"Hahaha, pengen mendi? Tahlil? Dau gah magrib!" (Hahaha, mau kemana? Tahlil? Baru juga magrib!) jelas Jamilah menertawakanku.
"Pan sembahyang!" (Mau salat!) jawabku.
"Lah ...? Ana angin apa sampean sembahyang?" (Lah ...? Ada angin apa Anda salat?) tanya Jamilah ragu.
"Mila! Sembahyang gah kena!" (Mila! Salatlah) pintaku.
Bukannya Jamilah menuruti perintahku, dia malah tertawa.
Suci pun ikut-ikutan senyum.Ya, memang keluarga kita jauh dari agama.
Tetapi saat seseorang mulai berubah dan ingin mendekatkan sama yang maha kuasa, apa salah?Aku tak menghiraukan apa yang diucapkan Jamilah, lalu bergegas pergi keluar rumah menuju musalah yang jaraknya hanya beberapa meter saja.
Sehabis salat magrib, aku tak langsung pulang.
Tapi ngobrol dengan marbot yang namanya sama denganku. Yaitu, Kirun.Kita ngobrol sampai datang waktu isya.Sehabis salat isya, aku mewakili kak Warkam tuk mengajak para jama'ah tahlil di rumah dia.Dari awal datang, sampai semua jama'ah tahlil pada pulang ke rumahnya masing-masing, kang Warkam tak menampatkan batang hidungnya.
Membuatku bertanya-tanya dan mendekati mbak Raeni,"Mbak! Kang Warkame endi?" (Mbak! Kak Warkamnya mana?) tanyaku.
"Ora weruh! Jarene si ana perlu," (Gak tahu! Katanya si ada keperluan,) jawab mbak Raeni.
"Keperluan apa si? Sampe tahlilan anake dewek ora melu?" (Keperluan apa si? Sampai tahlilan anak sendiri tak ikut?) tanyaku lagi. Tetapi, mbak Raeni tak menjawab dan pergi tuk meladeni tamu yang datang untuk melekan (bergadang).
Aku merasa iba sama mbak Raeni dan ikut membantunya menyambut warga yang datang, serta menyiapkan keperluan guna melekan.
Tak berselang lama, mbak Raeni terlihat lelah dan duduk melamun di kursi ruang tamu.
Aku kembali mendekatinya untuk menanyakan sesuatu,"Mbak! Ngerasa aneh bli karo kang Warkam?" (Mbak! Merasa ada yang aneh tidak dengan kak Warkam?) tanyaku sambil duduk disampingnya.
"Aneh priben, Run?" (Aneh bagaimana, Run?) mbak Raeni balik bertanya, tetapi tak berani menatap.
"Ya anehlah, mbak!) jelasku.
"Lah, sira sing aneh! Yong mas Warkam biasa-biasa bae!" (Lah, kamu yang aneh! Orang mas Warkam biasa-biasa saja!) jelasnya meyakinkan, "Ya, paling ... Blolih ning kamere Prapto," (Ya, paling ... Tidak boleh ke kamarnya Prapto) timpa mbak Raeni.
"Bloli priben, mbak?" (Gak boleh bagaimana, mbak?) tanyaku penasaran.
"Ya embuh! Yong kamere bae sampe dikonci!" (Ya gak tahu! Kamarnya saja sampai dikunci!) jelas mbak Raeni.
Tak berselang lama, kak Warkam pun pulang.
Akan tetapi, aku tak berani menegurnya.Karena, kak Warkam menatapku dengan tatapan benci dan mata yang melotot."Ya wis mbak! Mader kang Warkame wis teka, Kirun pamit ya?" (Ya sudah mbak! Lagian kak Warkam sudah datang, Kirun pamit ya?) ucapku, berdiri dari tempat duduk.
"Oh ya wis, Run! Kesuwun ...! Salam kanggo Jamilah!" (Oh ya sudah, Run! Terima kasih ...! Salam buat Jamilah!) balas mbak Raeni, aku mengangguk dan langsung pergi.
Sesampainya dirumah, Jamilah menyambutku dengan raut wajah hawatir.
Dia sampai menunggu setengah kantuk diruang tamu."Mas! Sing endi bae? Tes magrib ora balik, toli jarene pan tahlil? Ko, jam semene dau balik?" (Mas! Dari mana saja? Habis magrib tidak pulang, terus katanya mau tahlil? Kok jam segini baru pulang?) tanya Jamilah.
"Tes magrib ning tajug bae, nonggoni sampe isya. Tes isyae tahlilan, toli mbaturi mbak Raeni!" (Habis magrib di musalah saja, nunggu isya. Sehabis isya tahlilan, terus menemani mbak Raeni!) jelasku.
"Oh ya wis, mung pengen ngupai weruh bae, dina kien mas ana jadwal ronda," (Oh ya sudah, cuma mau ngasih tahu saja, hari ini mas ada jadwal ronda,) ucap Jamilah.
"Oh iya, ora kelingan," (Oh iya, lupa,) jawabku, "Mila wis masak, kan?" (Mila sudah masak, kan,?) sambungku bertanya.
"Uwis mas! Wis mana salin dikit terus mangan! Tes kuen, dau mangkat ronda!" (Sudah mas! Sudah sana ganti pakaian dulu terus makan! Habis itu, baru berangkat ronda!) pinta Jamilah.
"Oh iya, Suci si endi?" (Oh iya, Suci mana?) tanyaku.
"Wis turu ...." (Sudah tidur ....) jawab Jamilah.
Aku bergegas ke kamar untuk ganti pakaian, baru setelah itu pergi ke dapur untuk makan. Dan setelahnya, aku pamit untuk berangkat meronda.
Bermodalkan senter batrai, aku keluar rumah dan menyusuri jalan yang gelap nan sepi.
Sesekali, aku menggetok-getok senter, karena cahayanya kian meredup.Aku memilih memutar lewat belakang, tepatnya jalan area pesawahan yang memang tak ada penerangan.
Angin malam mulai melambai, menerpa dedaunan.
Dinginnya menusuk tulang, sampai kain sarung pun aku kenakan.Aku terus berjalan menelusuri jalan setapak dan langkahku terhenti, kala sampai didekat pohon beringin.
Dari jauh terlihat samar bayangan putih terbungkus kain, akan tetapi tak menyulutkan niatku untuk terus berjalan.
Senter aku sorotkan ke sosok tersebut, tapi cahanya tak sampai.
Sambil terus memastikan bahwa yang aku lihat bukanlah sesuatu yang mencurigakan, aku terus menyoroti bayangan tersebut.Semakin dekat dan semakin jelas, ternyata sosok tersebut adalah pocong!
Ya, pocong yang berdiri membelakangiku.Langkahku sempat terhenti, dan sosok itu mulai bergerak.
Melompat, mengitari pohon."Wah! Wong pengangguran kih?!" (Wah! Orang iseng nih?!) dalam batinku berucap.
Aku memberanikan diri tuk mendekati pohon tersebut.
Dengan bermldalkan bismillah, aku coba mencari keberadaannya."Maukuh, ngilange ning kene?!" (Tadikan, hilangnya disini?!) ucapku sambil berjalan keare belakang pohon yang tepiannya petakkan sawah.
"Eh! Aja sarat-sorot bae! Silo ...!" (Eh! Jangan sarat-sorot terus! Silau ...!) teriak seorang perempuan, yang ternyata bu Ijah.
"Eh, bu Ijah! Maaf bu! Maukuh perasaan ndeleng pocong, ngilange ning kene!" (Eh, bu Ijah! Maaf bu! Tadi tuh perasaan lihat pocong, hilangnya disini!) jelasku.
"Pocang-pocong, pocang-pocong! Laka pocong! Sing mau gah ning kene lagi ngising laka papa!" (Pocang-pocong, pocang-pocong! Tidak ada pocong! Dari tadi aku berak disini tidak ada apa-apa) ketus bu Ijah sambil pergi meninggalkanku.
Aneh saja kalau bu Ijah tidak melihat dan aneh juga kalau dia berak di sawah!
Masa orang kaya berak di sawah? Atau, memang wc nya rusak? Entahlah ...!Ya! Warga sini terkadang kalau buang hajat di area pesawahan dan terkadang ada yang dipinggir sungai. Bagi warga miskin seperti kami, tidak bisa membuat wc.
Jangan kan wc, air pam saja kita tak punya dan untuk keperluan sehari-hari, terkadang mengambil air dari sumur atau air sungai.
Aku pun lanjut berjalan dan tak berselang lama, pos ronda pun terlihat.
Dari jauh, aku melihat pak saman duduk bersender, sepertinya dia ketiduran."Dor!" teriakku mengagetkannya.
"Ayam, ayam ...!" teriak pak Saman, kaget.
"Hahahaha"
"Bocah semprul! Wong tua dibebeda!" (Anak semprul! Orang tua dibercandain!) keluhnya sambil mengelus dada beberapa kali.
"Sangkane! Baka ronda aja turu," (Makanya! Kalau ronda jangan tidur,) ucapku.
"Ya sirae bae ora teka-teka, sampe kitae keturuan!" (Ya kamunya saja tidak datang-datang, sampai aku ketiduran) gerutu pak Saman.
"Kopie di cong dikit pak! Bari aja ngantuk!" (Kopinya diseduh dulu pak! Biar tak mengantuk!) seruku sambil duduk.
Aku mulai duduk menghadap beliau. Tetapi, pak Saman tiba-tiba terdiam, seakan sedang memikirkan sesuatu.
"Eh, Run! Ngrungu beli ustaz Amir ngomong? Ninggali Prapto kuh ora wajar?" (Eh, Run! Dengar tidak kata ustaz Amir? Meninggalkan Prapto tidak wajar?) ucapnya membuatku penasaran.
"Ora wajar priben, pak?" (Gak wajar bagiaman, pak?) tanyaku semakin penasaran.
"Jarene si, sing di kuburaken kuh dudu Prapto. Tapi, kedebog!" (Katanya si, yang di kebumikan itu bukan Prapto. Tapi, pelepah pisang!) bisik pak Saman.
"Kita kan wis pada weruh, yen pak ustaz bisa ndeleng hal gaib. Dadia, percayalah ...!" (kita semua suda pada tahu, kalau ustaz bisa lihat hal gaib. Jadi, percayalah ...!) seruku mengiyakan.
"Sira gah weruh?" (Kamu juga tahu?) tanya pak Saman mengerenyitkan dahi.
"Weruh, pak ...!" (Tahu, pak ...!) jawabku dengan mulut terbuka lebar.
"Cocote ...! Mambu pete, hahaha, " (Mulutmu ...! Bau petai, hahaha,) gumam pak Saman sambil menutup hidung.
"Hahahaha, uh ... Gentong! Wis serius kanda malah diguyoni!" (Hahahaha, uh ... Tempayan! Sudah serius mendengarkan malah dibercandain!) teriakku sambil membuka mulut lebar-lebar dan mendekatkan ke wajahnya.
"Eh, ndlogdog! Aja pare-parek! Mambu!" (Eh, tak sopan! Jangan dekat-dekat! Bau!) ujarnya dan kita pun tertawa.
Walau pak Saman orang tua, tapi dia suka bercanda.
Makanya, aku paling suka kalau pas ronda ditemani sama beliau.Tepat pukul 12 malam.
Mata mulai agak kantuk, karena lelah.Tiba-tiba pak Saman mengagetkanku, menepuk-nepuk pahaku beberapa kali sambil berujar,"Run! Run ...! Krungu beli?" (Run! Run ...! Dengar tidak?) tanya pak Saman mengagetkanku.
"Apa maning? Aja guyonan bae, ah!" (Apa lagi? Jangan bercanda terus, ah!) gerutuku ditengah kantuk.
"Hust, meneng! Rongokaken!" (Hust, diam! Dengarkan!) pinta pak Saman.
Aku mencoba mengembalikan kesadaran, sambil mendengarkan apa yang beliau dengar.
"Khog, khog ..."
"Suarae wong ngorok?" (Suaranya orang mendengkur?) tanyaku.
"I-iku, Run! De-delengen ning gurie witan gedang ana apa? (I-itu, Run! Li-lihatlah dibelakang pohon pisang ada apa?) tanya pak Saman dengan nada terbata.
Aku melihat kearah yang pak Saman tunjuk!
Terlihat sikuet yang menurutku tidaklah asing.Tiba-tiba, pak Saman berlari mendekati kentongan dan memukulnya dengan kencang.
Sambil berucap,"Bedul dadi-daian ...! Bedul dadi-daian ...!" (Babi jadi-jadian ...! Babi jadi-jadian ...!)
Seketika, satu persatu warga berdatangan.
Pos langsung menjadi ramai."Hah? Bedul? Sing bener bae?" (Hah? Babi? Yang benar saja?) tanyaku dalam hati.
Ya, aku kaget! Karena apa yang aku lihat tak sama dengan apa yang pak Saman lihat.
Malah, aku melihat seseorang yang sepertinya ku kenal.Ya, kak Warkam!
Aku melihat sosok kak Warkam!Bukan babi jadi-jadian, seperti yang dikatakan pak Saman.Bersambung ... .
"Endi bedule?" (Mana babinya?) teriak salah satu warga. "I-ikah mana! Melayue ning kebun-kebun" (I-itu sana! Larinya ke kebun-kebun) jelas pak Saman. "Wis! Ayu digedag!" (Sudah! Ayo dikejar!) pinta salah satu warga. Aku, pak Saman dan beberapa warga pun, mulai mengejar yang dikatakan pak Saman babi jadi-jadian.Bermodalkan obor dan ada yang bawa senter, serta para warga yang membawa batu sama kayu, kita mulai masuk kearea kebun yang berada di seberang pos. "Apa kien jare mbah Raksa? Sing diarani baka mareki deweke bisa sugih?" (Apa ini kata mbah Raksa? Yang dibilang kalau mendatangi beliau bisa kaya?" Malam ini sunyi sepi, hanya ditemani suara binatang malam yang menemani kesunyian ini. Karena aku lebih memilih berdiam dipos ronda sendiri dan masih mencerna dari setiap kejadian yang baru saja terjadi. Aku beralasan tidak
Beberapa hari kemudian, ada teman datang ke rumah.Dia datang, menawari ku pekerjaan.Akan tetapi, kerjanya lumayan jauh.Lebih tepatnya, di ibukota.Setelah 6 bulan berlalu, aku pun pulang ke kampung halaman.Tetapi saat sampai di rumah, Jamilah tak membukakan pintu.Padahal sudah beberapa kali ku ketuk.Karena lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, aku pergi ke belakang rumah.Aku memilih ke dibelakang rumah, karena ada ranjang yang terbuat dari bambu.Aku pun merebahkan badan disitu, untuk menghilangkan lelah.Tas yang aku bawa, ku letakkan pada bagian kepala sebagai ganjalan.Anginnya begitu sejuk, membuat pandangan kian meredup.Aku memejamkan mata dan tak sadar, aku pun tertidur.Dalam mimpi, aku berada di tempat P.Dalam posisi duduk seperti waktu itu.Lalu aku berdiri dan melangkahkan kaki mendekati ruangan yang waktu itu
"Berarti, setiap pelaku pesugihan, mereka itu sebenarnya bukan orang?" tanyaku yang masih penasaran."Kan sudah aku bilang, beda tempat beda pula perjanjiannya! " jawab Ustaz,"Kalau ditempat lain, mungkin yang pulang adalah sang pelaku pesugihan, Tapi tidak akan bertahan lama! Sewaktu-waktu, dia juga akan diambil oleh makhluk tersebut, kalau dalam 8 bulan tidak memberikan tumbal." lanjut ustaz,"Dan ada juga perjanjian yang lain! Sedangkan perjanjian yang kakakmu lakukan, bisa dibilang menukar jiwanya dengan sosok makhluk tersebut, demi membahagiakan orang yang dia cinta, agar yang dicintai menjadi kaya raya." lanjut ustaz lagi,"Tapi kamu jangan pernah mengikuti jejak kakakmu! Karena bersekutu dengan setan, adalah dosa yang teramat besar!" saran Ustaz dengan tatapan tajam.Akhirnya aku paham dengan semua yang telah terjadi.Semuanya sudah nampak begitu jelas.Sekarang
Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang."Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.Pandangan mulai memudar, gelap.Perlahan membaik dan,"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.Tetapi, berbeda dengan mimpi ya
"Oh, dadi apa sing terjadi sekien karena mbak?" (Oh, jadi apa yang terjadi saat ini karena mbak?) tanyaku emosi, membalikkan badan, menatap mbak Raeni penuh benci."Iya, bener! Pengen wadul ning warga? Wadul bae! Mader keluargane sira ilok mangan duite mbak! Sira wadul, anak sira tak dadiaken tumbal! Hahahahahaha," (Iya, benar! Mau lapor ke warga? Lapor saja! Lagian keluargamu sudah pernah makan uangku! Kamu lapor, anakmu jadi tumbal! Hahahahah,) ancamnya membuatku tambah kesal.Sakit ...! Hatiku sakit ...!Seakan tercabik-cabik oleh ucapannya.Tetapi tak bisa ku pungkiri, kalau keluargaku pernah makan uang itu.Menyesal ...? Menyesal ...? Menyesal tak ada gunanya lagi bagiku!"Wadon iblis!" (Wanita iblis!) teriakku sambil berpaling meninggalkannya dan secepatnya keluar dari rumah si wanita biadab!Awal niat ingin pinjam uang, malah mendapatkan hal yang tak bisa ku percaya, kalau bukan
Aku mengasah golok tersebut sampai lama, hingga benar-benar tajam dan bisa untuk membunuh orang.Tak terasa, waktu magrib dan isya pun terlewat.Namun, aku masih terus mengasah golok tersebut."Mas! Ngasah golok kanggo apa? Sing sore sampe apa bengi bli uwis-uwis?" (Mas! Mengasah golok untuk apa? Dari sore sampai habis malam tidak selesai-selesai?) tanya Jamilah hawatir."Kanggo esuk, abad rumput! Bokat bli sempet." (Buat besok, potong rumput! Takut tak sempat." jawabku dengan nada yang masih terbawa emosi.Tepat pukul 12 malam, aku keluar rumah lewat pintu belakang sambil membawa golok yang begitu tajam.Sampai di rumah kak Warkam, dengan mudah bagiku membuka pintu.Karena memang tak pernah di kunci.Aku masuk dan kamar pertama yang ku kunjungi adalah kamar Almarhum Prapto.Namun, disini tak ada seseorang pun."Bagus! Bera
Hai, terima kasih telah membaca cerita ini sampai selesai.Akan tetapi, cerita ini masih terus berlanjut dan mengulang dari sudut pandang Indah, anak dari pak Kirun.Mungkin, kalian berpikir dari sudut pandang mana pun akan tetap sama?Jawabannya, tidak! Dan jauh berbeda dengan versi bapaknya! Karena untuk versi Indah ini, kita akan mengambil alur fiksi.Jangan hawatir, ceritanya menjadi lebih seru daripada versi terdahulu!Berikut sipnosisnya :Indah Suci Pertiwi. anak 5 tahun yang masih polos.dia memiliki teman gaib yang dia beri nama, Siska.Akan tetapi, Indah/Suci yang masih kecil, tak memahami kalau temannya adalah mahluk astral. yang dia tahu hanyalah, bahwa sosok tersebut merupakan Kakak atau teman bermainnya.
Ka-ka-ka! Entah sejak kapan, sosok tersebut selalu menemaniku.Karena sering memanggil "Ka", aku memanggil sosok tersebut dengan sebutan, Siska.Oh iya, Namaku, Indah Suci Pertiwi. Orang tuaku biasa memanggil dengan sebutan Suci. Dulu, katanya waktu aku di panggil dengan nama Indah, aku sering demam dan sakit-sakitan. Akhirnya, kedua orang tuaku memanggilku dengan nama Suci.Umurku 5 tahun. Aku anak dari Kirun dan Jamilah.Kala itu, aku sedang asik main masak-masakan sama Siska.Ayah merasakan hawa keberadaannya. Berbeda dengan Ibu, dia orangnya tak percaya sama hal gaib."tok-tok ...." Terdengar ada seseorang mengetuk pintu depan. Ayah langsung berdiri dan menghampiri pintu tersebut. Sedangkan Ibu, lagi sibuk memasak di dapur.Ternyata, yang bertamu adalah Om Warkam, Kakaknya Ayah.Om Warkam berdiri didepan pintu dan mereka mengobrol.Aku tak mendengar apa ya
Azan magrib berkumandang, ayah bergegas ke kamar.Aku dan ibu masih asik nonton TV, tak berselang lama, ayah keluar mengenakan baju kokoh lengkap dengan sarung dan kopiah.Sontak, ibu tertawa melihat ayah yang hendak pergi ke Musala.Aku ikut tertawa kecil, lalu ayah berlalu. Mulai dari sekarang, ayah aktif di Musala.Berbeda dengan aku dan ibu, yang masih enggan untuk ibadah. Setahun berlalu, ini hari pertama aku masuk Sekolah Dasar.Aku berangkat sekolah tak sendiri, ditemani ibu dan Siska. "Ci! Kamu jangan aneh-aneh di sekolah," perintah ibu. "Aneh-aneh bagaimana?" tanyaku memandang wajahnya. "Halusinasimu dikurangi! Jangan bikin aneh-aneh, nanti gak punya teman." ucap Ibu. Aku terdiam, menjawab dengan
Aku bangun dari tidurku dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.Ibu pun, sudah membangunkan ayah dan aku menunggu mereka diruang tamu bersama mbak Ayu.Mbak Ayu adalah tetangga om Warkam dan dia pula yang mengabari kita kalau Prapto meninggal.Oh iya, Prapto adalah anak semata wayang om Warkam dan tante Raeni.Prapto, masih kelas 4sddan dia jauh lebih tua dariku yang sekarang, masih berumur 5 tahun.Ayah dan ibu menghampiri, kita berjalan keluar rumah menuju rumah om Warkam yang jaraknya tak begitu jauh, hanya selisih Rt-nya saja.Sampai rumah om Warkam, aku merasakan hawa yang tak biasa.Didekat kerumunan warga yang melayat, ada banyak yang kepalanya tak seperti manusia pada umumnya.Mereka bertelanjang dada dan disekujur tubuhnya ditumbuhi bulu hitam.Siska berjalan setengah ketakutan, dia terus memegang bajuku dari belakang sambil menatap w
Ka-ka-ka! Entah sejak kapan, sosok tersebut selalu menemaniku.Karena sering memanggil "Ka", aku memanggil sosok tersebut dengan sebutan, Siska.Oh iya, Namaku, Indah Suci Pertiwi. Orang tuaku biasa memanggil dengan sebutan Suci. Dulu, katanya waktu aku di panggil dengan nama Indah, aku sering demam dan sakit-sakitan. Akhirnya, kedua orang tuaku memanggilku dengan nama Suci.Umurku 5 tahun. Aku anak dari Kirun dan Jamilah.Kala itu, aku sedang asik main masak-masakan sama Siska.Ayah merasakan hawa keberadaannya. Berbeda dengan Ibu, dia orangnya tak percaya sama hal gaib."tok-tok ...." Terdengar ada seseorang mengetuk pintu depan. Ayah langsung berdiri dan menghampiri pintu tersebut. Sedangkan Ibu, lagi sibuk memasak di dapur.Ternyata, yang bertamu adalah Om Warkam, Kakaknya Ayah.Om Warkam berdiri didepan pintu dan mereka mengobrol.Aku tak mendengar apa ya
Hai, terima kasih telah membaca cerita ini sampai selesai.Akan tetapi, cerita ini masih terus berlanjut dan mengulang dari sudut pandang Indah, anak dari pak Kirun.Mungkin, kalian berpikir dari sudut pandang mana pun akan tetap sama?Jawabannya, tidak! Dan jauh berbeda dengan versi bapaknya! Karena untuk versi Indah ini, kita akan mengambil alur fiksi.Jangan hawatir, ceritanya menjadi lebih seru daripada versi terdahulu!Berikut sipnosisnya :Indah Suci Pertiwi. anak 5 tahun yang masih polos.dia memiliki teman gaib yang dia beri nama, Siska.Akan tetapi, Indah/Suci yang masih kecil, tak memahami kalau temannya adalah mahluk astral. yang dia tahu hanyalah, bahwa sosok tersebut merupakan Kakak atau teman bermainnya.
Aku mengasah golok tersebut sampai lama, hingga benar-benar tajam dan bisa untuk membunuh orang.Tak terasa, waktu magrib dan isya pun terlewat.Namun, aku masih terus mengasah golok tersebut."Mas! Ngasah golok kanggo apa? Sing sore sampe apa bengi bli uwis-uwis?" (Mas! Mengasah golok untuk apa? Dari sore sampai habis malam tidak selesai-selesai?) tanya Jamilah hawatir."Kanggo esuk, abad rumput! Bokat bli sempet." (Buat besok, potong rumput! Takut tak sempat." jawabku dengan nada yang masih terbawa emosi.Tepat pukul 12 malam, aku keluar rumah lewat pintu belakang sambil membawa golok yang begitu tajam.Sampai di rumah kak Warkam, dengan mudah bagiku membuka pintu.Karena memang tak pernah di kunci.Aku masuk dan kamar pertama yang ku kunjungi adalah kamar Almarhum Prapto.Namun, disini tak ada seseorang pun."Bagus! Bera
"Oh, dadi apa sing terjadi sekien karena mbak?" (Oh, jadi apa yang terjadi saat ini karena mbak?) tanyaku emosi, membalikkan badan, menatap mbak Raeni penuh benci."Iya, bener! Pengen wadul ning warga? Wadul bae! Mader keluargane sira ilok mangan duite mbak! Sira wadul, anak sira tak dadiaken tumbal! Hahahahahaha," (Iya, benar! Mau lapor ke warga? Lapor saja! Lagian keluargamu sudah pernah makan uangku! Kamu lapor, anakmu jadi tumbal! Hahahahah,) ancamnya membuatku tambah kesal.Sakit ...! Hatiku sakit ...!Seakan tercabik-cabik oleh ucapannya.Tetapi tak bisa ku pungkiri, kalau keluargaku pernah makan uang itu.Menyesal ...? Menyesal ...? Menyesal tak ada gunanya lagi bagiku!"Wadon iblis!" (Wanita iblis!) teriakku sambil berpaling meninggalkannya dan secepatnya keluar dari rumah si wanita biadab!Awal niat ingin pinjam uang, malah mendapatkan hal yang tak bisa ku percaya, kalau bukan
Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang."Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.Pandangan mulai memudar, gelap.Perlahan membaik dan,"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.Tetapi, berbeda dengan mimpi ya
"Berarti, setiap pelaku pesugihan, mereka itu sebenarnya bukan orang?" tanyaku yang masih penasaran."Kan sudah aku bilang, beda tempat beda pula perjanjiannya! " jawab Ustaz,"Kalau ditempat lain, mungkin yang pulang adalah sang pelaku pesugihan, Tapi tidak akan bertahan lama! Sewaktu-waktu, dia juga akan diambil oleh makhluk tersebut, kalau dalam 8 bulan tidak memberikan tumbal." lanjut ustaz,"Dan ada juga perjanjian yang lain! Sedangkan perjanjian yang kakakmu lakukan, bisa dibilang menukar jiwanya dengan sosok makhluk tersebut, demi membahagiakan orang yang dia cinta, agar yang dicintai menjadi kaya raya." lanjut ustaz lagi,"Tapi kamu jangan pernah mengikuti jejak kakakmu! Karena bersekutu dengan setan, adalah dosa yang teramat besar!" saran Ustaz dengan tatapan tajam.Akhirnya aku paham dengan semua yang telah terjadi.Semuanya sudah nampak begitu jelas.Sekarang
Beberapa hari kemudian, ada teman datang ke rumah.Dia datang, menawari ku pekerjaan.Akan tetapi, kerjanya lumayan jauh.Lebih tepatnya, di ibukota.Setelah 6 bulan berlalu, aku pun pulang ke kampung halaman.Tetapi saat sampai di rumah, Jamilah tak membukakan pintu.Padahal sudah beberapa kali ku ketuk.Karena lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, aku pergi ke belakang rumah.Aku memilih ke dibelakang rumah, karena ada ranjang yang terbuat dari bambu.Aku pun merebahkan badan disitu, untuk menghilangkan lelah.Tas yang aku bawa, ku letakkan pada bagian kepala sebagai ganjalan.Anginnya begitu sejuk, membuat pandangan kian meredup.Aku memejamkan mata dan tak sadar, aku pun tertidur.Dalam mimpi, aku berada di tempat P.Dalam posisi duduk seperti waktu itu.Lalu aku berdiri dan melangkahkan kaki mendekati ruangan yang waktu itu