Hari itu, Kang Warkam datang berkunjung ke rumah.
Dan pada saat itu juga, aku sedang ada dirumah.Terdengar suara ketukan pintu disertai salam.
Lalu, aku balas salam dan membukakan pintu."Ana apa kang? Apa ana sesuatu sampe teka dadakan kaya kenen?" (Ada apa kak? Apa ada sesuatu sampai datang mendadak seperti ini?) tanyaku.
"Run! Sira lagi nganggur? Gelem beli tak jak kakang dolan ning suatu tempat?" (Run! Kamu sedang menganggur? Mau tidak Kakak ajak kamu main ke suatu tempat?) Kang Warkam balik bertanya.
Aku diam untuk beberapa saat, karena merasa heran dengan kedatangan dan heran karena tiba-tiba mengajak ke suatu tempat.
"Mendi kang? Apa ana kerjaan?" (Kemana Kak? Apa ada kerjaan?) tanyaku lagi.
"Wis! Melu bae!" (Sudah! Ikut saja!) pinta Kang Warkam.
Aku tertunduk sesaat, memikirkan apa dan kemana.
Tetapi, aku tak bisa menolak ajakan Kak Warkam dan segera pamit sama anak dan istri.Saat ditengah perjalanan, akhirnya kak Warkam bercerita tentang maksud dan tujuannya mengajakku.
"Run! Weruh bu Ijah?" (Run! Tahu bu Ijah?) tanya kak Warkam.
"Weruh! Tanggane Kakang sing sugih kah, ya?" (Tahu! Tetangga kakak yang kaya, kan?) ucapku.
"Kakang dipai weruh ning kaen, lamon pengen sugih, kudu teka ning tempat P (nama tempat disamarkan) " (Kakak dikasih tahu sama dia, kalau mau kaya, harus datang ke tempat P) jelas Kang Warkam.
"Terus, ning kana ana apa? Emang ana apa ning kana bisane gawe sugih?" (Terus, disana ada apa? Memang ada apanya sampai-sampai bisa membuat kaya?" tanyaku dengan nada sedikit tinggi.
"Ngepet!" jawabnya sambil berbisik.
"Ngepet?" tanyaku kaget, "Apa Kakang yakin pengen mengkonon?" (Apa kakak yakin mau melakukan itu?) tanyaku lagi, meyakinkan.
"Emange sira ora gelem?" (memangnya kamu gak mau?" tanya balik kang Warkam.
"Melu dikit baelah!" (Ikut saja dulu!) jawabku dengan nada kesal.
"Ya wis baka bli gelem! Tenang bae, engko kakang sugih, sira gah melu seneng!" (Ya sudah kalau tidak mau! Tenang saja, kalau Kakak kaya, kami juga ikutan senang!) seru kang Warkam dengan senyuman mengembang.
Aku terdiam, balas senyum ragu kepadanya.
Sambil sesekali menganggukan kepala.Tak lama setelah obrolan didalam bus sambil bisik-bisik agar tak didengar orang, tibalah kita ke tempat yang dituju.
Kita berjalan menelusuri jalan setapak dan mendekati tempat keramat yang masih rindang pepohonan.
Disepanjang perjalanan, kita berdua terus-menerus dilihat oleh sekelompok monyet yang kerap loncat kesana-kemari.
Agak takut juga, kalau tiba-tiba monyet-monyet tersebut menyerang.
Tetapi, kang Warkam tak menggubris para monyet itu.Saat sudah masuk ke tempat keramat, ada seorang kakek berjenggot putih dengan pakaian serba hitam yang menyambut kedatangan kita.
"Punten kih mbah! Tujuane kita wong loro mene ...." (Permisi nih mbah! Tujuan kita berdua kesini ...) ucap kak Warkam yang kata-katanya langsung dipotong oleh kakek tersebut. Sebut saja mbah Raksa, selaku juri kunci di tempat ini.
"Saya tahu maksud dan tujuan kalian datang kemari! Pakai bahasa indonesia saja, mbah tidak mengerti, hahaha" ucapnya diiringi tertawa, "Kalian mau kaya, kan?" ucapnya lagi memejamkan kedua mata sambil menyisir jenggot putihnya dengan jari-jemari.
"I-iya, Mbah!" jawab kang Warkam dengan nada sedikit terbata.
Aku hanya diam, sambil sesekali melihat area sekeliling dan masih takut, kalau ada salah satu monyet akan menyerang.
"Hayo! Ikuti aku!" seru mbah Raksa.
Dia memutar badan dan mulai berjalan.
Dan kami pun berjalan mengekor mbah Raksa.Tiba disalah satu bangunan yang ada ditempat tersebut, kita pun dipersilahkan untuk masuk.
Sampai didalam, mbah Raksa pun duduk bersilah sambil menyuruh kita duduk.
Sedangkan aku sendiri, tak hayal memandangi setiap jengkal tempat tersebut."Aku mau tanya! Hubungan kalian berdua itu apa?" tanya mbah Raksa.
"Teman mbah!" jawab kang Warkam yang ingin mendahului jawabanku.
Aku tak mengerti maksud dari kang Warkam mengatakan hal tersebut dan hanya memilih diam.
"Lalu kedatanganmu?" tanya mbah mengagetkanku yang tengah melihat-lihat tempat tersebut.
"Kedatanganku cuma mengantar saja," jawabku singkat, sambil mata masih menelisik ke segala penjuru.
"Oh ya sudah. Kalau begitu, kamu tunggu disini!" pinta mbah Raksa.
"I-iya, Mbah!" jawabku patuh.
Mereka berdua berdiri dan berjalan memasuki sebuah ruangan.
Aku yang penasaran, bangkit dari tempat duduk disaat keduanya sudah memasuki ruangan tersebut.Diluar ruangan tersebut ada jendela kaca, namun ditutup dan bagian dalamnya di tutup kain hordeng.
Namun, masih ada cela untukku melihat kedalam ruangan itu dan bisa melihat apa yang mereka lakukan.Aku melihat keduanya duduk berhadapan dengan posisi bersilah.
Keduanya pun memejamkan matanya.Si mbah mulai komat-kamit sambil menggerakan kedua tangannya dengan posisi mata masih tertutup.
Ritual pun, mulai dilaksanakan ....
Aku langsung kembali ke tempat duduk, karena takut terjadi apa-apa bila ketahuan mengintip ritual yang sedang mereka lakukan.
Tak berselang lama, keduanya pun keluar dari ruangan tersebut.
Namun aneh, kak Warkam nampak begitu berbeda.Pandangan matanya kosong dan sesekali menatapku yang sedang duduk. Namun, kembali membuang padangannya dan melihat lurus kedepan dengan tatapan kosong.
"Benar, kamu tak mau?" tanya mbah Raksa mengagetkanku yang tengah mengawasi kak Warkam.
"Tidak mbah! Memang sedari awal kedatanganku hanya untuk mengantar!" jelasku tegas.
"Ngapain masih duduk? Ayo berdiri dan pulanglah!" pinta mbah Raksa.
Aku langsung berdiri dan kak Warkam langsung berjalan menuju pintu.
Sehabis bersalaman, aku menyusulnya dari belakang.Pintu dibuka, kang Warkam keluar.
Saat aku hendak keluar, tiba-tiba mbah Raksa kembali bertanya,"Kalau kamu berubah pikiran, jangan sungkan untuk datang kemari!"
Aku menjawab dengan anggukan dan menutu pintu.
Mbah Raksa tak ikut keluar.Mungkin, masih ada suatu hal yang ingin dia lakukan.Disepanjang perjalan pulang, kak Warkam memilih diam.
Aku pun tak berani bertanya perihal apa yang telah terjadi.Singkat cerita, sampailah didepan rumahku.
Aku membuka pintu sambil berucap,"Ora mampir dikit, Kang?" (Tidak mampir dulu, Kang?)
Kak Warkam hanya diam. Tetapi, dia tersenyum.
Senyuman yang membuatku heran dan langsung berbalik badan dan dia pun berjalan pulang."Aneh!" gumamku dalam hati.
Sehabis menutup pintu, aku langsung masuk dan hendak pergi ke kamar.
Namun langkahku sempat terhenti, saat sampai diruangan yang ada televisinya."Sing endi bae, mas? Sedina deg ora balik?" (Darimana saja, mas? Seharian gak pulang?) tanya istriku, Jamilah.
"Tes nganter kang Warkam," (Habis mengantar kak Warkam,) jelasku.
"Nganter mendi?" (Mengantar kemana?) tanya Jamilah ingin tahu.
"Wis, ora usah weruh!" (Sudah, tak usah tahu!) jawabku singkat, "Mase pegel, pengen turu!" (Masnya lelah, mau tidur!) lanjutku berucap dan memasuki kamar.
Sampai didalam kamar, aku langsung merebahkan anggota tubuh dan tak menunggu waktu yang lama, aku pun tertidur.
"Mas-Mas! Tangi! Mas!" (Mas-Mas! Bangun! Mas!) seru Jamilah yang mencoba membangunkan aku dari tidur.
Karena masih ngantuk berat, aku pun tak menghiraukannya."Mas ... Tangia! Prapto ninggal!" (Mas ... Bangunlah! Prapto meninggal!) ucap Jamilah membuatku kaget.
Seketika aku terbangun dan langsung duduk menatap Jamilah.
Air matanya mengambang dan sesekali membasahi pipi."Hah? Prapto ninggal?" (Hah? Prapto meninggal?) tanyaku kaget sambil memegang kedua pundak Jamilah dan sesekali menggoyangkan tubuhnya, karena merasa tak percaya.
"Iya mas! Ninggal," (Iya mas! Meninggal,) jawab Jamilah tersedu.
"Ninggale kenang apa?" (Meninggalkan karena apa?) tanyaku dengan nada tinggi.
"Milae ora weruh, mas! Ayu sing mai weruh!" (Milanya tak tahu, mas! Ayu yang ngasih tahu!) jelas Jamilah, "Kah! Bocae gah ana ning ruang tamu!" (Tuh! Anaknya juga masih ada diruang tamu) sambung Jamilah.
"Ayu tanggane kang Warkam?" (Ayu tetangganya kak Warkam?) teriakku.
"Iya, mas!" jawabnya singkat.
Kita langsung berdiri dari tempat tidur tuk menuju ruang tamu dimana Ayu berada.
Lalu kita semua, termasuk anakku yang masih kecil keluar rumah dan pergi menuju ke kediaman kak Warkam.Prapto adalah anak kak Warkam.
Dia anak semata wayang.Prapto sudah bersekolah dan duduk dibangku kelas 4.Sedangkan anakku bernama, Suci. Umur Suci masih 5 tahun.Kita langsung bergegas menuju rumah kak Warkam yang jaraknya tak begitu jauh. Hanya berbeda Rt saja.
Kita tiba dirumah kak Warkam dan sudah ramai lalu lalang orang bertakziah atau melayat.
Suara isak tangis memecahkan telinga.
Aku pun ikut menangis dan tak percaya, kalau Prapto telah tiada.Padahal, belum memasuki rumah dan belum melihat Prapto secara langsung.Setelah masuk kedalam rumah, Jamilah langsung lari mendekati jenazah Prapto.
Sedangkan aku berhenti, tak mengikuti Jamilah. Karena melihat sesuatu yang tak masuk di akal."Sing bener bae? Masa anake ninggal, sing dadi bapane ora sedih ora apa?" (Yang benar saja? Masa anaknya meninggal, yang jadi ayahnya tidak sedih sama sekali?) tanyaku dalam hati.
Benar-benar aneh!
Sifatnya berubah drastis semenjak pulang dari tempat yang bernama, P itu.Padahal kan, Prapto anak kesayangan dia, anak semata wayangnya.Tetapi, aku memilih diam dan tak menegur kak Warkan.
Karena kalau aku tegur, pastinya rumah ini akan menjadi sangat ramai."Kesal ... Kesal ...!"
Aku terus menahan kekesalanku dan berjalan mendekati Jamilah.
Lalu, aku membisikan sesuatu kepadanya,"Bapak macem apa iku? Benere sedih, kuen si meneng bae kaya patung!" (Ayah macam apa itu? Bukannya sedih, malah diam saja kaya patung!)
"Ngomong apa si, mas? Sing paling sedih ning kene kuh, ya kang Warkam!" (Ngomong apa si, mas? Yang paling sedih disini tuh, ya kak Warkan!) jelas Jamilah balik berbisik.
"Heh?" tanyaku heran, "Mila! Sira kan weruh, sing awit balik lagi kaen, kang Warkam kuh dadie sejen?" (Mila! Kamu kan tahu, sewaktu pulang dari sana, kak Warkam tuh jadi berbeda?) timpaku kembali berbisik.
Bersambung ... .
"Ikuh, mung perasaane mas bae! Jare Mila si, laka sing aneh!" (Itu, cuma perasaan mas saja! Kata Mila si, tidak ada yang aneh!) seru Jamilah berbisik meyakinkan. Aku terdiam, bingung! Semua bercampur menjadi satu.Siapa yang benar dan siapa yang salah? aku tak tahu!Intinya setelah kak Warkam keluar dari ruangan itu, aku merasa dia begitu berbeda. Tetapi yang jadi masalahnya, apa yang aku lihat dan orang lain lihat itu berbeda. Karena tak ada yang merasakan keanehan atau keganjilan yang aku rasakan. Aku tahu itu, saat melihat sekitar. Tepatnya beberapa orang yang datang dan mereka bersikap biasa saja. Bahkan, ada yang pamit sama kak Warkam untuk pulang.Tetapi di mataku, semua masih sama. Kak Warkam tak membalas salam dari orang-orang. "Yah, Ayah ...!" ucap Suci mengayunkan bajuku sambil sesekali menariknya. "Ana apa, nok?" (Ada apa, nak?) tanyaku sambil sediku
"Hahaha, pengen mendi? Tahlil? Dau gah magrib!" (Hahaha, mau kemana? Tahlil? Baru juga magrib!) jelas Jamilah menertawakanku. "Pan sembahyang!" (Mau salat!) jawabku. "Lah ...? Ana angin apa sampean sembahyang?" (Lah ...? Ada angin apa Anda salat?) tanya Jamilah ragu. "Mila! Sembahyang gah kena!" (Mila! Salatlah) pintaku. Bukannya Jamilah menuruti perintahku, dia malah tertawa.Suci pun ikut-ikutan senyum. Ya, memang keluarga kita jauh dari agama.Tetapi saat seseorang mulai berubah dan ingin mendekatkan sama yang maha kuasa, apa salah? Aku tak menghiraukan apa yang diucapkan Jamilah, lalu bergegas pergi keluar rumah menuju musalah yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Sehabis salat magrib, aku tak langsung pulang.Tapi ngobrol dengan marbot yang namanya sama denganku. Yaitu, Kirun.Kita ngobrol sampai datang w
"Endi bedule?" (Mana babinya?) teriak salah satu warga. "I-ikah mana! Melayue ning kebun-kebun" (I-itu sana! Larinya ke kebun-kebun) jelas pak Saman. "Wis! Ayu digedag!" (Sudah! Ayo dikejar!) pinta salah satu warga. Aku, pak Saman dan beberapa warga pun, mulai mengejar yang dikatakan pak Saman babi jadi-jadian.Bermodalkan obor dan ada yang bawa senter, serta para warga yang membawa batu sama kayu, kita mulai masuk kearea kebun yang berada di seberang pos. "Apa kien jare mbah Raksa? Sing diarani baka mareki deweke bisa sugih?" (Apa ini kata mbah Raksa? Yang dibilang kalau mendatangi beliau bisa kaya?" Malam ini sunyi sepi, hanya ditemani suara binatang malam yang menemani kesunyian ini. Karena aku lebih memilih berdiam dipos ronda sendiri dan masih mencerna dari setiap kejadian yang baru saja terjadi. Aku beralasan tidak
Beberapa hari kemudian, ada teman datang ke rumah.Dia datang, menawari ku pekerjaan.Akan tetapi, kerjanya lumayan jauh.Lebih tepatnya, di ibukota.Setelah 6 bulan berlalu, aku pun pulang ke kampung halaman.Tetapi saat sampai di rumah, Jamilah tak membukakan pintu.Padahal sudah beberapa kali ku ketuk.Karena lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, aku pergi ke belakang rumah.Aku memilih ke dibelakang rumah, karena ada ranjang yang terbuat dari bambu.Aku pun merebahkan badan disitu, untuk menghilangkan lelah.Tas yang aku bawa, ku letakkan pada bagian kepala sebagai ganjalan.Anginnya begitu sejuk, membuat pandangan kian meredup.Aku memejamkan mata dan tak sadar, aku pun tertidur.Dalam mimpi, aku berada di tempat P.Dalam posisi duduk seperti waktu itu.Lalu aku berdiri dan melangkahkan kaki mendekati ruangan yang waktu itu
"Berarti, setiap pelaku pesugihan, mereka itu sebenarnya bukan orang?" tanyaku yang masih penasaran."Kan sudah aku bilang, beda tempat beda pula perjanjiannya! " jawab Ustaz,"Kalau ditempat lain, mungkin yang pulang adalah sang pelaku pesugihan, Tapi tidak akan bertahan lama! Sewaktu-waktu, dia juga akan diambil oleh makhluk tersebut, kalau dalam 8 bulan tidak memberikan tumbal." lanjut ustaz,"Dan ada juga perjanjian yang lain! Sedangkan perjanjian yang kakakmu lakukan, bisa dibilang menukar jiwanya dengan sosok makhluk tersebut, demi membahagiakan orang yang dia cinta, agar yang dicintai menjadi kaya raya." lanjut ustaz lagi,"Tapi kamu jangan pernah mengikuti jejak kakakmu! Karena bersekutu dengan setan, adalah dosa yang teramat besar!" saran Ustaz dengan tatapan tajam.Akhirnya aku paham dengan semua yang telah terjadi.Semuanya sudah nampak begitu jelas.Sekarang
Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang."Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.Pandangan mulai memudar, gelap.Perlahan membaik dan,"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.Tetapi, berbeda dengan mimpi ya
"Oh, dadi apa sing terjadi sekien karena mbak?" (Oh, jadi apa yang terjadi saat ini karena mbak?) tanyaku emosi, membalikkan badan, menatap mbak Raeni penuh benci."Iya, bener! Pengen wadul ning warga? Wadul bae! Mader keluargane sira ilok mangan duite mbak! Sira wadul, anak sira tak dadiaken tumbal! Hahahahahaha," (Iya, benar! Mau lapor ke warga? Lapor saja! Lagian keluargamu sudah pernah makan uangku! Kamu lapor, anakmu jadi tumbal! Hahahahah,) ancamnya membuatku tambah kesal.Sakit ...! Hatiku sakit ...!Seakan tercabik-cabik oleh ucapannya.Tetapi tak bisa ku pungkiri, kalau keluargaku pernah makan uang itu.Menyesal ...? Menyesal ...? Menyesal tak ada gunanya lagi bagiku!"Wadon iblis!" (Wanita iblis!) teriakku sambil berpaling meninggalkannya dan secepatnya keluar dari rumah si wanita biadab!Awal niat ingin pinjam uang, malah mendapatkan hal yang tak bisa ku percaya, kalau bukan
Aku mengasah golok tersebut sampai lama, hingga benar-benar tajam dan bisa untuk membunuh orang.Tak terasa, waktu magrib dan isya pun terlewat.Namun, aku masih terus mengasah golok tersebut."Mas! Ngasah golok kanggo apa? Sing sore sampe apa bengi bli uwis-uwis?" (Mas! Mengasah golok untuk apa? Dari sore sampai habis malam tidak selesai-selesai?) tanya Jamilah hawatir."Kanggo esuk, abad rumput! Bokat bli sempet." (Buat besok, potong rumput! Takut tak sempat." jawabku dengan nada yang masih terbawa emosi.Tepat pukul 12 malam, aku keluar rumah lewat pintu belakang sambil membawa golok yang begitu tajam.Sampai di rumah kak Warkam, dengan mudah bagiku membuka pintu.Karena memang tak pernah di kunci.Aku masuk dan kamar pertama yang ku kunjungi adalah kamar Almarhum Prapto.Namun, disini tak ada seseorang pun."Bagus! Bera
Azan magrib berkumandang, ayah bergegas ke kamar.Aku dan ibu masih asik nonton TV, tak berselang lama, ayah keluar mengenakan baju kokoh lengkap dengan sarung dan kopiah.Sontak, ibu tertawa melihat ayah yang hendak pergi ke Musala.Aku ikut tertawa kecil, lalu ayah berlalu. Mulai dari sekarang, ayah aktif di Musala.Berbeda dengan aku dan ibu, yang masih enggan untuk ibadah. Setahun berlalu, ini hari pertama aku masuk Sekolah Dasar.Aku berangkat sekolah tak sendiri, ditemani ibu dan Siska. "Ci! Kamu jangan aneh-aneh di sekolah," perintah ibu. "Aneh-aneh bagaimana?" tanyaku memandang wajahnya. "Halusinasimu dikurangi! Jangan bikin aneh-aneh, nanti gak punya teman." ucap Ibu. Aku terdiam, menjawab dengan
Aku bangun dari tidurku dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.Ibu pun, sudah membangunkan ayah dan aku menunggu mereka diruang tamu bersama mbak Ayu.Mbak Ayu adalah tetangga om Warkam dan dia pula yang mengabari kita kalau Prapto meninggal.Oh iya, Prapto adalah anak semata wayang om Warkam dan tante Raeni.Prapto, masih kelas 4sddan dia jauh lebih tua dariku yang sekarang, masih berumur 5 tahun.Ayah dan ibu menghampiri, kita berjalan keluar rumah menuju rumah om Warkam yang jaraknya tak begitu jauh, hanya selisih Rt-nya saja.Sampai rumah om Warkam, aku merasakan hawa yang tak biasa.Didekat kerumunan warga yang melayat, ada banyak yang kepalanya tak seperti manusia pada umumnya.Mereka bertelanjang dada dan disekujur tubuhnya ditumbuhi bulu hitam.Siska berjalan setengah ketakutan, dia terus memegang bajuku dari belakang sambil menatap w
Ka-ka-ka! Entah sejak kapan, sosok tersebut selalu menemaniku.Karena sering memanggil "Ka", aku memanggil sosok tersebut dengan sebutan, Siska.Oh iya, Namaku, Indah Suci Pertiwi. Orang tuaku biasa memanggil dengan sebutan Suci. Dulu, katanya waktu aku di panggil dengan nama Indah, aku sering demam dan sakit-sakitan. Akhirnya, kedua orang tuaku memanggilku dengan nama Suci.Umurku 5 tahun. Aku anak dari Kirun dan Jamilah.Kala itu, aku sedang asik main masak-masakan sama Siska.Ayah merasakan hawa keberadaannya. Berbeda dengan Ibu, dia orangnya tak percaya sama hal gaib."tok-tok ...." Terdengar ada seseorang mengetuk pintu depan. Ayah langsung berdiri dan menghampiri pintu tersebut. Sedangkan Ibu, lagi sibuk memasak di dapur.Ternyata, yang bertamu adalah Om Warkam, Kakaknya Ayah.Om Warkam berdiri didepan pintu dan mereka mengobrol.Aku tak mendengar apa ya
Hai, terima kasih telah membaca cerita ini sampai selesai.Akan tetapi, cerita ini masih terus berlanjut dan mengulang dari sudut pandang Indah, anak dari pak Kirun.Mungkin, kalian berpikir dari sudut pandang mana pun akan tetap sama?Jawabannya, tidak! Dan jauh berbeda dengan versi bapaknya! Karena untuk versi Indah ini, kita akan mengambil alur fiksi.Jangan hawatir, ceritanya menjadi lebih seru daripada versi terdahulu!Berikut sipnosisnya :Indah Suci Pertiwi. anak 5 tahun yang masih polos.dia memiliki teman gaib yang dia beri nama, Siska.Akan tetapi, Indah/Suci yang masih kecil, tak memahami kalau temannya adalah mahluk astral. yang dia tahu hanyalah, bahwa sosok tersebut merupakan Kakak atau teman bermainnya.
Aku mengasah golok tersebut sampai lama, hingga benar-benar tajam dan bisa untuk membunuh orang.Tak terasa, waktu magrib dan isya pun terlewat.Namun, aku masih terus mengasah golok tersebut."Mas! Ngasah golok kanggo apa? Sing sore sampe apa bengi bli uwis-uwis?" (Mas! Mengasah golok untuk apa? Dari sore sampai habis malam tidak selesai-selesai?) tanya Jamilah hawatir."Kanggo esuk, abad rumput! Bokat bli sempet." (Buat besok, potong rumput! Takut tak sempat." jawabku dengan nada yang masih terbawa emosi.Tepat pukul 12 malam, aku keluar rumah lewat pintu belakang sambil membawa golok yang begitu tajam.Sampai di rumah kak Warkam, dengan mudah bagiku membuka pintu.Karena memang tak pernah di kunci.Aku masuk dan kamar pertama yang ku kunjungi adalah kamar Almarhum Prapto.Namun, disini tak ada seseorang pun."Bagus! Bera
"Oh, dadi apa sing terjadi sekien karena mbak?" (Oh, jadi apa yang terjadi saat ini karena mbak?) tanyaku emosi, membalikkan badan, menatap mbak Raeni penuh benci."Iya, bener! Pengen wadul ning warga? Wadul bae! Mader keluargane sira ilok mangan duite mbak! Sira wadul, anak sira tak dadiaken tumbal! Hahahahahaha," (Iya, benar! Mau lapor ke warga? Lapor saja! Lagian keluargamu sudah pernah makan uangku! Kamu lapor, anakmu jadi tumbal! Hahahahah,) ancamnya membuatku tambah kesal.Sakit ...! Hatiku sakit ...!Seakan tercabik-cabik oleh ucapannya.Tetapi tak bisa ku pungkiri, kalau keluargaku pernah makan uang itu.Menyesal ...? Menyesal ...? Menyesal tak ada gunanya lagi bagiku!"Wadon iblis!" (Wanita iblis!) teriakku sambil berpaling meninggalkannya dan secepatnya keluar dari rumah si wanita biadab!Awal niat ingin pinjam uang, malah mendapatkan hal yang tak bisa ku percaya, kalau bukan
Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang."Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.Pandangan mulai memudar, gelap.Perlahan membaik dan,"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.Tetapi, berbeda dengan mimpi ya
"Berarti, setiap pelaku pesugihan, mereka itu sebenarnya bukan orang?" tanyaku yang masih penasaran."Kan sudah aku bilang, beda tempat beda pula perjanjiannya! " jawab Ustaz,"Kalau ditempat lain, mungkin yang pulang adalah sang pelaku pesugihan, Tapi tidak akan bertahan lama! Sewaktu-waktu, dia juga akan diambil oleh makhluk tersebut, kalau dalam 8 bulan tidak memberikan tumbal." lanjut ustaz,"Dan ada juga perjanjian yang lain! Sedangkan perjanjian yang kakakmu lakukan, bisa dibilang menukar jiwanya dengan sosok makhluk tersebut, demi membahagiakan orang yang dia cinta, agar yang dicintai menjadi kaya raya." lanjut ustaz lagi,"Tapi kamu jangan pernah mengikuti jejak kakakmu! Karena bersekutu dengan setan, adalah dosa yang teramat besar!" saran Ustaz dengan tatapan tajam.Akhirnya aku paham dengan semua yang telah terjadi.Semuanya sudah nampak begitu jelas.Sekarang
Beberapa hari kemudian, ada teman datang ke rumah.Dia datang, menawari ku pekerjaan.Akan tetapi, kerjanya lumayan jauh.Lebih tepatnya, di ibukota.Setelah 6 bulan berlalu, aku pun pulang ke kampung halaman.Tetapi saat sampai di rumah, Jamilah tak membukakan pintu.Padahal sudah beberapa kali ku ketuk.Karena lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, aku pergi ke belakang rumah.Aku memilih ke dibelakang rumah, karena ada ranjang yang terbuat dari bambu.Aku pun merebahkan badan disitu, untuk menghilangkan lelah.Tas yang aku bawa, ku letakkan pada bagian kepala sebagai ganjalan.Anginnya begitu sejuk, membuat pandangan kian meredup.Aku memejamkan mata dan tak sadar, aku pun tertidur.Dalam mimpi, aku berada di tempat P.Dalam posisi duduk seperti waktu itu.Lalu aku berdiri dan melangkahkan kaki mendekati ruangan yang waktu itu