Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang.
"Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.
Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.
Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.
Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.Pandangan mulai memudar, gelap.
Perlahan membaik dan,"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.
Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.
Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.
Tetapi, berbeda dengan mimpi yang sekarang.Mataku mencoba menelisik dan mencari tahu dimana aku berada!
Saat melihat kearah kanan, disampingku ada anak perempuan, cantik.Dia tersenyum padaku.Usianya sekitar 5 tahun. pipi gembil, kulit putih bersih, mata yang indah bak mutiara. Senyumnya juga manis.
Sebagian rambutnya di sanggul, dan sebagian dibiarkan teruai memanjang sampai pinggang.Dia mengenakan kebaya berwarna merah, serta selendang merah yang terikat diantara pinggang.
Dia juga mengenakan kalung emas, dengan batu liontin yang berwarna merah menyala.Dia langsung membuang pandangan, menatap lurus kearah depan tanpa menunjukan ekpresi wajah yang sebelumnya.
Dia menatap kedepan dengan tatapan datar, lalu mengangkat tangan kanan sambil menunjuk.Aku mengikuti arah tangan yang dia tunjuk.
Aneh dan kaget bercampur jadi satu.Aku melihat diriku yang tengah berpapasan dengan bu Ijah.
Lebih tepatnya, seperti melihat masa laluku.Tetapi disini begitu berbeda!
Kalau yang waktu itu aku lihat bu Ijah. Tetapi sekarang lebih mirip seperti sosok Sundel bolong.Sempat bingung dengan wujud asli dari sosok yang menjadi bu Ijah.
Karena apa yang aku lihat berbeda-beda.Namun tuk kali ini aku yakin, kalau inilah sosok yang sebenarnya.Keanehan kembali terjadi!
Setelah bertatapan wajah, aku langsung pingsan.Sedangkan hari itu, aku merasa kita berpapasan dan sempat ada tanya jawab.Bu Ijah menghilang, menghampiri dengan wujud menakutkan dan mengejarku.Tetapi yang aku lihat, justru sebaliknya.Selepas aku pingsang, terdengar riuh ramai suara tertawa.
Perlahan, terlihat beberapa sosok menyeramkan menertawakanku.Rumah warga dan seisinya seakan tak ada!Semua berubah!Lingkungan, lapangan, pos ronda, bahkan musalah saja tidak ada!
Semua terlihat seperti hutan dan sosok-sosok menyeramkan itu berada di pohon-pohon sambil menertawakan aku yang tergolek lemas di jalan itu."Apa yang terjadi?" tanyaku dalam hati.
Seketika pandangan berubah menjadi gelap gulita.
Tetapi terlihat sebuah pusaran, seakan pintu tuk menuju dimensi berbeda.Perlahan, pandangan mata kian membaik dan aku berada di tempat berbeda.
Yang tadinya aku hanya melihat diriku yang pingsan, tetapi sekarang melihat diriku yang dikejar sundel bolong.Yang tadinya tak ada perumahan warga, sekarang ada. Tetapi sosok-sosok lain masih ada. Mereka melihat dan tertawa, seolah aku saat itu menjadi tontonan yang menghibur mereka.
Tiba di saat aku berdoa dan mulai pasrah.
Nampak cahaya putih datang menyilaukan mata.Aku yang dimimpi mulai pingsan dan yang tadinya cahaya, berubah menjadi seorang lelaki menggunakan pakaian serba putih dan sorban yang menempel di pundaknya.Rupanya, ustaz Amir.
Dia memukulkan tasbihnya ke wajah sundel bolong.Mahluk itu langsung menjerit. Teriak, "Panas ... Panas ...!" dan terbang, menjauh ....Riuh ramai suara tertawa, berubah menjadi hening.
Satu persatu mahluk tersebut menghilang.Ustaz amir mendekati tubuhku yang tergeletak di tanah.
Dia mengangkat tubuhku dan pandanganku pun beralih, ke jalan waktu aku pingsan.Ya, aku masih melihat tubuhku yang terbaring di jalan itu.
Tapi ada diriku lain, yang masih di gendong sama ustaz Amir.Ustaz mulai menurunkan tubuhku dengan perlahan, dia meletakkan tubuhku diatas tubuhku yang tergeletak dijalan.
Aneh! Tubuh yang dia letakkan diatas tubuh yang tergeletak, menyatu.Tubuh yang dia gendong dan pegang, masuk kedalam tubuh yang tergeletak di jalan setapak itu.
"Apakah itu tubuhku? Apa yang tadinya dia gendong arwah atau ruhku? Terus aku yang sekarang ini apa?" tanyaku dalam hati.
Aku terbangun dan orang pertama yang ku lihat adalah, Suci.
Dia tersenyum, seolah mengatakan kalau temannya sudah menunjukan apa yang telah terjadi padaku."La! Wis turu pirang dina?" (La! Sudah tidur berapa hari?) tanyaku pada Jamilah yang duduk di kursi sebelah sambil memperhatikan.
"Sewulan, mas!" (Sebulan, mas!) jawabnya, "Tapi ...." lanjutnya.
"Tapi apa?" tanyaku penasaran.
"Tapi bo'ong ...!" jawabnya sambil tertawa, "Turu limang menit bae laka kok, mas!" (Tidur lima menit juga tidak ada kok, mas!) timpanya mulai serius.
"Mila kih! Ditakoni serius malah guyonan," (Mila nih! Ditanya serius malah bercanda,) keluhku sambil sesekali melihat Suci dan dia pergi meninggalkan aku dan Jamilah yang masih di ruang tamu.
"Mas! Wis bisa ngomong ya?" (Mas! Sudah bisa ngomong ya?) tanya Jamilah tersenyum, "Telung dina mendi bae?" (Tiga hari kemana saja?) timpanya, mulai berdiri dari tepat duduk sambil melotot dan meletakkan kedua tangannya di pinggang.
"Aduh ...! Semua berubah setelah negara api menyerang!" gumamku dalam hati.
"Ora mendi-mendi, keturuan ning dalan," (Tidak kemana-mana, tiduran di jalan,) jawabku bingung, karena tak mungkin memberitahu kejadian yang sebenarnya.
"Ora mungkin!" Paling gah, due wadon maning!" (Tidak mungkin! Pasti punya cewek simpanan!) ketusnya memicingkan mata.
"Ora lah bos! Sumpah, inyong ra bo'ong! Iya ora, Son?" (Tidaklah bos! Sumpah, aku tah bohong! Iya gak, Son?) jawabku mencari Suci, namun dia tak ada dan mungkin tahu akan terjadi hal seperti ini, jadi dia menghindar dan mungkin sedang nguping didalam kamar.
"Alesan apa kuen kuh? Wis, ngaku bae!" (Alasan apa itu? Sudah, mengaku saja!) teriaknya sambil mengambil sapu dan memukulkan kearah kursi.
"Mila sayang! Ayah ini bukan buaya! Ayah setia kok sama kamu! Bukannya kamu tahu? Bahwa aku berjanji akan setia. Bahkan bulan dan bintang, yang menjadi saksinya ...!" tuturku dengan gaya bahasa lembut dan mencoba duduk, sambil memegang kedua tamgannya.
"Iya, mas! Mila percaya!" jawab Jamilah tersenyum, "Tapi ...." timpanya terpotong.
"Tapi apa?" tanyaku penasaran.
"Tapi ko bengi turu ning jaba! Aja ning kamer!" (Tapi ntar malam tidur diluar! Jangan di kamar!) ketus Jamilah sambil melepaskan pegangan tanganku dan bangkit berdiri meninggalkan aku.
"Lah, La! Ora percaya?" (Lah, La! Tidak percaya?) tanyaku, sambil terus melihat kearahnya.
"Percaya!" jawabnya.
"Ngomonge percaya, tapi kok mengkonon?" (Bilangnya percaya, tapi kok bilang gitu?) tanyaku.
"Iya! Mase turu ning jaba dikit! Ko baka Suci ye turu, dau manjing! Biasa kah mas, bengi-benggian!" (Iya! Masnya tidur diluar dulu! Nanti kalau Suci tidur, mas masuk! Biasa mas, agak malaman!) jawab Jamilah tersipu, lanjut berjalan pergi kearah dapur untuk masak.
Beberapa tahun pun berlalu ....
Tiba lagi, di masa susah! Masa di mana aku hanya bisa makan dan tidur di rumah.Aku menganggur dan stok makanan di dapur, sudah kian menipis.Malam ini, kita hanya makan seadanya.
Tetapi yang membuatku sedih, kedua orang yang ku sayang tak pernah mengeluh dengan semua keadaan ini.Aku takut, kalau besok sudah tak ada yang bisa di makan.
Sehabis makan, aku beranikan diri ke rumah kak Warkam, tuk meminjam uang.Sampai di rumahnya, pintu ku ketuk beberapa kali sambil mengucap salam, "Assalamualaikum ...!"
Aku terus mengetuk sambil mengucap salam.
Namun, tak ada yang menjawab.Ku coba memegang daun pintu dan ya, pintu bisa ku buka.
Pintunya tidak di kunci.Karena merasa ada yang aneh dan takut ada maling masuk, aku pun masuk ke rumah dengan mengendap-endap.
Aku terus mengendap, sampai terlihat kamar yang terbuka, tak sengaja di tutup.
Kamar Pendi, anak kedua kak Warkam yang tengah tertidur pulas seorang diri.Aku teruskan mengendap, sampai di kamar almarhum Prapto.
Aku langsung teringat, kalau mbak Raeni pernah bilang, kak Prapto melarangnya masuk ke kamar tersebut.Jiwa penasaranku bergejolak!
Sambil melihat kanan dan kiri, di rasa tak ada orang, aku mencoba mengintip kedalam kamar, melalui lubang kunci."DEG"
Jantung berdegup kencang, tak percaya dengan apa yang ku lihat.
Ku lihat mbak Raeni ada didalam sedang menjaga lilin yang menyala.Diantara lilin, ada bunga dan beberapa sesaji."Hey!" teriak mbak Raeni dari dalam kamar.
Aku bingung dan berusaha kabur.
Namun, dengan sigap mbak Raeni membuka pintu."Oh, sira Run! Wis weruh apa sing terjadi?" (Oh, kamu Run! Sudah tahu apa yang telah terjadi?) tanya mbak Raeni menghentikan langkah kakiku.
Aku mematung dan masih membelakangi mbak Raeni.
Belum sempat aku menjawab, dia lanjut berucap,"Mbak sing ngongkong kakangira ngepet! Masa urip pan melarat bae? Mbak gah pengen sugih! Gobloge kakangira, gelem tak kongkon mengkonon! Hahahaha, " (Mbak yang menyuruh kakakmu ngepet! Masa hidup mau miskin terus? Mbak juga mau kaya! Bodohnya kakakmu, mau disuruh begitu! Hahahaha,) jelasnya sambil tertawa.
Ucapannya mbak petir menggelegar.
Hatiku langsung sakit, setelah mendengar ucapannya itu.Bersambung ... .
"Oh, dadi apa sing terjadi sekien karena mbak?" (Oh, jadi apa yang terjadi saat ini karena mbak?) tanyaku emosi, membalikkan badan, menatap mbak Raeni penuh benci."Iya, bener! Pengen wadul ning warga? Wadul bae! Mader keluargane sira ilok mangan duite mbak! Sira wadul, anak sira tak dadiaken tumbal! Hahahahahaha," (Iya, benar! Mau lapor ke warga? Lapor saja! Lagian keluargamu sudah pernah makan uangku! Kamu lapor, anakmu jadi tumbal! Hahahahah,) ancamnya membuatku tambah kesal.Sakit ...! Hatiku sakit ...!Seakan tercabik-cabik oleh ucapannya.Tetapi tak bisa ku pungkiri, kalau keluargaku pernah makan uang itu.Menyesal ...? Menyesal ...? Menyesal tak ada gunanya lagi bagiku!"Wadon iblis!" (Wanita iblis!) teriakku sambil berpaling meninggalkannya dan secepatnya keluar dari rumah si wanita biadab!Awal niat ingin pinjam uang, malah mendapatkan hal yang tak bisa ku percaya, kalau bukan
Aku mengasah golok tersebut sampai lama, hingga benar-benar tajam dan bisa untuk membunuh orang.Tak terasa, waktu magrib dan isya pun terlewat.Namun, aku masih terus mengasah golok tersebut."Mas! Ngasah golok kanggo apa? Sing sore sampe apa bengi bli uwis-uwis?" (Mas! Mengasah golok untuk apa? Dari sore sampai habis malam tidak selesai-selesai?) tanya Jamilah hawatir."Kanggo esuk, abad rumput! Bokat bli sempet." (Buat besok, potong rumput! Takut tak sempat." jawabku dengan nada yang masih terbawa emosi.Tepat pukul 12 malam, aku keluar rumah lewat pintu belakang sambil membawa golok yang begitu tajam.Sampai di rumah kak Warkam, dengan mudah bagiku membuka pintu.Karena memang tak pernah di kunci.Aku masuk dan kamar pertama yang ku kunjungi adalah kamar Almarhum Prapto.Namun, disini tak ada seseorang pun."Bagus! Bera
Hai, terima kasih telah membaca cerita ini sampai selesai.Akan tetapi, cerita ini masih terus berlanjut dan mengulang dari sudut pandang Indah, anak dari pak Kirun.Mungkin, kalian berpikir dari sudut pandang mana pun akan tetap sama?Jawabannya, tidak! Dan jauh berbeda dengan versi bapaknya! Karena untuk versi Indah ini, kita akan mengambil alur fiksi.Jangan hawatir, ceritanya menjadi lebih seru daripada versi terdahulu!Berikut sipnosisnya :Indah Suci Pertiwi. anak 5 tahun yang masih polos.dia memiliki teman gaib yang dia beri nama, Siska.Akan tetapi, Indah/Suci yang masih kecil, tak memahami kalau temannya adalah mahluk astral. yang dia tahu hanyalah, bahwa sosok tersebut merupakan Kakak atau teman bermainnya.
Ka-ka-ka! Entah sejak kapan, sosok tersebut selalu menemaniku.Karena sering memanggil "Ka", aku memanggil sosok tersebut dengan sebutan, Siska.Oh iya, Namaku, Indah Suci Pertiwi. Orang tuaku biasa memanggil dengan sebutan Suci. Dulu, katanya waktu aku di panggil dengan nama Indah, aku sering demam dan sakit-sakitan. Akhirnya, kedua orang tuaku memanggilku dengan nama Suci.Umurku 5 tahun. Aku anak dari Kirun dan Jamilah.Kala itu, aku sedang asik main masak-masakan sama Siska.Ayah merasakan hawa keberadaannya. Berbeda dengan Ibu, dia orangnya tak percaya sama hal gaib."tok-tok ...." Terdengar ada seseorang mengetuk pintu depan. Ayah langsung berdiri dan menghampiri pintu tersebut. Sedangkan Ibu, lagi sibuk memasak di dapur.Ternyata, yang bertamu adalah Om Warkam, Kakaknya Ayah.Om Warkam berdiri didepan pintu dan mereka mengobrol.Aku tak mendengar apa ya
Aku bangun dari tidurku dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.Ibu pun, sudah membangunkan ayah dan aku menunggu mereka diruang tamu bersama mbak Ayu.Mbak Ayu adalah tetangga om Warkam dan dia pula yang mengabari kita kalau Prapto meninggal.Oh iya, Prapto adalah anak semata wayang om Warkam dan tante Raeni.Prapto, masih kelas 4sddan dia jauh lebih tua dariku yang sekarang, masih berumur 5 tahun.Ayah dan ibu menghampiri, kita berjalan keluar rumah menuju rumah om Warkam yang jaraknya tak begitu jauh, hanya selisih Rt-nya saja.Sampai rumah om Warkam, aku merasakan hawa yang tak biasa.Didekat kerumunan warga yang melayat, ada banyak yang kepalanya tak seperti manusia pada umumnya.Mereka bertelanjang dada dan disekujur tubuhnya ditumbuhi bulu hitam.Siska berjalan setengah ketakutan, dia terus memegang bajuku dari belakang sambil menatap w
Azan magrib berkumandang, ayah bergegas ke kamar.Aku dan ibu masih asik nonton TV, tak berselang lama, ayah keluar mengenakan baju kokoh lengkap dengan sarung dan kopiah.Sontak, ibu tertawa melihat ayah yang hendak pergi ke Musala.Aku ikut tertawa kecil, lalu ayah berlalu. Mulai dari sekarang, ayah aktif di Musala.Berbeda dengan aku dan ibu, yang masih enggan untuk ibadah. Setahun berlalu, ini hari pertama aku masuk Sekolah Dasar.Aku berangkat sekolah tak sendiri, ditemani ibu dan Siska. "Ci! Kamu jangan aneh-aneh di sekolah," perintah ibu. "Aneh-aneh bagaimana?" tanyaku memandang wajahnya. "Halusinasimu dikurangi! Jangan bikin aneh-aneh, nanti gak punya teman." ucap Ibu. Aku terdiam, menjawab dengan
Hari itu, Kang Warkam datang berkunjung ke rumah.Dan pada saat itu juga, aku sedang ada dirumah. Terdengar suara ketukan pintu disertai salam.Lalu, aku balas salam dan membukakan pintu. "Ana apa kang? Apa ana sesuatu sampe teka dadakan kaya kenen?" (Ada apa kak? Apa ada sesuatu sampai datang mendadak seperti ini?) tanyaku. "Run! Sira lagi nganggur? Gelem beli tak jak kakang dolan ning suatu tempat?" (Run! Kamu sedang menganggur? Mau tidak Kakak ajak kamu main ke suatu tempat?) Kang Warkam balik bertanya. Aku diam untuk beberapa saat, karena merasa heran dengan kedatangan dan heran karena tiba-tiba mengajak ke suatu tempat. "Mendi kang? Apa ana kerjaan?" (Kemana Kak? Apa ada kerjaan?) tanyaku lagi. "Wis! Melu bae!" (Sudah! Ikut saja!) pinta Kang Warkam. Aku tertunduk sesaat, memikirkan apa dan kemana.Tetapi, aku t
"Ikuh, mung perasaane mas bae! Jare Mila si, laka sing aneh!" (Itu, cuma perasaan mas saja! Kata Mila si, tidak ada yang aneh!) seru Jamilah berbisik meyakinkan. Aku terdiam, bingung! Semua bercampur menjadi satu.Siapa yang benar dan siapa yang salah? aku tak tahu!Intinya setelah kak Warkam keluar dari ruangan itu, aku merasa dia begitu berbeda. Tetapi yang jadi masalahnya, apa yang aku lihat dan orang lain lihat itu berbeda. Karena tak ada yang merasakan keanehan atau keganjilan yang aku rasakan. Aku tahu itu, saat melihat sekitar. Tepatnya beberapa orang yang datang dan mereka bersikap biasa saja. Bahkan, ada yang pamit sama kak Warkam untuk pulang.Tetapi di mataku, semua masih sama. Kak Warkam tak membalas salam dari orang-orang. "Yah, Ayah ...!" ucap Suci mengayunkan bajuku sambil sesekali menariknya. "Ana apa, nok?" (Ada apa, nak?) tanyaku sambil sediku
Azan magrib berkumandang, ayah bergegas ke kamar.Aku dan ibu masih asik nonton TV, tak berselang lama, ayah keluar mengenakan baju kokoh lengkap dengan sarung dan kopiah.Sontak, ibu tertawa melihat ayah yang hendak pergi ke Musala.Aku ikut tertawa kecil, lalu ayah berlalu. Mulai dari sekarang, ayah aktif di Musala.Berbeda dengan aku dan ibu, yang masih enggan untuk ibadah. Setahun berlalu, ini hari pertama aku masuk Sekolah Dasar.Aku berangkat sekolah tak sendiri, ditemani ibu dan Siska. "Ci! Kamu jangan aneh-aneh di sekolah," perintah ibu. "Aneh-aneh bagaimana?" tanyaku memandang wajahnya. "Halusinasimu dikurangi! Jangan bikin aneh-aneh, nanti gak punya teman." ucap Ibu. Aku terdiam, menjawab dengan
Aku bangun dari tidurku dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.Ibu pun, sudah membangunkan ayah dan aku menunggu mereka diruang tamu bersama mbak Ayu.Mbak Ayu adalah tetangga om Warkam dan dia pula yang mengabari kita kalau Prapto meninggal.Oh iya, Prapto adalah anak semata wayang om Warkam dan tante Raeni.Prapto, masih kelas 4sddan dia jauh lebih tua dariku yang sekarang, masih berumur 5 tahun.Ayah dan ibu menghampiri, kita berjalan keluar rumah menuju rumah om Warkam yang jaraknya tak begitu jauh, hanya selisih Rt-nya saja.Sampai rumah om Warkam, aku merasakan hawa yang tak biasa.Didekat kerumunan warga yang melayat, ada banyak yang kepalanya tak seperti manusia pada umumnya.Mereka bertelanjang dada dan disekujur tubuhnya ditumbuhi bulu hitam.Siska berjalan setengah ketakutan, dia terus memegang bajuku dari belakang sambil menatap w
Ka-ka-ka! Entah sejak kapan, sosok tersebut selalu menemaniku.Karena sering memanggil "Ka", aku memanggil sosok tersebut dengan sebutan, Siska.Oh iya, Namaku, Indah Suci Pertiwi. Orang tuaku biasa memanggil dengan sebutan Suci. Dulu, katanya waktu aku di panggil dengan nama Indah, aku sering demam dan sakit-sakitan. Akhirnya, kedua orang tuaku memanggilku dengan nama Suci.Umurku 5 tahun. Aku anak dari Kirun dan Jamilah.Kala itu, aku sedang asik main masak-masakan sama Siska.Ayah merasakan hawa keberadaannya. Berbeda dengan Ibu, dia orangnya tak percaya sama hal gaib."tok-tok ...." Terdengar ada seseorang mengetuk pintu depan. Ayah langsung berdiri dan menghampiri pintu tersebut. Sedangkan Ibu, lagi sibuk memasak di dapur.Ternyata, yang bertamu adalah Om Warkam, Kakaknya Ayah.Om Warkam berdiri didepan pintu dan mereka mengobrol.Aku tak mendengar apa ya
Hai, terima kasih telah membaca cerita ini sampai selesai.Akan tetapi, cerita ini masih terus berlanjut dan mengulang dari sudut pandang Indah, anak dari pak Kirun.Mungkin, kalian berpikir dari sudut pandang mana pun akan tetap sama?Jawabannya, tidak! Dan jauh berbeda dengan versi bapaknya! Karena untuk versi Indah ini, kita akan mengambil alur fiksi.Jangan hawatir, ceritanya menjadi lebih seru daripada versi terdahulu!Berikut sipnosisnya :Indah Suci Pertiwi. anak 5 tahun yang masih polos.dia memiliki teman gaib yang dia beri nama, Siska.Akan tetapi, Indah/Suci yang masih kecil, tak memahami kalau temannya adalah mahluk astral. yang dia tahu hanyalah, bahwa sosok tersebut merupakan Kakak atau teman bermainnya.
Aku mengasah golok tersebut sampai lama, hingga benar-benar tajam dan bisa untuk membunuh orang.Tak terasa, waktu magrib dan isya pun terlewat.Namun, aku masih terus mengasah golok tersebut."Mas! Ngasah golok kanggo apa? Sing sore sampe apa bengi bli uwis-uwis?" (Mas! Mengasah golok untuk apa? Dari sore sampai habis malam tidak selesai-selesai?) tanya Jamilah hawatir."Kanggo esuk, abad rumput! Bokat bli sempet." (Buat besok, potong rumput! Takut tak sempat." jawabku dengan nada yang masih terbawa emosi.Tepat pukul 12 malam, aku keluar rumah lewat pintu belakang sambil membawa golok yang begitu tajam.Sampai di rumah kak Warkam, dengan mudah bagiku membuka pintu.Karena memang tak pernah di kunci.Aku masuk dan kamar pertama yang ku kunjungi adalah kamar Almarhum Prapto.Namun, disini tak ada seseorang pun."Bagus! Bera
"Oh, dadi apa sing terjadi sekien karena mbak?" (Oh, jadi apa yang terjadi saat ini karena mbak?) tanyaku emosi, membalikkan badan, menatap mbak Raeni penuh benci."Iya, bener! Pengen wadul ning warga? Wadul bae! Mader keluargane sira ilok mangan duite mbak! Sira wadul, anak sira tak dadiaken tumbal! Hahahahahaha," (Iya, benar! Mau lapor ke warga? Lapor saja! Lagian keluargamu sudah pernah makan uangku! Kamu lapor, anakmu jadi tumbal! Hahahahah,) ancamnya membuatku tambah kesal.Sakit ...! Hatiku sakit ...!Seakan tercabik-cabik oleh ucapannya.Tetapi tak bisa ku pungkiri, kalau keluargaku pernah makan uang itu.Menyesal ...? Menyesal ...? Menyesal tak ada gunanya lagi bagiku!"Wadon iblis!" (Wanita iblis!) teriakku sambil berpaling meninggalkannya dan secepatnya keluar dari rumah si wanita biadab!Awal niat ingin pinjam uang, malah mendapatkan hal yang tak bisa ku percaya, kalau bukan
Jamilah mulai sadar, mendekat dengan tatapan sedih dan dengan air mata yang mengambang."Wis mas! Istirahat bae dikit, ko cerita baka wis enakan!" (Sudah mas! Istirahat saja dulu, nanti cerita kalau sudah enakan!" pinta Jamilah.Aku terdiam dan memalingkan wajah kearah Suci.Dalam hati ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi!Angin lembut, perlahan masuk melalui jendela rumah.Membuat mata ini semakin sayup, tak kuat menahan kantuk.Pandangan mulai memudar, gelap.Perlahan membaik dan,"Aku dimana? Apa aku bermimpi?" gumamku dalam hati.Aku tak melihat adanya diriku didalam mimpi, seakan bukan mimpi.Tangan, kaki dan anggota badan lain yang terlihat oleh mata bisa terlihat. Tetapi tak bisa melihat diriku sendiri.Padahal kalau mimpi, biasanya aku melihat diriku seutuhnya.Tetapi, berbeda dengan mimpi ya
"Berarti, setiap pelaku pesugihan, mereka itu sebenarnya bukan orang?" tanyaku yang masih penasaran."Kan sudah aku bilang, beda tempat beda pula perjanjiannya! " jawab Ustaz,"Kalau ditempat lain, mungkin yang pulang adalah sang pelaku pesugihan, Tapi tidak akan bertahan lama! Sewaktu-waktu, dia juga akan diambil oleh makhluk tersebut, kalau dalam 8 bulan tidak memberikan tumbal." lanjut ustaz,"Dan ada juga perjanjian yang lain! Sedangkan perjanjian yang kakakmu lakukan, bisa dibilang menukar jiwanya dengan sosok makhluk tersebut, demi membahagiakan orang yang dia cinta, agar yang dicintai menjadi kaya raya." lanjut ustaz lagi,"Tapi kamu jangan pernah mengikuti jejak kakakmu! Karena bersekutu dengan setan, adalah dosa yang teramat besar!" saran Ustaz dengan tatapan tajam.Akhirnya aku paham dengan semua yang telah terjadi.Semuanya sudah nampak begitu jelas.Sekarang
Beberapa hari kemudian, ada teman datang ke rumah.Dia datang, menawari ku pekerjaan.Akan tetapi, kerjanya lumayan jauh.Lebih tepatnya, di ibukota.Setelah 6 bulan berlalu, aku pun pulang ke kampung halaman.Tetapi saat sampai di rumah, Jamilah tak membukakan pintu.Padahal sudah beberapa kali ku ketuk.Karena lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, aku pergi ke belakang rumah.Aku memilih ke dibelakang rumah, karena ada ranjang yang terbuat dari bambu.Aku pun merebahkan badan disitu, untuk menghilangkan lelah.Tas yang aku bawa, ku letakkan pada bagian kepala sebagai ganjalan.Anginnya begitu sejuk, membuat pandangan kian meredup.Aku memejamkan mata dan tak sadar, aku pun tertidur.Dalam mimpi, aku berada di tempat P.Dalam posisi duduk seperti waktu itu.Lalu aku berdiri dan melangkahkan kaki mendekati ruangan yang waktu itu