“Lagian kenapa Ayah pakai bicara soal pertunangan aku sama Sofia ke Om Hamzah?”
“Ya, Ayah pikir enggak akan ada masalah. Mana Ayah tahu kalau ternyata Sabrina suka sama kamu. Mana katanya suka dari zaman kalian masih kuliah. Itu artinya udah lama banget.”“Ya, emang. Cuma namanya perasaan juga enggak bisa dipaksakan. Aku enggak bisa suka sama dia.”“Bukannya kalian satu kantor?”“Ya, makanya kadang aku risi juga.”“Musa, kenapa enggak bilang sama Ayah, harusnya ayah enggak perlu bilang ini ke Om Hamzah.”“Musa juga buat apa bilang begini ke Ayah, ‘kan enggak lucu juga.”“Pantas aja setiap lebaran anak itu selalu saja mampir ke sini buat silaturahmi. Ternyata ada tujuan lain.”“Sudahlah, terlanjur juga. Tolong jangan minta aku buat mundurin pertunangan ini. Aku udah lama banget nunggu momen ini.”“Ayah jadi enggak enak sama Om Hamzah, Musa.”“Ya, mau bagaimana lagi? Aku dari dulu juga sudah mene“Makasih oleh-olehnya, ya!”Sofia hanya mengangguk sambil tersenyum.“Kamu jangan lupa istirahat! Tolong sampaikan ke Bapak sama Ibu siapanya kapan?”“Memang Musa maunya kapan.”“Ya, maunya sih secepatnya. Besok juga boleh.”“Aku bicarakan dulu, ya!”“Jadi, besok?”“Insyaallah.”Yes!Saking senangnya aku bahkan tidak bisa menahan untuk melakukan sedikit selebrasi. Akhirnya, waktu yang kunantikan akan segera tiba. Sampai ketika aku tersadar jika aksiku tengah menjadi perhatian Sofia. Aku mendadak menarik lengan ke samping dan kembali menegakkan badan. Seolah rak terjadi apa pun. “Aku boleh pergi sekarang?”“Oh, ya boleh. Maaf ya dari tadi aku nahan kamu terus.”“Enggak apa-apa.”Usai kepergian Sofia, entah kenapa perasaanku seperti terbang dan melayang-layang di udara.“Duh, yang habis kedatanga calon istri,” sindir Ayah.“Hehe, apa sih Yah, ngeledek
“Om, kok ke sini enggak bilang-bilang?” tanyaku, tepat ketika Ayah datang dengan temannya itu.“Oh, kenapa? Kaget? Kedatangan Om ganggu acaramukah?” tanya Om Hamzah. Ekspresi wajahnya saat itu, sangat tidak enak dipandang. Ia seperti orang yang tengah marah.“Enggak ganggu, kami senang kalau memang ada tamu yang mau ikut antar ke rumah Sofia.”“Jadi, kamu mau menikah sama dia ini?” tanyanya dengan wajah yang tak percaya.“Kami mau tunangan dulu, tapi insyaallah pernikahannya akan diadakan secepatnya.”“Loh, kamu enggak dengarkan permintaan saya kemarin?”“Permintaan apa, Om?”“Menikah dengan Sabrina.”Sontak saja semua pasang mata yang berada di ruang tamu lala itu mendadak menatap kami dengan ekspresi bertanya-tanya. Tak jarang dari mereka malah langsung berbisik dengan kawannya.Ah, sudah kuduga sejak awal. Kedatangan orang ini pasti memiliki niat yang tidak baik. Lihat saja caranya bicara s
“Siap A, Om Hamzah biar aku yang temani di sini,” saut Arfan dengan gaya santainya yang khas.Dari wajah Om Hamzah yang tampak ditekuk, aku tahu pria itu pasti sangat marah sekarang. Namun, apa boleh buat, bukannya kami tak tahu adab menjamu tamu. Andai saja orang ini punya biat yang baik, sudah pasti akan dengan senang hati menyambutnya.“Hamzah, saya lagi ada urusan. Mohon maaf, saya enggak bisa bangun apa-apa. Semua keputusan ada di anak saya. Yang perlu kamu tahu juga, pernikahan itu bukan untuk main-main. Ini terlalu sakral, jika dijadikan lelucon. Keponakanmu juga pada akhirnya akan sama-sama tersakiti kalau dipaksakan,” ucap ayah. Sembari menepuk pundak temannya itu, ayah masih saja berbuat sopan. Padahal, perilaku Om Hamzah sudah minta untuk dihajar.“Saya enggak terima ya, dipermalukan begini. Saya minta baik-baik loh, Jim.”“Ya, tapi tapi anak saya yang mau menjalankan rumah tangganya. Bukan kita.”“Kamu juga, memangny
“Ih, Bunda enggak begitu kok, beneran. Musa nih, ngomporin aja. ‘Kan bercanda.”Aku hanya tertawa menyaksikan bunda yang .alah menjelaskan hal itu pada Sofia. “Aku rahu kok, Bun. Musa ini sama orang tua aja dia bercandain.”Syukurlah saat itu Sofia sudah tak lagi menitikkan air matanya. Melihatnya bersedih, sejujurnya hatiku juga ikut sakit. Gadis itu pasti baru saja kehilangan kepercayaan dirinya. Om Hamzah memang brengsek. Memangnya aku bekerja di perusahaannya juga hanya bersantai-santai saja? Jelas-jelas aku kerja keras. Semua kasusku hampir semuanya selesai dengan baik. Klien saja selalu puas dengan kinerjaku selama ini. Bagaimana ia bisa bikang minta balas jasa, sedang sejak awal aku juga tak pernah memohon untuk masuk ke perusahaannya. Justru sari pada mengemis, Sabrina sendiri yang selalu datang dan menawari pekerjaan itu. Seharusnya Om Hamzah juga masih ingat, bagaimana ia pernah datang berkali-kali untuk memintaku bekerja di
Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar
“Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat
[Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala