setelah Abang pergi, Ayah dan Ibu Hilma meminta aku menggantikan Abang. Orang tua kita menginginkan aku menjadi suami Maira, dan menjadi ayah
Terpaan cahaya menyeruak terasa begitu menyilaukan. Mau tak mau, netraku terbuka karena tak mampu menepis silau yang memancar dan menelusup rongga mataku. Kini, setelah sepasang netraku terbuka sempurna. Aku terdiam sejenak, memperhatikan tempatku berada.Aku menggerakkan kepala, memindai sekeliling tempatku saat ini. Aku terduduk pada bangku kayu di sebuah taman yang luas namun sangat sepi. Tidak ada siapa-siapa di sini, hanya ada aku sendiri. Sendirian bertemankan hembusan angin.Entah di mana ini, aku benar-benar asing dengan tempatnya. Ingin pergi, tetapi bobotku serasa ditahan. Aku kesulitan membawa tubuhku untuk beranjak dan pergi. Kedua kakiku terasa dipaku hingga membeku di tempat. Entah apa yang terjadi padaku.Hingga nampak seseorang tengah berjalan di depan sana. Nampak berjalan ke arah ke arahku dengan langkah tegap dan cepat. Dalam sekejap mata, sosok itu kini telah berdiri di hadapanku. Terkejut aku dibuatnya."Bang Arka?" ucapku tetapi hanya mampu berucap dalam hati. B
Menyalakan mesin mobil, gegas aku pun pergi. Menjauh dari parkiran komplek pemakaman dan kini mobilku melaju di jalanan besar.Aku tak mengerti. Bisa-bisanya bermimpi di siang bolong begini. Bang Arka menemuiku dalam mimpi hanya untuk menyampaikan pesan agar aku me jaga Maira dan bayinya. Apa sepenting itu Maira bagi Bang Arka?Aku menggelengkan kepala disertai hembusan napas berat. Tanganku masih sibuk mengendalikan stir kemudi. Hingga selang hitungan menit, aku pun tiba di rumahku.Sudah tidak nampak mobil milik Ayah. Sepertinya Ayah dan Ibu Hilma sudah pulang dari rumahku. Kuparkian mobil di halaman rumah yang belum terpasang pagar. Lalu turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam rumah. Aku berjalan memasuki rumah. Sesuatu aneh begitu saja terasa. Ketika di dalam rumah, aku hanya mendengar derap langkahku sendiri.Rumahku sepi.Tidak kudengar celoteh Keanu yang biasanya memenuhi rumahku. Kulirik arloji yang menunjukkan pukul dua siang. Sepertinya, Keanu ada di dalam kamarnya ber