Pram menatap ponsel yang kini dalam genggamannya. Ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam hatinya. Mengapa ibunya membuang benda ini? Apakah ada sesuatu di dalamnya yang ia coba sembunyikan? Atau ini hanya kebetulan belaka?Ia menekan tombol daya, tetapi layar ponsel tetap gelap. Mati total. Pram menghela napas panjang, menatap ponsel itu dengan alis berkerut. Mungkin ada hal yang tidak pernah ia ketahui tentang ibunya. Dan jika benar, ponsel ini bisa jadi kunci.Pram menoleh ke arah Mbok Siti yang berdiri di samping meja. Atas saran wanita paruh baya itu, mereka kini berada di kamarnya. Kamar yang lama Pram tidak pernah pakai setelah menikah. Ia tidak pernah sekalipun menginap di sana setelah menikahi Soraya. Bukan tidak merindukan masa-masa mudanya di rumah itu, hanya saja sambutan yang tidak ramah kedua orang tuanya pada Soraya membuatnya tidak pernah mengajak Soraya menginap di sana demi menjaga perasaan istrinya.“Mbok, ada charger ponsel ibu? Sepertinya baterainya habis,” tanya
Pram berdiri, memandang Imel dengan tatapan dingin, nyaris penuh kebencian. Wanita itu melangkah masuk dengan percaya diri, seolah-olah ia memiliki hak untuk berada di sana.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Pram tajam, suaranya rendah namun mengandung ancaman.Imel tersenyum tipis, sama sekali tidak terpengaruh oleh nada bicara Pram. “Aku datang untuk berbela sungkawa, tentu saja. Bude Hasna adalah seseorang yang berarti bagiku. Dan Mas pasti tahu betapa sayangnya ibumu padaku.” Imel bahkan mengibaskan rambut panjangnya penuh percaya diri.Pram terkekeh sinis. “Kamu memang tidak tahu malu, Imel. Setelah apa yang kamu lakukan pada Puspita, kamu masih berani datang ke sini?”Sakti yang duduk di sisi Pram menoleh bingung. Ia belum sepenuhnya memahami apa yang dibicarakan sang kakak.“Lho, memang ada hubungan apa perlakuanku pada pembantu itu sama kedatanganku ke sini? Aku bahkan sudah menganggap rumah ini rumah keduaku.”“Apa maksudmu?” Pram memicingkan matanya.Imel berjalan anggu
Pram hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Imel bahkan berani memeluk dan mencium pipi ayahnya. Lalu yang lebih mengejutkan, Arya sama sekali tidak menolak. Sebaliknya, pria itu tampak tersentuh oleh sikap Imel.“Terima kasih, Imel,” ujar Arya dengan suara yang lebih lembut. “Ibunya Pram memang sosok yang sangat berarti bagi kami. Tapi kami tidak mungkin larut dalam kesedihan selamanya. Dia sudah tenang di sana. Terima kasih sudah datang.”“Tentu saja Imel datang, Om. Bude Hasna sudah seperti ibuku sendiri. Masa iya Imel tidak datang?”“Tapi kamu juga baru kena musibah, Imel.”“Tidak masalah, semua sudah teratasi. Seseorang yang sangat baik membantuku keluar dari masalah ini, dia tahu Imel tidak bersalah, Om. Imel hanya ingin menyelamatkan seseorang dari jeratan wanita kampung yang haus harta. Sayangnya, seseorang yang Imel bela itu tidak menyadarinya dan malah melaporkan—”“Imel!” Pram tidak bisa lagi menahan amarahnya. “Jaga bicaramu!” Suara Pram meninggi.Imel melirik dan
Pram masih mematung di depan pintu kamarnya. Kata-kata Mbok Siti yang gagap bercampur tangis terus terngiang di telinganya. Tubuhnya menegang, otaknya berusaha mencerna informasi yang baru saja diterima. Kesadarannya yang belum sepenuhnya pulih membuat otaknya lambat bekerja."Mbok, apa yang Mbok bilang barusan?" tanyanya, memastikan bahwa ia tidak salah dengar."Den… Den Sakti… Non Imel bilang Den Sakti… memperkosanya." Suara Mbok Siti terdengar pecah disertai isak tertahan.Hati Pram seperti dihantam palu besar. Mustahil. Ini tidak mungkin terjadi. Sakti memperkosa Imel? Itu sangat tidak masuk akal.Adiknya yang ia kenal tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Sakti adalah pemuda polos yang kesehariannya hanya dihabiskan untuk belajar. Anak itu selalu menjaga sikap dan tutur kata, bahkan terkadang terlalu polos untuk seusianya. Bagaimana mungkin dia melakukan hal yang baru saja Mbok Siti katakan?Tanpa pikir panjang, Pram bergegas menuju kamar tamu, melangkah dengan kecepatan seper
“Apa yang terjadi di sini?”Berdiri di ambang pintu, pria enam puluh tahun bertubuh tegap. Tatapannya menyapu semua orang di ruangan itu, serta kekacauan di dalamnya.“Apa yang terjadi di sini?” ulang Arya saat tak ada sahutan dari mulut siapa pun. Pria paruh baya itu menatap mereka dengan wajah penuh kemarahan dan kebingungan.Pram menoleh ke arah ayahnya. Mata lelahnya terlihat kosong. Sementara di bawah sana tubuh Sakti mulai gemetar. Ketakutan sangat kentara tatkala ia melirik pria yang baru datang itu. Apalagi saat sang ayah mulai melangkah masuk, menatapnya dengan mata yang berkilat marah.“Sakti, jawab! Apa yang terjadi?!”Sakti menggelengkan kepala pelan. Jangankan untuk menjawab, melirik sang ayah saja ia tak memiliki keberanian sedikit pun. Kepalanya semakin menunduk tajam.Bahkan Pram tak berkata apa pun. Tak ada alasan untuk membela sang adik jika pada kenyataannya pemuda itu melakukannya.Melihat Sakti yang masih diam, Arya menoleh ke arah Imel yang masih menangis di sudu
“Ini tidak adil untuk Sakti, Yah. Kita bahkan belum tahu alasan mengapa hal ini terjadi. Bagaimana Ayah bisa memutuskan hal ini begitu saja?” Pram menyampaikan keberatannya.Arya menatap Pram dengan tajam. “Adil atau tidak, ini keputusan yang harus diambil. Ayah tidak ingin nama keluarga kita tercoreng karena masalah ini. Sakti akan menikahi Imel, dan itu final!”Imel yang mendengar keputusan itu kembali menangis, sementara Sakti, seperti sebelumnya, hanya diam dengan wajah yang tak pernah terangkat. Pram mengepalkan tangan, merasa tidak berdaya melawan keputusan ayahnya.“Tidakkah kita tanyakan dulu mengapa Sakti sampai melakukan hal ini? Mungkin ada kekeliruan di sini?”“Kekeliruan apa lagi, Pram? Sudah jelas Sakti mabuk. Dan apa pun bisa dilakukan oleh orang mabuk.” Arya kembali menyalak.“Karena Sakti mabuk, dia tidak sadar melakukannya, Yah.”“Dilakukan dengan sadar atau tidak, menodai seorang wanita adalah perbuatan buruk yang harus dipertanggungjawabkan. Walaupun masih muda, Sa
“Pram, apa maksudmu?” Arya menatap putranya dengan tajam, wajahnya memancarkan keterkejutan sekaligus ketidakpercayaan.“Aku akan menikah lagi dengan Puspita,” tegas Pram tanpa ragu. “Aku mau rujuk, Yah.”“Apa Ayah tidak salah dengar?”“Tidak. Aku tahu kalian tidak menyetujui, tapi ini hidupku. Aku tidak peduli lagi dengan restu siapa pun.”Arya menghempaskan dirinya ke sofa, mengusap wajah dengan tangan gemetar. “Jadi kamu ingin menentang keluarga demi wanita itu?”“Wanita itu bernama Puspita, Ayah,” koreksi Pram dengan nada dingin. “Dan ya, aku akan menikahinya. Dengan atau tanpa persetujuan keluarga.”“Ayah tidak percaya ini.” Arya menggelengkan kepala. “Bahkan kamu tahu mendiang ibumu sangat menentang pernikahanmu. Kamu sengaja melakukan ini hanya karena Sakti akan menikah, bukan? Kamu seperti anak kecil, tidak mau kalah!”Pram tersenyum tipis, penuh kepahitan. “Apa aku terlihat seperti anak kecil? Ini bukan tentang kalah atau menang. Ini tentang aku dan hidupku. Aku bahkan sudah
“Pita …,” panggil Pram lagi, karena setelah mendesah kaget itu, Puspita tak terdengar lagi suaranya.“Bisa alihkan ke panggilan video? Aku ingin melihatmu dan Prily,” pinta Pram. “Aku rindu kalian.”Awalnya, tak ada jawaban dari Puspita hingga ….“Maaf, Mas. Aku tidak sedang bersama Prily. Aku sedang di kamar dan tidak memakai kerudung.”“Oh, Prily di mana?”“Tidur di kamarnya sama Mbak Sari.”“Ya sudah, Mas mau lihat kamu saja, boleh, kan?”“Maaf, tapi aku sedang tidak berkerudung.”“Lalu kenapa? Mas sudah lihat kamu tanpa kerudung, kan?”“Itu dulu, waktu aku masih istrimu. Masih halal. Ingat, sekarang ini kita belum memiliki ikatan lagi.”Pram menahan napasnya, lalu memejam sambil menelan ludah. Ya, Puspita dulu pernah halal untuknya, tapi ia sia-siakan. Jangankan menyentuhnya—memberi nafkah batin, melirik pun rasanya malas. Dan kini?Sang pria mengembuskan napasnya pada akhirnya. Lagi-lagi ia lupa mereka belum menikah lagi.“Iya, maaf, Mas lupa,” ujarnya lirih. “Tapi jangan takut,
Puspita merasakan dadanya sesak seolah oksigen tidak mau masuk ke paru-parunya. Pandangannya berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Semua yang baru saja tersaji di depan matanya seolah cerita dongeng fantasi yang hanya ada dalam khayalan.Otaknya mendadak tidak bekerja hingga sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Suara melengking Tika yang memanggil namanya dan meminta tolong masih terngiang hingga memekakkan telinga. Tetapi, slide-slide nyata dalam kehidupan yang dijalaninya terus berputar di kepalanya.Tubuhnya nyaris terjengkang jika Pram tidak sigap menangkapnya. Pram sampai duduk bersimpuh untuk menahan tubuh Puspita yang tidak bertenaga sama sekali. Tubuh wanita itu ia sandarkan di pangkuannya. Sejatinya, ia pun terlalu kaget dengan semua ini hingga tak mampu melakukan apa pun selain ternganga.Nama Putra Pradipta ia sebut dua kali saat menikahi Puspita sebagai ayahnya, tetapi siapa sangka jika itu adalah Pradipta Putra Bimantara, anak tunggal Rangga Bimantara dan jug
Ruangan mendadak penuh dengan gemuruh para tamu yang saling berbicara heran, sebelum akhirnya pandangan mereka tertuju pada Puspita yang mulutnya menganga.Wanita itu sejak tadi sudah merasa lelembutnya tak lagi di sana. Bahkan suara Prabu bagai seorang pendongeng yang jauh dan hanya terdengar suaranya saja.Yang dirasakan Puspita adalah kembali ke masa lalu, masa-masa kecilnya yang penuh kebahagiaan bersama kedua orang tuanya. Sebelum akhirnya semua kebahagiaan itu direnggut paksa darinya bersamaan dengan meninggalnya orang tuanya.Puspita di sini, tapi hati dan pikirannya kembali ke masa-masa itu. Masa-masa yang diceritakan Prabu. Semua tergambar dengan jelas dalam ingatannya, seperti yang terjadi dalam semua slide foto itu.Puspita masih mematung. Ia tidak mengerti apa arti semua ini. Sementara mata semua orang kini tertuju padanya. Sebagian menatap iba, sebagian lagi meremehkan, dan sebagian lainnya tampak bingung. Semua orang di sana kembali berdengung, saling bicara sambil menat
“Ini adalah orang tua saya.”Prabu menunjuk layar besar yang kini menampilkan pasangan muda yang sangat serasi. Tampan dan cantik.“Pradipta Putra Bimantara dan Riyanti Rahman,” lanjut Prabu dengan bangga."Mereka pasangan yang bahagia dan saling mencintai. Sayangnya ….” Prabu menjeda kalimat, terlihat ada napas yang berat untuk diembuskan. Kilat luka berpendar di matanya.“Ibu saya harus meninggalkan kami semua saat menghadirkan saya ke dunia. Ibu saya berpulang dan meninggalkan luka yang mendalam untuk ayah saya.” Akhirnya, Prabu menarik napas meski terlihat sangat berat.Semua hadirin sepertinya ikut larut dengan apa yang Prabu rasakan. Terlebih ada getar dalam kalimat terakhir Prabu. Nyonya Rangga yang berdiri didampingi suaminya, juga Tika, bahkan sudah menghapus sudut matanya dengan tisu.“Ayah saya frustrasi berat atas meninggalnya wanita terkasih hingga akhirnya memutuskan menanggalkan semua yang sudah ia miliki sebagai satu-satunya penerus Bimantara Group. Ayah pergi jauh den
Puspita menoleh dan mendapati Pram yang menatapnya kesal. Ternyata pria itu menunggunya. Hanya saja, saking tidak mau bicara, sang suami hanya menatapnya.Puspita mengerjap dan menunduk, lalu menghampiri Pram dan mengekorinya. Mereka bergabung dengan tetamu lain yang sudah menyimak Prabu di panggung sana.Baru saja beberapa detik mereka bergabung, seseorang datang dan berdiri di samping Pram. Lalu mengucapkan kalimat yang membuat mood Pram semakin buruk.“Halo, anak laki-lakiku, aku tidak menyangka akan bertemu di sini denganmu.”Pram menelan ludah tanpa melirik sama sekali. Ia mencoba fokus pada Prabu di depan sana.“Oh, ya, perkenalkan dulu, ibu barumu,” lanjut suara itu seraya menunjuk wanita muda yang bergelayut manja di lengannya.“Mungkin kamu belum tahu kalau kami sudah menikah secara resmi, Pram. Jadi mulai sekarang hormati Imel sebagai istriku, ya.”Pram sama sekali tidak peduli, mencoba mengabaikan apa pun yang Arya ucapkan. Jika pun ada banyak hal yang ingin ia bicarakan, b
Puspita sontak menarik tangannya dari genggaman Prabu. Seakan tersengat, matanya membelalak lebar. Ia tidak menyangka Pram menemukannya di sini. Dalam keadaan yang akan membuatnya semakin salah paham.Lorong yang sepi pun terasa sangat mencekam saat Pram melangkah mendekat. Suara ketukan sepatunya yang bersatu dengan lantai berlomba dengan detak jantung Puspita yang melonjak-lonjak.“Jadi … memang begini perbuatan kalian di belakangku?” tanya Pram dengan tatapan perpaduan antara kekecewaan dan kemarahan. Ada luka juga di sana.Puspita menggeleng cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi Pram dengan cepat mendahului.“Apa kamu mau bilang lagi ini tidak seperti yang aku pikirkan?” tanya Pram sinis. “Jadi, apa yang harus aku pikirkan melihat istriku berduaan bahkan berpegangan dengan pria lain?”“Mas ….” Kepala Puspita semakin menggeleng. Bibirnya bergetar.“Kemarin kamu bisa bilang aku salah paham karena hanya melihat foto. Apa aku masih salah paham juga jika sudah melihat dengan mata sendiri
Puspita mencuri-curi pandang saat Pram berbincang dengan Rangga dan istrinya. Ia mencari keberadaan Prabu. Ia berharap bisa bicara dengan pria itu sebelum acara dimulai. Sayangnya, pria itu tidak terlihat di mana pun di ruangan itu. Matanya justru menangkap seseorang yang wajahnya sangat familiar.Puspita sampai terjengkit kaget.Di sana, di antara para tamu undangan yang ia yakin semuanya adalah relasi bisnis keluarga Bimantara, ia melihat ada pria berusia lebih dari setengah abad yang menatap sinis ke arahnya.Puspita mengucek matanya setelah beberapa saat terperangah. Sayangnya, setelah ia mengucek mata, orang itu sudah tak terlihat lagi di sana. Puspita berkedip beberapa kali, lalu mencari dengan matanya ke semua penjuru ruangan, tetapi ia tidak mendapati orang yang dicarinya.Wanita itu kemudian menggeleng. Mungkin ia sedang berhalusinasi karena melihat pamannya berada di antara para tamu undangan.Bagaimana mungkin sang paman ada di sana? Bukankah semua tamu hanya dari kalangan
Puspita menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Dadanya terasa sangat sesak karena selama dalam perjalanan menuju rumah keluarga Bimantara itu, tak sepatah kata pun Pram berucap. Mereka hanya saling diam meski duduk berdampingan.Saat menerima surat undangan dari Prily, sebenarnya ia malas untuk ikut datang. Toh, hubungannya dengan Pram sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Pram hanya menitipkan surat itu pada anaknya. Sebenci itukah Pram padanya, bahkan sekadar menyampaikan kartu undangan saja tidak sudi?Kalau mau egois, Puspita lebih baik tidak ikut datang. Toh, ia juga tidak tahu pesta apa gerangan yang harus dihadirinya itu. Namun, ia tidak ingin Pram malu. Ia bahkan masih memikirkan reputasi Pram meski sang suami sedang marah padanya.Lagipula, bukankah di sana ia bisa bertemu dengan Prabu? Ini kesempatan baik, harus ia gunakan untuk meminta tolong Prabu menjelaskan yang sesungguhnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bicara dengan pria itu. Jika bukan pada kesempatan ini, i
Wanita berrok pendek berlari menuju pintu ruangan Prabu saat mendengar suara gaduh dari dalam sana. Ia sebenarnya sudah curiga sejak awal karena tamu bosnya datang dengan wajah tegang dan penuh amarah.Suara bentakan terdengar menggema di ruangan megah itu. Sekretaris membuka pintu dan langsung memekik melihat bosnya tersungkur di lantai dengan tamunya masih melayangkan tangan.Wanita itu berlari untuk melerai, berusaha menenangkan Pram yang tengah dikuasai amarah. Setelahnya, ia membantu Prabu untuk bangun dan memapahnya ke sofa.Pram berdiri dengan rahang mengeras, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan amarah yang membara dalam dadanya.Sementara itu, Prabu yang kini duduk bersandar di sofa mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tatapannya tetap lurus di wajah merah Pram. Senyum sinis tersungging dari bibir pecah Prabu. Sama sekali tidak ada rasa marah atau takut yang ia tampakkan."Beginikah cara seorang Pramudya Adiguna menyelesaikan masalah?" tanya Prabu san
Puspita berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dadanya sesak, pikirannya kusut, dan hatinya penuh dengan kegelisahan. Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, dan Pram tetap diam. Pria itu bahkan memilih tidur di ruang kerjanya, seolah kehadiran Puspita di rumah ini hanyalah gangguan yang harus dihindari.Tidak ada pengusiran dan kata talak seperti dulu, tidak ada kata-kata kasar yang menghujam lagi, tapi didiamkan seperti ini jauh lebih menyakitkan.Ia tinggal di rumah seseorang, tapi si empunya rumah sama sekali tak menganggapnya ada. Pram selalu menghindarinya seolah tak ingin lagi melihatnya. Waktu makan yang biasanya mereka gunakan untuk bercengkerama hangat, hanya kekosongan meja makan yang didapatkan Puspita. Hingga terkadang ia pun malas untuk sekadar mengisi perut.Pram selalu meminta pelayan yang mengantar makan ke ruang kerjanya dan bukan dirinya.Puspita sampai bingung bagaimana melanjutkan hidup. Ia tidak mungkin pergi karena tidak ada kata talak dan pengusiran seperti dulu