Dunia terasa berhenti berputar untuk beberapa saat. Puspita masih terdiam di atas tubuh Pramudya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya menegang, sementara matanya menatap Pram yang sudah membuka mata dan tersenyum tipis. Telunjuk pria itu tetap menempel di bibir Puspita, memberi isyarat agar tetap tenang dan tak bersuara.“Puspita...” bisik Pram pelan, nadanya serak.Puspita mengerjap pelan. Suara Pram, meski pelan, mampu menyadarkannya. Ia segera bangkit, tapi tangan Pram yang kini memegangi pergelangan tangannya mencegahnya.“Maaf, saya ... saya tidak sengaja,” jawab Puspita dengan suara nyaris tak terdengar. Wajahnya terasa panas dan dadanya mendadak ramai jedag-jedug.“Kenapa kau masih bangun?” tanya Pram, masih memegangi tangannya, tatapannya menghangat.“Buang air kecil ...” balas Puspita gugup, wajahnya memerah seketika. Situasi ini terlalu dekat, terlalu aneh; bahkan hembusan napas Pram terasa hangat menerpa wajahnya. Karenanya, jedag-jedug di dalam dadanya te
Puspita menghentikan langkah tepat di depan sofa yang dihuni Pram. Pria itu akhirnya memaksa tetap tidur di sana dengan alasan takut terjadi sesuatu dengan Puspita saat ia jauh. Terlebih, Prily juga malah terjaga dan sulit tidur lagi.Puspita menatap wajah yang masih pulas itu. Mungkin menjelang pagi Pram baru tidur. Meski terlihat tidak nyaman karena panjang sofa yang tidak bisa menampung seluruh tubuhnya, Pram tetap pulas. Kakinya yang menjuntai tak ia hiraukan.Puspita menghela napas. Sebegitu kerasnya pria itu ingin tetap di sana karena mengkhawatirkannya.Ingatan Puspita terbang ke masa-masa Soraya sakit. Dulu, Pram begitu setia mendampingi dan menemani istrinya itu jika penyakitnya sedang kambuh. Pram bahkan sering tidak tidur berhari-hari karena menunggui Soraya, melayani segala kebutuhannya meski ada pelayan. Menyuapi dan membantu ke kamar mandi.Puspita tahu semua itu dilakukan Pram dengan sangat tulus. Tak sekali pun ia mendengar dan melihat pria itu mengeluh selama Soraya s
“Kamu kenapa?” Pram maju, kepalanya dimiringkan. Tatapan khawatir kentara melihat sepasang mata Puspita kini digenangi bening embun.“Kamu menangis?” tanya Pram lagi sebelum melirik Prily yang asyik bermain boneka ditemani pengasuhnya di depan TV sana. Setelahnya Pram menarik tangan Puspita, dibimbingnya menuju kamarnya.“Kamu kenapa, Puspita? Jangan bilang kamu mau menikah lagi denganku.” Pram langsung bertanya setelah menutup pintu. Mereka kini berdiri berhadapan di kamar Puspita.Puspita meneguk ludahnya. Ia memalingkan wajah bersamaan sebutir embun luruh dari sudut matanya. Namun, tangan Pram dengan sigap menahan hingga mereka kembali berhadapan.“Bukan seperti itu, Pak. Ibu Anda tidak pernah menyukai saya. Bagaimana Bapak mau menikahi saya lagi?”Pram mengerjap lemah setelah beberapa lama saling terlibat saling tatap. Setelahnya satu embusan napas kasar keluar dari mulutnya.“Aku akan menikahimu dengan atau tanpa restu ibuku.” Pram berucap tegas.Puspita memejam sebentar. “Apa An
Pram mengembuskan napas setelah membetulkan letak selimut yang menutupi tubuh Puspita. Ya, ia akhirnya menunda keberangkatan ke Jakarta karena wanita itu tiba-tiba menangis terus tanpa berkata-kata.Ia khawatir Puspita merasakan sakit di tubuhnya, tetapi tak ingin mengungkapkan.Ia bukan tidak tahu telepon genggamnya sejak tadi terus berbunyi. Panggilan dari orang tuanya terus masuk, menanyakan apakah ia sudah berangkat atau belum.Pram benar-benar dilema. Ia berat meninggalkan Puspita dan Prily di sini, meski sudah membayar orang untuk berjaga. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan sang ibu yang kini masuk rumah sakit.Pram bangkit setelah mengusap wajahnya, lalu meraih ponselnya di atas meja yang sengaja dalam mode silent. Ia berjalan keluar kamar.“Iya, Yah ….” Pram mengangkat panggilan setelah berada di luar kamar Puspita.“Pram, apa kamu masih belum berangkat juga? Ibumu kritis, Pram, apa kamu tidak khawatir?”Pram memejam saat telinganya langsung menangkap suara bernada tinggi.
Pram menatap rumah sakit besar itu dengan perasaan berkecamuk. Bayangan Puspita dan Prily yang ditinggalkannya di vila terus melintas. Tapi kini, ia sudah sampai di sini, melangkah masuk ke tempat di mana ibunya dirawat.Sosok pria paruh baya tersandar lemas di kursi tak jauh dari ruangan dengan papan besar bertuliskan ICU di atas pintunya.“Ayah…” Pram langsung menyapa begitu berdiri di hadapan pria yang matanya terpejam itu.Pria itu membuka mata, kemudian menegakkan tubuhnya. Matanya tampak lelah, namun ada sesuatu yang tidak biasa dalam sorotnya.“Kenapa lama sekali, Pram?” tanyanya lemah dengan raut kecewa.“Ini akhir pekan, Yah. Jalanan ramai dua arah ke Puncak. Maaf, aku baru bisa datang. Bagaimana kondisi Ibu?”“Masih belum sadar.”“Kenapa ini bisa terjadi, Yah? Kenapa Ibu bisa sampai seperti ini?”Ayahnya menarik napas panjang sebelum menjawab. “Pagi tadi… Ibumu terjatuh di kamar mandi. Ayah tidak mendengar apa-apa hingga pembantu memanggil. Saat kudapati dia, tubuhnya sudah
“Siapa orangnya, Pak?” tanya Pram tidak sabar. Ia kini duduk berhadapan dengan seorang pria usia menjelang setengah abad.“Kita belum mendapatkan informasi, tapi sepertinya orang yang cukup berpengaruh di kota ini.”Pram memejam sebentar. “Apa itu keluarganya?”“Sepertinya keluarganya masih di luar negeri. Bahkan kasus ini terkesan ditutupi dari keluarganya.”“Jadi maksud Bapak yang mengeluarkan Imel bukan dari keluarganya?”“Ya, sepertinya orang yang tidak ke mana pun dalam beberapa hari belakangan.”Pram mengembuskan napas kasar. “Begitu mudah hukum dibeli, ya, Pak.”“Karena yang beli punya uang dan kuasa.”“Aku mengkhawatirkan keluargaku, Pak. Anak dan calon istriku di Puncak tanpa aku. Aku takut penyerangan serupa terjadi lagi.”“Tapi Pak Pram sudah mengetatkan penjagaan, bukan?”“Ya, tapi tetap saja aku khawatir. Oh, ya. Aku sudah membawa surat-surat untuk melengkapi berkas pengajuan pernikahan, Pak. Apa bisa segera diurus?”“Tentu saja, saya akan segera mengurusnya agar pernikah
Pramudya berdiri di depan pusara sang ibu, tubuhnya bergetar hebat. Meski mentari pagi memancarkan sinarnya, dingin dari tanah merah yang basah terasa menusuk hingga ke tulang. Di sekelilingnya, kerabat dan handai taulan tampak ikut berbela sungkawa, tapi Pram tahu, tidak ada yang benar-benar merasakan kehampaan seperti yang ia rasakan.“Ibu,” bisiknya serak, matanya terpaku pada nisan yang baru saja dipasang. Air mata mengalir, tetapi ia tidak mengusapnya. Biarkan saja, pikirnya. Biarkan rasa kehilangan ini keluar, meski sedikit saja bisa mengurangi sesak di dada.Hubungannya yang tidak harmonis dengan sang ibu sejak ia menikah, membuatnya menyesalkan kepergian wanita itu secepat ini. Di saat ia belum sempat memperbaiki semuanya dan meyakinkan jika pilihannya tidak salah, sang ibu keburu pergi. Namun, Pram tidak pernah menyesali pernikahannya.Pernikahannya dengan Soraya dan Puspita adalah pilihan yang ia anggap tidak salah. Hanya satu yang ia sesalkan: belum sempat menunjukkan jika
Pram merogoh kantong bajunya, mengeluarkan ponsel dari sana. Sibuk mengurus kematian sang ibu sejak di rumah sakit hingga prosesi pemakaman membuatnya belum sempat menghubungi vila. Ia menyesalkan tidak bisa kembali cepat, tapi di sini pun tentu saja tak bisa ia tinggalkan begitu saja.Sang ayah, sebagai kepala keluarga yang semestinya paling sibuk mengurus semuanya, baru muncul belakangan. Dan ia tak bisa meninggalkan Sakti yang sangat rapuh. Lihatlah, pemuda berusia 18 tahun itu terus saja melihat keluar jendela, seolah berat meninggalkan sang ibu sendirian di rumah barunya.Bahkan butuh waktu bagi Pram untuk membujuk sang adik agar mau pulang.“Hallo, Pita. Bagaimana keadaan kalian di sana?” tanya Pram langsung setelah panggilannya terhubung dengan Puspita. Rasa rindunya untuk Puspita dan Prily sudah sangat besar.“Kamu dan Prily baik-baik saja, kan?” lanjutnya sebelum Puspita sempat menjawab.“Saya dan Prily baik-baik saja, Pak. Maaf, saya tidak bisa ikut membantu di sana. Saya tu
“Mas …” panggil Puspita di antara napasnya yang memburu. Pandangan diedarkan ke sekeliling, tapi yang ia dapati hanya ruangan kosong dengan dinding-dinding bisu. Ternyata ia berada di dalam kamarnya.Puspita mengerjap dan menyeka peluh di pelipisnya. Mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Tadi pinggangnya pegal karena terlalu banyak duduk, ia meminta Sari membantunya untuk berbaring. Lalu ia sengaja memejamkan matanya agar tak terjadi kontak dengan Pram. Siapa sangka ia malah tertidur dan didatangi mimpi buruk yang capeknya terbawa ke dunia nyata.Mimpi?Ya, tadi ia bermimpi sangat mengerikan. Pram terjatuh saat ingin menyelamatkannya. Dan itu seperti sangat nyata.“Mas …” panggil Puspita lagi seraya menyibak selimutnya, lalu menurunkan kaki dari ranjang. Saat ia berusaha untuk berdiri, ia memekik dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.Puspita meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia bahkan lupa jika kakinya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Mimpi yang terasa nya
Pram mondar-mandir di kamarnya. Kalimat-kalimat Prabu yang tidak dimengertinya terus terngiang-ngiang. Ia masih tidak bisa menyimpulkan arti ucapan itu, tetapi satu hal yang ia yakini—Prabu sedang tidak baik-baik saja.Pram menengadah, lalu meremas rambutnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sejak awal Prabu memang bicara tersendat-sendat dan terdengar ragu. Tidak mungkin ia memaksa kakak iparnya itu untuk bicara lebih jelas.Lalu, ia harus bagaimana?Ingin memberi solusi? Bagaimana bisa, jika masalah yang sebenarnya saja ia tidak tahu. Prabu langsung pamit setelah mengatakan itu, dan ia tidak bisa mencegahnya.Andai berada di tanah air, mungkin ia bisa sedikit membantu. Masalahnya, jika pulang pun, bagaimana dengan Puspita?Untuk mengatakan bahwa kakaknya ada masalah saja, rasanya Pram tidak tega. Ia yakin itu hanya akan menjadi beban pikiran bagi istrinya. Pram takut Puspita tidak fokus pada pengobatannya. Belum lagi jika benar-benar ingin berpisah. Lalu, apa yang harus dilaku
Pram sedang mengemas beberapa barang ke dalam ransel di kamarnya. Ia hanya sedang bersiap jika tiba-tiba Puspita mengatakan ia harus pergi.Bukannya menyerah jika ia melakukan ini sejak dini. Sekali lagi, ia hanya sedang bersiap jika suatu saat Puspita benar-benar tak menginginkannya lagi, karena setelah dua hari semenjak ia bertanya, wanita itu belum juga memberikan jawaban.Puspita seolah menggantung hubungan mereka, membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Pram sama sekali tak marah atau menyalahkan istrinya karena ia pun dulu pernah melakukan hal yang sama. Mengabaikan Puspita dalam ketidakjelasan hubungan sejak Soraya meninggal. Membuat Puspita tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Mungkin, ini juga yang dirasakan Puspita saat itu.Semua yang terjadi padanya saat ini seolah pantulan cahaya dalam cermin. Semua berbalik padanya. Apa yang pernah ia lakukan pada Puspita dulu, kini berbalik dirinya yang harus merasakan semua ini.Pram mengembuskan napas panjang. Kini Puspita sed
"Duduklah," ujar Ny. Bimantara akhirnya, sambil menunjuk kursi di seberang mereka.Irena duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya. Perutnya terasa mual, bukan karena makanan, tapi karena suasana kaku yang menyesakkan.Pelayan datang dan mulai menyajikan makanan. Namun, bahkan setelah hidangan tersaji, tidak ada obrolan yang mengalir. Prabu sesekali mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang kesehatan Opa dan Oma, tetapi jawaban yang didapat hanya sekadarnya."Jadi bagaimana, Opa, Oma? Pendapat kalian tentang rencana kami ke depannya?" Prabu terpaksa bertanya lebih dulu karena kedua orang tua itu tak kunjung bertanya sesuatu tentang mereka.Hening beberapa saat, membuat Prabu yang menunggu menjadi tidak sabar.Irena mencuri pandang ke arah Opa Rangga. Lelaki tua itu duduk dengan postur tegak, sorot matanya masih tajam meski usianya sudah senja. Lalu, tiba-tiba, pria itu meletakkan garpunya, membuat dentingan kecil yang menarik perhatian semua orang."Prabu," suaranya terdeng
Irena menatap dirinya di depan cermin. Seorang wanita empat puluh tahun terpampang di sana dengan wajah yang sudah dipoles make-up flawless. Garis kerutan memang jauh darinya karena ia selalu menjaga pola makan dan olahraga yang teratur. Tapi rasanya, senyum sudah jarang ia sunggingkan dalam kehidupan pribadinya.Jika pun selama ini terkesan ramah dan selalu ceria, itu hanya untuk para pasien dan siapa pun yang ia temui di rumah sakit. Selebihnya, bibirnya jarang sekali tersenyum. Perpisahan dengan Radit yang berbuntut perebutan hak asuh Chiara membuat hari-harinya seolah suram.Memang ia masih bisa menemui sang anak selama Chiara dalam pengasuhan mantan suaminya itu, tetapi dalam waktu yang sangat terbatas dan tentu saja harus mengikuti aturan Radit. Tidak bisa bertemu dan menumpahkan rindu dengan leluasa.Irena sangat menyesali hari-hari yang telah lewat. Ia terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk bersama Chiara sangat sedikit. Dan itu ternyata membuat Chiara lebih dekat dengan aya
Pram mengganjal kepalanya dengan kedua tangan. Kini ia berbaring di sofa dengan tatapan lurus ke langit-langit. Ada banyak hal berputar-putar di kepalanya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.Puspita tidak memberikan jawaban apa pun. Dan ia memang sengaja memberikan waktu untuk istrinya itu untuk memikirkan masak-masak keputusannya. Dan apa pun nanti yang akan dikatakan wanita itu, ia harus siap. Bahkan hal terburuk sekalipun.Pram tidak ingin lagi menyakiti hati wanita itu. Sudah terlalu sering ia membuat Puspita terluka. Dan jika dengan menjauh darinya bisa membuat wanita itu bahagia, akan ia lakukan. Tidak ada lagi paksaan, tidak akan ada lagi drama. Ia juga tak akan menggunakan Prily sebagai alasan untuk menahan Puspita tetap di sisinya.Prily harus bisa tanpa Puspita jika wanita itu sudah tak lagi menghendaki mereka di sisinya. Dan tugasnya adalah membuat Prily mengerti, walaupun ia belum tahu apa yang harus ia lakukan nanti untuk membuat anak itu lepas.Entah sudah berapa b
Pramudya berjongkok di hadapan Prily, tangannya mengelus lembut punggung gadis kecil itu yang terus memeluk Puspita erat. Wajahnya berusaha menampilkan kelembutan, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Rasa bersalah.Selama perjalanan mereka menuju unit, Prily bahkan terus berjalan di samping kursi roda Puspita, seolah merasakan firasat yang kurang baik. Lalu, setelah mereka tiba, ia sama sekali tak ingin melepaskan wanita yang sudah dianggapnya ibu kandung itu."Sayang, sama Mbak Sari dulu, ya? Mama mau istirahat dulu biar cepat sembuh," bujuk Pram dengan suara selembut mungkin.Prily bukannya melepaskan pelukan di pinggang Puspita, tetapi justru semakin erat. Kepalanya menggeleng dan menyuruk."Lily butuh tidur siang supaya nanti bisa main lagi, ya. Ayo ikut Mbak Sari, ganti baju dulu, keringatan," lanjut Pram.Prily menggeleng semakin kuat, wajah mungilnya menekan perut Puspita. "Nggak mau. Lily mau tidur sama Mama."Puspita mengusap kepala Prily dengan tatapan l
Puspita merasakan dunianya berguncang. Kata-kata Haidar seperti pukulan telak yang mengusik keyakinannya selama ini. Ia selalu berpikir bahwa Haidar pergi meninggalkannya begitu saja, tetapi jika yang dikatakan pria itu benar, maka ada seseorang yang dengan sengaja menjauhkan mereka.“Ini tidak mungkin,” gumamnya lirih, matanya menatap tajam ke arah Haidar. “Bukannya selama ini Akang yang ninggalin aku? Akang yang membatalkan rencana kita? Akang yang mundur karena orang tua Akang tidak setuju karena aku seorang janda dan hanya wanita miskin?”“Itu tidak benar. Orang tua Akang bahkan terus menanyakan janji Akang yang akan membawa kamu pada mereka. Mereka sangat ingin bertemu kamu, Pita. Mereka mengira Akang sedang berhalusinasi tentang kamu karena kenyataannya kamu tidak ada.” Haidar menjelaskan dengan suaranya yang serak.Puspita menggeleng keras. Matanya memanas. “Ini tidak mungkin, Kang. Tidak mungkin … Akang yang ninggalin aku.”Haidar mengembuskan napas panjang. "Tapi kenyataannya
Malam ini, kamar yang biasanya terasa hangat oleh percakapan ringan dan tawa kecil kini diselimuti kesunyian yang menyesakkan. Puspita sudah lebih dulu berbaring, membelakangi Pramudya, seolah menutup dirinya dari segala bentuk interaksi. Biasanya, sebelum tidur, ia akan menunggu Pram mendekat, mengusap punggungnya yang lelah, lalu mereka akan bercanda—entah soal hal-hal kecil yang terjadi hari itu atau tentang Prily yang selalu meminta perhatian berlebihan padahal Puspita belum pulih. Tapi malam ini berbeda.Pramudya berdiri di ambang tempat tidur, menatap punggung Puspita yang tak bergerak. Napasnya teratur, tapi Pram tahu istrinya belum tidur. Sejenak, ia ingin mengulurkan tangan, menyentuh bahunya, mengembalikan kebiasaan mereka yang telah terbangun begitu lama. Namun, sesuatu yang tak kasatmata menghalangi langkahnya. Ada dinding tak terlihat yang kini memisahkan mereka.Tanpa suara, Pram naik ke tempat tidur, berbaring dengan posisi yang berlawanan. Biasanya, ia akan langsung me