Yang menang pulsa di bab sebelumnya kak Erni Rahmalisnawati dan Mak Kenzo Nova Yandi. silakan DM di IGe akun kenie_rosemala, ya. yang lain hanya kurang cepat saja. terima kasih suah membaca buku ini, next saya masih akan mengadakan give away lagi
Suara tegas menggema di malam yang sunyi, membuat tubuh Sakti mengejang ketakutan. Pemuda itu menoleh perlahan, mendapati sosok tinggi tegap yang berdiri dengan lampu menyilaukan. Tatapannya penuh amarah. Arya—ayahnya—berdiri mematung, namun suaranya yang baru saja berteriak masih menggema di benak Sakti.“Sakti! Apa yang kamu lakukan?” Lagi, bentakan Arya menggema, membuat tubuh Sakti terlonjak sebelum akhirnya mengkerut. Uluran tangannya terjatuh, hingga Pram gagal menangkapnya.Ketakutan merayapi hati Sakti. Tangannya yang tadi hampir menyentuh Pram kini justru kembali ditarik. Wajahnya memucat, gerakan dadanya berat dan napasnya tersengal. Sadar atau tidak, kakinya melangkah mundur, semakin mendekat ke tepi atap. Pram yang menyaksikan itu langsung panik.“Sakti, jangan! Tolong, Dek, jangan lakukan ini!” suara Pram pecah, hampir seperti tangisan. Tangannya gemetar terulur ingin meraih sang adik.Namun, tatapan Sakti kembali kosong. Keputusasaan kembali menguasainya, bercampur denga
“Kamu yakin, Pram?” tanya Arya pagi ini dengan raut wajah keras.“Tentu saja, itu yang terbaik buat Sakti.” Pram menjawab acuh setelah meneguk segelas air.Di meja makan itu hanya ada dirinya, sang ayah, dan Imel yang herannya tidak pernah pulang. Alasan keluarganya masih di luar negeri dan terbiasa menginap sejak Hasna masih ada selalu digunakan waktu itu. Alasan yang tidak bisa diterima akal Pram, tetapi sang ayah selalu membelanya.“Ayah hanya takut Sakti akan menyusahkanmu jika tinggal di sana.” Kali ini suara Arya lebih lembut.“Tidak apa-apa, Yah. Jika bukan aku kakaknya yang repot, mau siapa lagi? Sakti saat ini sangat butuh dukungan, kasih sayang, dan terutama rasa nyaman. Aku yakin di rumahku aku leluasa memberikannya.”“Apa maksudmu di sini tidak?”“Kejadian semalam menjadi pelajaran, Yah. Sakti bahkan tidak nyaman di rumahnya sendiri, di rumah orang tuanya.”“Kamu terlalu berlebihan, Pram. Menyebut rumah ini tidak nyaman untuk Sakti, padahal pernikahanmu yang membuatnya ber
“Mas minta maaf,” ujar Pram lembut. Tangannya menggenggam tangan Puspita. Tatapannya sayu menatap lurus mata sang istri yang menunduk di atasnya.Ini malam pertama mereka kembali ke rumah. Seharian mendampingi Sakti yang masih labil membuat mereka tidak bisa menghabiskan waktu berdua. Karenanya, saat melihat Sakti tidur, Pram memanfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya.Ia merebahkan kepala di pangkuan sang istri, menikmati rasa nyaman yang sayang sekali dulu tidak pernah ia sadari. Jemari tangannya diselipkan di antara jari-jari tangan Puspita hingga rasa hangat menyebar dari sana, mengaliri aliran darah hingga ke seluruh tubuh. Menghadirkan kenyamanan yang luar biasa.Diciuminya punggung tangan Puspita itu sebagai ucapan rasa terima kasih tak terhingga. “Maafin Mas, Sayang,” ulangnya lagi setelah puas menciumi punggung tangan dalam genggamannya.Puspita menunduk, memperhatikan wajah Pram yang tampak lebih lelah dari biasanya.“Untuk apa, Mas?” Puspita bertanya lembut.“Untuk semua
Puspita terhenyak mendengar kalimat itu. Terlebih bibir itu tersenyum tapi matanya masih tertutup. Ia gegas menutup mulut dengan kedua tangan. Fix, ia yakin Pram sebenarnya tidak tidur, hanya pura-pura saja.Wajah Puspita seketika panas. Mau disimpan di mana mukanya? Pram tahu kalau ia baru saja mencuri ciuman. Padahal ia belum pernah melakukannya, tapi rasa penasaran mendorongnya untuk bereksperimen, ia bahkan hampir menggigit bibir Pram.Puspita menggerakkan kakinya, dengan maksud agar Pram bangkit dari pangkuannya.Pram membuka matanya, menatap langsung ke arah istrinya yang masih membeku di tempat. Meski wajahnya hanya terlihat sebagian karena pemiliknya masih menutup mulut, namun semburat merah terlihat jelas di sana. Matanya membelalak.Pram tersenyum geli. Kemudian bangkit dan duduk di samping wanita yang malah buru-buru bangkit dari sofa, lalu melarikan diri.Pram menunduk sambil menggeleng. Senyum geli tak tertahankan. Gemas rasanya dengan sikap malu-malu istri kecilnya. Pusp
"Sayang... bangun, sudah subuh." Suara mengalun membangunkan Puspita disertai dengan sentuhan lembut di pipinya.Puspita mengerjap dan menggeliat."Sayang… sudah subuh. Bangun dulu, yuk. Mandi dulu." Lagi, suara itu terdengar. Mengalun bagai melodi indah yang sampai kapan pun tidak akan Puspita lupa. Suara Pram yang membangunkannya di pagi pertama setelah penyatuan mereka.Puspita tersenyum masih dengan mata terpejam, tetapi beberapa detik setelahnya ia bangkit dengan mendadak. Bukan apa-apa. Ia baru menyadari suaminya sudah lebih dulu bangun.Puspita mengucek matanya, mengerjap berulang kali hingga wajah Pram yang sudah terlihat segar, tampak sedang tersenyum. Pria itu duduk di sisi ranjang dengan sudah berpakaian rapi. Sementara dirinya?"Aaa…" Puspita memekik seraya menarik selimut untuk menutupi dadanya saat menyadari dirinya duduk dengan tubuh polosan. Seketika rasa malu menyeruak di dadanya. Selimut bukan hanya menutupi dadanya, tapi kini juga ia tutupkan ke wajahnya. Puspita be
“Muka kamu merah,” bisik Pram pagi ini di meja makan, hingga membuat pipi Puspita yang memang sudah merona bertambah merah. “Jangan bilang masih malu. Kalau masih malu juga nanti Mas buka lagi bajunya.”“Ssttt!” Puspita mendesis dan melotot. Pelototan yang sama sekali tidak menakutkan. Malah membuat Pram semakin gemas dengan istrinya itu karena matanya yang bundar kecil dipaksa melebar.“Waktunya makan, jangan berisik!” ujar Puspita juga dengan berbisik. Lalu mulai menuangkan sarapan di beberapa piring. Sementara Pram langsung duduk sambil tersenyum.Bukan tanpa alasan jika Puspita kesal pada suaminya itu, di sana selain ada Prily dan Mbak Sari, juga ada Sakti yang perasaannya masih sangat sensitif hingga harus pintar-pintar mereka jaga.“Mau makan soto?” tanya Puspita pada Sakti yang hanya dibalas dengan anggukan samar dan singkat. Wanita itu menyajikan semangkuk soto yang masih mengepulkan asap tipis ke hadapan adik iparnya itu.“Mau juga, dong.” Pram tidak mau kalah, ia menyodorkan
Pram mendengus, mencoba menahan emosi yang perlahan mendidih. "Calon suami?”“Ya, Sakti calon suamiku, bukan?” Imel berkata dengan tenangnya. Kedua tangannya bahkan dilipat di dada.“Itu kalau rencana tidak berubah.”“Maksud kamu apa, Mas Pram?” Imel melepas tangannya. Tatapan curiga mulai berpendar di matanya.Kini, Pram dengan santai memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana. “Kondisi kejiwaan Sakti masih belum sepenuhnya pulih. Ia tidak mungkin menikah dalam kondisi seperti itu, kan?”“Maksud Mas Pram, aku harus menunggu gitu?”Pram menatap tajam wanita yang di matanya begitu memaksa. “Menurutmu?”“Sampai berapa lama, Mas? Ingat, Sakti sudah menodaiku, dan sebagai laki-laki dia harus bertanggung jawab.”Pram kembali mendengus. Lalu tatapan tajam itu berubah menjadi tatapan menilai.“Kenapa kamu begitu ngotot ingin Sakti menikahimu? Padahal kamu sendiri yang bilang kalau Sakti bukan siapa-siapa. Dia hanya anak ingusan yang tidak akan sanggup memberimu nafkah? Apa ada tujuan la
“Sayang, hari ini Mas harus ke kantor sebentar.” Dengan hanya menggunakan handuk, Pram berucap begitu keluar dari kamar mandi. Sambil menggosok rambutnya yang basah, ia menatap wanita yang masih berbaring di ranjang.Ia tahu wanita itu sudah bangun, terbukti kelopak matanya bergerak-gerak hingga bulu mata lentiknya ikut bergoyang. Hanya saja wanita itu masih berpura-pura tidur.Dan berhasil, kalimatnya barusan bukan hanya membuat wanita itu membuka mata, tapi juga bangkit dari tidurnya.“Ke kantor?” tanyanya dengan mata membola.Pria yang menghentikan gosokan di rambutnya itu mengangguk sambil menahan senyum. Gemas melihat ekspresi wanitanya. “Ya.”Wanita itu menyingkap selimut, lalu turun dari ranjang. Tadi setelah salat subuh, mereka kembali terlibat pergumulan panas hingga rasanya enggan turun dari tempat tidur. Tapi mendengar suaminya akan pergi, ia bergegas bangkit.“Mas, katanya nggak ke kantor dulu selama seminggu.” Bibir itu maju.Pram menghela napas. “Iya, seharusnya begitu.
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p
“Din … kamu lihat dasiku yang navy ada titik kecil putih, tidak?” Suara Prabu terdengar dari kamar, sedikit meninggi karena jarak kamar tidur dan dapur lumayan jauh.Andini sedang berkutat di dapur. Tangannya sibuk mengaduk telur orak-arik sambil sesekali melirik roti yang mulai kecokelatan di toaster. Aroma kopi menguar dari cangkir di sebelahnya. Pagi ini seperti medan perang baginya. Mbak Sri—ART mereka—kebetulan sedang cuti.Kompor menyala, toaster bunyi klik, air galon tinggal sedikit, dan... kakinya hampir terpeleset karena butter yang tadi tumpah dari spatula.Sebagai ibu rumah tangga baru yang belum berpengalaman—karena tiba-tiba menjadi seorang istri dan ibu—tentu saja ini perjuangan tersendiri bagi Andini. Ia yang terbiasa hanya mengurus dirinya sendiri, kini harus membagi tenaga untuk mengurus dan menyiapkan keperluan orang lain.Keadaan jadi sangat riweuh karena Prabu yang sudah terbiasa segala dilayani, dan juga Chiara yang belum bisa mengurus dirinya sendiri—minta dilaya