"Ikuh, mung perasaane mas bae! Jare Mila si, laka sing aneh!" (Itu, cuma perasaan mas saja! Kata Mila si, tidak ada yang aneh!) seru Jamilah berbisik meyakinkan.
Aku terdiam, bingung! Semua bercampur menjadi satu.
Siapa yang benar dan siapa yang salah? aku tak tahu!Intinya setelah kak Warkam keluar dari ruangan itu, aku merasa dia begitu berbeda.Tetapi yang jadi masalahnya, apa yang aku lihat dan orang lain lihat itu berbeda. Karena tak ada yang merasakan keanehan atau keganjilan yang aku rasakan.
Aku tahu itu, saat melihat sekitar. Tepatnya beberapa orang yang datang dan mereka bersikap biasa saja. Bahkan, ada yang pamit sama kak Warkam untuk pulang.
Tetapi di mataku, semua masih sama. Kak Warkam tak membalas salam dari orang-orang."Yah, Ayah ...!" ucap Suci mengayunkan bajuku sambil sesekali menariknya.
"Ana apa, nok?" (Ada apa, nak?) tanyaku sambil sedikut menunduk dan mendekatkan pendengaran ke mulut Suci.
"Mang Warkam kosi meneng bae si, yah? Apa mang Warkam kelaran?" (Om Warkam kok diam saja si, yah? Apa om Warkam sakit?) tanya Suci berbisik.
Aku kaget dan terdiam untuk sesaat.
Rupanya selain aku, Suci pun mengetahui kejanggalan tersebut."Oh iya, yah! Lagi kaen mang Warkam ning umah kuh karo bu Ijah kedik, kan?" (Oh iya, yah! Waktu itu om Warkam datang ke rumah sama bu Ijah juga, kan?) tanyanya lagi.
"Bu Ijah?" tanyaku bingung.
"Iya, Yah!" jelas suci meyakinkan.
"Aneh! Kan waktu kaen kang Warkam dewekan?! Bisa-bisane Suci ngomong ana bu Ijah? Aduh! Pecah kih endas, mikir sing ora-ora. Sing bener endi si?!" (Aneh! Kan waktu itu kak Warkam sendirian?! Bisa-bisanya Suci bilang kalau ada bu Ijah? Aduh! Pecah nih kepala, mikir yang tidak-tidak. Yang benar yang mana si?!) gumamku dalam hati.
Dipikir dari pada bingung, aku pun melangkahkan kaki mendekati mbak Raeni, istri dari kak Warkam.
"Mbak Ra! Pengen nakon! Prapto ninggal kenang apa? Kan tak deleng kuh ora kelaran ora apa?" (Mbak Ra! Mau nanya! Prapto meninggalnya kenapa? Kan aku lihat dia tidak sakit tidak apa?) tanyaku penasaran sambil sesekali melirik kearah patung yang bernyawa (Warkam).
"Jarene si, Prapto nemu duit 100 perak ning arepan umah. Tapi, tak menengaken bae karena melas, wis pirang-pirang dina ora jajan. Terus, duite go tuku es karo jaburan," (Katanya si, Prapto menemukan uang 100 rupiah di halaman rumah. Tapi, tak aku hiraukan karena kasihan, sudah beberapa hari tidak beli jajan. Terus, uangnya buat beli es sama cemilan,) jelas mbak Raeni diiringi dengan tangisan.
"Terus, kok bisa mengonon?" (terus, kok bisa seperti itu?) tanyaku lagi yang masih penasaran.
"Tes kuen kuh glendeng, lara weteng! Terus mutah-mutah sampe teka ning lemes, toli toli temu-temu bocah kuh wis laka bae." (Habis itu mengeluh, sakit perut! Terus muntah-muntah sampai lemas, terus tiba-tiba dia tiada.) jawab mbak Raeni sambil menangis.
Aku memilih diam, mencoba tuk meresapi kejadian tersebut dan tak lagi berani bertanya, karena takut membuat mbak Raeni semakin sedih.
"Gara-gara sira nakon priben kejadiane, mas Warkam nangise tambah kejer!" (Gara-gara kamu yang nanya perihal kejadian, mas Warkam nangisnya tambah kencang!) seru mbak Raeni dengan nada membentak.
"Hah? Sing bener bae? Boro-boro nangis. Melotot, iya! Kosi raine dadi tambah abang mengkonon? Toli melototi ning Kirun," (Hah? Yang benar saja? Mana mungkin dia nangis. Melotoin, iya! Sampai wajahnya tambah merah begitu? Terus, melototin Kirun,) gumamku dalam hati.
"Wah ..! Wis ora beres kinih!" (Wah ...! Sudah tak beres nih!) gumamku lagi dan pergi menjauh.
Singkat cerita, acara pemakaman pun selesai dan aku langsung pulang meninggalkan istri dan anakku.
Matahari kian condong ke barat, namun masih siang dan aku tak bisa membendung lagi rasa kantuk ini.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kedalam kamar dan merebahkan tubuh, lalu tertidur.
Tak terasa, sudah pukul 16 sore.
Cacing di perut pun, sudah mulai demo."Eh bocah! Sing mau dikon balik bli gelem balik!" (Eh anak! Dari tadi disuruh pulang tak mau pulang!) terdengar teriakkan dari depan rumah, suaranya seperti Jamilah.
Aku langsung bergegas keluar kamar dan melihat apa yang sedang terjadi.
Lalu, aku pun menegur Jamilah,"Ana apa si? Bocah aja di sewoti mengkonon! Melas ...!" (Ada apa si? Anak jangan di marahi begitu! Kasian ...!) teriakku.
"Kih mas! anake sampean di kon balik bli gelem! Ngomonge, Prapto ngejak dolan. Prapto kan wis ninggal! Kih bocah aneh-aneh bae," (Nih mas! Anakmu di suruh pulang tidak mau! Bilangnya, Prapto ngajakin main. Prapto kan sudah meninggal! Nih anak aneh-aneh saja," jelas Jamilah.
"Wis kih, cekelen anake! Mila pan masak dikit!" (Sudah nih, pegang anakmu! Mila mau masak dulu!) pinta Jamilah memberikan Suci padaku yang kala itu tengah menangis.
Aku membawa Suci masuk dan menyuruhnya duduk di ruang tamu.
Lalu, aku menanyakan suatu hal,"Suci! Ayah pengen nakon! Ana apa karo Prapto?" (Suci! Ayah mau tanya! Ada apa dengan Prapto?) tanyaku dengan tutur lembut.
"Ka-ka-kang Prapto, jaluk tulung ning Suci! Ka-ng Praptoe ora gelem digawa ning wong kaen!" (Ka-Ka-Kak Prapto, minta tolong sama Suci! Ka-k Praptonya tidak mau dibawa sama orang itu!) jelasnya sesenggukan.
Aku diam untuk sesaat sambil berpikir kalau yang dikatakan Suci benar atau tidak?!
Aku hanya takut, kalau anakku mempunyai kehalusinasian yang tinggi."Wong sapa?" (Orang siapa?) tanyaku penasaran.
"Uwong sing endase kaya tikus. Tapi, cungure gede." (Orang yang kepalanya seperti tikus. Tapi, hidungnya besar.) jelas Suci yang masih sedikit tersedu.
"Ya wis, ko ayah sing nyelametaken kang Prapto! Tapi Suci aja nangis terus ya? Toli, gampang ko cerita maning," (Ya sudah, nanti ayah yang menyelamatkan kak Prapto! Tapi Suci jangan nangis ya? Terus, nanti cerita lagi,) bujukku dengan nada lembut.
"I-iya, ayah!" seru Suci.
Sembari menunggu Suci mulai tenang dan sambil menunggu Jamilah selesai masak, aku mencoba kembali bertanya kepada Suci, tentang apa yang terjadi.
Tetapi, belum sempat aku bertanya, Suci kembali menjelaskan,"Mengkenen, Yah! Suci ndeleng kang Prapto melayu. Ning gurie ana wong kuen sing gedag-gedag. Kang Prapto jaluk tulung, tapi laka wong sing ngeladeni." (Begini, Yah! Suci lihat kak Prapto lari. Dibelakangnya ada orang itu yang mengejar-ngejar. Kak Prapto minta tolong, tapi tak ada orang yang meladeninya.) jelas Suci.
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang Suci utarakan.
Tetapi aku berpikir, tak mungkin anak sekecil Suci pandai berbohong."Suci kan ngomong karo ibu, tapi ibu meneng bae! Sampe kang Prapto digered ning wong kuen. Lamon bli percaga, takon ning Siska!" (Suci kan ngomong sama ibu, tapi ibu diam saja! Sampai kak Prapto diseret sama orang itu. Kalau tak percaya, tanya sama Siska!) jelas Suci kembali.
Siska yang aku tahu adalah teman imajinasi Suci.
Sedari kecil Suci suka bermain sendiri dan terkadang, kerap ngobrol seorang diri. Tetapi saat ditanya main sama siapa, selalu jawab main sama Siska."Ayah! Suci! Ayo, mangan dikit!" (Ayah! Suci! Ayo, makan dulu!) teriak Jamilah dari arah dapur.
Kita pun bergegas pergi ke dapur untuk makan siang.
Makan siang di jam 16.30.Seperti biasa, aku dan Jamilah makan didekat dapur dan duduk di tikar anyaman.
Sedangkan Suci, makan sambil lihat televisi."Yah! Ayah ...!" teriak Suci.
"Apa, nok?" (Apa, nak?) tanyaku balik.
"Yah! Mene dikit ...! Gage!" (Yah! Kesini dulu ...! Cepat!) pinta Suci.
"Iya, iya ... Ana apa?" (Iya, iya ... Ada apa?) tanyaku sambil berjalan mendekatinya.
"Wis mas aja diladeni! Mangan bae dikit!" (Sudah mas jangan dihiraukan! Makan saja dulu!) seru Jamilah, teatapi aku tak menghiraukannya dan terus berjalan mendekati ruang televisi.
"Ana apa, Ci?" (Ada apa, Ci?) tanyaku.
"Ikuh, Yah! Iku ...!" (Itu, Yah! Itu ...!) seru Suci sambil menunjuk kearah televisi.
"Iya, ana apa?" (Iya, ada apa?) tanyaku bingung.
"Ikuluh, wong sing gawa kang Prapto, raine mirip kaya kuen!" (Ituloh, orang yang bawa kak Prapto, wajahnya mirip seperti itu!)
Aku tercengang, kaget.
Karena yang ada di acara televisi saat itu, tepatnya yang ditunjuk Suci, adalah babi.Seketika, bulu kudukku langsung meremang."Siska ning endi?" (Siska dimana?) tanyaku kepada Suci dan mulai mempercayai kalau anakku ini mempunyai kemampuan lebih.
"Ikih ning iring kiwe, lagi mangan bareng!" (Ini disebelah kiri, sedang makan bareng!) jelas Suci.
Sebenarnya aku ragu untuk menannyakan ini.
Tetapi, apa yang akan aku lakukan?Bahkan, aku pun tak tahu apa yang tengah terjadi!"Bisa takonaken ning Siska?" (Bisa tanyakan sama Siska?) tanyaku ragu.
"Bisa! Pengen takon apa?" (Bisa! Mau tanya apa?) Siska balik bertanya.
"Takon ning bature! Sing raie kaya sing ning tipi, kuh sapa?" (Tanya sama temanmu! Yang wajahnya seperti yang di televisi, itu siapa?) tanyaku ke Suci.
Suci terdiam untuk sesaat.
Lagaknya, seperti seseorang yang tengah mendengarkan."Raja siluman babi!" jelas Suci.
"Hah ...? Raja Siluman babi?" Aku kaget dan balik bertanya.
"Iya! Jare Siskae mengkonon!" (Iya! Kata Siskanya seperti itu!) jelas Suci.
"Aduh mas! Omongane bocah cilik kok dirongokaken? Arane bae gah bocah, ngomonge ngelantur" (Aduh mas! Omongannya anak kecil kok didengerin? Namanya juga anak-anak, omongannya suka ngelantur!) teriak Jamilah mendekati kita.
Aku memilih diam!
Mencoba menerka siapa yang benar!Suci beranggapan kalau dia tahu dunia sebelah.Sedangkan Jamilah, dia tak mempercayai adanya hantu atau semacamnya.Selesai makan, kita habis kan waktu sore dengan menonton acara televisi.
Hingga azan magrib berkumandang.Aku pun langsung pergi ke kamar untuk berganti pakaian dan meniatkan diri tuk mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa.
Namun, setelah keluar kamar,Bersambung ... .
"Hahaha, pengen mendi? Tahlil? Dau gah magrib!" (Hahaha, mau kemana? Tahlil? Baru juga magrib!) jelas Jamilah menertawakanku. "Pan sembahyang!" (Mau salat!) jawabku. "Lah ...? Ana angin apa sampean sembahyang?" (Lah ...? Ada angin apa Anda salat?) tanya Jamilah ragu. "Mila! Sembahyang gah kena!" (Mila! Salatlah) pintaku. Bukannya Jamilah menuruti perintahku, dia malah tertawa.Suci pun ikut-ikutan senyum. Ya, memang keluarga kita jauh dari agama.Tetapi saat seseorang mulai berubah dan ingin mendekatkan sama yang maha kuasa, apa salah? Aku tak menghiraukan apa yang diucapkan Jamilah, lalu bergegas pergi keluar rumah menuju musalah yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Sehabis salat magrib, aku tak langsung pulang.Tapi ngobrol dengan marbot yang namanya sama denganku. Yaitu, Kirun.Kita ngobrol sampai datang w
"Endi bedule?" (Mana babinya?) teriak salah satu warga. "I-ikah mana! Melayue ning kebun-kebun" (I-itu sana! Larinya ke kebun-kebun) jelas pak Saman. "Wis! Ayu digedag!" (Sudah! Ayo dikejar!) pinta salah satu warga. Aku, pak Saman dan beberapa warga pun, mulai mengejar yang dikatakan pak Saman babi jadi-jadian.Bermodalkan obor dan ada yang bawa senter, serta para warga yang membawa batu sama kayu, kita mulai masuk kearea kebun yang berada di seberang pos. "Apa kien jare mbah Raksa? Sing diarani baka mareki deweke bisa sugih?" (Apa ini kata mbah Raksa? Yang dibilang kalau mendatangi beliau bisa kaya?" Malam ini sunyi sepi, hanya ditemani suara binatang malam yang menemani kesunyian ini. Karena aku lebih memilih berdiam dipos ronda sendiri dan masih mencerna dari setiap kejadian yang baru saja terjadi. Aku beralasan tidak
Beberapa hari kemudian, ada teman datang ke rumah.Dia datang, menawari ku pekerjaan.Akan tetapi, kerjanya lumayan jauh.Lebih tepatnya, di ibukota.Setelah 6 bulan berlalu, aku pun pulang ke kampung halaman.Tetapi saat sampai di rumah, Jamilah tak membukakan pintu.Padahal sudah beberapa kali ku ketuk.Karena lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, aku pergi ke belakang rumah.Aku memilih ke dibelakang rumah, karena ada ranjang yang terbuat dari bambu.Aku pun merebahkan badan disitu, untuk menghilangkan lelah.Tas yang aku bawa, ku letakkan pada bagian kepala sebagai ganjalan.Anginnya begitu sejuk, membuat pandangan kian meredup.Aku memejamkan mata dan tak sadar, aku pun tertidur.Dalam mimpi, aku berada di tempat P.Dalam posisi duduk seperti waktu itu.Lalu aku berdiri dan melangkahkan kaki mendekati ruangan yang waktu itu
"Berarti, setiap pelaku pesugihan, mereka itu sebenarnya bukan orang?" tanyaku yang masih penasaran."Kan sudah aku bilang, beda tempat beda pula perjanjiannya! " jawab Ustaz,"Kalau ditempat lain, mungkin yang pulang adalah sang pelaku pesugihan, Tapi tidak akan bertahan lama! Sewaktu-waktu, dia juga akan diambil oleh makhluk tersebut, kalau dalam 8 bulan tidak memberikan tumbal." lanjut ustaz,"Dan ada juga perjanjian yang lain! Sedangkan perjanjian yang kakakmu lakukan, bisa dibilang menukar jiwanya dengan sosok makhluk tersebut, demi membahagiakan orang yang dia cinta, agar yang dicintai menjadi kaya raya." lanjut ustaz lagi,"Tapi kamu jangan pernah mengikuti jejak kakakmu! Karena bersekutu dengan setan, adalah dosa yang teramat besar!" saran Ustaz dengan tatapan tajam.Akhirnya aku paham dengan semua yang telah terjadi.Semuanya sudah nampak begitu jelas.Sekarang
Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang."Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.Pandangan mulai memudar, gelap.Perlahan membaik dan,"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.Tetapi, berbeda dengan mimpi ya
"Oh, dadi apa sing terjadi sekien karena mbak?" (Oh, jadi apa yang terjadi saat ini karena mbak?) tanyaku emosi, membalikkan badan, menatap mbak Raeni penuh benci."Iya, bener! Pengen wadul ning warga? Wadul bae! Mader keluargane sira ilok mangan duite mbak! Sira wadul, anak sira tak dadiaken tumbal! Hahahahahaha," (Iya, benar! Mau lapor ke warga? Lapor saja! Lagian keluargamu sudah pernah makan uangku! Kamu lapor, anakmu jadi tumbal! Hahahahah,) ancamnya membuatku tambah kesal.Sakit ...! Hatiku sakit ...!Seakan tercabik-cabik oleh ucapannya.Tetapi tak bisa ku pungkiri, kalau keluargaku pernah makan uang itu.Menyesal ...? Menyesal ...? Menyesal tak ada gunanya lagi bagiku!"Wadon iblis!" (Wanita iblis!) teriakku sambil berpaling meninggalkannya dan secepatnya keluar dari rumah si wanita biadab!Awal niat ingin pinjam uang, malah mendapatkan hal yang tak bisa ku percaya, kalau bukan
Aku mengasah golok tersebut sampai lama, hingga benar-benar tajam dan bisa untuk membunuh orang.Tak terasa, waktu magrib dan isya pun terlewat.Namun, aku masih terus mengasah golok tersebut."Mas! Ngasah golok kanggo apa? Sing sore sampe apa bengi bli uwis-uwis?" (Mas! Mengasah golok untuk apa? Dari sore sampai habis malam tidak selesai-selesai?) tanya Jamilah hawatir."Kanggo esuk, abad rumput! Bokat bli sempet." (Buat besok, potong rumput! Takut tak sempat." jawabku dengan nada yang masih terbawa emosi.Tepat pukul 12 malam, aku keluar rumah lewat pintu belakang sambil membawa golok yang begitu tajam.Sampai di rumah kak Warkam, dengan mudah bagiku membuka pintu.Karena memang tak pernah di kunci.Aku masuk dan kamar pertama yang ku kunjungi adalah kamar Almarhum Prapto.Namun, disini tak ada seseorang pun."Bagus! Bera
Hai, terima kasih telah membaca cerita ini sampai selesai.Akan tetapi, cerita ini masih terus berlanjut dan mengulang dari sudut pandang Indah, anak dari pak Kirun.Mungkin, kalian berpikir dari sudut pandang mana pun akan tetap sama?Jawabannya, tidak! Dan jauh berbeda dengan versi bapaknya! Karena untuk versi Indah ini, kita akan mengambil alur fiksi.Jangan hawatir, ceritanya menjadi lebih seru daripada versi terdahulu!Berikut sipnosisnya :Indah Suci Pertiwi. anak 5 tahun yang masih polos.dia memiliki teman gaib yang dia beri nama, Siska.Akan tetapi, Indah/Suci yang masih kecil, tak memahami kalau temannya adalah mahluk astral. yang dia tahu hanyalah, bahwa sosok tersebut merupakan Kakak atau teman bermainnya.
Azan magrib berkumandang, ayah bergegas ke kamar.Aku dan ibu masih asik nonton TV, tak berselang lama, ayah keluar mengenakan baju kokoh lengkap dengan sarung dan kopiah.Sontak, ibu tertawa melihat ayah yang hendak pergi ke Musala.Aku ikut tertawa kecil, lalu ayah berlalu. Mulai dari sekarang, ayah aktif di Musala.Berbeda dengan aku dan ibu, yang masih enggan untuk ibadah. Setahun berlalu, ini hari pertama aku masuk Sekolah Dasar.Aku berangkat sekolah tak sendiri, ditemani ibu dan Siska. "Ci! Kamu jangan aneh-aneh di sekolah," perintah ibu. "Aneh-aneh bagaimana?" tanyaku memandang wajahnya. "Halusinasimu dikurangi! Jangan bikin aneh-aneh, nanti gak punya teman." ucap Ibu. Aku terdiam, menjawab dengan
Aku bangun dari tidurku dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.Ibu pun, sudah membangunkan ayah dan aku menunggu mereka diruang tamu bersama mbak Ayu.Mbak Ayu adalah tetangga om Warkam dan dia pula yang mengabari kita kalau Prapto meninggal.Oh iya, Prapto adalah anak semata wayang om Warkam dan tante Raeni.Prapto, masih kelas 4sddan dia jauh lebih tua dariku yang sekarang, masih berumur 5 tahun.Ayah dan ibu menghampiri, kita berjalan keluar rumah menuju rumah om Warkam yang jaraknya tak begitu jauh, hanya selisih Rt-nya saja.Sampai rumah om Warkam, aku merasakan hawa yang tak biasa.Didekat kerumunan warga yang melayat, ada banyak yang kepalanya tak seperti manusia pada umumnya.Mereka bertelanjang dada dan disekujur tubuhnya ditumbuhi bulu hitam.Siska berjalan setengah ketakutan, dia terus memegang bajuku dari belakang sambil menatap w
Ka-ka-ka! Entah sejak kapan, sosok tersebut selalu menemaniku.Karena sering memanggil "Ka", aku memanggil sosok tersebut dengan sebutan, Siska.Oh iya, Namaku, Indah Suci Pertiwi. Orang tuaku biasa memanggil dengan sebutan Suci. Dulu, katanya waktu aku di panggil dengan nama Indah, aku sering demam dan sakit-sakitan. Akhirnya, kedua orang tuaku memanggilku dengan nama Suci.Umurku 5 tahun. Aku anak dari Kirun dan Jamilah.Kala itu, aku sedang asik main masak-masakan sama Siska.Ayah merasakan hawa keberadaannya. Berbeda dengan Ibu, dia orangnya tak percaya sama hal gaib."tok-tok ...." Terdengar ada seseorang mengetuk pintu depan. Ayah langsung berdiri dan menghampiri pintu tersebut. Sedangkan Ibu, lagi sibuk memasak di dapur.Ternyata, yang bertamu adalah Om Warkam, Kakaknya Ayah.Om Warkam berdiri didepan pintu dan mereka mengobrol.Aku tak mendengar apa ya
Hai, terima kasih telah membaca cerita ini sampai selesai.Akan tetapi, cerita ini masih terus berlanjut dan mengulang dari sudut pandang Indah, anak dari pak Kirun.Mungkin, kalian berpikir dari sudut pandang mana pun akan tetap sama?Jawabannya, tidak! Dan jauh berbeda dengan versi bapaknya! Karena untuk versi Indah ini, kita akan mengambil alur fiksi.Jangan hawatir, ceritanya menjadi lebih seru daripada versi terdahulu!Berikut sipnosisnya :Indah Suci Pertiwi. anak 5 tahun yang masih polos.dia memiliki teman gaib yang dia beri nama, Siska.Akan tetapi, Indah/Suci yang masih kecil, tak memahami kalau temannya adalah mahluk astral. yang dia tahu hanyalah, bahwa sosok tersebut merupakan Kakak atau teman bermainnya.
Aku mengasah golok tersebut sampai lama, hingga benar-benar tajam dan bisa untuk membunuh orang.Tak terasa, waktu magrib dan isya pun terlewat.Namun, aku masih terus mengasah golok tersebut."Mas! Ngasah golok kanggo apa? Sing sore sampe apa bengi bli uwis-uwis?" (Mas! Mengasah golok untuk apa? Dari sore sampai habis malam tidak selesai-selesai?) tanya Jamilah hawatir."Kanggo esuk, abad rumput! Bokat bli sempet." (Buat besok, potong rumput! Takut tak sempat." jawabku dengan nada yang masih terbawa emosi.Tepat pukul 12 malam, aku keluar rumah lewat pintu belakang sambil membawa golok yang begitu tajam.Sampai di rumah kak Warkam, dengan mudah bagiku membuka pintu.Karena memang tak pernah di kunci.Aku masuk dan kamar pertama yang ku kunjungi adalah kamar Almarhum Prapto.Namun, disini tak ada seseorang pun."Bagus! Bera
"Oh, dadi apa sing terjadi sekien karena mbak?" (Oh, jadi apa yang terjadi saat ini karena mbak?) tanyaku emosi, membalikkan badan, menatap mbak Raeni penuh benci."Iya, bener! Pengen wadul ning warga? Wadul bae! Mader keluargane sira ilok mangan duite mbak! Sira wadul, anak sira tak dadiaken tumbal! Hahahahahaha," (Iya, benar! Mau lapor ke warga? Lapor saja! Lagian keluargamu sudah pernah makan uangku! Kamu lapor, anakmu jadi tumbal! Hahahahah,) ancamnya membuatku tambah kesal.Sakit ...! Hatiku sakit ...!Seakan tercabik-cabik oleh ucapannya.Tetapi tak bisa ku pungkiri, kalau keluargaku pernah makan uang itu.Menyesal ...? Menyesal ...? Menyesal tak ada gunanya lagi bagiku!"Wadon iblis!" (Wanita iblis!) teriakku sambil berpaling meninggalkannya dan secepatnya keluar dari rumah si wanita biadab!Awal niat ingin pinjam uang, malah mendapatkan hal yang tak bisa ku percaya, kalau bukan
Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang."Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.Pandangan mulai memudar, gelap.Perlahan membaik dan,"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.Tetapi, berbeda dengan mimpi ya
"Berarti, setiap pelaku pesugihan, mereka itu sebenarnya bukan orang?" tanyaku yang masih penasaran."Kan sudah aku bilang, beda tempat beda pula perjanjiannya! " jawab Ustaz,"Kalau ditempat lain, mungkin yang pulang adalah sang pelaku pesugihan, Tapi tidak akan bertahan lama! Sewaktu-waktu, dia juga akan diambil oleh makhluk tersebut, kalau dalam 8 bulan tidak memberikan tumbal." lanjut ustaz,"Dan ada juga perjanjian yang lain! Sedangkan perjanjian yang kakakmu lakukan, bisa dibilang menukar jiwanya dengan sosok makhluk tersebut, demi membahagiakan orang yang dia cinta, agar yang dicintai menjadi kaya raya." lanjut ustaz lagi,"Tapi kamu jangan pernah mengikuti jejak kakakmu! Karena bersekutu dengan setan, adalah dosa yang teramat besar!" saran Ustaz dengan tatapan tajam.Akhirnya aku paham dengan semua yang telah terjadi.Semuanya sudah nampak begitu jelas.Sekarang
Beberapa hari kemudian, ada teman datang ke rumah.Dia datang, menawari ku pekerjaan.Akan tetapi, kerjanya lumayan jauh.Lebih tepatnya, di ibukota.Setelah 6 bulan berlalu, aku pun pulang ke kampung halaman.Tetapi saat sampai di rumah, Jamilah tak membukakan pintu.Padahal sudah beberapa kali ku ketuk.Karena lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, aku pergi ke belakang rumah.Aku memilih ke dibelakang rumah, karena ada ranjang yang terbuat dari bambu.Aku pun merebahkan badan disitu, untuk menghilangkan lelah.Tas yang aku bawa, ku letakkan pada bagian kepala sebagai ganjalan.Anginnya begitu sejuk, membuat pandangan kian meredup.Aku memejamkan mata dan tak sadar, aku pun tertidur.Dalam mimpi, aku berada di tempat P.Dalam posisi duduk seperti waktu itu.Lalu aku berdiri dan melangkahkan kaki mendekati ruangan yang waktu itu