Luis hanya bisa menerima apapun konsekuensinya. Bagaimanapun, dia tidak akan bisa dan tidak akan berani melawan Tuannya.
Roy tidak membiarkan Luis membawa Gera pergi. Ia menyuruh Luis untuk mengawasi Adit saja. Gera adalah urusan Roy. Bukan orang lain. Dan tidak akan ada celah untuk orang lain.
"Luis! Dimana dia?" Roy terlihat sangat kacau.
Ketika mata Roy menangkap sesosok wanita di pojok ruangan, ia langsung bergegas menghampirinya tanpa menunggu jawaban Luis.
"Ayo kita pergi!" Ajak Roy dingin. Namun tidak ada jawaban dari Gera. Ia hanya diam dan menunduk disela lutut yang ia peluk.
Dengan pelan Roy menggerakkan tubuh Gera....
"Astaga, Luis! Bagaimana bisa ia pingsan?" Teriak Roy membuat Luis tersentak kaget.
"Sepertinya dia sudah kelelahan karena ulah pria ini, Boss. Lagipula Boss lupa kejadian tadi malam?" Luis mengingatkan. Membuat Roy memalingkan wajahnya malu.
Roy mengelus wajah Gera. "Kasihan sekali kau, Nona ceroboh. Sudah kuingatkan dan kau tidak mau dengar. Sekarang lihatlah! Mata indahmu sembab dan astaga! Pria tidak tahu malu itu membuat lenganmu lebam," ekspresi sedih Roy berubah nyalang ketika mendapati lengan Gera lebam karena ulah Adit.
Tanpa menunda, Roy membawa Gera pergi. "Luis, bawa pria itu ke Mansion. Akan kuberi dia pelajaran. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, bukan?" Perintah Roy yang diangguki Luis.
Baik Roy maupun Luis, mereka pergi meninggalkan rumah kecil Gera dengan mobil masing-masing.
***
"Siapkan pakaian wanita. Aku yakin kalian pasti bisa menerka ukuran tubuh wanita ini." Tidak bisa dibantah, itulah Roy. Otoriter. Pelayan-pelayan yang ada di Mansion hanya bisa mengangguk lalu langsung melaksanakan tugas.
Sementara Gera ia bawa ke kamarnya. Untuk ia obati, tentu saja. Tak lama, suara ketukan dari arah pintu terdengar jelas di telinga Roy.
"Masuklah!"
"Tuan, ini baju untuk Nona," ujar salah satu pelayan. Kepala pelayan tepatnya. Ia adalah Bibi Ros. Sejak Roy kecil, beliau sudah mengabdi pada Tuan Muda Roy karena alasan balas budi.
"Apa saya boleh membantu Tuan untuk membersihkan tubuh Nona ini?" Ros dengan takut-takut menawarkan diri.
"Tidak usah. Biar aku saja," jawab Roy dingin. Lalu ia mengibaskan tangan, tanda untuk menyuruh Ros pergi.
Dengan lembut Roy membersihkan tubuh Gera. Mengelapnya pelan. Seolah ia menikmati setiap inci dari lekukan indah tubuh Gera. Hal ini membuatnya mengingat apa yang sudah mereka lakukan sebelumnya. Permainan yang sangat Roy sukai. Salah satu alasannya ya karena Gera sendiri yang memohon.
"Roy! Sadarlah! Ini bukan saat yang tepat," Roy menampar pipinya sendiri. Mengontrol sesuatu yang mulai menyeruak dari tempatnya.
"Aku harus cepat menyelesaikan ini. Jika tidak, bisa fatal. Kasihan dia kalau kusiksa dalam kondisi yang seperti ini," gumam Roy mengingatkan diri.
Sambil geleng-geleng, Roy menelan liurnya ketika menyelesaikan tugasnya untuk mengganti pakaian Gera. Ia menyesal tidak menerima bantuan Bibi Ros. Sekarang, jadi susah sendiri dan malah menyakiti dirinya sendiri.
***
Karena Gera masih belum juga beranjak bangun, Roy memilih untuk mengunjungi Adit dulu. Emosi yang tadinya redam karena Gera, kini memuncak untuk memberi pelajaran pada Adit.
"Bagaimana Luis?" Luis membungkuk memberi hormat pada Roy.
"Jadi kamu yang melakukan ini semua?" Ternyata Adit sudah bangun dan mengamuk ketika melihat kehadiran si Tuan rumah.
"Saya sudah peringatkan, jangan berani-beraninya menyentuh milik saya. Anda mendengarnya atau tidak?" Dingin. Roy memainkan ujung jarinya dengan santai.
Adit mendecih, "Siapa yang kamu miliki? Gera? Wanita kotor itu maksudmu?" ucap Adit meremehkan Gera.
Permainan tangan Roy terhenti, dan beralih menatap nyalang pada Adit. "Bisa Anda ulangi?" perintah Roy dengan nada yang ditekankan.
"Gera si wanita kotor!" teriak Adit.
"Kau tidak lebih dari hewan! Berani sekali kau sebut wanitaku kotor. Kau yang tidak tahu malu!" Roy sudah tak bisa menahan emosinya. Ia memukuli Adit beberapa kali hingga menyisakan darah di sudut bibirnya.
"Luis, apa kau sudah memberinya minuman itu?" Mata Roy kini berubah pekat. Tanda emosinya berada di puncak.
Luis mengangguk. "Sudah, Boss. Tinggal menunggu reaksinya saja. Beberapa menit lagi akan terlihat," jawab Luis tenang. Hal semacam ini tidak membuatnya gemetar karena sudah terbiasa melihat Roy melakukan hal semacam ini pada orang sebelumnya.
Adit tertawa menggelegar mengisi ruangan. "Buktikan saja jika kau tidak percaya bahwa si Gera itu kotor!" suruh Adit dengan angkuhnya.
"Sudah kubuktikan. Dan kau tahu? Dia masih suci. Aku yang mendapatkannya. Tepat ketika kau membubuhi obat berdosis tinggi untuknya malam itu," Roy menyeringai.
Bersamaan dengan itu, Luis membawa tiga wanita dengan pakaian minim kain ke dalam ruangan tempat Adit disekap. Adit bingung dengan apa yang akan Roy lakukan padanya.
"Sudah kubawakan yang kau inginkan. Akan aku pastikan hari ini kau akan lemah karena egomu sendiri," ujar Roy lalu meninggalkan ruangan.
"Hei! Apa maksudmu?" teriak Adit memanggil Roy yang sudah berlalu pergi.
"Hey dude, bersyukurlah karena Boss memberimu hukuman yang menyenangkan. Aku akan sangat senang menyaksikan atraksinya," ujar Luis tertawa. Ia lebih memilih duduk santai menikmati rokoknya daripada menghabiskan tenaga untuk meladeni Adit.
"Apa yang akan mereka lakukan padaku?" geram Adit meminta penjelasan.
"Astaga! Ternyata kau penasaran juga. Jawabannya adalah... tunggu saja!" jawab Luis mengejek Adit.
Ketiga wanita itu hanya meliuk-liuk. Sementara Adit, obatnya sudah mulai bereaksi. Ia meronta ingin melepas borgol yang mengunci tangannya.
"Dasar gila! Bagaimana bisa kau memberiku obat seperti ini?" jerit Adit tak tertahan.
"Gampang! Hanya ingin kau merasakan apa yang wanita itu rasakan," Luis menjawab enteng.
"Girls, ini waktunya kalian bertugas!" seru Luis antusias. Ketiga wanita itu mengangguk.
Luis membantu Adit melepas borgolnya. Sementara ketiga wanita seksi itu mulai meliuk-liukkan badan.
"Pelanlah! Kau akan mendapatkan apa yang kau mau," ujar salah satu wanita.
Suara mereka membuat ruangan itu bising. Adit sangat menikmati permainan itu, tangannya pun sudah bergerilya bermain kemana-mana. Sementara Luis, bukannya terpancing malah menyaksikan dengan wajah yang super duper datar. Aneh!
"Bisa kita istirahat sebentar? Kalian mengeroyokku," gumam Adit lemas. Bertolak belakang dengan tubuhnya.
Para wanita menggeleng, "sayangnya tidak bisa, Tuan. Kau harus memenuhi kemauan kami. Bahkan jika kau harus melakukannya sampai pingsan," Adit bergidik ngeri mendengar penuturan salah satu dari wanita itu.
"Ah, aku sungguh lelah. Lima menit saja," Adit memohon.
"Rasanya aku mau pingsan," ujar Adit disela napasnya yang tersengal-sengal.
"Kami belum ingin berhenti, Tuan. Dan kau harus memenuhi kemauan kami," pantang para wanita membuat Adit melotot.
"What? Apa kalian sudah tidak waras?" teriak Adit tak percaya.
"Bagaimana Luis?" tanya Roy dingin via telepon. Karena mansion begitu besar, malas juga untuk menunggunya datang. Mengingat jarak dari ruang kerjanya dengan ruang hitam lumayan jauh. "Sudah diatasi, Boss. Para wanita bayaran Anda sedang memberinya pelajaran. Anda bisa dengar sendiri suara mereka," ujar Luis. Roy menghela napas beratnya. "Baiklah. Jika sudah selesai, berikan aku rekamannya." Roy memutus sambungan sepihak. Sebenarnya Roy tidak mau memberi hukuman ringan seperti ini. Apalagi hukuman ini tergolong sangat menguntungkan Adit. Bagaimana tidak? Ini yang dia sukai dan yang ia cari setiap ke Club. *** Gera menggeliat di atas ranjang raksasa yang sangat nyaman. Ia pingsan begitu lama, atau bisa saja ia juga tertidur. Pelan ia membuka kelopak matanya, menyadari ada yang lain, Gera refleks terduduk. "Aku dimana?" Gera mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. K
Roy meninggalkan Gera sendiri di kamar itu. Dan meminta Ros untuk mengikutinya. "Ros, apa yang terjadi dengan wanita itu sebelum aku datang?" tanya Roy. Ros hanya menunduk takut. "Ma-maaf, Tuan. Tadi Gera sempat muntah-muntah Tuan." "Si-siapa? Gera?" tanya Roy penasaran. "Maaf Tuan, Nona itu menyuruh saya untuk memanggil namanya saja. Dia wanita yang sangat baik," tutur Ros tegang. "Oke. Namanya Gera, dan tadi sempat muntah katamu?" tanyanya memperjelas. Ros mengangguk. "Iya, Tuan." "Pergilah. Aku akan mengurus wanita ceroboh itu sendiri." Roy mengibaskan tangannya menyuruh Ros pergi. *** "Bagaimana keadaanmu, Nona?" Dingin. Datar. Sangat menjengkelkan. Gera memicingkan matanya tajam. "Wow! Kau mau menggodaku, Nona? Matamu itu...." Roy menggoda Gera. "Apa kau buta? Mataku menatap tajam kau bilang menggoda? Astaga!" Gera memekik keras. "Dasar laki-laki aneh!" gumamnya lagi hamp
"Maafkan saya, Pak. Saya yang lalai," Gera merendah ketika orang yang mewawancarai dirinya marah. Bukannya dia mau main-main, hanya saja dia sudah sangat putus asa. Kemana Gera harus mencari kerja lagi? Ia luntang lantung kesana kemari tak terarah. Uang sudah menipis. Sedang biaya hidup tetap harus mengalir. Oh Tuhan! *** Deva, HRD yang menyeleksi pegawai di kantor Roy menghampiri sang CEO dengan setumpuk kertas. "Maaf, Pak. Untuk jabatan sebagai pengganti sekretaris Bapak diantara semua tumpukan yang saya wawancarai hari ini tidak ada satupun pelamar yang memenuhi syarat," Sudah tugas Deva melaporkan hal ini pada Roy. Karena posisi yang dicari bukan posisi yang main-main. Roy hanya terpaku pada komputer dengan ekspresi datarnya. "Coba cek sekali lagi. Apa ada wanita yang bernama Gera?" perintah Roy. "Baik, Pak," Dengan cekatan Deva memeriksa se
"Pak, Anda diamlah di meja Anda. Ada keperluan apa Bapak menghampiri saya?" tanya Gera dengan gaya yang sengaja dibuat angkuh."Aw!" Gera mengelus kepalanya yang sakit karena dijitak Roy."Kau pikir kau siapa disini? Ingat siapa yang menjadi Boss?" Dagu seorang Aroy terangkat dengan gagah dan sombongnya."Maaf, Pak atas kelancangan saya.""Jangan menghindar! Aku menginginkanmu," bisik Roy membuat telinga Gera geli dan meremang."Jangan menghindar! Apa kau lupa bahwa kau milikku?" Ingin sekali Gera menampar pria ini. Namun, entah kenapa sapuan napas Roy di tengkuknya membuat Gera terpancing."Maaf, Pak. Bukannya tugas saya hanya menjadi sekretaris pribadi Bapak?" Otak Gera berputar memikirkan alasan agar pembicaraan ini teralihkan."Ingat, Gera! Kau milikku. Dan jabatanmu menjadi sekretaris pribadiku tidak mengubah statusmu yang menjadi milikku dan kau tidak
"Sudah kutebak," Roy tersenyum lebar melihat kehadiran Gera.'Astaga! Kenapa senyumnya sangat menggoda dan membuatku enggan untuk pergi?' batin Gera menjerit. Gera menampik pikirannya dan menggeleng."Jangan terlalu percaya diri, Tuan. Sikap seperti itu tidak perlu dijunjung tinggi meski perlu. Secukupnya saja," Senyum Roy seketika meredup mendengar perkataan Gera.Gera masih saja berdiri dihadapan Roy dan menatap datar. " Lalu untuk apa kau kemari jika bukan kembali menjadi asistenku?""Mohon maaf, Tuan. Apa yang Anda katakan barusan? Asisten? Bukannya saya disini hanya dijadikan budak atau yang kerap Anda sebutkan namanya sebagai, ah entah saya lupa," Gera berniat menyindir Roy."Saya kesini hanya untuk mengembalikan barang Anda yang sempat saya pinjam. Hoodie. Terima kasih banyak, Tuan. Untuk uang Anda, denda maksud saya, bersabar
"Aku yakin ada yang aneh dengan minuman ini. Pasti ulah si Dinda," batin Roy. Terselip senyuman tipis di wajahnya. "Roy, apa yang terjadi dengan tubuhku? Kenapa terasa sangat panas?" Lenguhan kecil terdengar lolos dari mulut Gera ketika Roy menyentuh lengannya. "Roy, rasanya seperti malam itu. Ketika Adit memberiku obat. Apa kau juga menaruh obat untukku dalam minuman itu?" Gera ingin menatap tajam Roy tapi gelenyar aneh ini membuatnya tak fokus. Roy tersentak mendengar penuturan Gera. "Apa? Kamu pikir aku pria murahan? Big no! Ini sama sekali bukan ulahku," Roy langsung keberatan dan melangkah menuju kursinya. Menyelesaikan pekerjaan yang sedikit lagi kelar. "Lalu siapa jika bukan kau?" tuduh Gera. "Mana ku tahu. Aku saja sejak tadi sibuk dengan pekerjaanku. Mana sempat mencampur ini itu dalam minumanku. Untuk apa?" Kenyataannya Roy sudah terpancing hanya dengan melihat Gera yang seperti cacing kepanasan. &
Menunggu Luis membuat Gera mengingat kembali Roy. Ia menghela lelah jika mengingat tugas membosankan itu. Ingin sekali berhenti tapi Roy sudah memikirkan semuanya selangkah lebih maju. "Dasar laki-laki labil!" Gera terus saja merutuki Roy. Kesal dengan sikap Roy yang membuatnya terus saja jengkel. Gera ingin sekali menangis. Tapi tak bisa karena masih ada Luis. Dia terlihat sudah kembali. "Ini untukmu, Ge!" "Ini untukmu!" Luis menyadarkan lamunan Gera. "Makanlah. Aku yakin kamu lapar sekarang," ujar Luis. Namun Gera menatap aneh cup makanan siap saji itu. "Apa kau yakin makanan ini tidak ada apa-apanya?" Luis dibuat bingung dengan pertanyaan Gera. "Maksudnya?" "Apa Roy tak menyuruhmu membubuhi makananku dengan obat lagi?" Luis terkekeh. "Tidak, Gera. Percayalah! Roy sedang di kantor. Mana mungkin menyuruhku membubuhi makananmu," ujar Luis. "Baiklah. Akan kumakan.
"Aku tanya apa kau siap?" Roy menegaskan pada Gera karena ia hanya memutar bola matanya lemas.Tapi bukannya membuat Roy marah atau sedikit malas dengannya, Roy malah tak peduli dan ia menjadi semakin gemas dengan tingkah Gera."Lets go to the hot game!" Terlihat sangat enteng saat Roy membopong tubuh Gera."Roy! Ini sangat geli." Rambut Roy yang sebelumnya rapi sekarang berantakan karena dijambak oleh Gera.Bukannya menuruti keinginan Gera, Roy malah mengangkat kaki Gera setinggi yang ia bisa. "Masih ingat? Kau tak boleh menolak, Nona.""Apa yang akan kau lakukan, Roy?""Cerewet! Aku jadi tidak fokus karena dirimu!" Gera terkesiap mendengarnya. Ia sangat malu, berusaha ia tutupi namun nihil, Roy tak akan memberi celah.Ternyata stamina Roy tak bisa diremehkan. Gera kewalahan me
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
"Bukti apa yang bisa kau berikan, Luis?" tanya Roy meremehkan. Karena pertikaian itu, mereka sampai melupakan kondisi Gera. Clay sudah malas berbicara karena itu akan percuma saja. "Aku akan tunjukkan buktinya padamu besok pagi. Agar kau puas!" Luis berlalu meninggalkan Roy yang masih tertawa kecil merendahkan niat Luis. Luis beranjak keluar dari rumah sakit. Menenggak air mineral dan menyalakan rokoknya, berharap dengan ini dirinya akan bisa sedikit saja lebih tenang dan stabil. Jika dipikir-pikir, percuma juga melawan Roy beradu mulut. Dia tidak akan mau kalah, batin Luis. ***"Apa Gera sudah sadar?" tanya Luis pada Ros. Wanita itu terduduk sembari memangku kepala Clay yang tengah tertidur lelap. Mendengar suara Luis, Clay terbangun, "Kau ke mana saja semalaman? Aku mencarimu! Apa kau pulang tadi malam?" tanya Clay dengan wajah cemberutnya. Bibirnya mengerucut dan membuat Luis menjadi gemas. "Tidak, sayang. Aku hanya menenangkan diri di taman rumah sakit. Merokok. Jika aku teta
"Ge... kau di mana?" Semakin lama suara Luis yang memanggil Gera terdengar semakin besar. Bahkan membangunkan sebagian pelayan yang bekerja di sana."Ada apa, Luis? Gera sepertinya sudah masuk ke kamar," seru Ros sembari menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan yang berpendar sangat terang. Luis menggeleng lemah, "Gera sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir," lirih Luis. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menetes begitu saja. Begitu tak terbendung karena rasa kasihannya pada Gera. "Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku!" suruh Ros dengan raut wajah cemas. Terlebih dirinya, jika menyangkut tentang Gera, dia akan sangat cemas. Rasa sayangnya pada wanita itu seperti kasih sayangnya pada anak sendiri. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Maafkan aku," lirih Luis lemah. Luis menegakkan kepala, "Aku harus memeriksa keadaan Gera, Bi. Sebagai temannya aku tidak bisa hanya diam saja di sini." Dengan langkah cepat Luis menuju kamar Gera. Mencari sosok wanita yang rap
"Apa maksudmu, Steve?" tanya Luis dengan wajah terkejut. Steve meneleponnya dan mengatakan bahwa Roy sedang berada di klab dan membawa seorang wanita. Steve sendiri sangat bingung... bagaimana bisa Roy menggandeng seorang wanita dengan sangat mesra? Bukankah Bosnya itu sangat mencintai Gera? Lalu apa maksud semua ini, pikirnya. Luis tidak mau memberitahu Gera, tetapi dia langsung beranjak menuju klab dan akan menemui Bosnya itu."Di mana Bos?" Luis bertanya tanpa basa-basi pada pegawai di sana. "Luis, Bos sudah memberi pesan agar tidak seorang pun masuk mengganggunya. Termasuk kau," ujar seorang barista. Luis menatap kaget dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Apa maksudnya itu?" Luis menggeram kesal. Luis tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah tangan dingin menyentuh permukaan kulit lengannya yang terbuka. "Kau bisa masuk bersamaku, Luis." "Gera?!""Bagaimana bisa kau di sini? Aku sudah menyuruhmu untuk istirahat, bukan?" "Aku mendengar percakapan mu dengan Steve tadi.
"Roy...."Dua insan yang tengah memadu kemesraan itu menghentikan kegiatan panas mereka sesaat setelah mendengar suara lirih Gera.Air mata Gera sudah menetes sejak tadi. Wanita itu menutup mulut dengan tangannya yang gemetar. Tak menyangka suaminya akan berbuat sehina ini. Yang membuat Gera lebih tidak menyangka adalah respons Roy setelah melihat kehadirannya. Bukannya terkejut atau merasa bersalah, Roy malah memperbaiki kemejanya yang kusut akibat terkaman wanita asing itu dengan santai."Siapa dia, Roy?" tanya wanita itu memecah keheningan."Istriku.""Oh."Hati Gera menganga lebar. Bukan hanya hatinya yang perih, tetapi napasnya terasa seakan hendak habis saat itu juga. Jawaban acuh Roy dan wanita itu menjadi batu panas yang menghantam Gera. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dari mereka, walaupun hanya dari raut wajah saja."Kau bisa menjelaskannya sekarang, Roy," ujar Gera lirih. Berhar
"Kau harus membersihkan dirimu, sayang. Kau juga terlihat sangat lelah." Gera benar-benar merasa tersindir oleh apa yang Roy katakan barusan. Bukannya mendekati Gera atau bahkan bergelayut manja seperti biasanya, Roy hanya duduk dan memperhatikan Gera dengan wajah dinginnya dari kejauhan. "Kau sudah makan?" tanya Gera kikuk. "Itu bukanlah hal penting. Sekarang pergilah mandi dan istirahat!" Roy menyampaikannya biasa, namun terdengar sangat tegas dan sedikit ada geraman. "Aku akan menyiapkan makan malammu dulu." "Tidak ada makan malam. Dan lihatlah arlojimu, ini sudah pukul delapan malam. Cukup mandi dan istirahatlah!" tegas Roy tanpa mau menatap istrinya. Gera ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Seakan dirinya tertahan untuk berbicara pada Roy. Namun sikap Roy sudah sangat cukup untuk menggambarkan bahwa suaminya sedang dalam kondisi perasaan yang tid