"Berarti, setiap pelaku pesugihan, mereka itu sebenarnya bukan orang?" tanyaku yang masih penasaran.
"Kan sudah aku bilang, beda tempat beda pula perjanjiannya! " jawab Ustaz,
"Kalau ditempat lain, mungkin yang pulang adalah sang pelaku pesugihan, Tapi tidak akan bertahan lama! Sewaktu-waktu, dia juga akan diambil oleh makhluk tersebut, kalau dalam 8 bulan tidak memberikan tumbal." lanjut ustaz,
"Dan ada juga perjanjian yang lain! Sedangkan perjanjian yang kakakmu lakukan, bisa dibilang menukar jiwanya dengan sosok makhluk tersebut, demi membahagiakan orang yang dia cinta, agar yang dicintai menjadi kaya raya." lanjut ustaz lagi,
"Tapi kamu jangan pernah mengikuti jejak kakakmu! Karena bersekutu dengan setan, adalah dosa yang teramat besar!" saran Ustaz dengan tatapan tajam.
Akhirnya aku paham dengan semua yang telah terjadi.
Semuanya sudah nampak begitu jelas.Sekarang tergantung tindakan yang harus aku lakukan.Membiarkannya? Atau mengakhirnya?!Tak terasa sudah malam, lebih tepatnya waktu isya sudah terlewat.
Aku dan jamaah pun pergi menuju rumah pak Sarip, untuk menghadiri acara tahlilan.Aku pikir, anak pak Sarip meninggal jadi tumbal kak Warkam?!
Karena pak Sariplah yang menerima tawaran mbak Raeni dan aku yakin akan hal itu, karena Siska waktu itu langsung berbisik langsung padaku!Kalau dipikir, sudah tak ada lagi warga yang melihat seekor babi di Desa ini.
Karena kak Warkam selalu pergi di saat malam datang dengan mobil, untuk keluar Desa.Warga pun mulai bertanya-tanya tentang pekerjaan kak Warkam.Tetapi kalau ada yang bertanya padaku, aku suruh dia bertanya langsung sama istrinya, karena aku juga tak tahu.
Kemungkinan kak Warkam ngepet di tempat lain, atau di Desa maupun kota lain.
Aku pun tak tahu kenapa harus jauh? Apa karena takut warga curiga? Atau karena sedikitnya orang yang kaya di desaku?Entahlah ...?!Disaat acara tahlilan dimulai, ada hal ganjil yang terjadi.
Karena yang duduk diluar rumah, tiba-tiba merangseg masuk kedalam.Tahlilan sampai sempat berhenti, karena kejadian tersebut.
Katanya si, ada yang mendengar suara anak kecil meminta tolong. Tetapi tak ada sesiapa pun.Ada pula yang bilang, melihat sosok hitam tinggi besar menyeret anak kecil, lalu membawanya pergi.
Dan masih ada yang bilang lain lagi, kalau dia melihat dedaunan yang berserakan tiba-tiba tersapu, seolah ada yang lewat.
Apa yang dilihat dan didengar orang-orang yang ada diluar berbeda-beda.
Mungkin karena kesensitifan mereka akan mahluk halus yang berbeda pula."Wis aja wedi! Ko tak usir setanne! Kari di cepreti bae karo banyu kembang." (Sudah janga takut! Nanti hantunya aku usir! Tinggal di ciprati saja pakai air bunga.) ucap pak Kirun dengan nada bercanda, tuk meredam suasana.
Ketakutan yang mencekam, berubah menjadi riuh suara tertawa.
Dan tak lama, acara kembali dilanjutkan dan masih dipimpin oleh pak Kirun.Pak Kirun memimpin acara tahlilan, karena katanya ustaz Amir keluar Desa sewaktu habis magrib.
Selesai tahlilan, aku pulang seorang diri.
Karena hanya aku warga dari Rt 07, yang ikut tahlil di rumah pak Sarip.Aku memilih pulang lewat area pesawahan.
Dari jauh, nampak seorang perempuan tengah berjalan mendekat.Semakin dekat dengan orang tersebut dan ternyata, beliau adalah bu Ijah."Bu Ijah! Pan mendi?" (Bu Ijah! Mau kemana?) sapaku.
"Ora mendi-mendi, mung pengen luruh angin," (Tidak kemana-mana, cuma nyari angin,) jawabnya.
"Luruh angin kok liwat mene? Ora liwat dalan arep bae?" (Cari angin kok lewat sini? Tidak lewat jalan utama saja?) tanyaku lagi.
"Liwat mene kuh enak! Adem! Akeh angin," (Lewat sini tuh enak! Sejuk! Banyak angin,) ucapnya.
"Ya wis, bu! Kirun permisi dikit, bokat dienteni wong ning umah!" (Ya sudah, bu! Kirun permisi dulu, takut ditungguin orang rumah!) jelasku.
"Ya wis! Ibu gah pengen lanjut luruh angin!" (Ya sudah! Ibu juga mau lanjut nyari angin!) ucapnya, lalu mulai kembali berjalan meninggalkanku.
Anehnya, aku masih melihat sosok tersebut itu bu Ijah!
Berbeda dengan kak Warkam yang bahkan tak bisa diajak berintraksi.Mungkin karena aku masih saudara kak Warkam dan malah mengantarnya ke tempat itu?!Sedangkan bu Ijah, aku tak tahu kalau dia juga begitu dan baru tahu sekarang!***
Siapa bu Ijah?
Bu Ijah adalah Janda, Janda kaya yang hidup seorang diri.
Dulu dia mempunyai tiga orang anak dan kedua anaknya sudah meninggal.Hanya tersisa satu anak perempuan bernama, Santi.Santi tak ada di rumah, karena dia kuliah diluar kota.
Namun sesekali Santi pulang, untuk menjenguk ibunya.***
Dirasa bu Ijah sudah jauh, aku melanjutkan melangkah.
Namun rasa penasaran seakan membuatku enggan tuk melangkah dan mencoba berbalik ke belakang tuk melihat bu Ijah.Aneh!
Bu Ijah sudah tak terlihat!Padahal jalan yang dilalui tak ada pohon atau bangunan yang bisa menutupi seseorang dari pandangan.Kalau tak jauh dari rumah beda lagi, karena di sana ada pohon besar yang waktu itu aku melihat sosok pocong.
Dirasa tak melihat bu Ijah, aku kembali membalikan badan.
Kaget bercampur syok!Karena bu Ijah tiba-tiba ada dihadapanku dengan mata melotot, seakan menyimpan kemarahan yang teramat dalam.Wajahku dan wajah bu Ijah hanya berjarak satu jengkal.
Apalagi, melihat ekpresi wajahnya yang seperti itu."Ana apa, Kirun? Penasaran? Pengen weruh sapa bu Ijah?" (Ada apa, Kirun? Penasaran? Mau tahu siapa bu Ijah?) tanyanya dengan nada sedikit berteriak.
Seketika, seluruh anggota tubuh bu Ijah mengeluarkan asap yang hitam pekat.
Perlahan asap kian menghilang dan nampak sosok yang begitu menyeramkan.Wajahnya hitam legam, seperti orang yang habis terbakar.Mata bulat, yang hampir seakan mau keluar.
Mulut berliur nanah bercampur dengan darah.Wajah dengan belatung menggeliat, yang seakan sedang menikmati bagian wajahnya.Busuk! Baunya begitu busuk!
Belum sempat melihat ke seluruh anggota tubuhnya, aku langsung lari, karena begitu ketakutan!
Dengan nafas terengah, aku terus berlari.
Hingga sampai belakang rumah.Pintu rumah aku ketuk dengan keras dan sesekali memanggil orang didalam rumah.
Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang menjawab panggilanku."Semoga ora nggedag ...! (Semoga tak mengejar ...!) ucapku dalam hati.
Ekor mata menangkap sesosok bayangan putih terbang dan perlahan mulai turun.
Aku pun semakin merasa takut dan kembali mengetuk pintu dengan lebih keras.Akan tetapi, tetap saja. Tak ada jawaban dari dalam rumah."Hihihihi, Kirun ...! Kirun ...! Hihihihi." ucapnya membuatku semakin takut.
Tanpa menoleh kearah sosok tersebut, aku berlari mengitari rumah sambil teriak, "Tulung ... Tulung ...." (Tolong ... Tolong ....)
Anehnya, tak ada sesiapa pun yang keluar rumah.
Padahal kalau jam segini kan, biasanya masih ada saja orang yang bergadang.Dan yang lebih anehnya lagi, semua rumah warga tak ada yang menyalakan lampu."Sepi temen ...! Ana uwong beli ...?" (Sepi sekali ...! Ada orang tidak ...?) teriakku, mencoba memanggil. Namun masih tak ada satu orang pun yang datang menghampiri.
"Hihihihi, Kirun ...!" suara itu kembali terdengar.
Aku terus lari dan hampir keluar desa.
Seakan tak ada kata menyerah, sosok itu selalu mengejar kemana pun kaki ini melangkah.Saking begitu takutnya, aku pun lupa tuk berdoa.
Dan anehnya baru teringat, sekarang.Aku mencoba berdoa dan membaca surat maupun ayat yang ku bisa.
Tetapi, sosok itu tak menghilang dan malah semakin dekat dan semakin dekat lagi.Tak ada lagi kemampuan untukku berlari, aku pun pasrah dengan apa yang akan terjadi!
Sampai-sampai, sosok itu sudah berada tepat didepanku. Tepat, dihadapan wajahku ...!Tiba-tiba, penglihantanku kian memudar.
Gelap ...!Semakin lama, pandanganku kian membaik.
Alangkah terkejutnya ketika aku membuka mata.Para warga sudah mengerumiku yang ternyata, tergeletak di jalan setapak.
Jalan yang aku lalui, ketika berpapasan dengan bu Ijah."Nang! Bisane turu ning kene?" (Nak! Bisanya tidur disini?) tanya seorang kakek membungkukan badan.
Aku masih kebingungan dan tak bisa menjawab pertanyaannya.
Karena sehabis kakek itu bertanya, warga lain pun menanyakan hal yang sama.Tak menemukan jawaban dan aku hanya memilih diam.
Warga mengangkat tubuhku.Karena entah mengapa, aku merasakan lemas dan tak kuat tuk bangkit.Sambil diangkat menunju rumah, pak Sardi yang sehari-harinya berprofesi sebagai petani pun angkat bicara dan menjelaskan ke para warga.
Dalam perjalanan menuju rumah, pak Sardi bilang, kalau aku sudah menghilang selama tiga hari dan tanpa sengaja, beliau menemukanku yang tergeletak dijalan itu.
Padahal jalan itu sering dilalui petani, kalau hendak pergi ke sawah.
Tetapi mengapa, tak ada satu orang pun yang melihat adanya aku disitu.Seakan-akan pandangan mereka tertutup sesuatu dan entah mengapa, tiga hari kemudian tubuhku yang tergolek lemas bisa terlihat.Sesampainya di rumah, badanku diletakkan di kursi kayu yang berada di ruang tamu.
Awal kedatanganku membuat jamilah syok dan sempat pingsan.Si Suci menangis, sambil mendekap tubuhku."Pa-pak Sardi! Apa bener Kirun ngilang lawase telung dina?" (Pa-pak Sardi! Apa benar Kirun menghilang selama tiga hari?) tanyaku pada pak Sardi.
"Iya nang! Jare Mila, tes tahlilan sira ora balik! Bengi kuen langsung pada goleti, sampe teka ning dalan kuen. Tapi laka pa-pa. Toli gah, gal dina liwat mono, laka uwong laka uwing. Plos bae, anae dalan!"
(Iya dek! Kata Mila, habis tahlilan kamu tidak pulang! Malam itu kita langsung mencari, sampai ke jalan itu. Tapi tak ada apa pun. Lagian setiap hari lewat situ, tak ada orang sama sekali. Cuma adanya jalan, tak ada apapun!) jelas pak Sardi.
Aku diam, tubuhku masih lemas dan mulut pun sukar tuk berucap.
Pertanyaan demi pertanyaan para warga mulai di lontarkan," selaman ini kamu pergi kemana?"
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan kamu?"
Dan banyak pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tetapi ku jawab dengan menggelengkan kepala, karena aku pun tak tahu apa yang terjadi.
Warga yang kecewa dengan jawaban itu, akhirnya mulai meninggalkan rumahku, satu persatu.
Bersambung ... .
Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang."Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.Pandangan mulai memudar, gelap.Perlahan membaik dan,"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.Tetapi, berbeda dengan mimpi ya
"Oh, dadi apa sing terjadi sekien karena mbak?" (Oh, jadi apa yang terjadi saat ini karena mbak?) tanyaku emosi, membalikkan badan, menatap mbak Raeni penuh benci."Iya, bener! Pengen wadul ning warga? Wadul bae! Mader keluargane sira ilok mangan duite mbak! Sira wadul, anak sira tak dadiaken tumbal! Hahahahahaha," (Iya, benar! Mau lapor ke warga? Lapor saja! Lagian keluargamu sudah pernah makan uangku! Kamu lapor, anakmu jadi tumbal! Hahahahah,) ancamnya membuatku tambah kesal.Sakit ...! Hatiku sakit ...!Seakan tercabik-cabik oleh ucapannya.Tetapi tak bisa ku pungkiri, kalau keluargaku pernah makan uang itu.Menyesal ...? Menyesal ...? Menyesal tak ada gunanya lagi bagiku!"Wadon iblis!" (Wanita iblis!) teriakku sambil berpaling meninggalkannya dan secepatnya keluar dari rumah si wanita biadab!Awal niat ingin pinjam uang, malah mendapatkan hal yang tak bisa ku percaya, kalau bukan
Aku mengasah golok tersebut sampai lama, hingga benar-benar tajam dan bisa untuk membunuh orang.Tak terasa, waktu magrib dan isya pun terlewat.Namun, aku masih terus mengasah golok tersebut."Mas! Ngasah golok kanggo apa? Sing sore sampe apa bengi bli uwis-uwis?" (Mas! Mengasah golok untuk apa? Dari sore sampai habis malam tidak selesai-selesai?) tanya Jamilah hawatir."Kanggo esuk, abad rumput! Bokat bli sempet." (Buat besok, potong rumput! Takut tak sempat." jawabku dengan nada yang masih terbawa emosi.Tepat pukul 12 malam, aku keluar rumah lewat pintu belakang sambil membawa golok yang begitu tajam.Sampai di rumah kak Warkam, dengan mudah bagiku membuka pintu.Karena memang tak pernah di kunci.Aku masuk dan kamar pertama yang ku kunjungi adalah kamar Almarhum Prapto.Namun, disini tak ada seseorang pun."Bagus! Bera
Hai, terima kasih telah membaca cerita ini sampai selesai.Akan tetapi, cerita ini masih terus berlanjut dan mengulang dari sudut pandang Indah, anak dari pak Kirun.Mungkin, kalian berpikir dari sudut pandang mana pun akan tetap sama?Jawabannya, tidak! Dan jauh berbeda dengan versi bapaknya! Karena untuk versi Indah ini, kita akan mengambil alur fiksi.Jangan hawatir, ceritanya menjadi lebih seru daripada versi terdahulu!Berikut sipnosisnya :Indah Suci Pertiwi. anak 5 tahun yang masih polos.dia memiliki teman gaib yang dia beri nama, Siska.Akan tetapi, Indah/Suci yang masih kecil, tak memahami kalau temannya adalah mahluk astral. yang dia tahu hanyalah, bahwa sosok tersebut merupakan Kakak atau teman bermainnya.
Ka-ka-ka! Entah sejak kapan, sosok tersebut selalu menemaniku.Karena sering memanggil "Ka", aku memanggil sosok tersebut dengan sebutan, Siska.Oh iya, Namaku, Indah Suci Pertiwi. Orang tuaku biasa memanggil dengan sebutan Suci. Dulu, katanya waktu aku di panggil dengan nama Indah, aku sering demam dan sakit-sakitan. Akhirnya, kedua orang tuaku memanggilku dengan nama Suci.Umurku 5 tahun. Aku anak dari Kirun dan Jamilah.Kala itu, aku sedang asik main masak-masakan sama Siska.Ayah merasakan hawa keberadaannya. Berbeda dengan Ibu, dia orangnya tak percaya sama hal gaib."tok-tok ...." Terdengar ada seseorang mengetuk pintu depan. Ayah langsung berdiri dan menghampiri pintu tersebut. Sedangkan Ibu, lagi sibuk memasak di dapur.Ternyata, yang bertamu adalah Om Warkam, Kakaknya Ayah.Om Warkam berdiri didepan pintu dan mereka mengobrol.Aku tak mendengar apa ya
Aku bangun dari tidurku dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.Ibu pun, sudah membangunkan ayah dan aku menunggu mereka diruang tamu bersama mbak Ayu.Mbak Ayu adalah tetangga om Warkam dan dia pula yang mengabari kita kalau Prapto meninggal.Oh iya, Prapto adalah anak semata wayang om Warkam dan tante Raeni.Prapto, masih kelas 4sddan dia jauh lebih tua dariku yang sekarang, masih berumur 5 tahun.Ayah dan ibu menghampiri, kita berjalan keluar rumah menuju rumah om Warkam yang jaraknya tak begitu jauh, hanya selisih Rt-nya saja.Sampai rumah om Warkam, aku merasakan hawa yang tak biasa.Didekat kerumunan warga yang melayat, ada banyak yang kepalanya tak seperti manusia pada umumnya.Mereka bertelanjang dada dan disekujur tubuhnya ditumbuhi bulu hitam.Siska berjalan setengah ketakutan, dia terus memegang bajuku dari belakang sambil menatap w
Azan magrib berkumandang, ayah bergegas ke kamar.Aku dan ibu masih asik nonton TV, tak berselang lama, ayah keluar mengenakan baju kokoh lengkap dengan sarung dan kopiah.Sontak, ibu tertawa melihat ayah yang hendak pergi ke Musala.Aku ikut tertawa kecil, lalu ayah berlalu. Mulai dari sekarang, ayah aktif di Musala.Berbeda dengan aku dan ibu, yang masih enggan untuk ibadah. Setahun berlalu, ini hari pertama aku masuk Sekolah Dasar.Aku berangkat sekolah tak sendiri, ditemani ibu dan Siska. "Ci! Kamu jangan aneh-aneh di sekolah," perintah ibu. "Aneh-aneh bagaimana?" tanyaku memandang wajahnya. "Halusinasimu dikurangi! Jangan bikin aneh-aneh, nanti gak punya teman." ucap Ibu. Aku terdiam, menjawab dengan
Hari itu, Kang Warkam datang berkunjung ke rumah.Dan pada saat itu juga, aku sedang ada dirumah. Terdengar suara ketukan pintu disertai salam.Lalu, aku balas salam dan membukakan pintu. "Ana apa kang? Apa ana sesuatu sampe teka dadakan kaya kenen?" (Ada apa kak? Apa ada sesuatu sampai datang mendadak seperti ini?) tanyaku. "Run! Sira lagi nganggur? Gelem beli tak jak kakang dolan ning suatu tempat?" (Run! Kamu sedang menganggur? Mau tidak Kakak ajak kamu main ke suatu tempat?) Kang Warkam balik bertanya. Aku diam untuk beberapa saat, karena merasa heran dengan kedatangan dan heran karena tiba-tiba mengajak ke suatu tempat. "Mendi kang? Apa ana kerjaan?" (Kemana Kak? Apa ada kerjaan?) tanyaku lagi. "Wis! Melu bae!" (Sudah! Ikut saja!) pinta Kang Warkam. Aku tertunduk sesaat, memikirkan apa dan kemana.Tetapi, aku t
Azan magrib berkumandang, ayah bergegas ke kamar.Aku dan ibu masih asik nonton TV, tak berselang lama, ayah keluar mengenakan baju kokoh lengkap dengan sarung dan kopiah.Sontak, ibu tertawa melihat ayah yang hendak pergi ke Musala.Aku ikut tertawa kecil, lalu ayah berlalu. Mulai dari sekarang, ayah aktif di Musala.Berbeda dengan aku dan ibu, yang masih enggan untuk ibadah. Setahun berlalu, ini hari pertama aku masuk Sekolah Dasar.Aku berangkat sekolah tak sendiri, ditemani ibu dan Siska. "Ci! Kamu jangan aneh-aneh di sekolah," perintah ibu. "Aneh-aneh bagaimana?" tanyaku memandang wajahnya. "Halusinasimu dikurangi! Jangan bikin aneh-aneh, nanti gak punya teman." ucap Ibu. Aku terdiam, menjawab dengan
Aku bangun dari tidurku dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.Ibu pun, sudah membangunkan ayah dan aku menunggu mereka diruang tamu bersama mbak Ayu.Mbak Ayu adalah tetangga om Warkam dan dia pula yang mengabari kita kalau Prapto meninggal.Oh iya, Prapto adalah anak semata wayang om Warkam dan tante Raeni.Prapto, masih kelas 4sddan dia jauh lebih tua dariku yang sekarang, masih berumur 5 tahun.Ayah dan ibu menghampiri, kita berjalan keluar rumah menuju rumah om Warkam yang jaraknya tak begitu jauh, hanya selisih Rt-nya saja.Sampai rumah om Warkam, aku merasakan hawa yang tak biasa.Didekat kerumunan warga yang melayat, ada banyak yang kepalanya tak seperti manusia pada umumnya.Mereka bertelanjang dada dan disekujur tubuhnya ditumbuhi bulu hitam.Siska berjalan setengah ketakutan, dia terus memegang bajuku dari belakang sambil menatap w
Ka-ka-ka! Entah sejak kapan, sosok tersebut selalu menemaniku.Karena sering memanggil "Ka", aku memanggil sosok tersebut dengan sebutan, Siska.Oh iya, Namaku, Indah Suci Pertiwi. Orang tuaku biasa memanggil dengan sebutan Suci. Dulu, katanya waktu aku di panggil dengan nama Indah, aku sering demam dan sakit-sakitan. Akhirnya, kedua orang tuaku memanggilku dengan nama Suci.Umurku 5 tahun. Aku anak dari Kirun dan Jamilah.Kala itu, aku sedang asik main masak-masakan sama Siska.Ayah merasakan hawa keberadaannya. Berbeda dengan Ibu, dia orangnya tak percaya sama hal gaib."tok-tok ...." Terdengar ada seseorang mengetuk pintu depan. Ayah langsung berdiri dan menghampiri pintu tersebut. Sedangkan Ibu, lagi sibuk memasak di dapur.Ternyata, yang bertamu adalah Om Warkam, Kakaknya Ayah.Om Warkam berdiri didepan pintu dan mereka mengobrol.Aku tak mendengar apa ya
Hai, terima kasih telah membaca cerita ini sampai selesai.Akan tetapi, cerita ini masih terus berlanjut dan mengulang dari sudut pandang Indah, anak dari pak Kirun.Mungkin, kalian berpikir dari sudut pandang mana pun akan tetap sama?Jawabannya, tidak! Dan jauh berbeda dengan versi bapaknya! Karena untuk versi Indah ini, kita akan mengambil alur fiksi.Jangan hawatir, ceritanya menjadi lebih seru daripada versi terdahulu!Berikut sipnosisnya :Indah Suci Pertiwi. anak 5 tahun yang masih polos.dia memiliki teman gaib yang dia beri nama, Siska.Akan tetapi, Indah/Suci yang masih kecil, tak memahami kalau temannya adalah mahluk astral. yang dia tahu hanyalah, bahwa sosok tersebut merupakan Kakak atau teman bermainnya.
Aku mengasah golok tersebut sampai lama, hingga benar-benar tajam dan bisa untuk membunuh orang.Tak terasa, waktu magrib dan isya pun terlewat.Namun, aku masih terus mengasah golok tersebut."Mas! Ngasah golok kanggo apa? Sing sore sampe apa bengi bli uwis-uwis?" (Mas! Mengasah golok untuk apa? Dari sore sampai habis malam tidak selesai-selesai?) tanya Jamilah hawatir."Kanggo esuk, abad rumput! Bokat bli sempet." (Buat besok, potong rumput! Takut tak sempat." jawabku dengan nada yang masih terbawa emosi.Tepat pukul 12 malam, aku keluar rumah lewat pintu belakang sambil membawa golok yang begitu tajam.Sampai di rumah kak Warkam, dengan mudah bagiku membuka pintu.Karena memang tak pernah di kunci.Aku masuk dan kamar pertama yang ku kunjungi adalah kamar Almarhum Prapto.Namun, disini tak ada seseorang pun."Bagus! Bera
"Oh, dadi apa sing terjadi sekien karena mbak?" (Oh, jadi apa yang terjadi saat ini karena mbak?) tanyaku emosi, membalikkan badan, menatap mbak Raeni penuh benci."Iya, bener! Pengen wadul ning warga? Wadul bae! Mader keluargane sira ilok mangan duite mbak! Sira wadul, anak sira tak dadiaken tumbal! Hahahahahaha," (Iya, benar! Mau lapor ke warga? Lapor saja! Lagian keluargamu sudah pernah makan uangku! Kamu lapor, anakmu jadi tumbal! Hahahahah,) ancamnya membuatku tambah kesal.Sakit ...! Hatiku sakit ...!Seakan tercabik-cabik oleh ucapannya.Tetapi tak bisa ku pungkiri, kalau keluargaku pernah makan uang itu.Menyesal ...? Menyesal ...? Menyesal tak ada gunanya lagi bagiku!"Wadon iblis!" (Wanita iblis!) teriakku sambil berpaling meninggalkannya dan secepatnya keluar dari rumah si wanita biadab!Awal niat ingin pinjam uang, malah mendapatkan hal yang tak bisa ku percaya, kalau bukan
Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang."Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.Pandangan mulai memudar, gelap.Perlahan membaik dan,"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.Tetapi, berbeda dengan mimpi ya
"Berarti, setiap pelaku pesugihan, mereka itu sebenarnya bukan orang?" tanyaku yang masih penasaran."Kan sudah aku bilang, beda tempat beda pula perjanjiannya! " jawab Ustaz,"Kalau ditempat lain, mungkin yang pulang adalah sang pelaku pesugihan, Tapi tidak akan bertahan lama! Sewaktu-waktu, dia juga akan diambil oleh makhluk tersebut, kalau dalam 8 bulan tidak memberikan tumbal." lanjut ustaz,"Dan ada juga perjanjian yang lain! Sedangkan perjanjian yang kakakmu lakukan, bisa dibilang menukar jiwanya dengan sosok makhluk tersebut, demi membahagiakan orang yang dia cinta, agar yang dicintai menjadi kaya raya." lanjut ustaz lagi,"Tapi kamu jangan pernah mengikuti jejak kakakmu! Karena bersekutu dengan setan, adalah dosa yang teramat besar!" saran Ustaz dengan tatapan tajam.Akhirnya aku paham dengan semua yang telah terjadi.Semuanya sudah nampak begitu jelas.Sekarang
Beberapa hari kemudian, ada teman datang ke rumah.Dia datang, menawari ku pekerjaan.Akan tetapi, kerjanya lumayan jauh.Lebih tepatnya, di ibukota.Setelah 6 bulan berlalu, aku pun pulang ke kampung halaman.Tetapi saat sampai di rumah, Jamilah tak membukakan pintu.Padahal sudah beberapa kali ku ketuk.Karena lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, aku pergi ke belakang rumah.Aku memilih ke dibelakang rumah, karena ada ranjang yang terbuat dari bambu.Aku pun merebahkan badan disitu, untuk menghilangkan lelah.Tas yang aku bawa, ku letakkan pada bagian kepala sebagai ganjalan.Anginnya begitu sejuk, membuat pandangan kian meredup.Aku memejamkan mata dan tak sadar, aku pun tertidur.Dalam mimpi, aku berada di tempat P.Dalam posisi duduk seperti waktu itu.Lalu aku berdiri dan melangkahkan kaki mendekati ruangan yang waktu itu