"Sayang... bangun, sudah subuh." Suara mengalun membangunkan Puspita disertai dengan sentuhan lembut di pipinya.Puspita mengerjap dan menggeliat."Sayang… sudah subuh. Bangun dulu, yuk. Mandi dulu." Lagi, suara itu terdengar. Mengalun bagai melodi indah yang sampai kapan pun tidak akan Puspita lupa. Suara Pram yang membangunkannya di pagi pertama setelah penyatuan mereka.Puspita tersenyum masih dengan mata terpejam, tetapi beberapa detik setelahnya ia bangkit dengan mendadak. Bukan apa-apa. Ia baru menyadari suaminya sudah lebih dulu bangun.Puspita mengucek matanya, mengerjap berulang kali hingga wajah Pram yang sudah terlihat segar, tampak sedang tersenyum. Pria itu duduk di sisi ranjang dengan sudah berpakaian rapi. Sementara dirinya?"Aaa…" Puspita memekik seraya menarik selimut untuk menutupi dadanya saat menyadari dirinya duduk dengan tubuh polosan. Seketika rasa malu menyeruak di dadanya. Selimut bukan hanya menutupi dadanya, tapi kini juga ia tutupkan ke wajahnya. Puspita be
“Muka kamu merah,” bisik Pram pagi ini di meja makan, hingga membuat pipi Puspita yang memang sudah merona bertambah merah. “Jangan bilang masih malu. Kalau masih malu juga nanti Mas buka lagi bajunya.”“Ssttt!” Puspita mendesis dan melotot. Pelototan yang sama sekali tidak menakutkan. Malah membuat Pram semakin gemas dengan istrinya itu karena matanya yang bundar kecil dipaksa melebar.“Waktunya makan, jangan berisik!” ujar Puspita juga dengan berbisik. Lalu mulai menuangkan sarapan di beberapa piring. Sementara Pram langsung duduk sambil tersenyum.Bukan tanpa alasan jika Puspita kesal pada suaminya itu, di sana selain ada Prily dan Mbak Sari, juga ada Sakti yang perasaannya masih sangat sensitif hingga harus pintar-pintar mereka jaga.“Mau makan soto?” tanya Puspita pada Sakti yang hanya dibalas dengan anggukan samar dan singkat. Wanita itu menyajikan semangkuk soto yang masih mengepulkan asap tipis ke hadapan adik iparnya itu.“Mau juga, dong.” Pram tidak mau kalah, ia menyodorkan
Pram mendengus, mencoba menahan emosi yang perlahan mendidih. "Calon suami?”“Ya, Sakti calon suamiku, bukan?” Imel berkata dengan tenangnya. Kedua tangannya bahkan dilipat di dada.“Itu kalau rencana tidak berubah.”“Maksud kamu apa, Mas Pram?” Imel melepas tangannya. Tatapan curiga mulai berpendar di matanya.Kini, Pram dengan santai memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana. “Kondisi kejiwaan Sakti masih belum sepenuhnya pulih. Ia tidak mungkin menikah dalam kondisi seperti itu, kan?”“Maksud Mas Pram, aku harus menunggu gitu?”Pram menatap tajam wanita yang di matanya begitu memaksa. “Menurutmu?”“Sampai berapa lama, Mas? Ingat, Sakti sudah menodaiku, dan sebagai laki-laki dia harus bertanggung jawab.”Pram kembali mendengus. Lalu tatapan tajam itu berubah menjadi tatapan menilai.“Kenapa kamu begitu ngotot ingin Sakti menikahimu? Padahal kamu sendiri yang bilang kalau Sakti bukan siapa-siapa. Dia hanya anak ingusan yang tidak akan sanggup memberimu nafkah? Apa ada tujuan la
“Sayang, hari ini Mas harus ke kantor sebentar.” Dengan hanya menggunakan handuk, Pram berucap begitu keluar dari kamar mandi. Sambil menggosok rambutnya yang basah, ia menatap wanita yang masih berbaring di ranjang.Ia tahu wanita itu sudah bangun, terbukti kelopak matanya bergerak-gerak hingga bulu mata lentiknya ikut bergoyang. Hanya saja wanita itu masih berpura-pura tidur.Dan berhasil, kalimatnya barusan bukan hanya membuat wanita itu membuka mata, tapi juga bangkit dari tidurnya.“Ke kantor?” tanyanya dengan mata membola.Pria yang menghentikan gosokan di rambutnya itu mengangguk sambil menahan senyum. Gemas melihat ekspresi wanitanya. “Ya.”Wanita itu menyingkap selimut, lalu turun dari ranjang. Tadi setelah salat subuh, mereka kembali terlibat pergumulan panas hingga rasanya enggan turun dari tempat tidur. Tapi mendengar suaminya akan pergi, ia bergegas bangkit.“Mas, katanya nggak ke kantor dulu selama seminggu.” Bibir itu maju.Pram menghela napas. “Iya, seharusnya begitu.
Pram melirik jam tangannya saat mobilnya mulai meninggalkan area perusahaannya. Sudah cukup sore, dan ini sudah molor dari waktu yang ia janjikan pada Puspita. Rapat mendadak itu memakan waktu cukup lama, karena ternyata perusahaannya sedang menghadapi persoalan serius. Sabotase itu seperti terorganisir dengan rapi dan ini tentu saja mengancam kelangsungan perusahaannya.Pram mengusap wajahnya yang menengadah. Ingin rasanya langsung pulang, karena dengan menemui keluarga kecilnya saja beban itu akan sedikit berkurang, namun ia tetap harus ke rumah orang tuanya dulu. Persoalan Sakti juga sama-sama urgen dan menuntut penyelesaian sesegera mungkin.Pram ingin Sakti kembali ke sekolah tanpa beban. Jangan sampai sang adik kembali ke sana dengan membawa banyak masalah.Waktu sudah menunjukkan pukul 16.15 saat mobilnya memasuki pelataran rumah masa kecilnya itu. Ia bergegas keluar dari mobil dan menuju pintu depan. Ia harus buru-buru karena terlalu lama meninggalkan rumah. Bagaimanapun, kond
Tubuh Pram bergetar hebat, seolah aliran darahnya mendidih dan siap meledak kapan saja. Matanya tak bisa berpaling dari pemandangan menjijikkan di hadapannya. Wanita itu semakin bergerak liar diiringi suara-suara erangan menjijikkan dari mulutnya, sementara sang ayah berbaring memejam, sesekali menggeliat mengimbangi gerakan liar wanita. Kedua tangannya memegangi pinggul wanitanya.Saking panasnya pergumulan mereka, kedua orang itu sama sekali tak menyadari kehadiran Pram. Ruangan yang besar dan pintu yang cukup jauh dari ranjang menjadi alasan lainnya.Napas Pram memburu, dadanya naik turun mencoba menahan amarah yang membakar habis logikanya. Wajah mendiang sang ibu berkelebat begitu saja di pikirannya.Ini terlalu jauh. Terlalu keji.Dengan gerakan cepat, Pram meraih vas bunga di atas meja kecil dekat pintu. Lalu tanpa pikir panjang, ia mengangkat benda itu dan melemparkannya ke lantai dengan kekuatan penuh.Pranggg!Suara kaca yang pecah memenuhi ruangan, mengejutkan kedua manusia
Langit senja mulai berubah menjadi gelap ketika Pram akhirnya tiba di pemakaman. Napasnya masih memburu, pikirannya kacau balau. Di hadapannya, makam sang ibu berdiri diam, seperti saksi bisu atas segala kemunafikan dan kebusukan yang baru saja ia temukan.Pram berlutut di atas tanah basah, kebetulan baru saja hujan reda. Udara dingin terasa menyusup hingga ke tulang. Jemarinya yang bergetar menyentuh nisan sederhana itu. Mata yang sebelumnya dipenuhi amarah kini memerah, basah oleh air mata.“Ibu...,” bisiknya serak, hampir tidak terdengar. “Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak pernah cerita apa-apa padaku? Kenapa harus menyimpan semuanya sendiri?”Air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Pram merasa seolah-olah sang ibu masih ada di sana, mendengarkan keluhannya.“Aku yakin, Ibu tahu semuanya. Tentang Ayah, tentang ….” Ah, Pram menggeleng. Rasanya terlalu jijik menyebut nama perempuan itu. Perempuan yang bagi Pram sangat rendah dan menjijikkan. Bagaimana bisa perempuan itu berhubungan badan de
Puspita mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya pucat, matanya tak lepas dari ponselnya yang sejak tadi ia genggam erat. Berkali-kali ia mencoba menelepon dan mengirim pesan pada Pram, namun hasilnya nihil.“Kenapa tidak diangkat juga?” gumamnya panik. Tangannya gemetar, membayangkan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.Ia bahkan sudah menghubungi kantor Pram. Namun, jawaban dari resepsionis semakin membuatnya cemas.“Pak Pramudya sudah pulang sejak sore, Bu,” kata resepsionis dengan nada sopan, namun itu tidak membantu mengurangi rasa khawatir Puspita.Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam. Hatinya terasa seperti diaduk-aduk. Ia tak bisa duduk tenang. Bayangan Pram yang mungkin terluka atau terjebak dalam bahaya terus menghantui pikirannya. Entah kenapa pikiran buruk selalu menghantui. Mungkin efek banyak kejadian buruk menghampirinya.“Mas, di mana kamu?” bisiknya pelan, suara itu terdengar lebih seperti doa. Ponsel digenggam di dadanya. Harusnya Pram memberi kabar jika ak
Puspita terdiam cukup lama. Terlalu lama bahkan, hingga membuat Sari mulai takut jika Puspita akan menyetujui permintaan Haidar. Permintaan yang tidak masuk akal dan tidak tahu malu menurut pengasuh itu. Bagaimana bisa seorang laki-laki berkata demikian kepada wanita bersuami? Apa pun yang terjadi pada mereka di masa lalu, bukankah itu sudah berlalu?Kenapa Puspita begitu mudah goyah dan membiarkan dirinya terjebak dalam lingkaran rasa yang tidak seharusnya? Bukankah yang ia lihat selama ini pernikahannya dengan Pram sangat bahagia? Pram bahkan memperlakukannya bak ratu, terlepas dari berkali-kali cobaan menerpa biduk mereka.Sari nyaris tak mengedipkan mata menunggu Puspita menjawab. Ia takut melewatkan apa pun yang akan keluar dari mulut majikannya. Ditatapnya Puspita yang masih membisu dan Haidar yang menunggu penuh harap bergantian, hingga ….“Maaf, Kang … aku tidak bisa,” ucap Puspita akhirnya, dengan suara yang pelan tetapi penuh keteguhan.Haidar mengerjapkan mata, seakan tidak
“Ibu yakin?” tanya Sari menatap ragu saat Puspita mengatakan ingin bertemu Haidar. Karena ia sangat tahu apa yang menyebabkan hubungan majikannya berantakan seperti ini.Dan kini, saat laki-laki itu datang lagi, Puspita masih mengatakan ingin menemuinya.“Iya, tapi antar aku, ya. Temani aku bicara dengannya.”Sari tertegun sebelum akhirnya mengangguk, lalu mendorong kursi roda menuju pintu. Farah yang tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi dengan Puspita, memutuskan mendampinginya juga untuk turun.Sepanjang perjalanan menuju lantai dasar di mana Haidar menunggu, tidak ada yang bicara sepatah kata pun. Baik Sari maupun Farah, apalagi Puspita, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sari ingin melarang dan memperingatkan, tetapi ia tidak kuasa. Sementara Farah yang melihat wajah Puspita dan Sari sangat serius, tidak berani bertanya karena ia orang baru. Baru beberapa menit lalu mengenal Puspita.Lalu Puspita, kepalanya penuh dengan rangkaian kalimat yang sudah ia susun.Tiba di
Puspita menggenggam ponselnya erat, berulang kali mencoba menghubungi Prabu. Namun, hasilnya tetap sama—tidak bisa dihubungi. Ia berusaha mengatur napas, tetapi dadanya terasa sesak. Pikirannya berkecamuk, menebak-nebak apa yang sedang terjadi di tanah air.Oma masuk rumah sakit? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia tidak tahu apa pun? Kenapa Prabu tidak menjawab teleponnya?Ia ingin pulang. Ia ingin segera kembali ke tanah air, ke keluarganya. Namun, tubuhnya masih lemah. Kakinya belum bisa digerakkan dengan baik. Luka di wajahnya belum sepenuhnya pulih. Bagaimana mungkin ia kembali dalam keadaan seperti ini? Bahkan untuk berdiri pun masih terasa sulit.Air matanya mengalir deras, jatuh ke pangkuannya. Kepalanya mulai berdenyut karena tekanan yang ia rasakan semakin berat. Ia ingin bertanya kepada Opa, tapi pria itu pasti sedang sibuk menjaga Oma di rumah sakit. Tidak mungkin ia mengganggu.Ketidakberdayaan itu menusuknya dari segala arah. Ia merasa sendirian, terjebak di negeri o
Puspita duduk di kursi rodanya dengan tatapan kosong. Ruang terapi di Mount Elizabeth Hospital yang biasanya penuh semangat kini terasa dingin dan sepi. Sari berdiri di sisinya, memberikan dukungan moral, tetapi itu tidak cukup. Biasanya, Pram yang ada di sana. Biasanya, Pram yang menggenggam tangannya sebelum terapi dimulai, memberikan kata-kata penyemangat dengan suara lembutnya.Hari ini, Pram tidak ada.Puspita menggigit bibirnya, menahan isakan yang mengancam pecah. Sejak Pram pergi bersama Prily kemarin, ia belum sekali pun mendengar kabarnya. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Pram benar-benar menghilang dari kehidupannya dalam sekejap. Dan itu sangat menyakitkan."Bu, kita mulai, ya?" sapa terapis yang sudah bersiap membantunya menjalani sesi latihan hari ini.Puspita hanya mengangguk lemah. Ia memaksa tubuhnya untuk fokus, tetapi hatinya berantakan. Setiap gerakan yang biasanya ia lakukan dengan penuh usaha kini terasa lebih berat dari sebelumnya. Ketika kakinya mencoba berg
“Mas …” panggil Puspita di antara napasnya yang memburu. Pandangan diedarkan ke sekeliling, tapi yang ia dapati hanya ruangan kosong dengan dinding-dinding bisu. Ternyata ia berada di dalam kamarnya.Puspita mengerjap dan menyeka peluh di pelipisnya. Mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Tadi pinggangnya pegal karena terlalu banyak duduk, ia meminta Sari membantunya untuk berbaring. Lalu ia sengaja memejamkan matanya agar tak terjadi kontak dengan Pram. Siapa sangka ia malah tertidur dan didatangi mimpi buruk yang capeknya terbawa ke dunia nyata.Mimpi?Ya, tadi ia bermimpi sangat mengerikan. Pram terjatuh saat ingin menyelamatkannya. Dan itu seperti sangat nyata.“Mas …” panggil Puspita lagi seraya menyibak selimutnya, lalu menurunkan kaki dari ranjang. Saat ia berusaha untuk berdiri, ia memekik dan tubuhnya langsung ambruk ke lantai.Puspita meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia bahkan lupa jika kakinya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Mimpi yang terasa nya
Pram mondar-mandir di kamarnya. Kalimat-kalimat Prabu yang tidak dimengertinya terus terngiang-ngiang. Ia masih tidak bisa menyimpulkan arti ucapan itu, tetapi satu hal yang ia yakini—Prabu sedang tidak baik-baik saja.Pram menengadah, lalu meremas rambutnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sejak awal Prabu memang bicara tersendat-sendat dan terdengar ragu. Tidak mungkin ia memaksa kakak iparnya itu untuk bicara lebih jelas.Lalu, ia harus bagaimana?Ingin memberi solusi? Bagaimana bisa, jika masalah yang sebenarnya saja ia tidak tahu. Prabu langsung pamit setelah mengatakan itu, dan ia tidak bisa mencegahnya.Andai berada di tanah air, mungkin ia bisa sedikit membantu. Masalahnya, jika pulang pun, bagaimana dengan Puspita?Untuk mengatakan bahwa kakaknya ada masalah saja, rasanya Pram tidak tega. Ia yakin itu hanya akan menjadi beban pikiran bagi istrinya. Pram takut Puspita tidak fokus pada pengobatannya. Belum lagi jika benar-benar ingin berpisah. Lalu, apa yang harus dilaku
Pram sedang mengemas beberapa barang ke dalam ransel di kamarnya. Ia hanya sedang bersiap jika tiba-tiba Puspita mengatakan ia harus pergi.Bukannya menyerah jika ia melakukan ini sejak dini. Sekali lagi, ia hanya sedang bersiap jika suatu saat Puspita benar-benar tak menginginkannya lagi, karena setelah dua hari semenjak ia bertanya, wanita itu belum juga memberikan jawaban.Puspita seolah menggantung hubungan mereka, membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Pram sama sekali tak marah atau menyalahkan istrinya karena ia pun dulu pernah melakukan hal yang sama. Mengabaikan Puspita dalam ketidakjelasan hubungan sejak Soraya meninggal. Membuat Puspita tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Mungkin, ini juga yang dirasakan Puspita saat itu.Semua yang terjadi padanya saat ini seolah pantulan cahaya dalam cermin. Semua berbalik padanya. Apa yang pernah ia lakukan pada Puspita dulu, kini berbalik dirinya yang harus merasakan semua ini.Pram mengembuskan napas panjang. Kini Puspita sed
"Duduklah," ujar Ny. Bimantara akhirnya, sambil menunjuk kursi di seberang mereka.Irena duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya. Perutnya terasa mual, bukan karena makanan, tapi karena suasana kaku yang menyesakkan.Pelayan datang dan mulai menyajikan makanan. Namun, bahkan setelah hidangan tersaji, tidak ada obrolan yang mengalir. Prabu sesekali mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang kesehatan Opa dan Oma, tetapi jawaban yang didapat hanya sekadarnya."Jadi bagaimana, Opa, Oma? Pendapat kalian tentang rencana kami ke depannya?" Prabu terpaksa bertanya lebih dulu karena kedua orang tua itu tak kunjung bertanya sesuatu tentang mereka.Hening beberapa saat, membuat Prabu yang menunggu menjadi tidak sabar.Irena mencuri pandang ke arah Opa Rangga. Lelaki tua itu duduk dengan postur tegak, sorot matanya masih tajam meski usianya sudah senja. Lalu, tiba-tiba, pria itu meletakkan garpunya, membuat dentingan kecil yang menarik perhatian semua orang."Prabu," suaranya terdeng
Irena menatap dirinya di depan cermin. Seorang wanita empat puluh tahun terpampang di sana dengan wajah yang sudah dipoles make-up flawless. Garis kerutan memang jauh darinya karena ia selalu menjaga pola makan dan olahraga yang teratur. Tapi rasanya, senyum sudah jarang ia sunggingkan dalam kehidupan pribadinya.Jika pun selama ini terkesan ramah dan selalu ceria, itu hanya untuk para pasien dan siapa pun yang ia temui di rumah sakit. Selebihnya, bibirnya jarang sekali tersenyum. Perpisahan dengan Radit yang berbuntut perebutan hak asuh Chiara membuat hari-harinya seolah suram.Memang ia masih bisa menemui sang anak selama Chiara dalam pengasuhan mantan suaminya itu, tetapi dalam waktu yang sangat terbatas dan tentu saja harus mengikuti aturan Radit. Tidak bisa bertemu dan menumpahkan rindu dengan leluasa.Irena sangat menyesali hari-hari yang telah lewat. Ia terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk bersama Chiara sangat sedikit. Dan itu ternyata membuat Chiara lebih dekat dengan aya