Matahari sore menyelinap melalui tirai jendela, menerangi wajah Puspita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Keheningan di kamar itu hanya terganggu oleh suara detak jam di dinding. Pramudya berdiri di sudut ruangan, memperhatikan wanita yang masih enggan berbicara dengannya.Setelah perdebatan sengit dengan Haidar dan kejutan yang ia buat mengenai pendaftaran pernikahan mereka di KUA, situasi menjadi semakin rumit. Puspita tidak ingin bicara dengannya sama sekali. Wanita itu berbaring membelakanginya sepanjang hari. Puspita bukan hanya menolak keberadaannya, tetapi juga memutuskan untuk sepenuhnya mengabaikannya.Ia tahu Puspita marah, tetapi ia tetap harus melakukan ini. Pram terpaksa meminta semua orang di ruangan itu untuk keluar dan tidak datang lagi ke sana. Bukan tidak sopan, tetapi semua demi kesehatan Puspita. Karenanya, setelah mengucapkan terima kasih, ia meminta semua yang menjenguk untuk keluar agar Puspita bisa ditangani.Bukan hanya itu, Pram juga sudah meminta
“Sudah saya katakan, Puspita tidak boleh dijenguk siapa pun, Mbak. Saya sudah tekankan itu. Tapi terima kasih informasinya.”Pram mengakhiri panggilan, lalu mengembuskan napas kasar. Sesuatu baru disadarinya. Sang ibu tidak menyukai Puspita. Ia bisa saja memaksa membawa wanita itu kembali ke rumah karena saat ini wanita itu dalam kendalinya, tetapi bagaimana dengan sang ibu?Apa artinya ia membawa wanita itu kembali ke rumahnya jika di sana hanya akan menjadi santapan empuk sang ibu untuk menghinanya?Pram memejamkan mata sebentar sebelum kembali mengembuskan napas. Lalu berjalan kembali menghampiri ranjang Puspita di mana penghuninya masih tertidur.Ditatapnya lekat wajah itu setelah menundukkan diri di sampingnya. Tangannya terulur ke hadapan wajah Puspita, namun urung saat ingin menyentuhnya. Ia tahu itu salah, dan Puspita akan sangat marah jika tahu.Pram menarik tangannya lagi, kemudian hanya membetulkan selimut yang sedikit tersibak.“Aku janji akan mencari jalan keluar terbaik,
Puspita tercekat. Villa? Pram membawanya ke villa? Apa-apaan ini?Puspita merasakan dadanya mendadak bergemuruh. Kepalanya dipenuhi tanda tanya dan emosi yang berkecamuk. Ia tak pernah membayangkan hal seperti ini. Bahkan untuk sekadar berbagi tempat dengannya di rumah yang sama saja sudah berat, apalagi kini berada di sebuah villa terpencil hanya berdua dengannya. Apa yang pria itu rencanakan?“Tidak! Saya tidak mau di sini!” Puspita menggeleng tegas, melangkah cepat menuju mobil. Tangannya mengaduk-aduk kursi belakang dengan panik, mencari sesuatu yang penting baginya.Sang sopir mendekat dengan heran. “Ibu mencari apa?”“Ransel saya! Mana barang-barang saya?” tanya Puspita tanpa menoleh, suaranya gemetar. Ia berencana kabur—keluar dari tempat ini meski tidak tahu di mana kini. Yang penting ia jauh dari Pram.“Oh, ranselnya? Pak Pram sudah membawa semua barang Ibu ke dalam villa,” jawab sopir itu tenang.Puspita berhenti. Wajahnya memucat. Sudah dibawa ke dalam? Itu berarti ia benar
“Bu, kenapa tidak bilang Bibi?” Wanita paruh baya masuk ke dapur dengan tergopoh-gopoh dari pintu belakang. Tangannya terulur ingin mengambil alih gelas di tangan Puspita yang berdiri di samping meja.Puspita tersenyum sambil mempertahankan gelas di tangannya. “Tidak apa-apa, Bi. Saya bisa sendiri, kok. Hanya mengambil minum.”“Tapi Tuan berpesan agar Ibu istirahat saja. Katanya Ibu baru keluar dari rumah sakit. Biar Bibi yang ambilkan.” Wanita itu tampak tidak enak, tetap ingin merebut gelas di tangan Puspita.“Tidak apa-apa, Bibi. Jangan berlebihan. Saya memang sakit, tapi tidak lumpuh. Masih bisa kalau sekadar mengambil minum.” Puspita tersenyum lagi, lalu menuangkan air ke dalam gelasnya—air panas yang dicampur air dingin. Cuaca villa yang dingin membuatnya ingin menghangatkan tubuh.“Tapi ini perintah Tuan Pram, Bu…”“Sssttt!” Puspita menempelkan telunjuk di bibirnya sebagai kode agar wanita paruh baya itu diam.“Tidak apa-apa, Tuan kan tidak ada. Lagipula, saya masih bisa melaku
Puspita duduk di teras belakang vila, mengamati hamparan hijau di hadapannya. Udara sejuk menyentuh wajahnya, membawa ketenangan yang jarang ia rasakan belakangan ini. Prily sedang bermain di taman bersama Mbak Sari, tertawa ceria seperti anak kecil seharusnya.Sudah dua hari Pramudya tidak ke vila. Sejak mengantarnya ke sana, pria itu tidak menampakkan lagi dirinya. Dan Puspita mulai menikmati kebersamaannya bersama Prily dengan tenang.Secara berkala Pramudya akan menelepon. Tetapi bukan padanya. Melainkan menghubungi Sari atau suami istri penjaga vila itu untuk menanyakan kabar Prily dan kondisi di vila secara keseluruhan.Mungkin, Pram juga menelepon ke ponselnya. Entahlah, Puspita tidak tahu karena ia sudah tak lagi membuka benda itu semenjak membaca pesan dari Tika. Pesan yang terlalu menyakitkan dan tentu menakutkan.Sejak membaca pesan itu, Puspita menonaktifkan HP-nya. Rasanya lelah menghadapi keluarganya yang toxic itu. Padahal kondisinya masih pemulihan.Di saat ia sakit, a
“Dari mana kamu, Pram? Di mana Prily? Kenapa tidak ada di rumah?”Pramudya yang baru turun dari mobil langsung diberondong banyak pertanyaan oleh Hasna. Wanita lebih separuh abad itu buru-buru keluar dari rumah saat mendengar deru mesin mobil putranya.“Pram, Ibu sedang bertanya padamu. Kata pembantu kamu jarang pulang. Prily juga sudah beberapa hari tidak di rumah. Kamu sembunyikan dia di mana? Imel sudah berkali-kali ke sini, tapi rumah ini selalu kosong.”Pramudya tetap berjalan memasuki rumah tanpa mempedulikan sang ibu yang terus menyamai langkahnya. Ia berjalan menuju ruang kerjanya.“Pram!”Kali ini suara Hasna meninggi karena pria berkemeja hitam itu benar-benar tak menghiraukannya. Hasna bahkan sengaja berdiri di jalanan yang akan dilalui Pram untuk menghadang langkahnya.“Kamu sembunyikan Prily di mana?”Pram memejam sebentar untuk menekan emosinya.“Maaf, Bu, aku tidak bisa bilang. Ini privasi Prily, karena walaupun anakku masih kecil, ia butuh privasi demi kenyamanannya.”
“Si-apa mereka, Pram?” Hasna bertanya dengan wajahnya yang memias.Pram menggeleng sambil mematikan komputernya.“Ibu dan Imel lebih mengenal mereka daripada aku.”“Ibu tidak kenal mereka, Pram. Mungkin temannya Imel.”Pram memejam sebentar, lalu mengembuskan napasnya dengan kasar. “Mungkin Ibu tidak tahu kalau aku sudah mengecek semua CCTV di rumah ini. Mungkin Ibu juga lupa kalau di rumahku ini dipasang kamera pengintai. Jadi, aku sudah tahu apa yang Ibu dan calon menantu idaman Ibu itu lakukan di sini.”“Memangnya, apa yang Ibu lakukan, Pram?”“Teruslah berpura-pura, Bu. Aku bahkan bisa mempolisikan kalian berdua dengan bukti yang sudah aku pegang.”“Pram ….” Hasna memekik dengan suaranya yang seolah tercekik di tenggorokan. “kenapa mulutmu begitu busuk?”“Lebih busuk mulutku atau hati kalian?” Alis Pram bertaut. “Kalian bahkan sudah merusak nama baik dan hidup seseorang.”“Maksudmu apa?”“Puspita sampai harus terusir dari sini karena ulah kalian.”“Kamu yang mengusir dan menceraika
“Apa kamu merindukanku?”Puspita membuang pandangan. Entahlah, Pram itu sebenarnya percaya dirinya yang terlalu tinggi atau tidak tahu malu? Padahal tahu seberapa besar ia membencinya, tapi seolah tidak tahu atau tidak peduli.Pria itu terus saja bersikap seperti seorang suami.Kalau saja tidak ada yang ingin disampaikan, niscaya Puspita sudah pergi sejak tadi. Atau bahkan tidak akan menampakkan diri sekalian. Lebih baik mengunci diri di kamarnya.Hanya saja, rasanya ia tidak akan bisa tidur sebelum bicara dengan Pramudya.“Tidurlah, sudah malam. Kamu sudah melihatku pulang dengan selamat, kan?” ujar Pram pada akhirnya dengan sangat percaya diri.“Sayangnya aku tidak membawa buah tangan. Padahal kamu sudah menungguku hingga semalam ini.”“Berhenti mengoceh hal yang tidak jelas, Pak. Saya ingin menyampaikan sesuatu.” Puspita menukas setelah sebelumnya mendengus.“Menyampaikan apa? Prily baik-baik saja, kan? Tidak ada masalah selama aku tidak pulang?”Puspita membuang pandangan. Pram ma
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p
“Din … kamu lihat dasiku yang navy ada titik kecil putih, tidak?” Suara Prabu terdengar dari kamar, sedikit meninggi karena jarak kamar tidur dan dapur lumayan jauh.Andini sedang berkutat di dapur. Tangannya sibuk mengaduk telur orak-arik sambil sesekali melirik roti yang mulai kecokelatan di toaster. Aroma kopi menguar dari cangkir di sebelahnya. Pagi ini seperti medan perang baginya. Mbak Sri—ART mereka—kebetulan sedang cuti.Kompor menyala, toaster bunyi klik, air galon tinggal sedikit, dan... kakinya hampir terpeleset karena butter yang tadi tumpah dari spatula.Sebagai ibu rumah tangga baru yang belum berpengalaman—karena tiba-tiba menjadi seorang istri dan ibu—tentu saja ini perjuangan tersendiri bagi Andini. Ia yang terbiasa hanya mengurus dirinya sendiri, kini harus membagi tenaga untuk mengurus dan menyiapkan keperluan orang lain.Keadaan jadi sangat riweuh karena Prabu yang sudah terbiasa segala dilayani, dan juga Chiara yang belum bisa mengurus dirinya sendiri—minta dilaya