Gera melangkah masuk ke dalam apartmen pacarnya, Adit. Langkah Gera terhenti ketika mendengar suara seorang wanita . Semakin lama menjadi begitu nyaring di telinga Gera. Gera segera menggeleng, berusaha menepis pikiran negatifnya. 'Ah, tidak mungkin ini Adit. Tapi siapa itu?' Batin Gera berkecamuk.
"Adit!" Semakin dekat menuju kamar Adit, suara itu semakin terdengar jelas.
Wajah Gera memucat mendengar suara menjijikkan itu. Namun rasa jijiknya berhasil dikalahkan oleh egonya yang ingin mengetahui siapa yang menyebut nama Adit dibarengi pekikan itu.
"Kau sangat hebat, Adit." Ujar si wanita. Air mata sudah membendung di pelupuk mata Gera. Yang ia takutkan terjadi. Hatinya semakin terpancing untuk melihat siapa wanita itu, yang baru saja memuji Adit, kekasihnya.
Dengan pelan ia melangkah. "Lalu, lebih memuaskan siapa, aku atau wanita sok polos itu?" Tanya si wanita, membuat langkah Gera terhenti lagi.
"Jelas kau lebih seribu kali. Boro-boro melayaniku, dia sibuk dengan hidupnya yang sok suci itu. Gera tidak ada apa-apanya dibanding kau, Andin!" Gera semakin terluka ketika mendengar itu adalah suara Adit. Terlebih lagi Adit merendahkannya. Pipi Gera kini sudah basah.
Suara mereka terdengar semakin besar sekarang. Gera merasa telinganya begitu sakit mendengar percakapan mereka yang tiada henti.
Terlebih, wanita yang kini bersama dengan kekasihnya adalah teman baiknya sendiri. Andin. Orang tempatnya berbagi cerita. Gera tidak percaya dengan semua ini.
Dengan pelan Gera membuka pintu kamar itu. "Adit!" Gera berteriak histeris ketika melihat apa yang ada di depannya sekarang.
Andin yang menindih Adit dengan liarnya. Dan Adit, ia terlihat begitu menikmatinya. Ironis sekali.
"Ge-Gera! Bagaimana bisa?" Tanya Adit terkejut. Ia langsung beranjak memakai bathrobenya.
"Bisa. Jadi ini alasan kamu nggak bisa hadir? Hebat!" Ujar Gera dengan suara terputus-putus akibat tangisnya yang hebat.
"Aku bisa jelasin, Ge!" Kata Adit berusaha membujuk Gera.
"Stop! Kamu diam disana! Mau jelasin apalagi? Jelasin aku yang nggak bisa puasin batin kamu? Atau mau jelasin kalau wanita itu lebih baik seribu kali dari aku? Nggak perlu, Adit!" Sergah Gera dengan emosi yang membuncah.
"Dan kamu Andin, aku nggak akan pernah nyangka apa yang kamu lakuin sekarang. Kamu bilang aku sok polos? Kamu lebih dari hewan!" Teriak Gera menunjuk Andin. Konyolnya, Andin hanya menatap Gera datar. Tanpa rasa bersalah.
"Ge, apa yang kamu lihat-"
"Sangat luar biasa!" Potong Gera.
Dengan hati yang sudah pecah, Gera berlari keluar dari kamar kotor itu dan....
Gera membanting pintu apartmen Adit dengan sangat keras. Sambil menghapus air matanya ia berlari kemanapun kakinya membawanya.
***
"Dasar laki-laki kurang ajar! Aku akan buat kamu nyesel, Adit!" Teriak Gera di tepi pantai yang sepi. Ia menangis sejadi-jadinya.
Gera terduduk diatas pasir putih yang membentang luas. Sambil menghapus sisa-sisa air mata yang mulai mengering di pipinya, ia mengeluarkan sumpah serapah.
"Ngapain nangis, Ger? Dia aja nggak peduliin kamu." Gera menertawakan dirinya sendiri. Masih dengan kebaya yang melekat sempurna di tubuh indahnya.
Gera mengambil kaca dari tas kecilnya. Melihat pantulan dirinya di cermin. Make up yang tadinya sangat sempurna di wajah cantiknya, kini sudah luntur. Abstrak.
***
Sudah jam delapan malam. Gera segera membersihkan diri setelah kembali ke rumah kecilnya. Membersihkan matanya dari sisa-sisa kesedihan.
Gera keluar setelah selesai mandi, hanya menggunakan kemben dari handuknya. Namun sesuatu mengejutkannya.
"Hai, Gera!"
Adit tersenyum licik sambil menghirup rokok di tangannya. Gera refleks menutupi bagian tubuhnya yang terlihat, walaupun itu percuma.
"Adit! Ka-kamu ngapain datang kesini? Cepat keluar dan jangan pernah menemuiku lagi!" Bentak Gera.
Adit berjalan mendekatinya. Pelan, namun langkahnya pasti. "Jangan ditutup , aku suka melihatnya." Sekarang Adit sudah di depan Gera.
"Dan jangan pura-pura polos. Aku yakin, kau sama seperti temanmu. Murahan!" Gera benar-benar tak terima. Hatinya begitu sakit.
"Kau sama sekali tidak memiliki hak untuk berkata seperti itu!" Geram Gera tanpa takut. Ia ingin sekali berlari menuju kamarnya, namun tidak ada jalan keluar karena Adit sudah memblokade tubuhnya.
Adit menyeringai licik. "Ah benarkah? Boleh kubuktikan sendiri?" Bisik Adit membuat Gera meremang.
Gera mendorong tubuh Adit keras hingga terjungkal. "Sadarlah Adit! Kau tidak waras! Dan aku bodoh, tidak menyadari semua ini sebelumnya." Tutur Gera emosi.
"Kau memang bodoh, Gera!" Teriak Adit lalu tertawa sendiri. Aroma aneh menguar disekitar ruangan. Sudah jelas, ia dalam kondisi mabuk sekarang.
"Dan aku tidak akan pergi darimu sebelum aku bisa mencicipi hal yang membuatku menginginkanmu setiap waktu." Adit lagi-lagi mendekati Gera. Air mata sudah membasahi gundukan kenyal dikedua sisi wajahnya.
"Pergi kau!" Teriak Gera.
Semakin Gera memberontak, membuat Adit semakin gencar dan liar mencari celah untuk menyentuh tubuh Gera.
Gera sudah lemas dan tidak memiliki tenaga untuk melawan lagi. Alhasil, ketika Gera lengah sedikit, Adit langsung membuka paksa bathrobe yang Gera pakai.
"Tolong, jangan lakukan itu, Adit!" Gera berteriak memohon.
"Menangislah, akan kuanggap itu permintaan darimu, Gera." Tutur Adit dengan seringai nakalnya.
Gera mundur dan menutupi tubuhnya sebisa mungkin. "Tolong, pergilah!" Tangis Gera tertahan karena rasa takutnya.
Adit kembali mendekati Gera dengan senyuman iblisnya. Perlahan ia mulai membuka ikat pinggangnya, membuat Gera terbelalak. Ia sangat tidak menyangka Adit akan seburuk ini.
"Malam ini semua akan terbukti, kau suci atau tidak. Dasar bodoh!" Maki Adit semakin mendekati Gera.
Kini kemeja Adit sudah terbuka. Hanya tersisa celana saja. Gera semakin kalap dan bingung harus bagaimana. Mau menghindar, sudah tidak ada jalan.
"Menjauhlah Adit! Jangan menjadi laki-laki tak berperasaan! Sampai kapanpun aku tidak akan membiarkanmu menyentuh mahkotaku!" Gera histeris melihat Adit yang sudah begitu dekat dengannya.
"Cobalah!" Tantang Adit.
Mata indah yang dulu Gera sukai, kini berubah menakutkan. Tangan Adit sudah menjalar kemana-mana.
"Pergi!" Sekali lagi Gera mendorong Adit hingga terjungkal. Mengingat ia sedang mabuk, lumayan memudahkan untuk melawannya.
Ekspresi Adit kini berubah geram. Tatapan nyalangnya menusuk mata Gera. " Beraninya kau melawanku. Rasakan apa yang akan aku lakukan sekarang!" Adit sudah sangat emosi karena Gera terus saja memberontak.
"Wanita murahan!" Maki Adit setelah menampar pipi kanan Gera. Gera merasa seperti tertusuk paku besar.
"Murahan! Kotor! Tidak akan kuampuni kau!" Dua kali Adit menendang tubuh Gera. Membuat si empunya meringis.
"Stop! Kumohon hentikan, Adit!" Gera terus saja memohon dengan sisa tenaganya.
Tubuhnya sudah lemas. Ia pasrah. Sudah tidak ada lagi tenaga untuk melawan. Mungkin malam ini kesuciannya harus ia relakan.
Pintu terbuka. Seseorang mendobrak paksa pintu rumah Gera. Membuat Adit yang kini hanya mengenakan kolor menjadi semakin meradang.
Pikiran Gera berkecamuk. Ia sangat bersyukur. Namun siapa pria yang hendak menolongnya itu?
"Siapa kau? Jangan coba-coba ikut campur! Enyahlah!" teriak Adit memaki orang yang kini berjalan mendekat ke arahnya. "Anda tidak tahu saya? Kampungan! Seharusnya Anda yang enyah!" balas pria bertopi itu. Kedua pria itu mulai saling menyerang satu sama lain dengan membabi buta. Gera ingin sekali berlari menuju kamarnya, namun tidak ada tenaga yang tersisa. Ia hanya bisa melihat yang ada di depan matanya. Ia berusaha meraih bathrobenya untuk menutupi tubuhnya yang terbuka. Adit nampak kewalahan melawan pria itu. Namun pada akhirnya yang salah tetaplah kalah. "Jangan pernah berani mengganggu wanitaku lagi!" Mendengar itu, Gera tercengang. Ia menggeleng. Tidak mungkin laki-laki tak dikenal yang mengatakan itu. Mungkin ia salah dengar saja karena kondisinya yang mulai melemah. Yang penting sekarang Adit sudah pergi dan Gera selamat. Lelaki itu mendekat
"Maafkan a-aku!" Gera gugup. Lelaki yang ia tabrak itu kini sudah berjongkok dan meneliti wajahnya. "Kau! Bagaimana kau bisa disini?" tanya Roy yang juga sangat terkejut dengan kondisi tubuh Gera. Mendengar isak tangis Gera, Roy yakin ada sesuatu yang tak beres. Tanpa menunggu jawaban dari Gera, Roy langsung membopong tubuh Gera. "Mau kau bawa kemana aku?" Gera meronta di atas punggung Roy. Namun Roy hanya diam saja. Khawatir dan takut berkecamuk dalam pikirannya. Roy membawa Gera kesebuah ruangan kosong. Melihat Gera yang tak henti-hentinya mengelus tubuhnya sendiri membuat Roy berpikir aneh. "Kau mau macam-macam juga padaku?" tuduh Gera curiga pada Roy. "Jangan berpikir negatif, Nona! Bagaimana mungkin aku membiarkanmu keluar menggunakan pakaian seperti itu? Dasar bodoh!" sergah Roy membela diri. "Lalu, berbaliklah! Jangan menatap tubu
Luis hanya bisa menerima apapun konsekuensinya. Bagaimanapun, dia tidak akan bisa dan tidak akan berani melawan Tuannya. Roy tidak membiarkan Luis membawa Gera pergi. Ia menyuruh Luis untuk mengawasi Adit saja. Gera adalah urusan Roy. Bukan orang lain. Dan tidak akan ada celah untuk orang lain. "Luis! Dimana dia?" Roy terlihat sangat kacau. Ketika mata Roy menangkap sesosok wanita di pojok ruangan, ia langsung bergegas menghampirinya tanpa menunggu jawaban Luis. "Ayo kita pergi!" Ajak Roy dingin. Namun tidak ada jawaban dari Gera. Ia hanya diam dan menunduk disela lutut yang ia peluk. Dengan pelan Roy menggerakkan tubuh Gera.... "Astaga, Luis! Bagaimana bisa ia pingsan?" Teriak Roy membuat Luis tersentak kaget. "Sepertinya dia sudah kelelahan karena ulah pria ini, Boss. Lagipula Boss lupa kejadian tad
"Bagaimana Luis?" tanya Roy dingin via telepon. Karena mansion begitu besar, malas juga untuk menunggunya datang. Mengingat jarak dari ruang kerjanya dengan ruang hitam lumayan jauh. "Sudah diatasi, Boss. Para wanita bayaran Anda sedang memberinya pelajaran. Anda bisa dengar sendiri suara mereka," ujar Luis. Roy menghela napas beratnya. "Baiklah. Jika sudah selesai, berikan aku rekamannya." Roy memutus sambungan sepihak. Sebenarnya Roy tidak mau memberi hukuman ringan seperti ini. Apalagi hukuman ini tergolong sangat menguntungkan Adit. Bagaimana tidak? Ini yang dia sukai dan yang ia cari setiap ke Club. *** Gera menggeliat di atas ranjang raksasa yang sangat nyaman. Ia pingsan begitu lama, atau bisa saja ia juga tertidur. Pelan ia membuka kelopak matanya, menyadari ada yang lain, Gera refleks terduduk. "Aku dimana?" Gera mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. K
Roy meninggalkan Gera sendiri di kamar itu. Dan meminta Ros untuk mengikutinya. "Ros, apa yang terjadi dengan wanita itu sebelum aku datang?" tanya Roy. Ros hanya menunduk takut. "Ma-maaf, Tuan. Tadi Gera sempat muntah-muntah Tuan." "Si-siapa? Gera?" tanya Roy penasaran. "Maaf Tuan, Nona itu menyuruh saya untuk memanggil namanya saja. Dia wanita yang sangat baik," tutur Ros tegang. "Oke. Namanya Gera, dan tadi sempat muntah katamu?" tanyanya memperjelas. Ros mengangguk. "Iya, Tuan." "Pergilah. Aku akan mengurus wanita ceroboh itu sendiri." Roy mengibaskan tangannya menyuruh Ros pergi. *** "Bagaimana keadaanmu, Nona?" Dingin. Datar. Sangat menjengkelkan. Gera memicingkan matanya tajam. "Wow! Kau mau menggodaku, Nona? Matamu itu...." Roy menggoda Gera. "Apa kau buta? Mataku menatap tajam kau bilang menggoda? Astaga!" Gera memekik keras. "Dasar laki-laki aneh!" gumamnya lagi hamp
"Maafkan saya, Pak. Saya yang lalai," Gera merendah ketika orang yang mewawancarai dirinya marah. Bukannya dia mau main-main, hanya saja dia sudah sangat putus asa. Kemana Gera harus mencari kerja lagi? Ia luntang lantung kesana kemari tak terarah. Uang sudah menipis. Sedang biaya hidup tetap harus mengalir. Oh Tuhan! *** Deva, HRD yang menyeleksi pegawai di kantor Roy menghampiri sang CEO dengan setumpuk kertas. "Maaf, Pak. Untuk jabatan sebagai pengganti sekretaris Bapak diantara semua tumpukan yang saya wawancarai hari ini tidak ada satupun pelamar yang memenuhi syarat," Sudah tugas Deva melaporkan hal ini pada Roy. Karena posisi yang dicari bukan posisi yang main-main. Roy hanya terpaku pada komputer dengan ekspresi datarnya. "Coba cek sekali lagi. Apa ada wanita yang bernama Gera?" perintah Roy. "Baik, Pak," Dengan cekatan Deva memeriksa se
"Pak, Anda diamlah di meja Anda. Ada keperluan apa Bapak menghampiri saya?" tanya Gera dengan gaya yang sengaja dibuat angkuh."Aw!" Gera mengelus kepalanya yang sakit karena dijitak Roy."Kau pikir kau siapa disini? Ingat siapa yang menjadi Boss?" Dagu seorang Aroy terangkat dengan gagah dan sombongnya."Maaf, Pak atas kelancangan saya.""Jangan menghindar! Aku menginginkanmu," bisik Roy membuat telinga Gera geli dan meremang."Jangan menghindar! Apa kau lupa bahwa kau milikku?" Ingin sekali Gera menampar pria ini. Namun, entah kenapa sapuan napas Roy di tengkuknya membuat Gera terpancing."Maaf, Pak. Bukannya tugas saya hanya menjadi sekretaris pribadi Bapak?" Otak Gera berputar memikirkan alasan agar pembicaraan ini teralihkan."Ingat, Gera! Kau milikku. Dan jabatanmu menjadi sekretaris pribadiku tidak mengubah statusmu yang menjadi milikku dan kau tidak
"Sudah kutebak," Roy tersenyum lebar melihat kehadiran Gera.'Astaga! Kenapa senyumnya sangat menggoda dan membuatku enggan untuk pergi?' batin Gera menjerit. Gera menampik pikirannya dan menggeleng."Jangan terlalu percaya diri, Tuan. Sikap seperti itu tidak perlu dijunjung tinggi meski perlu. Secukupnya saja," Senyum Roy seketika meredup mendengar perkataan Gera.Gera masih saja berdiri dihadapan Roy dan menatap datar. " Lalu untuk apa kau kemari jika bukan kembali menjadi asistenku?""Mohon maaf, Tuan. Apa yang Anda katakan barusan? Asisten? Bukannya saya disini hanya dijadikan budak atau yang kerap Anda sebutkan namanya sebagai, ah entah saya lupa," Gera berniat menyindir Roy."Saya kesini hanya untuk mengembalikan barang Anda yang sempat saya pinjam. Hoodie. Terima kasih banyak, Tuan. Untuk uang Anda, denda maksud saya, bersabar
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
"Bukti apa yang bisa kau berikan, Luis?" tanya Roy meremehkan. Karena pertikaian itu, mereka sampai melupakan kondisi Gera. Clay sudah malas berbicara karena itu akan percuma saja. "Aku akan tunjukkan buktinya padamu besok pagi. Agar kau puas!" Luis berlalu meninggalkan Roy yang masih tertawa kecil merendahkan niat Luis. Luis beranjak keluar dari rumah sakit. Menenggak air mineral dan menyalakan rokoknya, berharap dengan ini dirinya akan bisa sedikit saja lebih tenang dan stabil. Jika dipikir-pikir, percuma juga melawan Roy beradu mulut. Dia tidak akan mau kalah, batin Luis. ***"Apa Gera sudah sadar?" tanya Luis pada Ros. Wanita itu terduduk sembari memangku kepala Clay yang tengah tertidur lelap. Mendengar suara Luis, Clay terbangun, "Kau ke mana saja semalaman? Aku mencarimu! Apa kau pulang tadi malam?" tanya Clay dengan wajah cemberutnya. Bibirnya mengerucut dan membuat Luis menjadi gemas. "Tidak, sayang. Aku hanya menenangkan diri di taman rumah sakit. Merokok. Jika aku teta
"Ge... kau di mana?" Semakin lama suara Luis yang memanggil Gera terdengar semakin besar. Bahkan membangunkan sebagian pelayan yang bekerja di sana."Ada apa, Luis? Gera sepertinya sudah masuk ke kamar," seru Ros sembari menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan yang berpendar sangat terang. Luis menggeleng lemah, "Gera sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir," lirih Luis. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menetes begitu saja. Begitu tak terbendung karena rasa kasihannya pada Gera. "Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku!" suruh Ros dengan raut wajah cemas. Terlebih dirinya, jika menyangkut tentang Gera, dia akan sangat cemas. Rasa sayangnya pada wanita itu seperti kasih sayangnya pada anak sendiri. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Maafkan aku," lirih Luis lemah. Luis menegakkan kepala, "Aku harus memeriksa keadaan Gera, Bi. Sebagai temannya aku tidak bisa hanya diam saja di sini." Dengan langkah cepat Luis menuju kamar Gera. Mencari sosok wanita yang rap
"Apa maksudmu, Steve?" tanya Luis dengan wajah terkejut. Steve meneleponnya dan mengatakan bahwa Roy sedang berada di klab dan membawa seorang wanita. Steve sendiri sangat bingung... bagaimana bisa Roy menggandeng seorang wanita dengan sangat mesra? Bukankah Bosnya itu sangat mencintai Gera? Lalu apa maksud semua ini, pikirnya. Luis tidak mau memberitahu Gera, tetapi dia langsung beranjak menuju klab dan akan menemui Bosnya itu."Di mana Bos?" Luis bertanya tanpa basa-basi pada pegawai di sana. "Luis, Bos sudah memberi pesan agar tidak seorang pun masuk mengganggunya. Termasuk kau," ujar seorang barista. Luis menatap kaget dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Apa maksudnya itu?" Luis menggeram kesal. Luis tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah tangan dingin menyentuh permukaan kulit lengannya yang terbuka. "Kau bisa masuk bersamaku, Luis." "Gera?!""Bagaimana bisa kau di sini? Aku sudah menyuruhmu untuk istirahat, bukan?" "Aku mendengar percakapan mu dengan Steve tadi.
"Roy...."Dua insan yang tengah memadu kemesraan itu menghentikan kegiatan panas mereka sesaat setelah mendengar suara lirih Gera.Air mata Gera sudah menetes sejak tadi. Wanita itu menutup mulut dengan tangannya yang gemetar. Tak menyangka suaminya akan berbuat sehina ini. Yang membuat Gera lebih tidak menyangka adalah respons Roy setelah melihat kehadirannya. Bukannya terkejut atau merasa bersalah, Roy malah memperbaiki kemejanya yang kusut akibat terkaman wanita asing itu dengan santai."Siapa dia, Roy?" tanya wanita itu memecah keheningan."Istriku.""Oh."Hati Gera menganga lebar. Bukan hanya hatinya yang perih, tetapi napasnya terasa seakan hendak habis saat itu juga. Jawaban acuh Roy dan wanita itu menjadi batu panas yang menghantam Gera. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dari mereka, walaupun hanya dari raut wajah saja."Kau bisa menjelaskannya sekarang, Roy," ujar Gera lirih. Berhar
"Kau harus membersihkan dirimu, sayang. Kau juga terlihat sangat lelah." Gera benar-benar merasa tersindir oleh apa yang Roy katakan barusan. Bukannya mendekati Gera atau bahkan bergelayut manja seperti biasanya, Roy hanya duduk dan memperhatikan Gera dengan wajah dinginnya dari kejauhan. "Kau sudah makan?" tanya Gera kikuk. "Itu bukanlah hal penting. Sekarang pergilah mandi dan istirahat!" Roy menyampaikannya biasa, namun terdengar sangat tegas dan sedikit ada geraman. "Aku akan menyiapkan makan malammu dulu." "Tidak ada makan malam. Dan lihatlah arlojimu, ini sudah pukul delapan malam. Cukup mandi dan istirahatlah!" tegas Roy tanpa mau menatap istrinya. Gera ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Seakan dirinya tertahan untuk berbicara pada Roy. Namun sikap Roy sudah sangat cukup untuk menggambarkan bahwa suaminya sedang dalam kondisi perasaan yang tid