Puspita menahan napas, kedua tangannya meremas ujung kebayanya dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Tubuh wanita itu menegang, hingga terlihat kaku. Bukan karena stagen yang melilit kuat perutnya, tetapi karena ketegangan hati dan pikirannya.Wanita itu memejamkan mata, mencoba meredakan berbagai letupan di dadanya. Senyuman Pram yang menjemputnya di kamar rias tadi cukup ampuh meredam rasa tegang dan groginya.Terbayang Pram yang awalnya membelalak saat melihat penampilannya—padahal ia hanya meminta makeup flawless dan kebaya sederhana—tetapi sesaat kemudian mengulurkan tangan untuk mengajaknya ke depan. "Kamu cantik," bisik Pram di dekat telinganya sesaat setelah tangan mereka saling bertaut. Bisikan itu berhasil menerbitkan semburat merah di wajah Puspita.Puspita menunduk malu-malu, sambil mulai menyamai langkah Pram.Ia bersyukur dua wanita yang mendandaninya hanya mendengarkan ucapan Pram. Mereka tidak mau membuka pintu karena Pram sudah berpesan akan kembali menjemput
Hari ini seperti mimpi bagi Puspita. Ia masih belum percaya bahwa ia telah kembali menikah dengan Pramudya, pria yang dulu membuangnya seperti sampah. Rasanya waktu begitu cepat berlalu. Baru kemarin ia meninggalkan rumah Pram dengan luka hati yang menganga, kini keadaan berbalik, hatinya dipenuhi ladang bunga yang bermekaran di mana-mana.Sekali lagi, jalan hidup memang tidak ada yang tahu. Semua bisa berjalan seperti yang kita harapkan, tapi ada kalanya apa yang terjadi jauh dari harapan. Satu yang pasti, bahagia akan menyapa pada waktu yang tepat.Seperti yang Puspita rasakan saat ini. Mungkin, Tuhan saat ini sedang mengganti banyak kepahitan dalam hidupnya dengan rasa manis dari pernikahannya dengan Pram meski mereka baru saja memulai.Perlakuan Pram yang manis dan lembut membuatnya merasa terbang. Melayang-layang di nirwana, berguling-guling di antara hamparan awan putih yang lembut seperti kapas. Puspita merasakan keindahan yang meski belum sempurna, tetapi cukup membuatnya terl
Pram mengusap wajahnya dengan kasar, seolah ingin menghapus semua beban yang menumpuk di pikirannya. Arya terus mengomel, menunjuk-nunjuk dirinya dengan tuduhan yang terasa seperti cambuk. Kata-kata itu tajam, menghujam hatinya. Namun, Pram tak ingin tinggal diam.“Cukup, Yah!” Pram membalas dengan nada tegas. Mata mereka saling bertemu, penuh amarah. “Jangan terus menyalahkan aku. Kalau Ayah mau jujur, siapa sebenarnya yang membiarkan Sakti tumbuh tanpa perhatian? Kalau Ayah mau peduli sedikit saja, dia tidak akan merasa terabaikan sampai melakukan hal-hal seperti ini! Terlebih di saat seperti ini, di saat ia butuh sandaran karena ditinggalkan ibu dan tiba-tiba harus menikah karena kesalahan semalam, harusnya Ayah ada untuknya.”Dada Pram sampai turun naik tak beraturan saking kuat menahan emosi.Arya membeku sejenak, tetapi kemarahannya kembali menyala. “Jangan berani-beraninya bicara seperti itu, Pram! Aku melakukan segalanya untuk keluarga ini, sementara kau hanya tahu bersenang-se
“Kenapa semua orang bertanya padaku?” Pram bertanya penuh penekanan. “Ayahnya Sakti dan calon istrinya Sakti, mereka sama-sama tahu Sakti hilang, tapi masih bertanya padaku apa Sakti sudah ketemu?” Pram menirukan pertanyaan Arya dengan nada mencibir.“Tidakkah ayah dan calon istrinya ingin ikut mencari di mana keberadaannya? Atau sama sekali tidak peduli dan hanya menyerahkan saja pencariannya pada si Pramudya yang dianggap penyebab menghilangnya Sakti?”Ucapan Pram cukup menohok. Terbukti dua orang di hadapannya tak mampu berkata-kata. Pram menatap lelah dua orang itu sebelum berlalu dari hadapan mereka. Hatinya sudah cukup penuh dengan semua sandiwara keluarga ini. Ayahnya sudah benar-benar menjadi orang asingyang sulit ia mengerti.Pram berjalan tergesa menuju kamarnya di mana anak dan istrinya menunggu. Sejenak ingin menghilangkan penat dengan menemui mereka. Pria itu meminta Sari untuk berpindah kamar dan meminta pelayan yang menunggu di depan kamarnya mengantar.Sang pengasuh han
Ketukan tergesa di pintu kamar itu membuat Pram langsung terbangun dari rasa kantuk yang mulai menyerangnya. Ia melangkah cepat ke arah pintu, membuka kunci, dan mendapati salah seorang pengawal berdiri di depannya dengan wajah tegang. “Bos, kami melihat seseorang di rooftop rumah ini,” lapor pengawal itu dengan napas tersengal. “Bayangan kecil, tapi kami yakin itu Sakti.”Hati Pram seolah terjun bebas. Bayangan Sakti yang rapuh kembali terlintas di benaknya. Ia tahu betul betapa berat tekanan yang dirasakan adiknya. “Kamu yakin itu dia?” tanya Pram dengan suara yang bergetar. Ia baru ingat jika ada rooftop di lantai tiga rumah orang tuanya ini. Dan saat ia kecil, ia sering menyendiri menghabiskan waktu di sana jika sedang dimarahi orang tuanya.Jadi, Sakti di sana seharian ini?Pengawal itu mengangguk. “Kami mencoba memanggil dari bawah, tapi dia tidak menjawab. Hanya berdiri di sana, tepat di pinggir atap.”Tanpa berpikir panjang, Pram melesat keluar kamar. Ia hanya sempat menyamba
Suara tegas menggema di malam yang sunyi, membuat tubuh Sakti mengejang ketakutan. Pemuda itu menoleh perlahan, mendapati sosok tinggi tegap yang berdiri dengan lampu menyilaukan. Tatapannya penuh amarah. Arya—ayahnya—berdiri mematung, namun suaranya yang baru saja berteriak masih menggema di benak Sakti.“Sakti! Apa yang kamu lakukan?” Lagi, bentakan Arya menggema, membuat tubuh Sakti terlonjak sebelum akhirnya mengkerut. Uluran tangannya terjatuh, hingga Pram gagal menangkapnya.Ketakutan merayapi hati Sakti. Tangannya yang tadi hampir menyentuh Pram kini justru kembali ditarik. Wajahnya memucat, gerakan dadanya berat dan napasnya tersengal. Sadar atau tidak, kakinya melangkah mundur, semakin mendekat ke tepi atap. Pram yang menyaksikan itu langsung panik.“Sakti, jangan! Tolong, Dek, jangan lakukan ini!” suara Pram pecah, hampir seperti tangisan. Tangannya gemetar terulur ingin meraih sang adik.Namun, tatapan Sakti kembali kosong. Keputusasaan kembali menguasainya, bercampur denga
“Kamu yakin, Pram?” tanya Arya pagi ini dengan raut wajah keras.“Tentu saja, itu yang terbaik buat Sakti.” Pram menjawab acuh setelah meneguk segelas air.Di meja makan itu hanya ada dirinya, sang ayah, dan Imel yang herannya tidak pernah pulang. Alasan keluarganya masih di luar negeri dan terbiasa menginap sejak Hasna masih ada selalu digunakan waktu itu. Alasan yang tidak bisa diterima akal Pram, tetapi sang ayah selalu membelanya.“Ayah hanya takut Sakti akan menyusahkanmu jika tinggal di sana.” Kali ini suara Arya lebih lembut.“Tidak apa-apa, Yah. Jika bukan aku kakaknya yang repot, mau siapa lagi? Sakti saat ini sangat butuh dukungan, kasih sayang, dan terutama rasa nyaman. Aku yakin di rumahku aku leluasa memberikannya.”“Apa maksudmu di sini tidak?”“Kejadian semalam menjadi pelajaran, Yah. Sakti bahkan tidak nyaman di rumahnya sendiri, di rumah orang tuanya.”“Kamu terlalu berlebihan, Pram. Menyebut rumah ini tidak nyaman untuk Sakti, padahal pernikahanmu yang membuatnya ber
“Mas minta maaf,” ujar Pram lembut. Tangannya menggenggam tangan Puspita. Tatapannya sayu menatap lurus mata sang istri yang menunduk di atasnya.Ini malam pertama mereka kembali ke rumah. Seharian mendampingi Sakti yang masih labil membuat mereka tidak bisa menghabiskan waktu berdua. Karenanya, saat melihat Sakti tidur, Pram memanfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya.Ia merebahkan kepala di pangkuan sang istri, menikmati rasa nyaman yang sayang sekali dulu tidak pernah ia sadari. Jemari tangannya diselipkan di antara jari-jari tangan Puspita hingga rasa hangat menyebar dari sana, mengaliri aliran darah hingga ke seluruh tubuh. Menghadirkan kenyamanan yang luar biasa.Diciuminya punggung tangan Puspita itu sebagai ucapan rasa terima kasih tak terhingga. “Maafin Mas, Sayang,” ulangnya lagi setelah puas menciumi punggung tangan dalam genggamannya.Puspita menunduk, memperhatikan wajah Pram yang tampak lebih lelah dari biasanya.“Untuk apa, Mas?” Puspita bertanya lembut.“Untuk semua
“Mas …” panggil Puspita di antara napasnya yang memburu. Pandangan diedarkan ke sekeliling, tapi yang ia dapati hanya ruangan kosong dengan dinding-dinding bisu. Ternyata ia berada di dalam kamarnya.Puspita mengerjap dan menyeka peluh di pelipisnya. Mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Tadi pinggangnya pegal karena terlalu banyak duduk, ia meminta Sari membantunya untuk berbaring. Lalu ia sengaja memejamkan matanya agar tak terjadi kontak dengan Pram. Siapa sangka ia malah tertidur dan didatangi mimpi buruk yang capeknya terbawa ke dunia nyata.Mimpi?Ya, tadi ia bermimpi sangat mengerikan. Pram terjatuh saat ingin menyelamatkannya. Dan itu seperti sangat nyata.“Mas …” panggil Puspita lagi seraya menyibak selimutnya, lalu menurunkan kaki dari ranjang. Saat ia berusaha untuk berdiri, ia memekik dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.Puspita meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia bahkan lupa jika kakinya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Mimpi yang terasa nya
Pram mondar-mandir di kamarnya. Kalimat-kalimat Prabu yang tidak dimengertinya terus terngiang-ngiang. Ia masih tidak bisa menyimpulkan arti ucapan itu, tetapi satu hal yang ia yakini—Prabu sedang tidak baik-baik saja.Pram menengadah, lalu meremas rambutnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sejak awal Prabu memang bicara tersendat-sendat dan terdengar ragu. Tidak mungkin ia memaksa kakak iparnya itu untuk bicara lebih jelas.Lalu, ia harus bagaimana?Ingin memberi solusi? Bagaimana bisa, jika masalah yang sebenarnya saja ia tidak tahu. Prabu langsung pamit setelah mengatakan itu, dan ia tidak bisa mencegahnya.Andai berada di tanah air, mungkin ia bisa sedikit membantu. Masalahnya, jika pulang pun, bagaimana dengan Puspita?Untuk mengatakan bahwa kakaknya ada masalah saja, rasanya Pram tidak tega. Ia yakin itu hanya akan menjadi beban pikiran bagi istrinya. Pram takut Puspita tidak fokus pada pengobatannya. Belum lagi jika benar-benar ingin berpisah. Lalu, apa yang harus dilaku
Pram sedang mengemas beberapa barang ke dalam ransel di kamarnya. Ia hanya sedang bersiap jika tiba-tiba Puspita mengatakan ia harus pergi.Bukannya menyerah jika ia melakukan ini sejak dini. Sekali lagi, ia hanya sedang bersiap jika suatu saat Puspita benar-benar tak menginginkannya lagi, karena setelah dua hari semenjak ia bertanya, wanita itu belum juga memberikan jawaban.Puspita seolah menggantung hubungan mereka, membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Pram sama sekali tak marah atau menyalahkan istrinya karena ia pun dulu pernah melakukan hal yang sama. Mengabaikan Puspita dalam ketidakjelasan hubungan sejak Soraya meninggal. Membuat Puspita tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Mungkin, ini juga yang dirasakan Puspita saat itu.Semua yang terjadi padanya saat ini seolah pantulan cahaya dalam cermin. Semua berbalik padanya. Apa yang pernah ia lakukan pada Puspita dulu, kini berbalik dirinya yang harus merasakan semua ini.Pram mengembuskan napas panjang. Kini Puspita sed
"Duduklah," ujar Ny. Bimantara akhirnya, sambil menunjuk kursi di seberang mereka.Irena duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya. Perutnya terasa mual, bukan karena makanan, tapi karena suasana kaku yang menyesakkan.Pelayan datang dan mulai menyajikan makanan. Namun, bahkan setelah hidangan tersaji, tidak ada obrolan yang mengalir. Prabu sesekali mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang kesehatan Opa dan Oma, tetapi jawaban yang didapat hanya sekadarnya."Jadi bagaimana, Opa, Oma? Pendapat kalian tentang rencana kami ke depannya?" Prabu terpaksa bertanya lebih dulu karena kedua orang tua itu tak kunjung bertanya sesuatu tentang mereka.Hening beberapa saat, membuat Prabu yang menunggu menjadi tidak sabar.Irena mencuri pandang ke arah Opa Rangga. Lelaki tua itu duduk dengan postur tegak, sorot matanya masih tajam meski usianya sudah senja. Lalu, tiba-tiba, pria itu meletakkan garpunya, membuat dentingan kecil yang menarik perhatian semua orang."Prabu," suaranya terdeng
Irena menatap dirinya di depan cermin. Seorang wanita empat puluh tahun terpampang di sana dengan wajah yang sudah dipoles make-up flawless. Garis kerutan memang jauh darinya karena ia selalu menjaga pola makan dan olahraga yang teratur. Tapi rasanya, senyum sudah jarang ia sunggingkan dalam kehidupan pribadinya.Jika pun selama ini terkesan ramah dan selalu ceria, itu hanya untuk para pasien dan siapa pun yang ia temui di rumah sakit. Selebihnya, bibirnya jarang sekali tersenyum. Perpisahan dengan Radit yang berbuntut perebutan hak asuh Chiara membuat hari-harinya seolah suram.Memang ia masih bisa menemui sang anak selama Chiara dalam pengasuhan mantan suaminya itu, tetapi dalam waktu yang sangat terbatas dan tentu saja harus mengikuti aturan Radit. Tidak bisa bertemu dan menumpahkan rindu dengan leluasa.Irena sangat menyesali hari-hari yang telah lewat. Ia terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk bersama Chiara sangat sedikit. Dan itu ternyata membuat Chiara lebih dekat dengan aya
Pram mengganjal kepalanya dengan kedua tangan. Kini ia berbaring di sofa dengan tatapan lurus ke langit-langit. Ada banyak hal berputar-putar di kepalanya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.Puspita tidak memberikan jawaban apa pun. Dan ia memang sengaja memberikan waktu untuk istrinya itu untuk memikirkan masak-masak keputusannya. Dan apa pun nanti yang akan dikatakan wanita itu, ia harus siap. Bahkan hal terburuk sekalipun.Pram tidak ingin lagi menyakiti hati wanita itu. Sudah terlalu sering ia membuat Puspita terluka. Dan jika dengan menjauh darinya bisa membuat wanita itu bahagia, akan ia lakukan. Tidak ada lagi paksaan, tidak akan ada lagi drama. Ia juga tak akan menggunakan Prily sebagai alasan untuk menahan Puspita tetap di sisinya.Prily harus bisa tanpa Puspita jika wanita itu sudah tak lagi menghendaki mereka di sisinya. Dan tugasnya adalah membuat Prily mengerti, walaupun ia belum tahu apa yang harus ia lakukan nanti untuk membuat anak itu lepas.Entah sudah berapa b
Pramudya berjongkok di hadapan Prily, tangannya mengelus lembut punggung gadis kecil itu yang terus memeluk Puspita erat. Wajahnya berusaha menampilkan kelembutan, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Rasa bersalah.Selama perjalanan mereka menuju unit, Prily bahkan terus berjalan di samping kursi roda Puspita, seolah merasakan firasat yang kurang baik. Lalu, setelah mereka tiba, ia sama sekali tak ingin melepaskan wanita yang sudah dianggapnya ibu kandung itu."Sayang, sama Mbak Sari dulu, ya? Mama mau istirahat dulu biar cepat sembuh," bujuk Pram dengan suara selembut mungkin.Prily bukannya melepaskan pelukan di pinggang Puspita, tetapi justru semakin erat. Kepalanya menggeleng dan menyuruk."Lily butuh tidur siang supaya nanti bisa main lagi, ya. Ayo ikut Mbak Sari, ganti baju dulu, keringatan," lanjut Pram.Prily menggeleng semakin kuat, wajah mungilnya menekan perut Puspita. "Nggak mau. Lily mau tidur sama Mama."Puspita mengusap kepala Prily dengan tatapan l
Puspita merasakan dunianya berguncang. Kata-kata Haidar seperti pukulan telak yang mengusik keyakinannya selama ini. Ia selalu berpikir bahwa Haidar pergi meninggalkannya begitu saja, tetapi jika yang dikatakan pria itu benar, maka ada seseorang yang dengan sengaja menjauhkan mereka.“Ini tidak mungkin,” gumamnya lirih, matanya menatap tajam ke arah Haidar. “Bukannya selama ini Akang yang ninggalin aku? Akang yang membatalkan rencana kita? Akang yang mundur karena orang tua Akang tidak setuju karena aku seorang janda dan hanya wanita miskin?”“Itu tidak benar. Orang tua Akang bahkan terus menanyakan janji Akang yang akan membawa kamu pada mereka. Mereka sangat ingin bertemu kamu, Pita. Mereka mengira Akang sedang berhalusinasi tentang kamu karena kenyataannya kamu tidak ada.” Haidar menjelaskan dengan suaranya yang serak.Puspita menggeleng keras. Matanya memanas. “Ini tidak mungkin, Kang. Tidak mungkin … Akang yang ninggalin aku.”Haidar mengembuskan napas panjang. "Tapi kenyataannya
Malam ini, kamar yang biasanya terasa hangat oleh percakapan ringan dan tawa kecil kini diselimuti kesunyian yang menyesakkan. Puspita sudah lebih dulu berbaring, membelakangi Pramudya, seolah menutup dirinya dari segala bentuk interaksi. Biasanya, sebelum tidur, ia akan menunggu Pram mendekat, mengusap punggungnya yang lelah, lalu mereka akan bercanda—entah soal hal-hal kecil yang terjadi hari itu atau tentang Prily yang selalu meminta perhatian berlebihan padahal Puspita belum pulih. Tapi malam ini berbeda.Pramudya berdiri di ambang tempat tidur, menatap punggung Puspita yang tak bergerak. Napasnya teratur, tapi Pram tahu istrinya belum tidur. Sejenak, ia ingin mengulurkan tangan, menyentuh bahunya, mengembalikan kebiasaan mereka yang telah terbangun begitu lama. Namun, sesuatu yang tak kasatmata menghalangi langkahnya. Ada dinding tak terlihat yang kini memisahkan mereka.Tanpa suara, Pram naik ke tempat tidur, berbaring dengan posisi yang berlawanan. Biasanya, ia akan langsung me