Ya tuhan aku bahkan sampai lupa untuk meminta nomornya. Namun, siapa yang menyangka kalau sekarang ia malah mengirimkan pesan padaku.
Aku masih tidak percaya, apakah ini mimpi? Demi meyakinkan diri aku mencubit pergelangan tangan.“Ah! Kok sakit.”Jersey mana jersey? Ia membelikan semua barang yang aku sukai, dari mulai jersey bola basket juga ada. Aku memang suka berolahraga terutama sepak bola dan basket. Meskipun bolanya sudah kempes itu masih tidak masalah sama sekali. Aku bisa memompanya lagi. Namun, yang paling special di sini. Bisa-bianya Sofia mengingat semuanya dan berusaha memberikannya di kemudian hari.Tadinya aku ingin mengucapkan rasa terima kasihku. Sayangnya sudah 10 menit berlalu, aku masih tidak tahu akan mengirimkan pesan apa padanya. Lagi-lagi pesannya dihapus.[Kamu sebenarnya mau ngetik apa Musa, kenapa enggak jadi-jadi?]Sofia malah kembali mengirimkan pesan. Membuatku malu saja, kalau begini ketahuan kala“Kamu mungkin jijik, tapi aku enggak. Kamu pikir alasanku sendiri sampai hari ini kenapa? Itu semua juga, karena kamu. Jadi, bagaimana bisa aku melepaskanmu kali ini. Kecuali, kamu milik orang lain, mungkin aku akan mengikhlaskanmu walau berat. Namun, jika sama-sama sendiri, jangan minta aku buat nyerah.”“Tapi, keluargamu bagaimana?”“Memangnya tadi sikap ayah dan bunda ke kamu bagaimana? Mereka enggak berubah sedikit pun bukan?”“Tapi, siapa yang tahu hati seseorang Musa. Mereka mungkin masih menyambutku sebagai temanmu, tetapi mungkin akan lain cerita kalau aku menjadi istrimu.”“Kamu tahu, siapa yang menenangkan ibumu waktu dia hampir depresi karena kehilangan putrinya?”“Siapa?”“Bunda.”“Bundamu masih sebaik itu sama aku?”“Ya, dia juga ikut kehilangan waktu kamu memutuskan untuk pergi dari rumah. Bisa, ya. Aku harap pekan depan kamu sudah ada di rumah.”“Tapi, aku hanya seorang babby sitter. Apa
“Justru kedatangan saya ke sini untuk bermaksud untuk melamar Sofia, Pak.”“Loh, bagaimana? Melamar Sofia untuk jadi apa, Pak Amar?”“Untuk jadi istri sekaligus Bunda dari Ruqa.”“Sebentar Pak Amar, kenapa jadi mendadak begini ya?”“Memangnya Sofia enggak cerita soal ini, ke Bapak dan Ibu?”“Sofia, kenapa kamu enggak bilang apa pun soal lamaran ini? Bapak sama Ibu sama sekali gak tahu.”“Maaf Yah, Sofia juga sebenarnya sudah membicarakan semua ini sama Pak Amar langsung. Sofia juga bingung, kalau tiba-tuba Pak Amar nekat datang ke sini dan membicarakan langsung sama Bapak dan Ibu.”“Bukankah kemarin kamu bilang, lagi pula saya perlu membicarakan hal ini pada ayah dan ibu. Jadi, sekalian saja mumpung orang tua kamu di sini. Saya ingin meminta izin secara langsung.”Entah kenapa kebanyakan orang kaya todak tahu diri. Sudah ditolak pun masih keras kepala.“Bukannya kemarin Sofia udah nolak?” tanyaku.
“Ibu jangan mikir yang macam-macam! Nanti, kalau sampai besok Sofia masih dipersulit, Bapak yang datang ke sana buat Minta Sofia pulang.”“Ibu mah enggak percaya sama orang kaya zaman sekarang,” ucap Bu Yeni sambil melirik ke arah depan.Di mana ada Amar dan Sofia yang saat itu tengah berusaha menenangkan Ruqa yang tiba-tiba mengamuk.“Enggak semua orang begitu Bu, cuma memang kita harus tetap waspada,” ucap Pak Zul.“Ya sudah, sekarang mending kita susul mereka aja!”Kala itu untung saja petugas keamanan hotel berhasil menahan Ruqa agar tidak berlari ke arah jalan. Anak itu kenapa begitu keras dan terkesan haus perhatian? Ayahnya sendiri saja terkesan tidak bisa apa-apa. Anaknya sudah tantrum pun ia tak mampu menenangkannya. Entah bagaimana jika Sofia tak lagi bekerja di rumahnya. Saat itu tepat ketika kami menghampiri ketiganya. Anak itu kembali menarik Sofia agar mendekat pada Amar.“Bu, Pak, saya tahu mungkin lamara
“Lagian kenapa Ayah pakai bicara soal pertunangan aku sama Sofia ke Om Hamzah?”“Ya, Ayah pikir enggak akan ada masalah. Mana Ayah tahu kalau ternyata Sabrina suka sama kamu. Mana katanya suka dari zaman kalian masih kuliah. Itu artinya udah lama banget.”“Ya, emang. Cuma namanya perasaan juga enggak bisa dipaksakan. Aku enggak bisa suka sama dia.”“Bukannya kalian satu kantor?”“Ya, makanya kadang aku risi juga.”“Musa, kenapa enggak bilang sama Ayah, harusnya ayah enggak perlu bilang ini ke Om Hamzah.”“Musa juga buat apa bilang begini ke Ayah, ‘kan enggak lucu juga.”“Pantas aja setiap lebaran anak itu selalu saja mampir ke sini buat silaturahmi. Ternyata ada tujuan lain.”“Sudahlah, terlanjur juga. Tolong jangan minta aku buat mundurin pertunangan ini. Aku udah lama banget nunggu momen ini.”“Ayah jadi enggak enak sama Om Hamzah, Musa.”“Ya, mau bagaimana lagi? Aku dari dulu juga sudah mene
“Makasih oleh-olehnya, ya!”Sofia hanya mengangguk sambil tersenyum.“Kamu jangan lupa istirahat! Tolong sampaikan ke Bapak sama Ibu siapanya kapan?”“Memang Musa maunya kapan.”“Ya, maunya sih secepatnya. Besok juga boleh.”“Aku bicarakan dulu, ya!”“Jadi, besok?”“Insyaallah.”Yes!Saking senangnya aku bahkan tidak bisa menahan untuk melakukan sedikit selebrasi. Akhirnya, waktu yang kunantikan akan segera tiba. Sampai ketika aku tersadar jika aksiku tengah menjadi perhatian Sofia. Aku mendadak menarik lengan ke samping dan kembali menegakkan badan. Seolah rak terjadi apa pun. “Aku boleh pergi sekarang?”“Oh, ya boleh. Maaf ya dari tadi aku nahan kamu terus.”“Enggak apa-apa.”Usai kepergian Sofia, entah kenapa perasaanku seperti terbang dan melayang-layang di udara.“Duh, yang habis kedatanga calon istri,” sindir Ayah.“Hehe, apa sih Yah, ngeledek
“Om, kok ke sini enggak bilang-bilang?” tanyaku, tepat ketika Ayah datang dengan temannya itu.“Oh, kenapa? Kaget? Kedatangan Om ganggu acaramukah?” tanya Om Hamzah. Ekspresi wajahnya saat itu, sangat tidak enak dipandang. Ia seperti orang yang tengah marah.“Enggak ganggu, kami senang kalau memang ada tamu yang mau ikut antar ke rumah Sofia.”“Jadi, kamu mau menikah sama dia ini?” tanyanya dengan wajah yang tak percaya.“Kami mau tunangan dulu, tapi insyaallah pernikahannya akan diadakan secepatnya.”“Loh, kamu enggak dengarkan permintaan saya kemarin?”“Permintaan apa, Om?”“Menikah dengan Sabrina.”Sontak saja semua pasang mata yang berada di ruang tamu lala itu mendadak menatap kami dengan ekspresi bertanya-tanya. Tak jarang dari mereka malah langsung berbisik dengan kawannya.Ah, sudah kuduga sejak awal. Kedatangan orang ini pasti memiliki niat yang tidak baik. Lihat saja caranya bicara s
“Siap A, Om Hamzah biar aku yang temani di sini,” saut Arfan dengan gaya santainya yang khas.Dari wajah Om Hamzah yang tampak ditekuk, aku tahu pria itu pasti sangat marah sekarang. Namun, apa boleh buat, bukannya kami tak tahu adab menjamu tamu. Andai saja orang ini punya biat yang baik, sudah pasti akan dengan senang hati menyambutnya.“Hamzah, saya lagi ada urusan. Mohon maaf, saya enggak bisa bangun apa-apa. Semua keputusan ada di anak saya. Yang perlu kamu tahu juga, pernikahan itu bukan untuk main-main. Ini terlalu sakral, jika dijadikan lelucon. Keponakanmu juga pada akhirnya akan sama-sama tersakiti kalau dipaksakan,” ucap ayah. Sembari menepuk pundak temannya itu, ayah masih saja berbuat sopan. Padahal, perilaku Om Hamzah sudah minta untuk dihajar.“Saya enggak terima ya, dipermalukan begini. Saya minta baik-baik loh, Jim.”“Ya, tapi tapi anak saya yang mau menjalankan rumah tangganya. Bukan kita.”“Kamu juga, memangny
“Ih, Bunda enggak begitu kok, beneran. Musa nih, ngomporin aja. ‘Kan bercanda.”Aku hanya tertawa menyaksikan bunda yang .alah menjelaskan hal itu pada Sofia. “Aku rahu kok, Bun. Musa ini sama orang tua aja dia bercandain.”Syukurlah saat itu Sofia sudah tak lagi menitikkan air matanya. Melihatnya bersedih, sejujurnya hatiku juga ikut sakit. Gadis itu pasti baru saja kehilangan kepercayaan dirinya. Om Hamzah memang brengsek. Memangnya aku bekerja di perusahaannya juga hanya bersantai-santai saja? Jelas-jelas aku kerja keras. Semua kasusku hampir semuanya selesai dengan baik. Klien saja selalu puas dengan kinerjaku selama ini. Bagaimana ia bisa bikang minta balas jasa, sedang sejak awal aku juga tak pernah memohon untuk masuk ke perusahaannya. Justru sari pada mengemis, Sabrina sendiri yang selalu datang dan menawari pekerjaan itu. Seharusnya Om Hamzah juga masih ingat, bagaimana ia pernah datang berkali-kali untuk memintaku bekerja di