219#Satu Minggu berlalu.Aku terpaksa benar-benar resign dari rumah sakit tempatku bekerja selama ini. Keadaan tidak memungkinkan untuk terus izin absen. Kematian Hafsa serta persalinan Maira yang lebih cepat dari HPL, benar-benar dua hal yang berbeda, tapi sama-sama butuh perhatian.Selama itu pula, aku menemani istriku di rumah sakit karena tidak mungkin untuk ditinggalkan sendirian. Menghabiskan waktu berkabung kami di sana. Belum lagi bayi kami yang harus diobservasi dan ternyata berhasil survive. Sampai akhirnya diperbolehkan pulang dengan catatan harus rutin check up untuk mengetahui keadaan sang bayi. Sekalipun aku dokter, tapi aku tetap perlu pemeriksaan dari dokter senior untuk putraku.Selama di rumah sakit, ada Halwa yang menjenguk Maira dan bergantian jaga denganku meski dengan mata sembabnya. Dan setengah jam yang lalu, aku baru saja pulang ke rumahku sendiri bersama istri dan putriku, tanpa Keanu karena masih di rumah Ayah.Aku juga belum tahu bagaimana keadaan di ruma
Yaa siinwal-qur`ānil-ḥakīminnaka laminal-mursalīn'alā ṣirāṭim mustaqīmtanzīlal-'azīzir-raḥīmlitunżira qaumam mā unżira ābā`uhum fa hum gāfilụnlaqad ḥaqqal-qaulu 'alā akṡarihim fa hum lā yu`minụninnā ja'alnā fī a'nāqihim aglālan fa hiya ilal-ażqāni fa hum muqmaḥụnwa ja'alnā mim baini aidīhim saddaw wa min khalfihim saddan fa agsyaināhum fa hum lā yubṣirụnwa sawā`un 'alaihim a anżartahum am lam tunżir-hum lā yu`minụnBacaan Yaasin dan ayat-ayat tahlil, menggema di ruangan depan rumah Ayah. Para tetangga, kerabat terdekat, para santriwati yang menjadi anak didik Hafsa, rekan-rekan pengajar dan teman-temannya di pondok, keluarga dari calon besan Ayah pun turut hadir, memenuhi ruang depan saat ini. Bahkan hingga meluber sampai ke teras depan dan ruangan televisi. Malam ini, adalah malam ke-tujuh kepergian Hafsa dari dunia. Di balik kesedihan yang teramat dalam ini, ada rasa haru dan bahagia terselip, karena ternyata banyak yang mendoakan adik perempuanku itu.Sore tadi, pihak kepo
POV HALWA "Apa?! Menikahiku?" Aku terkejut saat namaku tiba-tiba saja disebut. Usai acara tahlil tujuh hari meninggalnya Kak Hafsa, ruangan depan dari rumah besar ayah sudah ditinggalkan para tamu yang tadinya memenuhi. Kini hanya tertinggal keluarga dari calon besan Ayah, yakni keluarganya Mas Senopati. Ia adalah anak tertua dari Pak Rasyid dan Bu Dhiza. Di mana Pak Rasyid sendiri merupakan anak kedua dari pemilik yayasan tempatku mondok. Artinya, beliau adalah anggota dari dewan yayasan."Iya, Nak Halwa. Kami ingin kamu menikah dengan Seno. Agar rencana pernikahan yang sudah kami semua siapkan tidak batal begitu saja," papar Bu Dhiza membuat jantung ini rasanya melompat-lompat.Aku membeku di tempat hingga membiarkan Keanu bermain puzzle-nya sendirian di hadapanku. Konsentrasiku mendadak hilang."Bagaimana mungkin, Pak? Senopati menjalani ta'aruf dengan almarhumah Hafsa. Bagaimana bisa yang menikah justru Halwa?" Terdengar Bang Arsa memprotes."Begini, Nak Arsa. Kami sudah sangat i
"Coba kamu istikharah, Nak. Kamu minta petunjuk sama Allah atas jawaban apa yang harus kamu ambil," timpal Ayah memberi saran.Aku terdiam dengan kepala tenggelam di dada Ibu. Merasakan dekapan hangatnya tanpa bersuara."Yah, Bu. Seharusnya ayah dan Ibu menolak permintaan ini. Aku gak setuju kalau Halwa yang harus melanjutkan pernikahan ini. Keluarga Senopati, mereka gak bisa seenaknya dengan memaksakan kemauan mereka. Jangan karena Halwa menjadi salah satu murid dan sekarang jadi pengajar di sana, mereka bisa seenaknya mengatur masa depan Halwa. Aku gak setuju kalau Seno menikahi Halwa. Aku gak setuju!" Bang Arsa dengan lantangnya bersuara."Mas, kamu harus tenang. Ini kan yang diminta untuk menikah Halwa, kamu jangan emosi begini." Mba Mai nampak menenangkan suaminya yang terlihat menggebu-gebu."Tapi Halwa ini adikku, Mai. Dia adik perempuanku. Secara gak langsung, dia dan Seno akan melakukan tradisi naik ranjang yang pernah aku lakukan juga. Aku gak mau, Halwa merasakan lika-liku
Tiga hari berlalu."Bagaimana, Wa? Sudah kamu melakukan istikharah?" tanya Ayah setelah selesai sarapan pagi. Aku sarapan bersama Ayah dan Ibu di ruangan makan. Bang Arsa Dan Mba Mai sudah pulang ke rumahnya. Sehingga rumah ini terasa sepi tanpa suara tangis Keanu juga Arsyila.Usai sarapan, belum ada yang beranjak dari meja makan. Sehingga Ayah membuka pembicaraan dengan satu pertanyaan.Aku menunduk lalu mengangguk. "Sudah, Yah. Aku sudah istikharah seperti yang Ayah anjurkan.""Lalu bagaimana, Nak? Apa jawaban kamu?" Kali ini Ibu yang duduk di hadapanku yang bertanya.Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembusnya perlahan. "Abu-abu, Bu," jawabku sambil tertunduk lesu. Dan seketika terdengar helaan napas berat dari Ayah. "Kenapa kamu tidak yakin, Nak? Kenapa kamu tidak berserah saat melaksanakannya? Kamu sendiri ragu dengan ibadahmu, padahal Allah itu Maha Pemberi Petunjuk, Nak. Dia Maha Tahu, kenapa kamu ragu?" cecar Ayah seakan mengetahui apa yang telah aku lakukan.Kuhembus nap
Ada kaku yang menyelimuti. Hening yang terbentuk serta jarak yang tercipta. Di balik beton pembatas balkon teras mall saat ini. Aku berdiri dengan seorang lelaki. Menghadap jalanan raya yang mulai dipadati kendaraan di bawah sana. Sekitar lima puluh sentimeter, kami bertemu setelah semalam aku memintanya."Ada apa?" tanyanya dengan suara terdengar sangat lembut. Saat aku hendak menyusulnya, aku melihatnya berpakaian begitu rapi dengan kemeja kotak-kotak hitam panjang dan sarung. Padahal ini mall, entah bagaimana reaksi orang-orang melihatnya bepergian dengan mengenakan sarung begitu.Aku tak menoleh. Pandanganku lurus ke depan sejak tadi. Melihat keramaian lalu lintas yang menjadi pemandangan utama di teras mall ini."Kamu tahu 'kan kalau kakakku meninggal karena kecelakaan?" tanyaku dengan memberanikan diri menoleh padanya.Ah, tak sanggup.Untungnya dia menatap lurus ke depan. Sehingga kau bisa cepat-cepat memalingkan wajahku kembali. Selalu ada getaran dalam hati ini saat harus mel
Aku menangis sendirian. Wajahku tenggelam di kedua lutut yang rapat. Kuabaikan kedua kaki yang sudah kesemutan karena berjongkok sejak tadi. Tidak ada yang ingin aku lakukan sekian menangis. Menumpahkan kesakitan dalam hati karena Abidzar tidak ingin memperjuangkan hubungan kami.Dia justru dengan mudahnya melepaskan aku untuk dinikahi Mas Seno. Tanpa ada perjuangan sedikit saja dairnha terhadapku.Rasanya sulit diungkapkan.Terlalu sakit. Aku tidak menyangka Abi aja menyakitiku sedalam ini.Aku sudah mengenalnya sejak duduk di bangku sekolah madrasah Aliyah yang setara SMA negeri. Hanya mengenal sekilas dan tidak begitu dekat. Tetapi saat aku melanjutkan pendidikan untuk kuliah di perguruan tinggi yang juga berada di bawah naungan yayasan. Kami menjadi lebih saling mengenal.Terlebih ketika ada acara-acara besar di yayasan. Kami pasti akan terlibat sebagai panitia atau penyelenggara.Aku pun masih ingat, ketika tujuh tahun yang lalu, hubungan kami yang semula hanya teman mulai diwarn
"Kamu jahat!""Kamu tega, Bi!"Suaraku tidak lagi sekencang tadi. Hanya teriakan lirih lalu diikuti bahuku yang berguncang. Sampai kemudian aku kembali terduduk di samping Abangku.Seketika Bang Arsa merangkulku. Membawa Kepalaku mendekap di dadanya. Bang Arsa mendekapku erat. Menepuk-nepuk pundak ini dan aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa sakit ini.Aku gagal berpura-pura baik-baik saja di depannya. Tangisku pecah dan aku tergugu dalam dekapan Bang Arsa.Aku mengeluarkan tangis. Segala sesak yang menghimpit dalam hati aku uraikan melalui tangisan. Bang Arsa tidak berucap apapun. Tidak berusaha menghentikan tangisku melainkan mengusap lembut punggung ini. Menepuk-nepuk bahu dan mengelus lembut kepalaku. Seakan ia mengerti, bahwa yang aku butuhkan saat ini hanyalah menangis.Meski tidak pernah ada kebersamaan kami secara intim. Tapi kilasan bayangan pertemuan kami saat-saat acara besar di yayasan, berkelebat memenuhi ingatan. Mengundang gelenyar indah itu timbul dan justru terasa