“Bu, kenapa tidak bilang Bibi?” Wanita paruh baya masuk ke dapur dengan tergopoh-gopoh dari pintu belakang. Tangannya terulur ingin mengambil alih gelas di tangan Puspita yang berdiri di samping meja.Puspita tersenyum sambil mempertahankan gelas di tangannya. “Tidak apa-apa, Bi. Saya bisa sendiri, kok. Hanya mengambil minum.”“Tapi Tuan berpesan agar Ibu istirahat saja. Katanya Ibu baru keluar dari rumah sakit. Biar Bibi yang ambilkan.” Wanita itu tampak tidak enak, tetap ingin merebut gelas di tangan Puspita.“Tidak apa-apa, Bibi. Jangan berlebihan. Saya memang sakit, tapi tidak lumpuh. Masih bisa kalau sekadar mengambil minum.” Puspita tersenyum lagi, lalu menuangkan air ke dalam gelasnya—air panas yang dicampur air dingin. Cuaca villa yang dingin membuatnya ingin menghangatkan tubuh.“Tapi ini perintah Tuan Pram, Bu…”“Sssttt!” Puspita menempelkan telunjuk di bibirnya sebagai kode agar wanita paruh baya itu diam.“Tidak apa-apa, Tuan kan tidak ada. Lagipula, saya masih bisa melaku
Puspita duduk di teras belakang vila, mengamati hamparan hijau di hadapannya. Udara sejuk menyentuh wajahnya, membawa ketenangan yang jarang ia rasakan belakangan ini. Prily sedang bermain di taman bersama Mbak Sari, tertawa ceria seperti anak kecil seharusnya.Sudah dua hari Pramudya tidak ke vila. Sejak mengantarnya ke sana, pria itu tidak menampakkan lagi dirinya. Dan Puspita mulai menikmati kebersamaannya bersama Prily dengan tenang.Secara berkala Pramudya akan menelepon. Tetapi bukan padanya. Melainkan menghubungi Sari atau suami istri penjaga vila itu untuk menanyakan kabar Prily dan kondisi di vila secara keseluruhan.Mungkin, Pram juga menelepon ke ponselnya. Entahlah, Puspita tidak tahu karena ia sudah tak lagi membuka benda itu semenjak membaca pesan dari Tika. Pesan yang terlalu menyakitkan dan tentu menakutkan.Sejak membaca pesan itu, Puspita menonaktifkan HP-nya. Rasanya lelah menghadapi keluarganya yang toxic itu. Padahal kondisinya masih pemulihan.Di saat ia sakit, a
“Dari mana kamu, Pram? Di mana Prily? Kenapa tidak ada di rumah?”Pramudya yang baru turun dari mobil langsung diberondong banyak pertanyaan oleh Hasna. Wanita lebih separuh abad itu buru-buru keluar dari rumah saat mendengar deru mesin mobil putranya.“Pram, Ibu sedang bertanya padamu. Kata pembantu kamu jarang pulang. Prily juga sudah beberapa hari tidak di rumah. Kamu sembunyikan dia di mana? Imel sudah berkali-kali ke sini, tapi rumah ini selalu kosong.”Pramudya tetap berjalan memasuki rumah tanpa mempedulikan sang ibu yang terus menyamai langkahnya. Ia berjalan menuju ruang kerjanya.“Pram!”Kali ini suara Hasna meninggi karena pria berkemeja hitam itu benar-benar tak menghiraukannya. Hasna bahkan sengaja berdiri di jalanan yang akan dilalui Pram untuk menghadang langkahnya.“Kamu sembunyikan Prily di mana?”Pram memejam sebentar untuk menekan emosinya.“Maaf, Bu, aku tidak bisa bilang. Ini privasi Prily, karena walaupun anakku masih kecil, ia butuh privasi demi kenyamanannya.”
“Si-apa mereka, Pram?” Hasna bertanya dengan wajahnya yang memias.Pram menggeleng sambil mematikan komputernya.“Ibu dan Imel lebih mengenal mereka daripada aku.”“Ibu tidak kenal mereka, Pram. Mungkin temannya Imel.”Pram memejam sebentar, lalu mengembuskan napasnya dengan kasar. “Mungkin Ibu tidak tahu kalau aku sudah mengecek semua CCTV di rumah ini. Mungkin Ibu juga lupa kalau di rumahku ini dipasang kamera pengintai. Jadi, aku sudah tahu apa yang Ibu dan calon menantu idaman Ibu itu lakukan di sini.”“Memangnya, apa yang Ibu lakukan, Pram?”“Teruslah berpura-pura, Bu. Aku bahkan bisa mempolisikan kalian berdua dengan bukti yang sudah aku pegang.”“Pram ….” Hasna memekik dengan suaranya yang seolah tercekik di tenggorokan. “kenapa mulutmu begitu busuk?”“Lebih busuk mulutku atau hati kalian?” Alis Pram bertaut. “Kalian bahkan sudah merusak nama baik dan hidup seseorang.”“Maksudmu apa?”“Puspita sampai harus terusir dari sini karena ulah kalian.”“Kamu yang mengusir dan menceraika
“Apa kamu merindukanku?”Puspita membuang pandangan. Entahlah, Pram itu sebenarnya percaya dirinya yang terlalu tinggi atau tidak tahu malu? Padahal tahu seberapa besar ia membencinya, tapi seolah tidak tahu atau tidak peduli.Pria itu terus saja bersikap seperti seorang suami.Kalau saja tidak ada yang ingin disampaikan, niscaya Puspita sudah pergi sejak tadi. Atau bahkan tidak akan menampakkan diri sekalian. Lebih baik mengunci diri di kamarnya.Hanya saja, rasanya ia tidak akan bisa tidur sebelum bicara dengan Pramudya.“Tidurlah, sudah malam. Kamu sudah melihatku pulang dengan selamat, kan?” ujar Pram pada akhirnya dengan sangat percaya diri.“Sayangnya aku tidak membawa buah tangan. Padahal kamu sudah menungguku hingga semalam ini.”“Berhenti mengoceh hal yang tidak jelas, Pak. Saya ingin menyampaikan sesuatu.” Puspita menukas setelah sebelumnya mendengus.“Menyampaikan apa? Prily baik-baik saja, kan? Tidak ada masalah selama aku tidak pulang?”Puspita membuang pandangan. Pram ma
“Apa kalau aku minta maaf, kamu akan memaafkanku?”Awalnya Puspita tertegun mendengar pertanyaan Pram itu. Minta maaf? Jadi, Pram mengaku salah? Laki-laki egois itu?Rasanya Puspita tidak percaya. Bukankah Pram selama ini tidak pernah merasa dirinya bersalah? Hanya ia yang salah di mata pria itu. Ya, selalu salah. Mau menjadi istri kedua salah, melayani sebagai istri salah, Prily alergi salah, lalu saat Pram meminta kembali dan ia menolak, masih juga salah. Ia tidak pernah benar di mata Pram. Lalu kenapa tiba-tiba pria itu minta maaf?“Maafkan aku ya, Puspita.” Pram mengulang ucapannya dengan ekspresi datar. Tanpa rasa. Siapa pun yang melihat dan mendengarnya akan sepakat dengan Puspita jika pria itu tidak bersungguh-sungguh.“Minta maaf untuk apa, ya?” Puspita memancing. Ingin tahu sejauh mana permainan Pram. Apa benar-benar menyesal, atau hanya di mulut saja.“Kesalahanku terlalu banyak, ya. Sampai kamu bertanya begitu.”Puspita memutar bola mata. Masih juga nanya ternyata pria yang
Puspita buru-buru mengelap bibirnya dengan tisu, berharap batuknya tak menarik perhatian lebih dari yang sudah terjadi. Namun, harapannya pupus ketika ayah dan ayah itu sama-sama mendekatinya.“Mama kenapa?” tanya Prily sambil mendongak dan mengguncang ujung tunik Puspita.Puspita yang masih terbatuk-batuk, hanya menunduk sambil menatap. Sementara segelas air tersodor di depannya. Puspita mendongak. Pram berdiri di sana dengan wajah tenang, tetapi tatapan itu membuat Puspita bertambah gugup.Puspita menggeleng pelan, menahan diri agar tidak salah bicara. Tangannya menolak gelas yang Pram sodorkan. Apa Pram lupa jika ia tersedak karena air?Prily masih memandangnya dengan cemas, tetapi senyum kecil yang dipaksakan Puspita berhasil mengusir raut khawatir gadis kecil itu.“Pelan-pelan kalau minum.” Pram bersuara, sebelum kembali duduk di kursinya dengan santai. Namun, Puspita tahu, tatapan pria itu masih sesekali tertuju padanya. Ia tahu sejak malam tadi, Pram tidak akan melepasnya denga
Puspita menelan ludah dengan susah payah. Tatapannya berubah kosong. Lidahnya kelu dan pundaknya meluruh. Ia baru ingat tidak mengaktifkan HP cukup lama. Sebelumnya memang banyak pesan masuk dari Tika yang mengabarkan ayahnya tengah mencarinya lagi.Puspita masih bergeming di tempatnya saat sebuah sentuhan lembut dan disusul tarikan lemah di ujung jarinya terasa.“Mama … main, yuk ….” Rengekan manja menyapa telinganya.Puspita mengerjap sebelum menoleh. Prily di sana mendongak dengan tatapan memelas. Setelahnya, Puspita tersenyum dan beranjak menuju teras di mana mainan terserak di atas karpet.“Mama … lihat, Cantik sudah sehat.” Prily memperlihatkan boneka kain yang kemarin tangannya putus, kini sudah tersambung lagi.“Cantik udah sehat kayak Mama.”Puspita berlutut hingga sejajar dengan Prily, lalu mencubit kecil kedua pipi Prily yang mulai berisi lagi. Anak itu membuatnya gemas. Bahkan kegundahannya sedikit terobati hanya dengan berinteraksi dengannya.Setelahnya, Puspita menemani
Puspita sontak menarik tangannya dari genggaman Prabu. Seakan tersengat, matanya membelalak lebar. Ia tidak menyangka Pram menemukannya di sini. Dalam keadaan yang akan membuatnya semakin salah paham.Lorong yang sepi pun terasa sangat mencekam saat Pram melangkah mendekat. Suara ketukan sepatunya yang bersatu dengan lantai berlomba dengan detak jantung Puspita yang melonjak-lonjak.“Jadi … memang begini perbuatan kalian di belakangku?” tanya Pram dengan tatapan perpaduan antara kekecewaan dan kemarahan. Ada luka juga di sana.Puspita menggeleng cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi Pram dengan cepat mendahului.“Apa kamu mau bilang lagi ini tidak seperti yang aku pikirkan?” tanya Pram sinis. “Jadi, apa yang harus aku pikirkan melihat istriku berduaan bahkan berpegangan dengan pria lain?”“Mas ….” Kepala Puspita semakin menggeleng. Bibirnya bergetar.“Kemarin kamu bisa bilang aku salah paham karena hanya melihat foto. Apa aku masih salah paham juga jika sudah melihat dengan mata sendiri
Puspita mencuri-curi pandang saat Pram berbincang dengan Rangga dan istrinya. Ia mencari keberadaan Prabu. Ia berharap bisa bicara dengan pria itu sebelum acara dimulai. Sayangnya, pria itu tidak terlihat di mana pun di ruangan itu. Matanya justru menangkap seseorang yang wajahnya sangat familiar.Puspita sampai terjengkit kaget.Di sana, di antara para tamu undangan yang ia yakin semuanya adalah relasi bisnis keluarga Bimantara, ia melihat ada pria berusia lebih dari setengah abad yang menatap sinis ke arahnya.Puspita mengucek matanya setelah beberapa saat terperangah. Sayangnya, setelah ia mengucek mata, orang itu sudah tak terlihat lagi di sana. Puspita berkedip beberapa kali, lalu mencari dengan matanya ke semua penjuru ruangan, tetapi ia tidak mendapati orang yang dicarinya.Wanita itu kemudian menggeleng. Mungkin ia sedang berhalusinasi karena melihat pamannya berada di antara para tamu undangan.Bagaimana mungkin sang paman ada di sana? Bukankah semua tamu hanya dari kalangan
Puspita menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Dadanya terasa sangat sesak karena selama dalam perjalanan menuju rumah keluarga Bimantara itu, tak sepatah kata pun Pram berucap. Mereka hanya saling diam meski duduk berdampingan.Saat menerima surat undangan dari Prily, sebenarnya ia malas untuk ikut datang. Toh, hubungannya dengan Pram sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Pram hanya menitipkan surat itu pada anaknya. Sebenci itukah Pram padanya, bahkan sekadar menyampaikan kartu undangan saja tidak sudi?Kalau mau egois, Puspita lebih baik tidak ikut datang. Toh, ia juga tidak tahu pesta apa gerangan yang harus dihadirinya itu. Namun, ia tidak ingin Pram malu. Ia bahkan masih memikirkan reputasi Pram meski sang suami sedang marah padanya.Lagipula, bukankah di sana ia bisa bertemu dengan Prabu? Ini kesempatan baik, harus ia gunakan untuk meminta tolong Prabu menjelaskan yang sesungguhnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bicara dengan pria itu. Jika bukan pada kesempatan ini, i
Wanita berrok pendek berlari menuju pintu ruangan Prabu saat mendengar suara gaduh dari dalam sana. Ia sebenarnya sudah curiga sejak awal karena tamu bosnya datang dengan wajah tegang dan penuh amarah.Suara bentakan terdengar menggema di ruangan megah itu. Sekretaris membuka pintu dan langsung memekik melihat bosnya tersungkur di lantai dengan tamunya masih melayangkan tangan.Wanita itu berlari untuk melerai, berusaha menenangkan Pram yang tengah dikuasai amarah. Setelahnya, ia membantu Prabu untuk bangun dan memapahnya ke sofa.Pram berdiri dengan rahang mengeras, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan amarah yang membara dalam dadanya.Sementara itu, Prabu yang kini duduk bersandar di sofa mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tatapannya tetap lurus di wajah merah Pram. Senyum sinis tersungging dari bibir pecah Prabu. Sama sekali tidak ada rasa marah atau takut yang ia tampakkan."Beginikah cara seorang Pramudya Adiguna menyelesaikan masalah?" tanya Prabu san
Puspita berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dadanya sesak, pikirannya kusut, dan hatinya penuh dengan kegelisahan. Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, dan Pram tetap diam. Pria itu bahkan memilih tidur di ruang kerjanya, seolah kehadiran Puspita di rumah ini hanyalah gangguan yang harus dihindari.Tidak ada pengusiran dan kata talak seperti dulu, tidak ada kata-kata kasar yang menghujam lagi, tapi didiamkan seperti ini jauh lebih menyakitkan.Ia tinggal di rumah seseorang, tapi si empunya rumah sama sekali tak menganggapnya ada. Pram selalu menghindarinya seolah tak ingin lagi melihatnya. Waktu makan yang biasanya mereka gunakan untuk bercengkerama hangat, hanya kekosongan meja makan yang didapatkan Puspita. Hingga terkadang ia pun malas untuk sekadar mengisi perut.Pram selalu meminta pelayan yang mengantar makan ke ruang kerjanya dan bukan dirinya.Puspita sampai bingung bagaimana melanjutkan hidup. Ia tidak mungkin pergi karena tidak ada kata talak dan pengusiran seperti dulu
“Aku kembalikan kamu ke agensi. Sejak hari ini kamu tidak bekerja di sini lagi.”Kalimat itu meluncur dari pria yang sejak tadi berdiri di teras, menunggu Puspita dan Joseph keluar. Sikapnya dingin, tatapannya tajam, dan ucapannya tak terbantah.Kalimat itu langsung meluncur dari bibir sang pria bahkan saat kaki Puspita dan pengawal yang menyertainya baru saja turun dari mobil.Kedua bola mata Puspita serta-merta melebar. Ia melirik lelaki tinggi tegap yang berdiri di samping pintu mobil. Lelaki yang diam saja tanpa ekspresi mendengar ucapan Pram, meskipun tahu dirinya dipecat.Puspita menggeleng tegas. Suaminya memecat Joseph begitu saja di saat mereka baru saja tiba. Tidak ada interogasi, tidak ada kesempatan untuk menjelaskan, bahkan mereka tidak diberi waktu sekadar untuk menghirup udara di luar mobil. Pram langsung menyambut dengan pemecatan itu.Puspita ingin bertanya, tetapi Pram sudah masuk ke rumah hanya dalam waktu kedipan mata. Dengan berlari-lari kecil, wanita itu menyusul
“Kamu tidak apa-apa?” Pertanyaan lembut penuh kekhawatiran meluncur dari bibir pria yang menahan tubuh seorang wanita. Namun, wanita dalam pelukan itu gegas melepaskan diri setelah beberapa saat terpaku.Puspita—wanita itu—buru-buru mundur, merapikan hijabnya yang sedikit berantakan. Jantungnya yang mendadak bertalu cepat berusaha ia kendalikan. Ini tidak boleh terjadi, Prabu tidak boleh menyentuhnya. tapi semua di luar kendalinya. Semua ini hanya kecelakaan. Prabu menolongnya.Tapi, kenapa tiba-tiba ada Prabu ada di sana?Ah, ya. Pria itu pasti mencari Tika.“Maaf, tapi apa yang terjadi di sini?” tanya Prabu karena melihat Puspita menepuk bajunya seolah telah bersentuhan dengan debu. “Abang ….” Rengekan manja tiba-tiba terdengar, dan itu tentu saja berasal dari mulut Tika. Gadis yang semula amarahnya meluap-luap itu kini berubah ekspresi. Ia mendekati Prabu dengan mimik sedih, seolah tertindas.“Dia menyakitiku, Bang … istrinya Pak Pram ini berusaha menindasku,” adunya dengan suara
Puspita meringis. Tubuhnya terhimpit di antara dinding dan Tika yang tubuhnya penuh kemarahan. Kelembutan dan keanggunan yang sejak tadi disuguhkan gadis itu mendadak sirna, berganti dengan keberingasannya yang menakutkan.Tangannya menekan salah satu tangan Puspita di dinding, sementara tangan lainnya menunjuk wajah Puspita dengan telunjuk bergetar.“Ja-ngan sekali-kali berpikir untuk ikut campur urusanku!” desis gadis itu dengan penuh penekanan. Suaranya persis desisan ular berbisa. Tidak keras, tidak jelas, tapi sangat menakutkan.Puspita memejam. Bukan karena takut, tapi liur Tika berhamburan mengenai wajahnya.“Kamu dengar?” Suara Tika kini disertai tangannya yang mencengkeram dagu Puspita hingga wanita berhijab itu membuka matanya.“Berhenti menjadi orang menyebalkan yang sok suci! Apa pun yang aku lakukan, itu bukan urusanmu! Jadi, urus saja hidupmu sendiri bersama suami hasil rampasan itu. Bukankah kamu sudah bahagia?”Puspita menghempaskan tangan Tika yang mencengkeram daguny
[Sudah sampai mana?][Jangan lama-lama, ya. Prily pasti nungguin kamu.]Pram mengirim dua pesan langsung ke nomor istrinya. Tadi Puspita meminta izin untuk ke supermarket karena ada yang harus dibelinya.Sebenarnya, Pram keberatan membiarkan Puspita keluar rumah tanpa dirinya, tapi setelah berpikir bolak-balik, rasanya tidak adil terlalu mengekang Puspita dengan tidak mengizinkan dia keluar, padahal hanya ke supermarket.Sebenarnya pula, Puspita bisa menyuruh ART jika ada kebutuhan yang harus dibeli. Setidaknya itu yang Pram inginkan. Hanya saja, mungkin istrinya jenuh terus di rumah setelah menikah. Apalagi semenjak menjadi istrinya, Puspita belum pernah diajak ke mana pun.Bukankah ia juga berhak menikmati hidupnya? Bukankah pernikahan bukan untuk mengurung istri di dalam rumah? Hanya saja, kekhawatiran Pram yang terlalu besar memang membuatnya terlalu posesif. Tapi kejadian kemarin membuatnya sangat takut kehilangan Puspita.Karenanya, ia mengizinkan wanita itu keluar. Toh hanya ke