"Siapa kau? Jangan coba-coba ikut campur! Enyahlah!" teriak Adit memaki orang yang kini berjalan mendekat ke arahnya.
"Anda tidak tahu saya? Kampungan! Seharusnya Anda yang enyah!" balas pria bertopi itu.
Kedua pria itu mulai saling menyerang satu sama lain dengan membabi buta.
Gera ingin sekali berlari menuju kamarnya, namun tidak ada tenaga yang tersisa. Ia hanya bisa melihat yang ada di depan matanya. Ia berusaha meraih bathrobenya untuk menutupi tubuhnya yang terbuka.
Adit nampak kewalahan melawan pria itu. Namun pada akhirnya yang salah tetaplah kalah. "Jangan pernah berani mengganggu wanitaku lagi!" Mendengar itu, Gera tercengang. Ia menggeleng. Tidak mungkin laki-laki tak dikenal yang mengatakan itu. Mungkin ia salah dengar saja karena kondisinya yang mulai melemah. Yang penting sekarang Adit sudah pergi dan Gera selamat.
Lelaki itu mendekati Gera yang meringkuk memeluk kakinya sendiri. Semakin pria itu mendekat, aroma mint seketika menusuk hidung. Begitu menyegarkan. Pria itu membuka mantel besarnya dan menutupi tubuh Gera.
Dengan entengnya pria itu mengangkat tubuh Gera. "Dimana kamarmu?" Suara bariton itu membuat Gera terkesima. Ia menunjukkan letak kamarnya.
Pria itu menidurkan Gera dengan sangat pelan di ranjangnya. "Lain kali kunci pintu rumahmu dengan benar. Dasar ceroboh!" Gera tersentak mendengar penuturan pria itu.
Namun, belum sempat Gera berterimakasih, pria itu sudah meninggalkannya begitu saja. Gera sangat bersyukur karena sudah diselamatkan. Tapi, darimana pria itu tahu? Ah, mungkin saja pria itu kebetulan lewat dan mendengar suaranya, pikir Gera.
***
Roy keluar dari rumah Gera dengan mimik wajah yang tidak bisa dijelaskan. Frustasi karena berusaha melawan keinginan dirinya yang menggebu ketika melihat Gera, bahkan ketika ia melihat wanita itu dalam keadaan kacau saat dipantai.
"Astaga! Aroma wanita itu membuatku gugup! Bahkan aku menyentuhnya. Andai saja," Roy menggeleng mengutuk pikiran liarnya.
Tapi tidak bisa dibohongi, Roy memang sangat tertarik pada wanita itu, Gera. Hanya saja ia adalah pria yang suka menentang kata hatinya sendiri.
"Pantas saja pria itu menginginkannya. Wanita ceroboh itu sangat lalai," Lagi-lagi Roy berusaha menepis pikirannya tentang Gera.
Setelah berusaha menormalkan mood liarnya, ia segera melajukan mobil mewahnya. Dan pastinya harus segera mandi air dingin.
***
Untung saja hari ini hari libur untuk Gera. Badannya terasa remuk ketika bangun tadi. Karena aroma mint dari mantel pria bertopi itu membuat ia melupakan masalahnya dan bisa tertidur dengan lelap.
Mengingat kejadian tadi malam, ia sangat malu namun juga tersenyum karena perlakuan pria bertopi itu. Dan suara dinginnya, Gera geleng-geleng tidak ingin berpikir lebih. Dan mantel ini, lebih baik disimpan dulu. Mungkin saja pemiliknya akan datang lagi untuk mengambilnya, pikir Gera.
Tak lama, ponselnya bergetar. "Hai, Ge! Jangan lupa nanti malam akan ada perayaan di Pillow Club. Kau harus datang!" Leva mengingatkan Gera.
"Lihat saja nanti. Aku usahakan untuk datang," jawab Gera. Sedikit berbincang, Leva memutuskan panggilan.
Sebenarnya ia sangat malas untuk datang, mengingat kejadian tadi malam. Namun, bagaimanapun juga ini adalah acaranya bersama teman-teman seangkatannya.
Bukan hal aneh juga bagi Gera untuk datang kesebuah club. Itu hal biasa yang ia lakukan selama masa kuliah ini. Dan dalam batas wajar. Ia masih mementingkan moral diatas segalanya.
"Sepertinya aku harus datang. Lumayan, untuk menghilang mood burukku," gumam Gera pada dirinya sendiri.
Seharian penuh Gera menyiapkan semua kebutuhan untuk nanti malam. Mulai dari dress, sepatu senada, dan tas slempang juga pastinya. Seolah tidak terjadi apa-apa malam tadi, ia begitu semangat menyiapkan segalanya.
"Sepertinya make up simpel akan sangat cocok dengan gaunku," ujar Gera pada diri sendiri ketika mencoba mengenakan dressnya.
Malam tiba, Gera sudah siap dengan dress off shoulder selutut berwarna baby blue. Tak lupa hells dengan warna senada dan dilengkapi tas slempang warna hitam yang kontras dengan busananya. Tinggal memunggu taksi, batin Gera.
Dari kejauhan...
"Bos, wanita itu sudah di depan rumahnya. Dan sepertinya sedang menunggu taksi."
Semalaman Roy uring-uringan karena memikirkan si wanita ceroboh yang tak lain adalah Gera. Roy sangat bingung dengan tingkahnya sendiri. Makanya, Roy menyuruh Luis untuk memantau Gera.
"Apa perlu saya yang mengantarnya, Bos?" tanya Luis sembari melapor.
"Apa kau tidak berpikir, Luis? Wanita itu tak akan mau kau jemput. Kurasa ia sangat berbeda dengan wanita lain. Ikuti saja kemana ia pergi dan jika ada yang terlihat mengancam untuknya, segera bertindak!" Perintah Roy dingin. Luis menggeleng ketika Roy memutus sambungan sepihak. Sudah biasa.
Seperti yang diperintahkan, Luis mengikuti kemana Gera pergi. Ketika sampai di Pillow Club, mata Luis mengintai tajam. "Apa yang dia lakukan di Club? Kata Roy dia tidak seperti wanita pada umumnya," Luis menggerutu bingung.
"Bos, wanita itu datang kesebuah Club malam. Pillow Club," lapor Luis pada Roy.
"Masuk saja dan awasi terus. Aku akan kesana sekarang," jawab Roy lalu memutuskan sambungan.
Setelah masuk, akhirnya Luis mengerti kenapa wanita itu masuk ke dalam Club. Disana sedang ada perayaan oleh banyak mahasiswa. Luis berpikir, mungkin wanita itu adalah salah satunya. Luis memilih duduk di bangku bar untuk mengawasi Gera. Sembari menunggu Tuannya datang.
Disatu sisi...
"Lev, lo bisa bantu gue nggak?" tanya Adit pada Leva. Adit memang bukan mahasiswa disana. Tapi karena kabar dari Leva, Adit datang dan pastinya dengan niat buruk yang jauh lebih licik lagi.
Leva menatap bingung. "Bantu apa?" tanyanya.
"Hm, tolong kasih minuman ini untuk Gera buat gue. Dia lagi ngambek dan nggak mau ngomong sama gue. Rencananya sih mau gue kasih kejutan tuh anak," tutur Adit bohong. Dan dengan gampangnya Leva mengiyakan suruhan Adit.
Senyum Adit mengembang sempurna melihat langkah pasti Leva. "Habis kamu malam ini, Ge. Aku nggak akan lepas. Kejutan yang sebenarnya akan segera tiba, Gera sayang!" ujar Adit. Sungguh, ia sudah seperti orang gila sekarang.
"Hai, Ge!" sapa Leva dan disambut antusias oleh Gera.
"Nih minum dulu!" tambah Leva sembari memberikan gelas berisi cairan merah itu kepada Gera. "Makasih loh, Lev," kata Gera diangguki Leva.
Langsung saja Gera meneguk setengah dari isi gelas tersebut. "Minuman itu titipan dari Adit, Ge," ujar Leva.
"Kenapa nggak bilang? Emang Adit kesini?" Leva mengangguk kikuk. Tidak mengerti apa yang terjadi.
Gera celingak-celinguk cemas mencari keberadaan Adit, namun nihil. Tidak terlihat dimana-mana. Gera tidak tahu kalau Adit yang ia cari sedang bersembunyi memantaunya dari kejauhan.
Beberapa menit setelah minum minuman tadi, Gera merasakan ada keanehan. Sekujur tubuhnya perlahan terasa panas. Geli dan gelenyar aneh itu menguasai tubuh Gera perlahan. Gera tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Sepertinya ada yang tidak beres dengan minuman itu. Ah, pikiran Gera pun kini sudah tidak bisa fokus.
"Lev, aku ke toilet bentar ya," pamit Gera pada sahabatnya.
Tanpa Gera sadari, Adit sudah mengintainya seperti melihat mangsa. Jalan menuju toilet sepi, namun masih ada satu dua orang yang berlalu lalang.
"Hai, sayang!"
Kilat Adit merampas lengan Gera dan menarik paksa. Tubuh mereka kini menempel. Bahkan, wajah mereka sudah berjarak hanya beberapa cm saja.
"K-kau... apa maumu, Adit?" Gera kikuk sekaligus gemetar. Kakinya sudah lemas. Bukan saja karena takut pada Adit, namun karena efek minuman tadi.
"Bagaimana minumanmu? Aku sudah menaruh obat dosis tinggi disana. Dan aku yakin, saat ini kau pasti sudah ingin disentuh, bukan?" Adit mengakui perbuatannya dengan senang hati membuat Gera menganga.
"Gila kamu, Adit! Kurang ajar kamu! Lebih baik aku mencakar diriku daripada harus menyerahkan diriku padamu. Jangan harap!" Gera menjerit histeris. Efek obat itu bisa ia rasakan semakin kuat.
Adit menyeringai, "Coba saja, Nona! Aku juga tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan apa yang aku inginkan," tantang Adit.
Gera diseret paksa oleh Adit. Sekeras apapun melawan, ia tetap kalah. Sekarang ia sudah dibawa ke suatu kamar. Yang gelap dan bising. Bahkan jika aku berteriak pun, tidak akan ada yang dengar, batin Gera.
Tubuh lemahnya kini dibanting ke atas ranjang. Adit memang gila! Ia merobek dress Gera dengan kasar.
"Lepas Adit! Kau tidak berhak atas diriku!" Gera meronta sekuat tenaganya. Ia berusaha menghalangi tangan kotor Adit agar tidak bisa menjamah tubuhnya.
Umpatan dan jeritan Gera ia abaikan. Ia terus saja merobek-robek sisa dress yang kini sudah menampakkan bagian bawah tubuh Gera.
"Diam, bodoh! Diam saja dan nikmati semua ini!" Gera merasa seperti tertampar keras mendengar perkataan kotor Adit. Ia hanya bisa menjerit dan menangis sekerasnya, berharap akan ada yang mendengarnya.
Ketika Adit memulai aksinya, Gera memanfaatkan keleluasaan ini untuk menendang Adit.
Teriakan Adit memenuhi ruangan. Ia langsung meringkuk kesakitan. Gera segera berlari menuju pintu, dan untung saja tidak terkunci. Ia sudah tidak memperdulikan dirinya yang hanya memakai pakaian dalam saja.
Air matanya semakin deras, ia berlari dan terus saja melihat kebelakang. Takut jika Adit mengejarnya.
Tiba-tiba tubuhnya terjatuh. Ia menabrak seseorang. Seseorang dengan tubuh bidang dan sangat kokoh. Refleks ia menutupi tubuhnya yang masih terasa panas dan menginginkan sesuatu yang lebih. Namun, siapakah lelaki yang Gera tabrak? Jangan-jangan, itu Adit ataukah?
"Maafkan a-aku!" Gera gugup. Lelaki yang ia tabrak itu kini sudah berjongkok dan meneliti wajahnya. "Kau! Bagaimana kau bisa disini?" tanya Roy yang juga sangat terkejut dengan kondisi tubuh Gera. Mendengar isak tangis Gera, Roy yakin ada sesuatu yang tak beres. Tanpa menunggu jawaban dari Gera, Roy langsung membopong tubuh Gera. "Mau kau bawa kemana aku?" Gera meronta di atas punggung Roy. Namun Roy hanya diam saja. Khawatir dan takut berkecamuk dalam pikirannya. Roy membawa Gera kesebuah ruangan kosong. Melihat Gera yang tak henti-hentinya mengelus tubuhnya sendiri membuat Roy berpikir aneh. "Kau mau macam-macam juga padaku?" tuduh Gera curiga pada Roy. "Jangan berpikir negatif, Nona! Bagaimana mungkin aku membiarkanmu keluar menggunakan pakaian seperti itu? Dasar bodoh!" sergah Roy membela diri. "Lalu, berbaliklah! Jangan menatap tubu
Luis hanya bisa menerima apapun konsekuensinya. Bagaimanapun, dia tidak akan bisa dan tidak akan berani melawan Tuannya. Roy tidak membiarkan Luis membawa Gera pergi. Ia menyuruh Luis untuk mengawasi Adit saja. Gera adalah urusan Roy. Bukan orang lain. Dan tidak akan ada celah untuk orang lain. "Luis! Dimana dia?" Roy terlihat sangat kacau. Ketika mata Roy menangkap sesosok wanita di pojok ruangan, ia langsung bergegas menghampirinya tanpa menunggu jawaban Luis. "Ayo kita pergi!" Ajak Roy dingin. Namun tidak ada jawaban dari Gera. Ia hanya diam dan menunduk disela lutut yang ia peluk. Dengan pelan Roy menggerakkan tubuh Gera.... "Astaga, Luis! Bagaimana bisa ia pingsan?" Teriak Roy membuat Luis tersentak kaget. "Sepertinya dia sudah kelelahan karena ulah pria ini, Boss. Lagipula Boss lupa kejadian tad
"Bagaimana Luis?" tanya Roy dingin via telepon. Karena mansion begitu besar, malas juga untuk menunggunya datang. Mengingat jarak dari ruang kerjanya dengan ruang hitam lumayan jauh. "Sudah diatasi, Boss. Para wanita bayaran Anda sedang memberinya pelajaran. Anda bisa dengar sendiri suara mereka," ujar Luis. Roy menghela napas beratnya. "Baiklah. Jika sudah selesai, berikan aku rekamannya." Roy memutus sambungan sepihak. Sebenarnya Roy tidak mau memberi hukuman ringan seperti ini. Apalagi hukuman ini tergolong sangat menguntungkan Adit. Bagaimana tidak? Ini yang dia sukai dan yang ia cari setiap ke Club. *** Gera menggeliat di atas ranjang raksasa yang sangat nyaman. Ia pingsan begitu lama, atau bisa saja ia juga tertidur. Pelan ia membuka kelopak matanya, menyadari ada yang lain, Gera refleks terduduk. "Aku dimana?" Gera mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. K
Roy meninggalkan Gera sendiri di kamar itu. Dan meminta Ros untuk mengikutinya. "Ros, apa yang terjadi dengan wanita itu sebelum aku datang?" tanya Roy. Ros hanya menunduk takut. "Ma-maaf, Tuan. Tadi Gera sempat muntah-muntah Tuan." "Si-siapa? Gera?" tanya Roy penasaran. "Maaf Tuan, Nona itu menyuruh saya untuk memanggil namanya saja. Dia wanita yang sangat baik," tutur Ros tegang. "Oke. Namanya Gera, dan tadi sempat muntah katamu?" tanyanya memperjelas. Ros mengangguk. "Iya, Tuan." "Pergilah. Aku akan mengurus wanita ceroboh itu sendiri." Roy mengibaskan tangannya menyuruh Ros pergi. *** "Bagaimana keadaanmu, Nona?" Dingin. Datar. Sangat menjengkelkan. Gera memicingkan matanya tajam. "Wow! Kau mau menggodaku, Nona? Matamu itu...." Roy menggoda Gera. "Apa kau buta? Mataku menatap tajam kau bilang menggoda? Astaga!" Gera memekik keras. "Dasar laki-laki aneh!" gumamnya lagi hamp
"Maafkan saya, Pak. Saya yang lalai," Gera merendah ketika orang yang mewawancarai dirinya marah. Bukannya dia mau main-main, hanya saja dia sudah sangat putus asa. Kemana Gera harus mencari kerja lagi? Ia luntang lantung kesana kemari tak terarah. Uang sudah menipis. Sedang biaya hidup tetap harus mengalir. Oh Tuhan! *** Deva, HRD yang menyeleksi pegawai di kantor Roy menghampiri sang CEO dengan setumpuk kertas. "Maaf, Pak. Untuk jabatan sebagai pengganti sekretaris Bapak diantara semua tumpukan yang saya wawancarai hari ini tidak ada satupun pelamar yang memenuhi syarat," Sudah tugas Deva melaporkan hal ini pada Roy. Karena posisi yang dicari bukan posisi yang main-main. Roy hanya terpaku pada komputer dengan ekspresi datarnya. "Coba cek sekali lagi. Apa ada wanita yang bernama Gera?" perintah Roy. "Baik, Pak," Dengan cekatan Deva memeriksa se
"Pak, Anda diamlah di meja Anda. Ada keperluan apa Bapak menghampiri saya?" tanya Gera dengan gaya yang sengaja dibuat angkuh."Aw!" Gera mengelus kepalanya yang sakit karena dijitak Roy."Kau pikir kau siapa disini? Ingat siapa yang menjadi Boss?" Dagu seorang Aroy terangkat dengan gagah dan sombongnya."Maaf, Pak atas kelancangan saya.""Jangan menghindar! Aku menginginkanmu," bisik Roy membuat telinga Gera geli dan meremang."Jangan menghindar! Apa kau lupa bahwa kau milikku?" Ingin sekali Gera menampar pria ini. Namun, entah kenapa sapuan napas Roy di tengkuknya membuat Gera terpancing."Maaf, Pak. Bukannya tugas saya hanya menjadi sekretaris pribadi Bapak?" Otak Gera berputar memikirkan alasan agar pembicaraan ini teralihkan."Ingat, Gera! Kau milikku. Dan jabatanmu menjadi sekretaris pribadiku tidak mengubah statusmu yang menjadi milikku dan kau tidak
"Sudah kutebak," Roy tersenyum lebar melihat kehadiran Gera.'Astaga! Kenapa senyumnya sangat menggoda dan membuatku enggan untuk pergi?' batin Gera menjerit. Gera menampik pikirannya dan menggeleng."Jangan terlalu percaya diri, Tuan. Sikap seperti itu tidak perlu dijunjung tinggi meski perlu. Secukupnya saja," Senyum Roy seketika meredup mendengar perkataan Gera.Gera masih saja berdiri dihadapan Roy dan menatap datar. " Lalu untuk apa kau kemari jika bukan kembali menjadi asistenku?""Mohon maaf, Tuan. Apa yang Anda katakan barusan? Asisten? Bukannya saya disini hanya dijadikan budak atau yang kerap Anda sebutkan namanya sebagai, ah entah saya lupa," Gera berniat menyindir Roy."Saya kesini hanya untuk mengembalikan barang Anda yang sempat saya pinjam. Hoodie. Terima kasih banyak, Tuan. Untuk uang Anda, denda maksud saya, bersabar
"Aku yakin ada yang aneh dengan minuman ini. Pasti ulah si Dinda," batin Roy. Terselip senyuman tipis di wajahnya. "Roy, apa yang terjadi dengan tubuhku? Kenapa terasa sangat panas?" Lenguhan kecil terdengar lolos dari mulut Gera ketika Roy menyentuh lengannya. "Roy, rasanya seperti malam itu. Ketika Adit memberiku obat. Apa kau juga menaruh obat untukku dalam minuman itu?" Gera ingin menatap tajam Roy tapi gelenyar aneh ini membuatnya tak fokus. Roy tersentak mendengar penuturan Gera. "Apa? Kamu pikir aku pria murahan? Big no! Ini sama sekali bukan ulahku," Roy langsung keberatan dan melangkah menuju kursinya. Menyelesaikan pekerjaan yang sedikit lagi kelar. "Lalu siapa jika bukan kau?" tuduh Gera. "Mana ku tahu. Aku saja sejak tadi sibuk dengan pekerjaanku. Mana sempat mencampur ini itu dalam minumanku. Untuk apa?" Kenyataannya Roy sudah terpancing hanya dengan melihat Gera yang seperti cacing kepanasan. &
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
"Bukti apa yang bisa kau berikan, Luis?" tanya Roy meremehkan. Karena pertikaian itu, mereka sampai melupakan kondisi Gera. Clay sudah malas berbicara karena itu akan percuma saja. "Aku akan tunjukkan buktinya padamu besok pagi. Agar kau puas!" Luis berlalu meninggalkan Roy yang masih tertawa kecil merendahkan niat Luis. Luis beranjak keluar dari rumah sakit. Menenggak air mineral dan menyalakan rokoknya, berharap dengan ini dirinya akan bisa sedikit saja lebih tenang dan stabil. Jika dipikir-pikir, percuma juga melawan Roy beradu mulut. Dia tidak akan mau kalah, batin Luis. ***"Apa Gera sudah sadar?" tanya Luis pada Ros. Wanita itu terduduk sembari memangku kepala Clay yang tengah tertidur lelap. Mendengar suara Luis, Clay terbangun, "Kau ke mana saja semalaman? Aku mencarimu! Apa kau pulang tadi malam?" tanya Clay dengan wajah cemberutnya. Bibirnya mengerucut dan membuat Luis menjadi gemas. "Tidak, sayang. Aku hanya menenangkan diri di taman rumah sakit. Merokok. Jika aku teta
"Ge... kau di mana?" Semakin lama suara Luis yang memanggil Gera terdengar semakin besar. Bahkan membangunkan sebagian pelayan yang bekerja di sana."Ada apa, Luis? Gera sepertinya sudah masuk ke kamar," seru Ros sembari menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan yang berpendar sangat terang. Luis menggeleng lemah, "Gera sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir," lirih Luis. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menetes begitu saja. Begitu tak terbendung karena rasa kasihannya pada Gera. "Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku!" suruh Ros dengan raut wajah cemas. Terlebih dirinya, jika menyangkut tentang Gera, dia akan sangat cemas. Rasa sayangnya pada wanita itu seperti kasih sayangnya pada anak sendiri. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Maafkan aku," lirih Luis lemah. Luis menegakkan kepala, "Aku harus memeriksa keadaan Gera, Bi. Sebagai temannya aku tidak bisa hanya diam saja di sini." Dengan langkah cepat Luis menuju kamar Gera. Mencari sosok wanita yang rap
"Apa maksudmu, Steve?" tanya Luis dengan wajah terkejut. Steve meneleponnya dan mengatakan bahwa Roy sedang berada di klab dan membawa seorang wanita. Steve sendiri sangat bingung... bagaimana bisa Roy menggandeng seorang wanita dengan sangat mesra? Bukankah Bosnya itu sangat mencintai Gera? Lalu apa maksud semua ini, pikirnya. Luis tidak mau memberitahu Gera, tetapi dia langsung beranjak menuju klab dan akan menemui Bosnya itu."Di mana Bos?" Luis bertanya tanpa basa-basi pada pegawai di sana. "Luis, Bos sudah memberi pesan agar tidak seorang pun masuk mengganggunya. Termasuk kau," ujar seorang barista. Luis menatap kaget dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Apa maksudnya itu?" Luis menggeram kesal. Luis tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah tangan dingin menyentuh permukaan kulit lengannya yang terbuka. "Kau bisa masuk bersamaku, Luis." "Gera?!""Bagaimana bisa kau di sini? Aku sudah menyuruhmu untuk istirahat, bukan?" "Aku mendengar percakapan mu dengan Steve tadi.
"Roy...."Dua insan yang tengah memadu kemesraan itu menghentikan kegiatan panas mereka sesaat setelah mendengar suara lirih Gera.Air mata Gera sudah menetes sejak tadi. Wanita itu menutup mulut dengan tangannya yang gemetar. Tak menyangka suaminya akan berbuat sehina ini. Yang membuat Gera lebih tidak menyangka adalah respons Roy setelah melihat kehadirannya. Bukannya terkejut atau merasa bersalah, Roy malah memperbaiki kemejanya yang kusut akibat terkaman wanita asing itu dengan santai."Siapa dia, Roy?" tanya wanita itu memecah keheningan."Istriku.""Oh."Hati Gera menganga lebar. Bukan hanya hatinya yang perih, tetapi napasnya terasa seakan hendak habis saat itu juga. Jawaban acuh Roy dan wanita itu menjadi batu panas yang menghantam Gera. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dari mereka, walaupun hanya dari raut wajah saja."Kau bisa menjelaskannya sekarang, Roy," ujar Gera lirih. Berhar
"Kau harus membersihkan dirimu, sayang. Kau juga terlihat sangat lelah." Gera benar-benar merasa tersindir oleh apa yang Roy katakan barusan. Bukannya mendekati Gera atau bahkan bergelayut manja seperti biasanya, Roy hanya duduk dan memperhatikan Gera dengan wajah dinginnya dari kejauhan. "Kau sudah makan?" tanya Gera kikuk. "Itu bukanlah hal penting. Sekarang pergilah mandi dan istirahat!" Roy menyampaikannya biasa, namun terdengar sangat tegas dan sedikit ada geraman. "Aku akan menyiapkan makan malammu dulu." "Tidak ada makan malam. Dan lihatlah arlojimu, ini sudah pukul delapan malam. Cukup mandi dan istirahatlah!" tegas Roy tanpa mau menatap istrinya. Gera ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Seakan dirinya tertahan untuk berbicara pada Roy. Namun sikap Roy sudah sangat cukup untuk menggambarkan bahwa suaminya sedang dalam kondisi perasaan yang tid