“Kalau rumah di kampung dijual terus ibu mau tinggal di mana, Jimy? Tega kamu bikin ibu jadi gelandangan, hiks.”
Lagi-lagi ibu terisak, bahkan sekarang terdengar sangat memilukan. Ia memang paling pandai menarik simpati orang lain. Mungkin saja sekarang baik Hamzah maupun polisi menjadi kasihan.“Mereka yang minta ibu buat jual angkot, Jim. Ibu juga tadinya mah enggak mau.”“Ibu ‘kan orang tua, bukan anak kecil. Mereka juga anak-anak ibu. Ibu harusnya bisa nolak, kalau butuh uang kenapa enggak jual emas atau rumah aja sekalian? Kenapa malah jual barang-barang punya aku?”Entahlah aku bahkan tidak bisa mempercayainya lagi. Tak peduli dia berkata jujur atau tidak aku akan tetap meminta ganti rugi apa-apa yang telah mereka ambil. Setidaknya meski mereka juga tak akan menggantinya secara utuh, minimal ini akan jadi teguran keras agar ke depannya mereka tidak sembarangan merampas hak orang lain. Apa lagi hanya karena keluarga sendiri mereka merasa berhYa tuhan aku bahkan sampai lupa untuk meminta nomornya. Namun, siapa yang menyangka kalau sekarang ia malah mengirimkan pesan padaku.Aku masih tidak percaya, apakah ini mimpi? Demi meyakinkan diri aku mencubit pergelangan tangan. “Ah! Kok sakit.”Jersey mana jersey? Ia membelikan semua barang yang aku sukai, dari mulai jersey bola basket juga ada. Aku memang suka berolahraga terutama sepak bola dan basket. Meskipun bolanya sudah kempes itu masih tidak masalah sama sekali. Aku bisa memompanya lagi. Namun, yang paling special di sini. Bisa-bianya Sofia mengingat semuanya dan berusaha memberikannya di kemudian hari.Tadinya aku ingin mengucapkan rasa terima kasihku. Sayangnya sudah 10 menit berlalu, aku masih tidak tahu akan mengirimkan pesan apa padanya. Lagi-lagi pesannya dihapus.[Kamu sebenarnya mau ngetik apa Musa, kenapa enggak jadi-jadi?]Sofia malah kembali mengirimkan pesan. Membuatku malu saja, kalau begini ketahuan kala
“Kamu mungkin jijik, tapi aku enggak. Kamu pikir alasanku sendiri sampai hari ini kenapa? Itu semua juga, karena kamu. Jadi, bagaimana bisa aku melepaskanmu kali ini. Kecuali, kamu milik orang lain, mungkin aku akan mengikhlaskanmu walau berat. Namun, jika sama-sama sendiri, jangan minta aku buat nyerah.”“Tapi, keluargamu bagaimana?”“Memangnya tadi sikap ayah dan bunda ke kamu bagaimana? Mereka enggak berubah sedikit pun bukan?”“Tapi, siapa yang tahu hati seseorang Musa. Mereka mungkin masih menyambutku sebagai temanmu, tetapi mungkin akan lain cerita kalau aku menjadi istrimu.”“Kamu tahu, siapa yang menenangkan ibumu waktu dia hampir depresi karena kehilangan putrinya?”“Siapa?”“Bunda.”“Bundamu masih sebaik itu sama aku?”“Ya, dia juga ikut kehilangan waktu kamu memutuskan untuk pergi dari rumah. Bisa, ya. Aku harap pekan depan kamu sudah ada di rumah.”“Tapi, aku hanya seorang babby sitter. Apa
“Justru kedatangan saya ke sini untuk bermaksud untuk melamar Sofia, Pak.”“Loh, bagaimana? Melamar Sofia untuk jadi apa, Pak Amar?”“Untuk jadi istri sekaligus Bunda dari Ruqa.”“Sebentar Pak Amar, kenapa jadi mendadak begini ya?”“Memangnya Sofia enggak cerita soal ini, ke Bapak dan Ibu?”“Sofia, kenapa kamu enggak bilang apa pun soal lamaran ini? Bapak sama Ibu sama sekali gak tahu.”“Maaf Yah, Sofia juga sebenarnya sudah membicarakan semua ini sama Pak Amar langsung. Sofia juga bingung, kalau tiba-tuba Pak Amar nekat datang ke sini dan membicarakan langsung sama Bapak dan Ibu.”“Bukankah kemarin kamu bilang, lagi pula saya perlu membicarakan hal ini pada ayah dan ibu. Jadi, sekalian saja mumpung orang tua kamu di sini. Saya ingin meminta izin secara langsung.”Entah kenapa kebanyakan orang kaya todak tahu diri. Sudah ditolak pun masih keras kepala.“Bukannya kemarin Sofia udah nolak?” tanyaku.
“Ibu jangan mikir yang macam-macam! Nanti, kalau sampai besok Sofia masih dipersulit, Bapak yang datang ke sana buat Minta Sofia pulang.”“Ibu mah enggak percaya sama orang kaya zaman sekarang,” ucap Bu Yeni sambil melirik ke arah depan.Di mana ada Amar dan Sofia yang saat itu tengah berusaha menenangkan Ruqa yang tiba-tiba mengamuk.“Enggak semua orang begitu Bu, cuma memang kita harus tetap waspada,” ucap Pak Zul.“Ya sudah, sekarang mending kita susul mereka aja!”Kala itu untung saja petugas keamanan hotel berhasil menahan Ruqa agar tidak berlari ke arah jalan. Anak itu kenapa begitu keras dan terkesan haus perhatian? Ayahnya sendiri saja terkesan tidak bisa apa-apa. Anaknya sudah tantrum pun ia tak mampu menenangkannya. Entah bagaimana jika Sofia tak lagi bekerja di rumahnya. Saat itu tepat ketika kami menghampiri ketiganya. Anak itu kembali menarik Sofia agar mendekat pada Amar.“Bu, Pak, saya tahu mungkin lamara
“Lagian kenapa Ayah pakai bicara soal pertunangan aku sama Sofia ke Om Hamzah?”“Ya, Ayah pikir enggak akan ada masalah. Mana Ayah tahu kalau ternyata Sabrina suka sama kamu. Mana katanya suka dari zaman kalian masih kuliah. Itu artinya udah lama banget.”“Ya, emang. Cuma namanya perasaan juga enggak bisa dipaksakan. Aku enggak bisa suka sama dia.”“Bukannya kalian satu kantor?”“Ya, makanya kadang aku risi juga.”“Musa, kenapa enggak bilang sama Ayah, harusnya ayah enggak perlu bilang ini ke Om Hamzah.”“Musa juga buat apa bilang begini ke Ayah, ‘kan enggak lucu juga.”“Pantas aja setiap lebaran anak itu selalu saja mampir ke sini buat silaturahmi. Ternyata ada tujuan lain.”“Sudahlah, terlanjur juga. Tolong jangan minta aku buat mundurin pertunangan ini. Aku udah lama banget nunggu momen ini.”“Ayah jadi enggak enak sama Om Hamzah, Musa.”“Ya, mau bagaimana lagi? Aku dari dulu juga sudah mene
“Makasih oleh-olehnya, ya!”Sofia hanya mengangguk sambil tersenyum.“Kamu jangan lupa istirahat! Tolong sampaikan ke Bapak sama Ibu siapanya kapan?”“Memang Musa maunya kapan.”“Ya, maunya sih secepatnya. Besok juga boleh.”“Aku bicarakan dulu, ya!”“Jadi, besok?”“Insyaallah.”Yes!Saking senangnya aku bahkan tidak bisa menahan untuk melakukan sedikit selebrasi. Akhirnya, waktu yang kunantikan akan segera tiba. Sampai ketika aku tersadar jika aksiku tengah menjadi perhatian Sofia. Aku mendadak menarik lengan ke samping dan kembali menegakkan badan. Seolah rak terjadi apa pun. “Aku boleh pergi sekarang?”“Oh, ya boleh. Maaf ya dari tadi aku nahan kamu terus.”“Enggak apa-apa.”Usai kepergian Sofia, entah kenapa perasaanku seperti terbang dan melayang-layang di udara.“Duh, yang habis kedatanga calon istri,” sindir Ayah.“Hehe, apa sih Yah, ngeledek
“Om, kok ke sini enggak bilang-bilang?” tanyaku, tepat ketika Ayah datang dengan temannya itu.“Oh, kenapa? Kaget? Kedatangan Om ganggu acaramukah?” tanya Om Hamzah. Ekspresi wajahnya saat itu, sangat tidak enak dipandang. Ia seperti orang yang tengah marah.“Enggak ganggu, kami senang kalau memang ada tamu yang mau ikut antar ke rumah Sofia.”“Jadi, kamu mau menikah sama dia ini?” tanyanya dengan wajah yang tak percaya.“Kami mau tunangan dulu, tapi insyaallah pernikahannya akan diadakan secepatnya.”“Loh, kamu enggak dengarkan permintaan saya kemarin?”“Permintaan apa, Om?”“Menikah dengan Sabrina.”Sontak saja semua pasang mata yang berada di ruang tamu lala itu mendadak menatap kami dengan ekspresi bertanya-tanya. Tak jarang dari mereka malah langsung berbisik dengan kawannya.Ah, sudah kuduga sejak awal. Kedatangan orang ini pasti memiliki niat yang tidak baik. Lihat saja caranya bicara s
“Siap A, Om Hamzah biar aku yang temani di sini,” saut Arfan dengan gaya santainya yang khas.Dari wajah Om Hamzah yang tampak ditekuk, aku tahu pria itu pasti sangat marah sekarang. Namun, apa boleh buat, bukannya kami tak tahu adab menjamu tamu. Andai saja orang ini punya biat yang baik, sudah pasti akan dengan senang hati menyambutnya.“Hamzah, saya lagi ada urusan. Mohon maaf, saya enggak bisa bangun apa-apa. Semua keputusan ada di anak saya. Yang perlu kamu tahu juga, pernikahan itu bukan untuk main-main. Ini terlalu sakral, jika dijadikan lelucon. Keponakanmu juga pada akhirnya akan sama-sama tersakiti kalau dipaksakan,” ucap ayah. Sembari menepuk pundak temannya itu, ayah masih saja berbuat sopan. Padahal, perilaku Om Hamzah sudah minta untuk dihajar.“Saya enggak terima ya, dipermalukan begini. Saya minta baik-baik loh, Jim.”“Ya, tapi tapi anak saya yang mau menjalankan rumah tangganya. Bukan kita.”“Kamu juga, memangny
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala
[Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su
“Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat
Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar