Pram menatap rumah sakit besar itu dengan perasaan berkecamuk. Bayangan Puspita dan Prily yang ditinggalkannya di vila terus melintas. Tapi kini, ia sudah sampai di sini, melangkah masuk ke tempat di mana ibunya dirawat.Sosok pria paruh baya tersandar lemas di kursi tak jauh dari ruangan dengan papan besar bertuliskan ICU di atas pintunya.“Ayah…” Pram langsung menyapa begitu berdiri di hadapan pria yang matanya terpejam itu.Pria itu membuka mata, kemudian menegakkan tubuhnya. Matanya tampak lelah, namun ada sesuatu yang tidak biasa dalam sorotnya.“Kenapa lama sekali, Pram?” tanyanya lemah dengan raut kecewa.“Ini akhir pekan, Yah. Jalanan ramai dua arah ke Puncak. Maaf, aku baru bisa datang. Bagaimana kondisi Ibu?”“Masih belum sadar.”“Kenapa ini bisa terjadi, Yah? Kenapa Ibu bisa sampai seperti ini?”Ayahnya menarik napas panjang sebelum menjawab. “Pagi tadi… Ibumu terjatuh di kamar mandi. Ayah tidak mendengar apa-apa hingga pembantu memanggil. Saat kudapati dia, tubuhnya sudah
“Siapa orangnya, Pak?” tanya Pram tidak sabar. Ia kini duduk berhadapan dengan seorang pria usia menjelang setengah abad.“Kita belum mendapatkan informasi, tapi sepertinya orang yang cukup berpengaruh di kota ini.”Pram memejam sebentar. “Apa itu keluarganya?”“Sepertinya keluarganya masih di luar negeri. Bahkan kasus ini terkesan ditutupi dari keluarganya.”“Jadi maksud Bapak yang mengeluarkan Imel bukan dari keluarganya?”“Ya, sepertinya orang yang tidak ke mana pun dalam beberapa hari belakangan.”Pram mengembuskan napas kasar. “Begitu mudah hukum dibeli, ya, Pak.”“Karena yang beli punya uang dan kuasa.”“Aku mengkhawatirkan keluargaku, Pak. Anak dan calon istriku di Puncak tanpa aku. Aku takut penyerangan serupa terjadi lagi.”“Tapi Pak Pram sudah mengetatkan penjagaan, bukan?”“Ya, tapi tetap saja aku khawatir. Oh, ya. Aku sudah membawa surat-surat untuk melengkapi berkas pengajuan pernikahan, Pak. Apa bisa segera diurus?”“Tentu saja, saya akan segera mengurusnya agar pernikah
Pramudya berdiri di depan pusara sang ibu, tubuhnya bergetar hebat. Meski mentari pagi memancarkan sinarnya, dingin dari tanah merah yang basah terasa menusuk hingga ke tulang. Di sekelilingnya, kerabat dan handai taulan tampak ikut berbela sungkawa, tapi Pram tahu, tidak ada yang benar-benar merasakan kehampaan seperti yang ia rasakan.“Ibu,” bisiknya serak, matanya terpaku pada nisan yang baru saja dipasang. Air mata mengalir, tetapi ia tidak mengusapnya. Biarkan saja, pikirnya. Biarkan rasa kehilangan ini keluar, meski sedikit saja bisa mengurangi sesak di dada.Hubungannya yang tidak harmonis dengan sang ibu sejak ia menikah, membuatnya menyesalkan kepergian wanita itu secepat ini. Di saat ia belum sempat memperbaiki semuanya dan meyakinkan jika pilihannya tidak salah, sang ibu keburu pergi. Namun, Pram tidak pernah menyesali pernikahannya.Pernikahannya dengan Soraya dan Puspita adalah pilihan yang ia anggap tidak salah. Hanya satu yang ia sesalkan: belum sempat menunjukkan jika
Pram merogoh kantong bajunya, mengeluarkan ponsel dari sana. Sibuk mengurus kematian sang ibu sejak di rumah sakit hingga prosesi pemakaman membuatnya belum sempat menghubungi vila. Ia menyesalkan tidak bisa kembali cepat, tapi di sini pun tentu saja tak bisa ia tinggalkan begitu saja.Sang ayah, sebagai kepala keluarga yang semestinya paling sibuk mengurus semuanya, baru muncul belakangan. Dan ia tak bisa meninggalkan Sakti yang sangat rapuh. Lihatlah, pemuda berusia 18 tahun itu terus saja melihat keluar jendela, seolah berat meninggalkan sang ibu sendirian di rumah barunya.Bahkan butuh waktu bagi Pram untuk membujuk sang adik agar mau pulang.“Hallo, Pita. Bagaimana keadaan kalian di sana?” tanya Pram langsung setelah panggilannya terhubung dengan Puspita. Rasa rindunya untuk Puspita dan Prily sudah sangat besar.“Kamu dan Prily baik-baik saja, kan?” lanjutnya sebelum Puspita sempat menjawab.“Saya dan Prily baik-baik saja, Pak. Maaf, saya tidak bisa ikut membantu di sana. Saya tu
Pram menatap ponsel yang kini dalam genggamannya. Ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam hatinya. Mengapa ibunya membuang benda ini? Apakah ada sesuatu di dalamnya yang ia coba sembunyikan? Atau ini hanya kebetulan belaka?Ia menekan tombol daya, tetapi layar ponsel tetap gelap. Mati total. Pram menghela napas panjang, menatap ponsel itu dengan alis berkerut. Mungkin ada hal yang tidak pernah ia ketahui tentang ibunya. Dan jika benar, ponsel ini bisa jadi kunci.Pram menoleh ke arah Mbok Siti yang berdiri di samping meja. Atas saran wanita paruh baya itu, mereka kini berada di kamarnya. Kamar yang lama Pram tidak pernah pakai setelah menikah. Ia tidak pernah sekalipun menginap di sana setelah menikahi Soraya. Bukan tidak merindukan masa-masa mudanya di rumah itu, hanya saja sambutan yang tidak ramah kedua orang tuanya pada Soraya membuatnya tidak pernah mengajak Soraya menginap di sana demi menjaga perasaan istrinya.“Mbok, ada charger ponsel ibu? Sepertinya baterainya habis,” tanya
Pram berdiri, memandang Imel dengan tatapan dingin, nyaris penuh kebencian. Wanita itu melangkah masuk dengan percaya diri, seolah-olah ia memiliki hak untuk berada di sana.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Pram tajam, suaranya rendah namun mengandung ancaman.Imel tersenyum tipis, sama sekali tidak terpengaruh oleh nada bicara Pram. “Aku datang untuk berbela sungkawa, tentu saja. Bude Hasna adalah seseorang yang berarti bagiku. Dan Mas pasti tahu betapa sayangnya ibumu padaku.” Imel bahkan mengibaskan rambut panjangnya penuh percaya diri.Pram terkekeh sinis. “Kamu memang tidak tahu malu, Imel. Setelah apa yang kamu lakukan pada Puspita, kamu masih berani datang ke sini?”Sakti yang duduk di sisi Pram menoleh bingung. Ia belum sepenuhnya memahami apa yang dibicarakan sang kakak.“Lho, memang ada hubungan apa perlakuanku pada pembantu itu sama kedatanganku ke sini? Aku bahkan sudah menganggap rumah ini rumah keduaku.”“Apa maksudmu?” Pram memicingkan matanya.Imel berjalan anggu
Pram hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Imel bahkan berani memeluk dan mencium pipi ayahnya. Lalu yang lebih mengejutkan, Arya sama sekali tidak menolak. Sebaliknya, pria itu tampak tersentuh oleh sikap Imel.“Terima kasih, Imel,” ujar Arya dengan suara yang lebih lembut. “Ibunya Pram memang sosok yang sangat berarti bagi kami. Tapi kami tidak mungkin larut dalam kesedihan selamanya. Dia sudah tenang di sana. Terima kasih sudah datang.”“Tentu saja Imel datang, Om. Bude Hasna sudah seperti ibuku sendiri. Masa iya Imel tidak datang?”“Tapi kamu juga baru kena musibah, Imel.”“Tidak masalah, semua sudah teratasi. Seseorang yang sangat baik membantuku keluar dari masalah ini, dia tahu Imel tidak bersalah, Om. Imel hanya ingin menyelamatkan seseorang dari jeratan wanita kampung yang haus harta. Sayangnya, seseorang yang Imel bela itu tidak menyadarinya dan malah melaporkan—”“Imel!” Pram tidak bisa lagi menahan amarahnya. “Jaga bicaramu!” Suara Pram meninggi.Imel melirik dan
Pram masih mematung di depan pintu kamarnya. Kata-kata Mbok Siti yang gagap bercampur tangis terus terngiang di telinganya. Tubuhnya menegang, otaknya berusaha mencerna informasi yang baru saja diterima. Kesadarannya yang belum sepenuhnya pulih membuat otaknya lambat bekerja."Mbok, apa yang Mbok bilang barusan?" tanyanya, memastikan bahwa ia tidak salah dengar."Den… Den Sakti… Non Imel bilang Den Sakti… memperkosanya." Suara Mbok Siti terdengar pecah disertai isak tertahan.Hati Pram seperti dihantam palu besar. Mustahil. Ini tidak mungkin terjadi. Sakti memperkosa Imel? Itu sangat tidak masuk akal.Adiknya yang ia kenal tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Sakti adalah pemuda polos yang kesehariannya hanya dihabiskan untuk belajar. Anak itu selalu menjaga sikap dan tutur kata, bahkan terkadang terlalu polos untuk seusianya. Bagaimana mungkin dia melakukan hal yang baru saja Mbok Siti katakan?Tanpa pikir panjang, Pram bergegas menuju kamar tamu, melangkah dengan kecepatan seper
“Ini adalah orang tua saya.”Prabu menunjuk layar besar yang kini menampilkan pasangan muda yang sangat serasi. Tampan dan cantik.“Pradipta Putra Bimantara dan Riyanti Rahman,” lanjut Prabu dengan bangga."Mereka pasangan yang bahagia dan saling mencintai. Sayangnya ….” Prabu menjeda kalimat, terlihat ada napas yang berat untuk diembuskan. Kilat luka berpendar di matanya.“Ibu saya harus meninggalkan kami semua saat menghadirkan saya ke dunia. Ibu saya berpulang dan meninggalkan luka yang mendalam untuk ayah saya.” Akhirnya, Prabu menarik napas meski terlihat sangat berat.Semua hadirin sepertinya ikut larut dengan apa yang Prabu rasakan. Terlebih ada getar dalam kalimat terakhir Prabu. Nyonya Rangga yang berdiri didampingi suaminya, juga Tika, bahkan sudah menghapus sudut matanya dengan tisu.“Ayah saya frustrasi berat atas meninggalnya wanita terkasih hingga akhirnya memutuskan menanggalkan semua yang sudah ia miliki sebagai satu-satunya penerus Bimantara Group. Ayah pergi jauh den
Puspita menoleh dan mendapati Pram yang menatapnya kesal. Ternyata pria itu menunggunya. Hanya saja, saking tidak mau bicara, sang suami hanya menatapnya.Puspita mengerjap dan menunduk, lalu menghampiri Pram dan mengekorinya. Mereka bergabung dengan tetamu lain yang sudah menyimak Prabu di panggung sana.Baru saja beberapa detik mereka bergabung, seseorang datang dan berdiri di samping Pram. Lalu mengucapkan kalimat yang membuat mood Pram semakin buruk.“Halo, anak laki-lakiku, aku tidak menyangka akan bertemu di sini denganmu.”Pram menelan ludah tanpa melirik sama sekali. Ia mencoba fokus pada Prabu di depan sana.“Oh, ya, perkenalkan dulu, ibu barumu,” lanjut suara itu seraya menunjuk wanita muda yang bergelayut manja di lengannya.“Mungkin kamu belum tahu kalau kami sudah menikah secara resmi, Pram. Jadi mulai sekarang hormati Imel sebagai istriku, ya.”Pram sama sekali tidak peduli, mencoba mengabaikan apa pun yang Arya ucapkan. Jika pun ada banyak hal yang ingin ia bicarakan, b
Puspita sontak menarik tangannya dari genggaman Prabu. Seakan tersengat, matanya membelalak lebar. Ia tidak menyangka Pram menemukannya di sini. Dalam keadaan yang akan membuatnya semakin salah paham.Lorong yang sepi pun terasa sangat mencekam saat Pram melangkah mendekat. Suara ketukan sepatunya yang bersatu dengan lantai berlomba dengan detak jantung Puspita yang melonjak-lonjak.“Jadi … memang begini perbuatan kalian di belakangku?” tanya Pram dengan tatapan perpaduan antara kekecewaan dan kemarahan. Ada luka juga di sana.Puspita menggeleng cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi Pram dengan cepat mendahului.“Apa kamu mau bilang lagi ini tidak seperti yang aku pikirkan?” tanya Pram sinis. “Jadi, apa yang harus aku pikirkan melihat istriku berduaan bahkan berpegangan dengan pria lain?”“Mas ….” Kepala Puspita semakin menggeleng. Bibirnya bergetar.“Kemarin kamu bisa bilang aku salah paham karena hanya melihat foto. Apa aku masih salah paham juga jika sudah melihat dengan mata sendiri
Puspita mencuri-curi pandang saat Pram berbincang dengan Rangga dan istrinya. Ia mencari keberadaan Prabu. Ia berharap bisa bicara dengan pria itu sebelum acara dimulai. Sayangnya, pria itu tidak terlihat di mana pun di ruangan itu. Matanya justru menangkap seseorang yang wajahnya sangat familiar.Puspita sampai terjengkit kaget.Di sana, di antara para tamu undangan yang ia yakin semuanya adalah relasi bisnis keluarga Bimantara, ia melihat ada pria berusia lebih dari setengah abad yang menatap sinis ke arahnya.Puspita mengucek matanya setelah beberapa saat terperangah. Sayangnya, setelah ia mengucek mata, orang itu sudah tak terlihat lagi di sana. Puspita berkedip beberapa kali, lalu mencari dengan matanya ke semua penjuru ruangan, tetapi ia tidak mendapati orang yang dicarinya.Wanita itu kemudian menggeleng. Mungkin ia sedang berhalusinasi karena melihat pamannya berada di antara para tamu undangan.Bagaimana mungkin sang paman ada di sana? Bukankah semua tamu hanya dari kalangan
Puspita menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Dadanya terasa sangat sesak karena selama dalam perjalanan menuju rumah keluarga Bimantara itu, tak sepatah kata pun Pram berucap. Mereka hanya saling diam meski duduk berdampingan.Saat menerima surat undangan dari Prily, sebenarnya ia malas untuk ikut datang. Toh, hubungannya dengan Pram sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Pram hanya menitipkan surat itu pada anaknya. Sebenci itukah Pram padanya, bahkan sekadar menyampaikan kartu undangan saja tidak sudi?Kalau mau egois, Puspita lebih baik tidak ikut datang. Toh, ia juga tidak tahu pesta apa gerangan yang harus dihadirinya itu. Namun, ia tidak ingin Pram malu. Ia bahkan masih memikirkan reputasi Pram meski sang suami sedang marah padanya.Lagipula, bukankah di sana ia bisa bertemu dengan Prabu? Ini kesempatan baik, harus ia gunakan untuk meminta tolong Prabu menjelaskan yang sesungguhnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bicara dengan pria itu. Jika bukan pada kesempatan ini, i
Wanita berrok pendek berlari menuju pintu ruangan Prabu saat mendengar suara gaduh dari dalam sana. Ia sebenarnya sudah curiga sejak awal karena tamu bosnya datang dengan wajah tegang dan penuh amarah.Suara bentakan terdengar menggema di ruangan megah itu. Sekretaris membuka pintu dan langsung memekik melihat bosnya tersungkur di lantai dengan tamunya masih melayangkan tangan.Wanita itu berlari untuk melerai, berusaha menenangkan Pram yang tengah dikuasai amarah. Setelahnya, ia membantu Prabu untuk bangun dan memapahnya ke sofa.Pram berdiri dengan rahang mengeras, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan amarah yang membara dalam dadanya.Sementara itu, Prabu yang kini duduk bersandar di sofa mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tatapannya tetap lurus di wajah merah Pram. Senyum sinis tersungging dari bibir pecah Prabu. Sama sekali tidak ada rasa marah atau takut yang ia tampakkan."Beginikah cara seorang Pramudya Adiguna menyelesaikan masalah?" tanya Prabu san
Puspita berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dadanya sesak, pikirannya kusut, dan hatinya penuh dengan kegelisahan. Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, dan Pram tetap diam. Pria itu bahkan memilih tidur di ruang kerjanya, seolah kehadiran Puspita di rumah ini hanyalah gangguan yang harus dihindari.Tidak ada pengusiran dan kata talak seperti dulu, tidak ada kata-kata kasar yang menghujam lagi, tapi didiamkan seperti ini jauh lebih menyakitkan.Ia tinggal di rumah seseorang, tapi si empunya rumah sama sekali tak menganggapnya ada. Pram selalu menghindarinya seolah tak ingin lagi melihatnya. Waktu makan yang biasanya mereka gunakan untuk bercengkerama hangat, hanya kekosongan meja makan yang didapatkan Puspita. Hingga terkadang ia pun malas untuk sekadar mengisi perut.Pram selalu meminta pelayan yang mengantar makan ke ruang kerjanya dan bukan dirinya.Puspita sampai bingung bagaimana melanjutkan hidup. Ia tidak mungkin pergi karena tidak ada kata talak dan pengusiran seperti dulu
“Aku kembalikan kamu ke agensi. Sejak hari ini kamu tidak bekerja di sini lagi.”Kalimat itu meluncur dari pria yang sejak tadi berdiri di teras, menunggu Puspita dan Joseph keluar. Sikapnya dingin, tatapannya tajam, dan ucapannya tak terbantah.Kalimat itu langsung meluncur dari bibir sang pria bahkan saat kaki Puspita dan pengawal yang menyertainya baru saja turun dari mobil.Kedua bola mata Puspita serta-merta melebar. Ia melirik lelaki tinggi tegap yang berdiri di samping pintu mobil. Lelaki yang diam saja tanpa ekspresi mendengar ucapan Pram, meskipun tahu dirinya dipecat.Puspita menggeleng tegas. Suaminya memecat Joseph begitu saja di saat mereka baru saja tiba. Tidak ada interogasi, tidak ada kesempatan untuk menjelaskan, bahkan mereka tidak diberi waktu sekadar untuk menghirup udara di luar mobil. Pram langsung menyambut dengan pemecatan itu.Puspita ingin bertanya, tetapi Pram sudah masuk ke rumah hanya dalam waktu kedipan mata. Dengan berlari-lari kecil, wanita itu menyusul
“Kamu tidak apa-apa?” Pertanyaan lembut penuh kekhawatiran meluncur dari bibir pria yang menahan tubuh seorang wanita. Namun, wanita dalam pelukan itu gegas melepaskan diri setelah beberapa saat terpaku.Puspita—wanita itu—buru-buru mundur, merapikan hijabnya yang sedikit berantakan. Jantungnya yang mendadak bertalu cepat berusaha ia kendalikan. Ini tidak boleh terjadi, Prabu tidak boleh menyentuhnya. tapi semua di luar kendalinya. Semua ini hanya kecelakaan. Prabu menolongnya.Tapi, kenapa tiba-tiba ada Prabu ada di sana?Ah, ya. Pria itu pasti mencari Tika.“Maaf, tapi apa yang terjadi di sini?” tanya Prabu karena melihat Puspita menepuk bajunya seolah telah bersentuhan dengan debu. “Abang ….” Rengekan manja tiba-tiba terdengar, dan itu tentu saja berasal dari mulut Tika. Gadis yang semula amarahnya meluap-luap itu kini berubah ekspresi. Ia mendekati Prabu dengan mimik sedih, seolah tertindas.“Dia menyakitiku, Bang … istrinya Pak Pram ini berusaha menindasku,” adunya dengan suara