“Ini tidak adil untuk Sakti, Yah. Kita bahkan belum tahu alasan mengapa hal ini terjadi. Bagaimana Ayah bisa memutuskan hal ini begitu saja?” Pram menyampaikan keberatannya.Arya menatap Pram dengan tajam. “Adil atau tidak, ini keputusan yang harus diambil. Ayah tidak ingin nama keluarga kita tercoreng karena masalah ini. Sakti akan menikahi Imel, dan itu final!”Imel yang mendengar keputusan itu kembali menangis, sementara Sakti, seperti sebelumnya, hanya diam dengan wajah yang tak pernah terangkat. Pram mengepalkan tangan, merasa tidak berdaya melawan keputusan ayahnya.“Tidakkah kita tanyakan dulu mengapa Sakti sampai melakukan hal ini? Mungkin ada kekeliruan di sini?”“Kekeliruan apa lagi, Pram? Sudah jelas Sakti mabuk. Dan apa pun bisa dilakukan oleh orang mabuk.” Arya kembali menyalak.“Karena Sakti mabuk, dia tidak sadar melakukannya, Yah.”“Dilakukan dengan sadar atau tidak, menodai seorang wanita adalah perbuatan buruk yang harus dipertanggungjawabkan. Walaupun masih muda, Sa
“Pram, apa maksudmu?” Arya menatap putranya dengan tajam, wajahnya memancarkan keterkejutan sekaligus ketidakpercayaan.“Aku akan menikah lagi dengan Puspita,” tegas Pram tanpa ragu. “Aku mau rujuk, Yah.”“Apa Ayah tidak salah dengar?”“Tidak. Aku tahu kalian tidak menyetujui, tapi ini hidupku. Aku tidak peduli lagi dengan restu siapa pun.”Arya menghempaskan dirinya ke sofa, mengusap wajah dengan tangan gemetar. “Jadi kamu ingin menentang keluarga demi wanita itu?”“Wanita itu bernama Puspita, Ayah,” koreksi Pram dengan nada dingin. “Dan ya, aku akan menikahinya. Dengan atau tanpa persetujuan keluarga.”“Ayah tidak percaya ini.” Arya menggelengkan kepala. “Bahkan kamu tahu mendiang ibumu sangat menentang pernikahanmu. Kamu sengaja melakukan ini hanya karena Sakti akan menikah, bukan? Kamu seperti anak kecil, tidak mau kalah!”Pram tersenyum tipis, penuh kepahitan. “Apa aku terlihat seperti anak kecil? Ini bukan tentang kalah atau menang. Ini tentang aku dan hidupku. Aku bahkan sudah
“Pita …,” panggil Pram lagi, karena setelah mendesah kaget itu, Puspita tak terdengar lagi suaranya.“Bisa alihkan ke panggilan video? Aku ingin melihatmu dan Prily,” pinta Pram. “Aku rindu kalian.”Awalnya, tak ada jawaban dari Puspita hingga ….“Maaf, Mas. Aku tidak sedang bersama Prily. Aku sedang di kamar dan tidak memakai kerudung.”“Oh, Prily di mana?”“Tidur di kamarnya sama Mbak Sari.”“Ya sudah, Mas mau lihat kamu saja, boleh, kan?”“Maaf, tapi aku sedang tidak berkerudung.”“Lalu kenapa? Mas sudah lihat kamu tanpa kerudung, kan?”“Itu dulu, waktu aku masih istrimu. Masih halal. Ingat, sekarang ini kita belum memiliki ikatan lagi.”Pram menahan napasnya, lalu memejam sambil menelan ludah. Ya, Puspita dulu pernah halal untuknya, tapi ia sia-siakan. Jangankan menyentuhnya—memberi nafkah batin, melirik pun rasanya malas. Dan kini?Sang pria mengembuskan napasnya pada akhirnya. Lagi-lagi ia lupa mereka belum menikah lagi.“Iya, maaf, Mas lupa,” ujarnya lirih. “Tapi jangan takut,
Puspita terkejut bukan main. Kakinya sampai mundur beberapa langkah. Bagaimana bisa pria itu ada di sini? Bukankah Pram menyembunyikannya dengan sangat rapat di sini?Puspita menggenggam erat ujung tuniknya, mencoba menenangkan diri meskipun jantungnya berdegup tak karuan. Bersamaan dengan itu, ponselnya di atas nakas berkedip. Bi Narti yang melihat dari ambang pintu, menunjuknya.Puspita memejamkan mata sebelum memaksakan kakinya yang lemas untuk berjalan mengambil ponsel. Ternyata, nama Pram yang tertera di sana. Puspita menggigit bibirnya sebelum mengangkat panggilan.“Pita, jangan keluar!” Suara Pram yang sarat kekhawatiran langsung tertangkap indera pendengarannya. Cukup nyaring dan tegas.“Ingat, kamu jangan ke mana-mana. Jangan menampakkan diri. Aku sudah mengurus semuanya."Puspita menelan ludahnya. Ia yakin Pram sudah tahu kedatangan pamannya di vila. Semenjak kejadian penyerangan Imel, apalagi dia harus berangkat ke Jakarta, Pram menyewa beberapa pengawal untuk berjaga di sa
Puspita terus mengintip ke luar jendela, memastikan tidak ada kendaraan mencurigakan yang mengikuti mereka. Meski sudah ada pengawal yang menyertai dan memastikan keamanan mereka, tetap saja kekhawatiran itu ada. Apalagi mereka sempat terjebak macet cukup lama karena kecelakaan itu. Pram bahkan tidak mematikan sambungan telepon selama itu untuk membuat Puspita tenang. Bukan apa-apa, Prily yang tahu belakangan mereka tengah berada dalam mobil, rewel. Ia tidak nyaman berada dalam mobil yang tidak bergerak.Dengan bujukan Pram lewat sambungan video, Prily bisa sedikit tenang. Setelah beberapa jam, akhirnya mereka tiba di tujuan. Setidaknya Puspita bisa bernapas agak lega karena di jalan tidak ada halangan berarti selain kemacetan karena kecelakaan itu. Sepertinya sang paman memang sudah pergi. Mungkin mempercayai ucapan para pengawal yang mengatakan Puspita tidak di sana.Puspita menarik napas panjang berkali-kali setelah mobil yang membawa mereka memasuki halaman rumah yang luasnya mena
Apa kamu tidak takut, Mas, kalau ternyata … Puspita sudah dipakai sama dosen itu?”Kepala dan hati Pram seketika terasa terbakar. Panas membara. Ingin rasanya ia membungkam mulut wanita yang sumpah demi apa pun sangat tidak tahu malu. Namun, ini hari penting baginya, dan di sini juga ada Prily dalam gendongannya. Pram memilih mengabaikan wanita itu dan kembali mengajak Puspita melanjutkan langkah.Ia yakin jika Imel sengaja melakukan itu untuk memancing emosinya. Atau lebih jauh untuk mengacaukan acara ini. Dan ia tentu saja tidak boleh kalah. Jangan gara-gara ucapan Imel semuanya jadi berantakan. Jangan sampai kail yang Imel sebar mengait di mana pun.Ia harus tetap tenang. Anggap saja Imel makhluk tak kasat mata. Karena perbuatannya memang tidak lebih baik dari hantu.“Mereka teman lama sejak di kampung lho, Mas. Segala sesuatu bisa saja terjadi. Apa Mas tidak berpikir jika dosen itu meninggalkan Puspita karena sudah bosan?”Lagi, kaki Puspita berhenti melangkah demi ucapan Imel yan
Puspita menahan napas, kedua tangannya meremas ujung kebayanya dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Tubuh wanita itu menegang, hingga terlihat kaku. Bukan karena stagen yang melilit kuat perutnya, tetapi karena ketegangan hati dan pikirannya.Wanita itu memejamkan mata, mencoba meredakan berbagai letupan di dadanya. Senyuman Pram yang menjemputnya di kamar rias tadi cukup ampuh meredam rasa tegang dan groginya.Terbayang Pram yang awalnya membelalak saat melihat penampilannya—padahal ia hanya meminta makeup flawless dan kebaya sederhana—tetapi sesaat kemudian mengulurkan tangan untuk mengajaknya ke depan. "Kamu cantik," bisik Pram di dekat telinganya sesaat setelah tangan mereka saling bertaut. Bisikan itu berhasil menerbitkan semburat merah di wajah Puspita.Puspita menunduk malu-malu, sambil mulai menyamai langkah Pram.Ia bersyukur dua wanita yang mendandaninya hanya mendengarkan ucapan Pram. Mereka tidak mau membuka pintu karena Pram sudah berpesan akan kembali menjemput
Hari ini seperti mimpi bagi Puspita. Ia masih belum percaya bahwa ia telah kembali menikah dengan Pramudya, pria yang dulu membuangnya seperti sampah. Rasanya waktu begitu cepat berlalu. Baru kemarin ia meninggalkan rumah Pram dengan luka hati yang menganga, kini keadaan berbalik, hatinya dipenuhi ladang bunga yang bermekaran di mana-mana.Sekali lagi, jalan hidup memang tidak ada yang tahu. Semua bisa berjalan seperti yang kita harapkan, tapi ada kalanya apa yang terjadi jauh dari harapan. Satu yang pasti, bahagia akan menyapa pada waktu yang tepat.Seperti yang Puspita rasakan saat ini. Mungkin, Tuhan saat ini sedang mengganti banyak kepahitan dalam hidupnya dengan rasa manis dari pernikahannya dengan Pram meski mereka baru saja memulai.Perlakuan Pram yang manis dan lembut membuatnya merasa terbang. Melayang-layang di nirwana, berguling-guling di antara hamparan awan putih yang lembut seperti kapas. Puspita merasakan keindahan yang meski belum sempurna, tetapi cukup membuatnya terl
“Mas …” panggil Puspita di antara napasnya yang memburu. Pandangan diedarkan ke sekeliling, tapi yang ia dapati hanya ruangan kosong dengan dinding-dinding bisu. Ternyata ia berada di dalam kamarnya.Puspita mengerjap dan menyeka peluh di pelipisnya. Mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Tadi pinggangnya pegal karena terlalu banyak duduk, ia meminta Sari membantunya untuk berbaring. Lalu ia sengaja memejamkan matanya agar tak terjadi kontak dengan Pram. Siapa sangka ia malah tertidur dan didatangi mimpi buruk yang capeknya terbawa ke dunia nyata.Mimpi?Ya, tadi ia bermimpi sangat mengerikan. Pram terjatuh saat ingin menyelamatkannya. Dan itu seperti sangat nyata.“Mas …” panggil Puspita lagi seraya menyibak selimutnya, lalu menurunkan kaki dari ranjang. Saat ia berusaha untuk berdiri, ia memekik dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.Puspita meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia bahkan lupa jika kakinya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Mimpi yang terasa nya
Pram mondar-mandir di kamarnya. Kalimat-kalimat Prabu yang tidak dimengertinya terus terngiang-ngiang. Ia masih tidak bisa menyimpulkan arti ucapan itu, tetapi satu hal yang ia yakini—Prabu sedang tidak baik-baik saja.Pram menengadah, lalu meremas rambutnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sejak awal Prabu memang bicara tersendat-sendat dan terdengar ragu. Tidak mungkin ia memaksa kakak iparnya itu untuk bicara lebih jelas.Lalu, ia harus bagaimana?Ingin memberi solusi? Bagaimana bisa, jika masalah yang sebenarnya saja ia tidak tahu. Prabu langsung pamit setelah mengatakan itu, dan ia tidak bisa mencegahnya.Andai berada di tanah air, mungkin ia bisa sedikit membantu. Masalahnya, jika pulang pun, bagaimana dengan Puspita?Untuk mengatakan bahwa kakaknya ada masalah saja, rasanya Pram tidak tega. Ia yakin itu hanya akan menjadi beban pikiran bagi istrinya. Pram takut Puspita tidak fokus pada pengobatannya. Belum lagi jika benar-benar ingin berpisah. Lalu, apa yang harus dilaku
Pram sedang mengemas beberapa barang ke dalam ransel di kamarnya. Ia hanya sedang bersiap jika tiba-tiba Puspita mengatakan ia harus pergi.Bukannya menyerah jika ia melakukan ini sejak dini. Sekali lagi, ia hanya sedang bersiap jika suatu saat Puspita benar-benar tak menginginkannya lagi, karena setelah dua hari semenjak ia bertanya, wanita itu belum juga memberikan jawaban.Puspita seolah menggantung hubungan mereka, membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Pram sama sekali tak marah atau menyalahkan istrinya karena ia pun dulu pernah melakukan hal yang sama. Mengabaikan Puspita dalam ketidakjelasan hubungan sejak Soraya meninggal. Membuat Puspita tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Mungkin, ini juga yang dirasakan Puspita saat itu.Semua yang terjadi padanya saat ini seolah pantulan cahaya dalam cermin. Semua berbalik padanya. Apa yang pernah ia lakukan pada Puspita dulu, kini berbalik dirinya yang harus merasakan semua ini.Pram mengembuskan napas panjang. Kini Puspita sed
"Duduklah," ujar Ny. Bimantara akhirnya, sambil menunjuk kursi di seberang mereka.Irena duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya. Perutnya terasa mual, bukan karena makanan, tapi karena suasana kaku yang menyesakkan.Pelayan datang dan mulai menyajikan makanan. Namun, bahkan setelah hidangan tersaji, tidak ada obrolan yang mengalir. Prabu sesekali mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang kesehatan Opa dan Oma, tetapi jawaban yang didapat hanya sekadarnya."Jadi bagaimana, Opa, Oma? Pendapat kalian tentang rencana kami ke depannya?" Prabu terpaksa bertanya lebih dulu karena kedua orang tua itu tak kunjung bertanya sesuatu tentang mereka.Hening beberapa saat, membuat Prabu yang menunggu menjadi tidak sabar.Irena mencuri pandang ke arah Opa Rangga. Lelaki tua itu duduk dengan postur tegak, sorot matanya masih tajam meski usianya sudah senja. Lalu, tiba-tiba, pria itu meletakkan garpunya, membuat dentingan kecil yang menarik perhatian semua orang."Prabu," suaranya terdeng
Irena menatap dirinya di depan cermin. Seorang wanita empat puluh tahun terpampang di sana dengan wajah yang sudah dipoles make-up flawless. Garis kerutan memang jauh darinya karena ia selalu menjaga pola makan dan olahraga yang teratur. Tapi rasanya, senyum sudah jarang ia sunggingkan dalam kehidupan pribadinya.Jika pun selama ini terkesan ramah dan selalu ceria, itu hanya untuk para pasien dan siapa pun yang ia temui di rumah sakit. Selebihnya, bibirnya jarang sekali tersenyum. Perpisahan dengan Radit yang berbuntut perebutan hak asuh Chiara membuat hari-harinya seolah suram.Memang ia masih bisa menemui sang anak selama Chiara dalam pengasuhan mantan suaminya itu, tetapi dalam waktu yang sangat terbatas dan tentu saja harus mengikuti aturan Radit. Tidak bisa bertemu dan menumpahkan rindu dengan leluasa.Irena sangat menyesali hari-hari yang telah lewat. Ia terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk bersama Chiara sangat sedikit. Dan itu ternyata membuat Chiara lebih dekat dengan aya
Pram mengganjal kepalanya dengan kedua tangan. Kini ia berbaring di sofa dengan tatapan lurus ke langit-langit. Ada banyak hal berputar-putar di kepalanya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.Puspita tidak memberikan jawaban apa pun. Dan ia memang sengaja memberikan waktu untuk istrinya itu untuk memikirkan masak-masak keputusannya. Dan apa pun nanti yang akan dikatakan wanita itu, ia harus siap. Bahkan hal terburuk sekalipun.Pram tidak ingin lagi menyakiti hati wanita itu. Sudah terlalu sering ia membuat Puspita terluka. Dan jika dengan menjauh darinya bisa membuat wanita itu bahagia, akan ia lakukan. Tidak ada lagi paksaan, tidak akan ada lagi drama. Ia juga tak akan menggunakan Prily sebagai alasan untuk menahan Puspita tetap di sisinya.Prily harus bisa tanpa Puspita jika wanita itu sudah tak lagi menghendaki mereka di sisinya. Dan tugasnya adalah membuat Prily mengerti, walaupun ia belum tahu apa yang harus ia lakukan nanti untuk membuat anak itu lepas.Entah sudah berapa b
Pramudya berjongkok di hadapan Prily, tangannya mengelus lembut punggung gadis kecil itu yang terus memeluk Puspita erat. Wajahnya berusaha menampilkan kelembutan, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Rasa bersalah.Selama perjalanan mereka menuju unit, Prily bahkan terus berjalan di samping kursi roda Puspita, seolah merasakan firasat yang kurang baik. Lalu, setelah mereka tiba, ia sama sekali tak ingin melepaskan wanita yang sudah dianggapnya ibu kandung itu."Sayang, sama Mbak Sari dulu, ya? Mama mau istirahat dulu biar cepat sembuh," bujuk Pram dengan suara selembut mungkin.Prily bukannya melepaskan pelukan di pinggang Puspita, tetapi justru semakin erat. Kepalanya menggeleng dan menyuruk."Lily butuh tidur siang supaya nanti bisa main lagi, ya. Ayo ikut Mbak Sari, ganti baju dulu, keringatan," lanjut Pram.Prily menggeleng semakin kuat, wajah mungilnya menekan perut Puspita. "Nggak mau. Lily mau tidur sama Mama."Puspita mengusap kepala Prily dengan tatapan l
Puspita merasakan dunianya berguncang. Kata-kata Haidar seperti pukulan telak yang mengusik keyakinannya selama ini. Ia selalu berpikir bahwa Haidar pergi meninggalkannya begitu saja, tetapi jika yang dikatakan pria itu benar, maka ada seseorang yang dengan sengaja menjauhkan mereka.“Ini tidak mungkin,” gumamnya lirih, matanya menatap tajam ke arah Haidar. “Bukannya selama ini Akang yang ninggalin aku? Akang yang membatalkan rencana kita? Akang yang mundur karena orang tua Akang tidak setuju karena aku seorang janda dan hanya wanita miskin?”“Itu tidak benar. Orang tua Akang bahkan terus menanyakan janji Akang yang akan membawa kamu pada mereka. Mereka sangat ingin bertemu kamu, Pita. Mereka mengira Akang sedang berhalusinasi tentang kamu karena kenyataannya kamu tidak ada.” Haidar menjelaskan dengan suaranya yang serak.Puspita menggeleng keras. Matanya memanas. “Ini tidak mungkin, Kang. Tidak mungkin … Akang yang ninggalin aku.”Haidar mengembuskan napas panjang. "Tapi kenyataannya
Malam ini, kamar yang biasanya terasa hangat oleh percakapan ringan dan tawa kecil kini diselimuti kesunyian yang menyesakkan. Puspita sudah lebih dulu berbaring, membelakangi Pramudya, seolah menutup dirinya dari segala bentuk interaksi. Biasanya, sebelum tidur, ia akan menunggu Pram mendekat, mengusap punggungnya yang lelah, lalu mereka akan bercanda—entah soal hal-hal kecil yang terjadi hari itu atau tentang Prily yang selalu meminta perhatian berlebihan padahal Puspita belum pulih. Tapi malam ini berbeda.Pramudya berdiri di ambang tempat tidur, menatap punggung Puspita yang tak bergerak. Napasnya teratur, tapi Pram tahu istrinya belum tidur. Sejenak, ia ingin mengulurkan tangan, menyentuh bahunya, mengembalikan kebiasaan mereka yang telah terbangun begitu lama. Namun, sesuatu yang tak kasatmata menghalangi langkahnya. Ada dinding tak terlihat yang kini memisahkan mereka.Tanpa suara, Pram naik ke tempat tidur, berbaring dengan posisi yang berlawanan. Biasanya, ia akan langsung me