“Si-apa mereka, Pram?” Hasna bertanya dengan wajahnya yang memias.Pram menggeleng sambil mematikan komputernya.“Ibu dan Imel lebih mengenal mereka daripada aku.”“Ibu tidak kenal mereka, Pram. Mungkin temannya Imel.”Pram memejam sebentar, lalu mengembuskan napasnya dengan kasar. “Mungkin Ibu tidak tahu kalau aku sudah mengecek semua CCTV di rumah ini. Mungkin Ibu juga lupa kalau di rumahku ini dipasang kamera pengintai. Jadi, aku sudah tahu apa yang Ibu dan calon menantu idaman Ibu itu lakukan di sini.”“Memangnya, apa yang Ibu lakukan, Pram?”“Teruslah berpura-pura, Bu. Aku bahkan bisa mempolisikan kalian berdua dengan bukti yang sudah aku pegang.”“Pram ….” Hasna memekik dengan suaranya yang seolah tercekik di tenggorokan. “kenapa mulutmu begitu busuk?”“Lebih busuk mulutku atau hati kalian?” Alis Pram bertaut. “Kalian bahkan sudah merusak nama baik dan hidup seseorang.”“Maksudmu apa?”“Puspita sampai harus terusir dari sini karena ulah kalian.”“Kamu yang mengusir dan menceraika
“Apa kamu merindukanku?”Puspita membuang pandangan. Entahlah, Pram itu sebenarnya percaya dirinya yang terlalu tinggi atau tidak tahu malu? Padahal tahu seberapa besar ia membencinya, tapi seolah tidak tahu atau tidak peduli.Pria itu terus saja bersikap seperti seorang suami.Kalau saja tidak ada yang ingin disampaikan, niscaya Puspita sudah pergi sejak tadi. Atau bahkan tidak akan menampakkan diri sekalian. Lebih baik mengunci diri di kamarnya.Hanya saja, rasanya ia tidak akan bisa tidur sebelum bicara dengan Pramudya.“Tidurlah, sudah malam. Kamu sudah melihatku pulang dengan selamat, kan?” ujar Pram pada akhirnya dengan sangat percaya diri.“Sayangnya aku tidak membawa buah tangan. Padahal kamu sudah menungguku hingga semalam ini.”“Berhenti mengoceh hal yang tidak jelas, Pak. Saya ingin menyampaikan sesuatu.” Puspita menukas setelah sebelumnya mendengus.“Menyampaikan apa? Prily baik-baik saja, kan? Tidak ada masalah selama aku tidak pulang?”Puspita membuang pandangan. Pram ma
“Apa kalau aku minta maaf, kamu akan memaafkanku?”Awalnya Puspita tertegun mendengar pertanyaan Pram itu. Minta maaf? Jadi, Pram mengaku salah? Laki-laki egois itu?Rasanya Puspita tidak percaya. Bukankah Pram selama ini tidak pernah merasa dirinya bersalah? Hanya ia yang salah di mata pria itu. Ya, selalu salah. Mau menjadi istri kedua salah, melayani sebagai istri salah, Prily alergi salah, lalu saat Pram meminta kembali dan ia menolak, masih juga salah. Ia tidak pernah benar di mata Pram. Lalu kenapa tiba-tiba pria itu minta maaf?“Maafkan aku ya, Puspita.” Pram mengulang ucapannya dengan ekspresi datar. Tanpa rasa. Siapa pun yang melihat dan mendengarnya akan sepakat dengan Puspita jika pria itu tidak bersungguh-sungguh.“Minta maaf untuk apa, ya?” Puspita memancing. Ingin tahu sejauh mana permainan Pram. Apa benar-benar menyesal, atau hanya di mulut saja.“Kesalahanku terlalu banyak, ya. Sampai kamu bertanya begitu.”Puspita memutar bola mata. Masih juga nanya ternyata pria yang
Puspita buru-buru mengelap bibirnya dengan tisu, berharap batuknya tak menarik perhatian lebih dari yang sudah terjadi. Namun, harapannya pupus ketika ayah dan ayah itu sama-sama mendekatinya.“Mama kenapa?” tanya Prily sambil mendongak dan mengguncang ujung tunik Puspita.Puspita yang masih terbatuk-batuk, hanya menunduk sambil menatap. Sementara segelas air tersodor di depannya. Puspita mendongak. Pram berdiri di sana dengan wajah tenang, tetapi tatapan itu membuat Puspita bertambah gugup.Puspita menggeleng pelan, menahan diri agar tidak salah bicara. Tangannya menolak gelas yang Pram sodorkan. Apa Pram lupa jika ia tersedak karena air?Prily masih memandangnya dengan cemas, tetapi senyum kecil yang dipaksakan Puspita berhasil mengusir raut khawatir gadis kecil itu.“Pelan-pelan kalau minum.” Pram bersuara, sebelum kembali duduk di kursinya dengan santai. Namun, Puspita tahu, tatapan pria itu masih sesekali tertuju padanya. Ia tahu sejak malam tadi, Pram tidak akan melepasnya denga
Puspita menelan ludah dengan susah payah. Tatapannya berubah kosong. Lidahnya kelu dan pundaknya meluruh. Ia baru ingat tidak mengaktifkan HP cukup lama. Sebelumnya memang banyak pesan masuk dari Tika yang mengabarkan ayahnya tengah mencarinya lagi.Puspita masih bergeming di tempatnya saat sebuah sentuhan lembut dan disusul tarikan lemah di ujung jarinya terasa.“Mama … main, yuk ….” Rengekan manja menyapa telinganya.Puspita mengerjap sebelum menoleh. Prily di sana mendongak dengan tatapan memelas. Setelahnya, Puspita tersenyum dan beranjak menuju teras di mana mainan terserak di atas karpet.“Mama … lihat, Cantik sudah sehat.” Prily memperlihatkan boneka kain yang kemarin tangannya putus, kini sudah tersambung lagi.“Cantik udah sehat kayak Mama.”Puspita berlutut hingga sejajar dengan Prily, lalu mencubit kecil kedua pipi Prily yang mulai berisi lagi. Anak itu membuatnya gemas. Bahkan kegundahannya sedikit terobati hanya dengan berinteraksi dengannya.Setelahnya, Puspita menemani
[Lu kan, udah cerai sama orang kaya itu, apa susahnya nikah sama Juragan Kosim? Kan, sama saja dimadu juga.]Mata Puspita semakin basah, seiring hatinya yang kian terluka. Kalimat-kalimat Tika bagai belati yang menikam. Ia tahu betapa pamannya memaksa dan mengancamnya untuk menikah dengan pria tua itu demi melunasi utang keluarga. Ia pikir, setelah kedatangan pria paruh baya ke rumah Pram waktu itu, sang paman akan kapok. Nyatanya... Dan yang lebih menyakitkan, Tika yang dulunya bak saudara kandung, kini bahkan menganggapnya sebagai musuh bebuyutan yang sangat membenci.Puspita ingat, sejak ia mengingatkan Tika soal cara berpacarannya, Tika mulai membencinya. Padahal dulu, ia begitu baik dan melindungi.[Kenapa tidak kamu saja yang nikah sama Juragan Kosim? Kan, kamu anaknya Paman.]Akhirnya, dengan tangan gemetar dan hati yang bergemuruh tak karuan, Puspita mengetik balasan. Rasanya cukup dirinya diinjak-injak dan diintimidasi selama ini.[Bukankah kamu yang seharusnya bertanggung ja
“Pak, bisa nikahi saya lagi?”Entah keberanian dari mana kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Puspita. Bukan, itu bukan kebernian, tapi kenekatan atau lenih tepatnya kebodohan. Ia bahkan merasa tubuhnya membeku, mati rasa di seluruh bagian, terlebih saat melihat keterkejutan di wajah Pram. Lalu setelahnya, kening sang pria terlihat mengernyit.Puspita menelan ludah dengan susah payah, sementara Pram memiringkan kepala dengan tatapan nyaris tak berkedip. Mulutnya terbuka, tetapi cukup lama Puspita tidak mendengar suaranya.“Maaf, bisa kau ulang ucapanmu barusan?” tanyanya, yang membuat wajah Puspita semakin memucat. Malu.“Aku … aku hanya takut salah dengar,” lanjut Pram, semakin membuat Puspita tersiksa dengan rasa malu. Wanita itu tetap mematung.“Puspita … aku—”“Lupakan saja, Pak!” Puspita memotong cepat sambil menahan sesuatu yang nyaris meledak di dadanya.“Maksudnya?” Kening Pram berlipat.“Anggap saya tidak pernah bicara apa pun,” jawabnya. “Maaf mengganggu waktu Bapak.”
Puspita terhuyung ke belakang setelah pukulan keras itu mendarat di pipinya. Kepalanya berdenyut, pandangannya berkunang-kunang. Kekagetan bercampur dengan rasa perih di kulit kepala dan pipinya. Namun suara itu, suara penuh amarah yang terus menghardik, membuatnya kembali fokus.“Dasar pembantu tidak tahu diri!” Suara tinggi itu memekakkan telinga, membuat kepala Puspita semakin berdenyut. Dengan mengesampingkan rasa sakit di pipinya, Puspita menoleh, dan matanya membelalak saat melihat siapa pelaku yang tiba-tiba menyerangnya.Tubuhnya kaku di tempat, kepalanya terasa berputar, tapi otaknya langsung menginstruksikan untuk mundur. Sayang, si pelaku yang sudah dikuasai amarah, bergerak lebih cepat. Tangannya menarik kerudung Puspita dengan kasar hingga rambut di dalamnya ikut terjambak.“Mau lari ke mana, hah?” teriaknya dengan tatapan penuh kebencian. “Percuma kau menutup kepala kalau kemaluanmu diobral! Kau itu cuma pelacur murah yang pura-pura suci!”Puspita menjerit lagi. Tanganny
Pram mondar-mandir di kamarnya. Kalimat-kalimat Prabu yang tidak dimengertinya terus terngiang-ngiang. Ia masih tidak bisa menyimpulkan arti ucapan itu, tetapi satu hal yang ia yakini—Prabu sedang tidak baik-baik saja.Pram menengadah, lalu meremas rambutnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sejak awal Prabu memang bicara tersendat-sendat dan terdengar ragu. Tidak mungkin ia memaksa kakak iparnya itu untuk bicara lebih jelas.Lalu, ia harus bagaimana?Ingin memberi solusi? Bagaimana bisa, jika masalah yang sebenarnya saja ia tidak tahu. Prabu langsung pamit setelah mengatakan itu, dan ia tidak bisa mencegahnya.Andai berada di tanah air, mungkin ia bisa sedikit membantu. Masalahnya, jika pulang pun, bagaimana dengan Puspita?Untuk mengatakan bahwa kakaknya ada masalah saja, rasanya Pram tidak tega. Ia yakin itu hanya akan menjadi beban pikiran bagi istrinya. Pram takut Puspita tidak fokus pada pengobatannya. Belum lagi jika benar-benar ingin berpisah. Lalu, apa yang harus dilaku
Pram sedang mengemas beberapa barang ke dalam ransel di kamarnya. Ia hanya sedang bersiap jika tiba-tiba Puspita mengatakan ia harus pergi.Bukannya menyerah jika ia melakukan ini sejak dini. Sekali lagi, ia hanya sedang bersiap jika suatu saat Puspita benar-benar tak menginginkannya lagi, karena setelah dua hari semenjak ia bertanya, wanita itu belum juga memberikan jawaban.Puspita seolah menggantung hubungan mereka, membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Pram sama sekali tak marah atau menyalahkan istrinya karena ia pun dulu pernah melakukan hal yang sama. Mengabaikan Puspita dalam ketidakjelasan hubungan sejak Soraya meninggal. Membuat Puspita tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Mungkin, ini juga yang dirasakan Puspita saat itu.Semua yang terjadi padanya saat ini seolah pantulan cahaya dalam cermin. Semua berbalik padanya. Apa yang pernah ia lakukan pada Puspita dulu, kini berbalik dirinya yang harus merasakan semua ini.Pram mengembuskan napas panjang. Kini Puspita sed
"Duduklah," ujar Ny. Bimantara akhirnya, sambil menunjuk kursi di seberang mereka.Irena duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya. Perutnya terasa mual, bukan karena makanan, tapi karena suasana kaku yang menyesakkan.Pelayan datang dan mulai menyajikan makanan. Namun, bahkan setelah hidangan tersaji, tidak ada obrolan yang mengalir. Prabu sesekali mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang kesehatan Opa dan Oma, tetapi jawaban yang didapat hanya sekadarnya."Jadi bagaimana, Opa, Oma? Pendapat kalian tentang rencana kami ke depannya?" Prabu terpaksa bertanya lebih dulu karena kedua orang tua itu tak kunjung bertanya sesuatu tentang mereka.Hening beberapa saat, membuat Prabu yang menunggu menjadi tidak sabar.Irena mencuri pandang ke arah Opa Rangga. Lelaki tua itu duduk dengan postur tegak, sorot matanya masih tajam meski usianya sudah senja. Lalu, tiba-tiba, pria itu meletakkan garpunya, membuat dentingan kecil yang menarik perhatian semua orang."Prabu," suaranya terdeng
Irena menatap dirinya di depan cermin. Seorang wanita empat puluh tahun terpampang di sana dengan wajah yang sudah dipoles make-up flawless. Garis kerutan memang jauh darinya karena ia selalu menjaga pola makan dan olahraga yang teratur. Tapi rasanya, senyum sudah jarang ia sunggingkan dalam kehidupan pribadinya.Jika pun selama ini terkesan ramah dan selalu ceria, itu hanya untuk para pasien dan siapa pun yang ia temui di rumah sakit. Selebihnya, bibirnya jarang sekali tersenyum. Perpisahan dengan Radit yang berbuntut perebutan hak asuh Chiara membuat hari-harinya seolah suram.Memang ia masih bisa menemui sang anak selama Chiara dalam pengasuhan mantan suaminya itu, tetapi dalam waktu yang sangat terbatas dan tentu saja harus mengikuti aturan Radit. Tidak bisa bertemu dan menumpahkan rindu dengan leluasa.Irena sangat menyesali hari-hari yang telah lewat. Ia terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk bersama Chiara sangat sedikit. Dan itu ternyata membuat Chiara lebih dekat dengan aya
Pram mengganjal kepalanya dengan kedua tangan. Kini ia berbaring di sofa dengan tatapan lurus ke langit-langit. Ada banyak hal berputar-putar di kepalanya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.Puspita tidak memberikan jawaban apa pun. Dan ia memang sengaja memberikan waktu untuk istrinya itu untuk memikirkan masak-masak keputusannya. Dan apa pun nanti yang akan dikatakan wanita itu, ia harus siap. Bahkan hal terburuk sekalipun.Pram tidak ingin lagi menyakiti hati wanita itu. Sudah terlalu sering ia membuat Puspita terluka. Dan jika dengan menjauh darinya bisa membuat wanita itu bahagia, akan ia lakukan. Tidak ada lagi paksaan, tidak akan ada lagi drama. Ia juga tak akan menggunakan Prily sebagai alasan untuk menahan Puspita tetap di sisinya.Prily harus bisa tanpa Puspita jika wanita itu sudah tak lagi menghendaki mereka di sisinya. Dan tugasnya adalah membuat Prily mengerti, walaupun ia belum tahu apa yang harus ia lakukan nanti untuk membuat anak itu lepas.Entah sudah berapa b
Pramudya berjongkok di hadapan Prily, tangannya mengelus lembut punggung gadis kecil itu yang terus memeluk Puspita erat. Wajahnya berusaha menampilkan kelembutan, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Rasa bersalah.Selama perjalanan mereka menuju unit, Prily bahkan terus berjalan di samping kursi roda Puspita, seolah merasakan firasat yang kurang baik. Lalu, setelah mereka tiba, ia sama sekali tak ingin melepaskan wanita yang sudah dianggapnya ibu kandung itu."Sayang, sama Mbak Sari dulu, ya? Mama mau istirahat dulu biar cepat sembuh," bujuk Pram dengan suara selembut mungkin.Prily bukannya melepaskan pelukan di pinggang Puspita, tetapi justru semakin erat. Kepalanya menggeleng dan menyuruk."Lily butuh tidur siang supaya nanti bisa main lagi, ya. Ayo ikut Mbak Sari, ganti baju dulu, keringatan," lanjut Pram.Prily menggeleng semakin kuat, wajah mungilnya menekan perut Puspita. "Nggak mau. Lily mau tidur sama Mama."Puspita mengusap kepala Prily dengan tatapan l
Puspita merasakan dunianya berguncang. Kata-kata Haidar seperti pukulan telak yang mengusik keyakinannya selama ini. Ia selalu berpikir bahwa Haidar pergi meninggalkannya begitu saja, tetapi jika yang dikatakan pria itu benar, maka ada seseorang yang dengan sengaja menjauhkan mereka.“Ini tidak mungkin,” gumamnya lirih, matanya menatap tajam ke arah Haidar. “Bukannya selama ini Akang yang ninggalin aku? Akang yang membatalkan rencana kita? Akang yang mundur karena orang tua Akang tidak setuju karena aku seorang janda dan hanya wanita miskin?”“Itu tidak benar. Orang tua Akang bahkan terus menanyakan janji Akang yang akan membawa kamu pada mereka. Mereka sangat ingin bertemu kamu, Pita. Mereka mengira Akang sedang berhalusinasi tentang kamu karena kenyataannya kamu tidak ada.” Haidar menjelaskan dengan suaranya yang serak.Puspita menggeleng keras. Matanya memanas. “Ini tidak mungkin, Kang. Tidak mungkin … Akang yang ninggalin aku.”Haidar mengembuskan napas panjang. "Tapi kenyataannya
Malam ini, kamar yang biasanya terasa hangat oleh percakapan ringan dan tawa kecil kini diselimuti kesunyian yang menyesakkan. Puspita sudah lebih dulu berbaring, membelakangi Pramudya, seolah menutup dirinya dari segala bentuk interaksi. Biasanya, sebelum tidur, ia akan menunggu Pram mendekat, mengusap punggungnya yang lelah, lalu mereka akan bercanda—entah soal hal-hal kecil yang terjadi hari itu atau tentang Prily yang selalu meminta perhatian berlebihan padahal Puspita belum pulih. Tapi malam ini berbeda.Pramudya berdiri di ambang tempat tidur, menatap punggung Puspita yang tak bergerak. Napasnya teratur, tapi Pram tahu istrinya belum tidur. Sejenak, ia ingin mengulurkan tangan, menyentuh bahunya, mengembalikan kebiasaan mereka yang telah terbangun begitu lama. Namun, sesuatu yang tak kasatmata menghalangi langkahnya. Ada dinding tak terlihat yang kini memisahkan mereka.Tanpa suara, Pram naik ke tempat tidur, berbaring dengan posisi yang berlawanan. Biasanya, ia akan langsung me
Puspita memejamkan matanya, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan sesaat setelah pintu kamarnya tertutup. Tadi, Prily memeluk pinggangnya erat. Tidak mau melepaskannya, tetapi Pram terus membujuk anak itu hingga akhirnya berhasil membawanya keluar dari sana.Entahlah, kenapa situasi kembali seperti ini. Padahal hidupnya sudah terasa tenang meski belum sepenuhnya pulih. Bersama Pram dan Prily ia bahagia di sini meski sedang menjalani pengobatan. Siapa sangka kehadiran Haidar membuat semuanya berbeda.Puspita memijat pelipisnya. Mencoba mengingat kejadian sebelum ia kehilangan kontak dengan pemuda satu kampungnya itu. Benar-benar tidak ada perpisahan di antara mereka, hingga ia sempat masih berharap.Lalu setelah lama tidak ada kabar dari pemuda itulah ia mulai membuka hati untuk Pram. Saat itu ia mengira orang tua Haidar tidak menyetujui hubungan mereka karena dirinya hanya seorang wanita miskin, janda pula. Tentu saja Haidar yang anak pemilik perkebunan dan pabrik teh di sana diha