25 TAHUN KEMUDIAN🍒🍒🍒"Oee ... oee ... oee"Aku menoleh ke arah kamar di belakangku saat suara tangisan terdengar begitu kencang memekakkan gendang telinga. Tangis yang tak kunjung berhenti, teramat menggangguku yang sedang menonton televisi di pagi hari."OEEE ... OEEE ... OEEE!" Tangis itu kembali terdengar. Aku mengepalkan tangan di atas meja di depanku."OEE OEE OEEE!" Bukannya mengecil, tangis bayi itu justru semakin keras saja. Membuatku muak sekali. Rumahku yang tadinya tenang dan damai, tidak kurasakan lagi sejak tiga bulan terakhir. Sejak bayi itu lahir dan ibunya tinggal di rumahku."OEEE ...."Kuteguk kopi latte dalam cangkir hingga tandas lalu beranjak cepat dari sofa dan masuk ke dalam kamar. Di mana bayi itu memang masih terus menangis di atas tempat tidur."Berisik, berisik! Diem!" hardikku setelah berada di ujung tempat tidur.Namun, tangisnya tetap saja tak mau berhenti. Bayi berusia tiga bulan lebih itu tak kunjung diam.Cklekk!Pintu kamar mandi dalam kamar ini
Jam delapan pagi, aku baru selesai mandi untuk bersiap ke rumah sakit. Aku merupakan seorang dokter umum yang bertugas di rumah sakit swasta ternama. Sudah sekitar empat tahun aku mengabdikan diri pada pelayanan kesehatan tersebut.Selesai mengeringkan tubuh ini dengan handuk. Aku mulai mencari kemejaku di dalam lemari. Namun, hanya tersisa beberapa potong celana dan kaos saja ternyata. Sepertinya aku memang belum membereskan kemeja milikku di ruangan laundry. Karena beberapa hari terakhir ini aku sibuk dan pulang agak malam. Di mana biasanya, aku sudah pulang sebelum jam tiga.Kupakai celana katun hitam lebih dulu. Membiarkan tubuh atasku bertelanjang dada dengan handuk kecil melingkar di leher.Keluar dari dalam kamar. Hidungku mengendus-endus bau yang tiba-tiba saja terhidu. Tak hentinya aku mengendus untuk memastikan bau apa yang sebenarnya tercium.Hingga aku menyadari dan mengenali baunya. Seperti aroma gosong. Namun entah dari mana.Aku pun melangkahkan kaki menjauh dari depan
"Halah! Aku gak butuh penjelasan kamu. Memang dasarnya saja, kamu itu perempuan pembawa sial!" teriakku lantang karena merasa muak."ARSA!"Aku menoleh cepat saat suara Ayah meneriakkan namaku. Benar saja, Ayah dan Ibu Hilma berjalan bersamaan menghampiriku di depan kamar Maira saat ini. Entah kapan mereka datang. Aku bahkan tidak mendengar ketukan pintu akan kedatangannya."Bagaimana bisa kamu mengatakan seperti itu pada istri kamu?!" Ayah bertanya dengan suara tingginya."Istighfar, Nak. Apa kesalahan Mai, sampai kamu berkata keterlaluan seperti itu?" Kali ini, Ibu Hilma yang bertanya. Dia mendekat pada Maira dan merangkul menantunya itu."Dia ini memang pembawa sial, Bu, Yah! Ibunya meninggal saat melahirkan dia, Papanya pun harus meninggal karena kecelakaan saat dia masih dalam kandungan. Bahkan ibu angkatnya pun juga meninggal. Lalu Bang Arka, abangku juga harus meninggal saat bertugas di perbatasan. Itu semua karena perempuan ini, Bu, Yah. Dia ini hanya pembawa sial. Pembawa sia
Tak tentu harus ke mana aku pergi. Akhirnya aku putuskan mendatangi makam Bang Arka. Setelah membeli lebih dulu air mawar dan bunga tabur. Gegas aku pun memasuki komplek pemakaman.Berjalan kaki cukup jauh dari gerbangnya, melewati tiga blok makam yang lain, akhirnya tibalah aku di pusara saudara kembarku."Assalamualaikum yaa ahlal kubur ...," ucapku sembari berjongkok di sisi pusaranya. Kubacakan doa untuknya, lantas kutuangkan air dalam botol membasahi kepala nisan serta badan makam. Kemudian, kutaburkan pula bunga dalam plastik di tanganku. Memenuhi permukaan makam yang seluruhnya ditumbuhi rumput Jepang.Kuusap kepala nisan yang berupa marmer hitam. Terurik nama Arkana Batra Prayuda di atasnya. Tanggal lahir yang sama denganku serta hari kepergiannya empat bulan yang lalu.Kuhembus napas berat. "Bang, kenapa Abang harus pergi secepat ini? Setelah Abang pergi, Ayah dan Ibu Hilma meminta aku menggantikan Abang. Orang tua kita menginginkan aku menjadi suami Maira, dan menjadi ayah
Terpaan cahaya menyeruak terasa begitu menyilaukan. Mau tak mau, netraku terbuka karena tak mampu menepis silau yang memancar dan menelusup rongga mataku. Kini, setelah sepasang netraku terbuka sempurna. Aku terdiam sejenak, memperhatikan tempatku berada.Aku menggerakkan kepala, memindai sekeliling tempatku saat ini. Aku terduduk pada bangku kayu di sebuah taman yang luas namun sangat sepi. Tidak ada siapa-siapa di sini, hanya ada aku sendiri. Sendirian bertemankan hembusan angin.Entah di mana ini, aku benar-benar asing dengan tempatnya. Ingin pergi, tetapi bobotku serasa ditahan. Aku kesulitan membawa tubuhku untuk beranjak dan pergi. Kedua kakiku terasa dipaku hingga membeku di tempat. Entah apa yang terjadi padaku.Hingga nampak seseorang tengah berjalan di depan sana. Nampak berjalan ke arah ke arahku dengan langkah tegap dan cepat. Dalam sekejap mata, sosok itu kini telah berdiri di hadapanku. Terkejut aku dibuatnya."Bang Arka?" ucapku tetapi hanya mampu berucap dalam hati. B
Menyalakan mesin mobil, gegas aku pun pergi. Menjauh dari parkiran komplek pemakaman dan kini mobilku melaju di jalanan besar.Aku tak mengerti. Bisa-bisanya bermimpi di siang bolong begini. Bang Arka menemuiku dalam mimpi hanya untuk menyampaikan pesan agar aku me jaga Maira dan bayinya. Apa sepenting itu Maira bagi Bang Arka?Aku menggelengkan kepala disertai hembusan napas berat. Tanganku masih sibuk mengendalikan stir kemudi. Hingga selang hitungan menit, aku pun tiba di rumahku.Sudah tidak nampak mobil milik Ayah. Sepertinya Ayah dan Ibu Hilma sudah pulang dari rumahku. Kuparkian mobil di halaman rumah yang belum terpasang pagar. Lalu turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam rumah. Aku berjalan memasuki rumah. Sesuatu aneh begitu saja terasa. Ketika di dalam rumah, aku hanya mendengar derap langkahku sendiri.Rumahku sepi.Tidak kudengar celoteh Keanu yang biasanya memenuhi rumahku. Kulirik arloji yang menunjukkan pukul dua siang. Sepertinya, Keanu ada di dalam kamarnya ber
Cukup lama aku mencerna apa yang terjadi. Kamar Maira yang kosong dan rapi, serta lemari yang sudah tidak berisi pakaian miliknya dan pakaian Keanu. Membuatku terpaku dengan otak yang berpikir keras."Maira pergi? Maira membawa barang-barangnya?" gumamku sendiri, setelah menyadari kepergian penghuni kamar ini.Aku berbalik dengan cepat. Tidak ada ya g perlu dipastikan, karena Maira memang benar-benar sudah tidak ada lagi di kamar. Bahkan, mungkin dia sudah jauh dari rumahku ini."Aku akan tanyakan pada Ibu Hilma. Iya, Ibu Hilma pasti tahu ke mana perginya Mai dan Keanu," celotehku saat yang terlintas dalam ingatanku hanyalah rumah Ayah dan Ibu Hilma.Kurogoh ponsel dalam saku celana. Membuka aplikasi gagang telepon hijau lalu mencari nomor Ibuku. Selangkah lagi aku bisa terhubung dengan nomor Ibu Hilma. Namun, aku justru terdiam beberapa saat.Hingga akhirnya urung melakukan. Menjauhkan ibu jari dari layar ponselku, lalu memasukkan kembali benda pipih di tangan ke dalam saku.Aku meng
"Nak, kamu di sini?" Ibu Hilma nampak beranjak dari sisi Ayah dan melihat ke arahku. Sementara Ayah, hanya memalingkan wajahnya hingga dapat melihatku saat ini."Ada apa, Nak? Apa yang kamu jatuhkan ke lantai?" Ibu Hilma sudah berada di dekatku dan memunguti kresek yang terlepas dari tangan."B-bu ... i-itu ... berita kecelakaan?" ucapku tersendat."Iya, Nak. Kasihan sekali, korbannya perempuan sama anak bayi," sahut Ibu Hilma diikuti gelengan kepala tak percaya."I-itu ... perempuan itu ... korban kecelakaan itu, M-Maira, Bu!" ucapku tersendat.Tubuhku gemetar. Ayah yang sedari tadi masih duduk pun nampak berdiri setelah mendengar ucapanku."Apa? Kamu bilang apa?" Ayah nyaris berteriak. Kini dia sudah ada di hadapanku. Pun dengan Ibu Hilma."Iya, kamu bilang apa, Nak? Mana mungkin itu Maira?" bantah Ibu Hilma tak percaya.Aku mengangguk lemas. "Baju tadi, Bu, Yah. Baju di balik koran penutupnya. Sama persis dengan kain baju yang dipakai Maira tadi pagi," jelasku gemetaran."Jangan m
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y