[Lu kan, udah cerai sama orang kaya itu, apa susahnya nikah sama Juragan Kosim? Kan, sama saja dimadu juga.]Mata Puspita semakin basah, seiring hatinya yang kian terluka. Kalimat-kalimat Tika bagai belati yang menikam. Ia tahu betapa pamannya memaksa dan mengancamnya untuk menikah dengan pria tua itu demi melunasi utang keluarga. Ia pikir, setelah kedatangan pria paruh baya ke rumah Pram waktu itu, sang paman akan kapok. Nyatanya... Dan yang lebih menyakitkan, Tika yang dulunya bak saudara kandung, kini bahkan menganggapnya sebagai musuh bebuyutan yang sangat membenci.Puspita ingat, sejak ia mengingatkan Tika soal cara berpacarannya, Tika mulai membencinya. Padahal dulu, ia begitu baik dan melindungi.[Kenapa tidak kamu saja yang nikah sama Juragan Kosim? Kan, kamu anaknya Paman.]Akhirnya, dengan tangan gemetar dan hati yang bergemuruh tak karuan, Puspita mengetik balasan. Rasanya cukup dirinya diinjak-injak dan diintimidasi selama ini.[Bukankah kamu yang seharusnya bertanggung ja
“Pak, bisa nikahi saya lagi?”Entah keberanian dari mana kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Puspita. Bukan, itu bukan kebernian, tapi kenekatan atau lenih tepatnya kebodohan. Ia bahkan merasa tubuhnya membeku, mati rasa di seluruh bagian, terlebih saat melihat keterkejutan di wajah Pram. Lalu setelahnya, kening sang pria terlihat mengernyit.Puspita menelan ludah dengan susah payah, sementara Pram memiringkan kepala dengan tatapan nyaris tak berkedip. Mulutnya terbuka, tetapi cukup lama Puspita tidak mendengar suaranya.“Maaf, bisa kau ulang ucapanmu barusan?” tanyanya, yang membuat wajah Puspita semakin memucat. Malu.“Aku … aku hanya takut salah dengar,” lanjut Pram, semakin membuat Puspita tersiksa dengan rasa malu. Wanita itu tetap mematung.“Puspita … aku—”“Lupakan saja, Pak!” Puspita memotong cepat sambil menahan sesuatu yang nyaris meledak di dadanya.“Maksudnya?” Kening Pram berlipat.“Anggap saya tidak pernah bicara apa pun,” jawabnya. “Maaf mengganggu waktu Bapak.”
Puspita terhuyung ke belakang setelah pukulan keras itu mendarat di pipinya. Kepalanya berdenyut, pandangannya berkunang-kunang. Kekagetan bercampur dengan rasa perih di kulit kepala dan pipinya. Namun suara itu, suara penuh amarah yang terus menghardik, membuatnya kembali fokus.“Dasar pembantu tidak tahu diri!” Suara tinggi itu memekakkan telinga, membuat kepala Puspita semakin berdenyut. Dengan mengesampingkan rasa sakit di pipinya, Puspita menoleh, dan matanya membelalak saat melihat siapa pelaku yang tiba-tiba menyerangnya.Tubuhnya kaku di tempat, kepalanya terasa berputar, tapi otaknya langsung menginstruksikan untuk mundur. Sayang, si pelaku yang sudah dikuasai amarah, bergerak lebih cepat. Tangannya menarik kerudung Puspita dengan kasar hingga rambut di dalamnya ikut terjambak.“Mau lari ke mana, hah?” teriaknya dengan tatapan penuh kebencian. “Percuma kau menutup kepala kalau kemaluanmu diobral! Kau itu cuma pelacur murah yang pura-pura suci!”Puspita menjerit lagi. Tanganny
"Puspita, maafkan aku. Ini salahku."Puspita memejam kuat, menahan rasa sakit di tubuh juga hatinya. Air mata tak henti mengaliri pipinya yang memar. Kejadian tadi begitu menakutkan. Imel seperti kerasukan, menyerangnya tanpa henti, memukul dan menjambak membabi buta. Yang lebih menyakitkan, wanita itu merampas dan membuang kerudungnya hingga auratnya terbuka.Untunglah Pram segera menutupinya dengan sesuatu. Sesuatu yang belakangan ia tahu adalah jaket sang pria.Semua terjadi begitu cepat hingga ia tidak diberi kesempatan untuk sekadar membela diri. Imel benar-benar seperti kesetanan, memperlakukannya seolah dirinya adalah boneka yang bebas diperlakukan sesuka hati."Puspita …." Sebuah genggaman terasa di tangannya yang lemah. "Sekali lagi aku minta maaf. Aku pastikan semua akan baik-baik saja. Mang Ujang sedang memanggil perawat di dekat rumahnya."Puspita tidak ingin menjawab. Semua terlalu menyakitkan. Ia hanya memejam dengan air mata yang terus meleleh di pipinya. Bahkan saat se
Dunia terasa berhenti berputar untuk beberapa saat. Puspita masih terdiam di atas tubuh Pramudya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya menegang, sementara matanya menatap Pram yang sudah membuka mata dan tersenyum tipis. Telunjuk pria itu tetap menempel di bibir Puspita, memberi isyarat agar tetap tenang dan tak bersuara.“Puspita...” bisik Pram pelan, nadanya serak.Puspita mengerjap pelan. Suara Pram, meski pelan, mampu menyadarkannya. Ia segera bangkit, tapi tangan Pram yang kini memegangi pergelangan tangannya mencegahnya.“Maaf, saya ... saya tidak sengaja,” jawab Puspita dengan suara nyaris tak terdengar. Wajahnya terasa panas dan dadanya mendadak ramai jedag-jedug.“Kenapa kau masih bangun?” tanya Pram, masih memegangi tangannya, tatapannya menghangat.“Buang air kecil ...” balas Puspita gugup, wajahnya memerah seketika. Situasi ini terlalu dekat, terlalu aneh; bahkan hembusan napas Pram terasa hangat menerpa wajahnya. Karenanya, jedag-jedug di dalam dadanya te
Puspita menghentikan langkah tepat di depan sofa yang dihuni Pram. Pria itu akhirnya memaksa tetap tidur di sana dengan alasan takut terjadi sesuatu dengan Puspita saat ia jauh. Terlebih, Prily juga malah terjaga dan sulit tidur lagi.Puspita menatap wajah yang masih pulas itu. Mungkin menjelang pagi Pram baru tidur. Meski terlihat tidak nyaman karena panjang sofa yang tidak bisa menampung seluruh tubuhnya, Pram tetap pulas. Kakinya yang menjuntai tak ia hiraukan.Puspita menghela napas. Sebegitu kerasnya pria itu ingin tetap di sana karena mengkhawatirkannya.Ingatan Puspita terbang ke masa-masa Soraya sakit. Dulu, Pram begitu setia mendampingi dan menemani istrinya itu jika penyakitnya sedang kambuh. Pram bahkan sering tidak tidur berhari-hari karena menunggui Soraya, melayani segala kebutuhannya meski ada pelayan. Menyuapi dan membantu ke kamar mandi.Puspita tahu semua itu dilakukan Pram dengan sangat tulus. Tak sekali pun ia mendengar dan melihat pria itu mengeluh selama Soraya s
“Kamu kenapa?” Pram maju, kepalanya dimiringkan. Tatapan khawatir kentara melihat sepasang mata Puspita kini digenangi bening embun.“Kamu menangis?” tanya Pram lagi sebelum melirik Prily yang asyik bermain boneka ditemani pengasuhnya di depan TV sana. Setelahnya Pram menarik tangan Puspita, dibimbingnya menuju kamarnya.“Kamu kenapa, Puspita? Jangan bilang kamu mau menikah lagi denganku.” Pram langsung bertanya setelah menutup pintu. Mereka kini berdiri berhadapan di kamar Puspita.Puspita meneguk ludahnya. Ia memalingkan wajah bersamaan sebutir embun luruh dari sudut matanya. Namun, tangan Pram dengan sigap menahan hingga mereka kembali berhadapan.“Bukan seperti itu, Pak. Ibu Anda tidak pernah menyukai saya. Bagaimana Bapak mau menikahi saya lagi?”Pram mengerjap lemah setelah beberapa lama saling terlibat saling tatap. Setelahnya satu embusan napas kasar keluar dari mulutnya.“Aku akan menikahimu dengan atau tanpa restu ibuku.” Pram berucap tegas.Puspita memejam sebentar. “Apa An
Pram mengembuskan napas setelah membetulkan letak selimut yang menutupi tubuh Puspita. Ya, ia akhirnya menunda keberangkatan ke Jakarta karena wanita itu tiba-tiba menangis terus tanpa berkata-kata.Ia khawatir Puspita merasakan sakit di tubuhnya, tetapi tak ingin mengungkapkan.Ia bukan tidak tahu telepon genggamnya sejak tadi terus berbunyi. Panggilan dari orang tuanya terus masuk, menanyakan apakah ia sudah berangkat atau belum.Pram benar-benar dilema. Ia berat meninggalkan Puspita dan Prily di sini, meski sudah membayar orang untuk berjaga. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan sang ibu yang kini masuk rumah sakit.Pram bangkit setelah mengusap wajahnya, lalu meraih ponselnya di atas meja yang sengaja dalam mode silent. Ia berjalan keluar kamar.“Iya, Yah ….” Pram mengangkat panggilan setelah berada di luar kamar Puspita.“Pram, apa kamu masih belum berangkat juga? Ibumu kritis, Pram, apa kamu tidak khawatir?”Pram memejam saat telinganya langsung menangkap suara bernada tinggi.
“Ini adalah orang tua saya.”Prabu menunjuk layar besar yang kini menampilkan pasangan muda yang sangat serasi. Tampan dan cantik.“Pradipta Putra Bimantara dan Riyanti Rahman,” lanjut Prabu dengan bangga."Mereka pasangan yang bahagia dan saling mencintai. Sayangnya ….” Prabu menjeda kalimat, terlihat ada napas yang berat untuk diembuskan. Kilat luka berpendar di matanya.“Ibu saya harus meninggalkan kami semua saat menghadirkan saya ke dunia. Ibu saya berpulang dan meninggalkan luka yang mendalam untuk ayah saya.” Akhirnya, Prabu menarik napas meski terlihat sangat berat.Semua hadirin sepertinya ikut larut dengan apa yang Prabu rasakan. Terlebih ada getar dalam kalimat terakhir Prabu. Nyonya Rangga yang berdiri didampingi suaminya, juga Tika, bahkan sudah menghapus sudut matanya dengan tisu.“Ayah saya frustrasi berat atas meninggalnya wanita terkasih hingga akhirnya memutuskan menanggalkan semua yang sudah ia miliki sebagai satu-satunya penerus Bimantara Group. Ayah pergi jauh den
Puspita menoleh dan mendapati Pram yang menatapnya kesal. Ternyata pria itu menunggunya. Hanya saja, saking tidak mau bicara, sang suami hanya menatapnya.Puspita mengerjap dan menunduk, lalu menghampiri Pram dan mengekorinya. Mereka bergabung dengan tetamu lain yang sudah menyimak Prabu di panggung sana.Baru saja beberapa detik mereka bergabung, seseorang datang dan berdiri di samping Pram. Lalu mengucapkan kalimat yang membuat mood Pram semakin buruk.“Halo, anak laki-lakiku, aku tidak menyangka akan bertemu di sini denganmu.”Pram menelan ludah tanpa melirik sama sekali. Ia mencoba fokus pada Prabu di depan sana.“Oh, ya, perkenalkan dulu, ibu barumu,” lanjut suara itu seraya menunjuk wanita muda yang bergelayut manja di lengannya.“Mungkin kamu belum tahu kalau kami sudah menikah secara resmi, Pram. Jadi mulai sekarang hormati Imel sebagai istriku, ya.”Pram sama sekali tidak peduli, mencoba mengabaikan apa pun yang Arya ucapkan. Jika pun ada banyak hal yang ingin ia bicarakan, b
Puspita sontak menarik tangannya dari genggaman Prabu. Seakan tersengat, matanya membelalak lebar. Ia tidak menyangka Pram menemukannya di sini. Dalam keadaan yang akan membuatnya semakin salah paham.Lorong yang sepi pun terasa sangat mencekam saat Pram melangkah mendekat. Suara ketukan sepatunya yang bersatu dengan lantai berlomba dengan detak jantung Puspita yang melonjak-lonjak.“Jadi … memang begini perbuatan kalian di belakangku?” tanya Pram dengan tatapan perpaduan antara kekecewaan dan kemarahan. Ada luka juga di sana.Puspita menggeleng cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi Pram dengan cepat mendahului.“Apa kamu mau bilang lagi ini tidak seperti yang aku pikirkan?” tanya Pram sinis. “Jadi, apa yang harus aku pikirkan melihat istriku berduaan bahkan berpegangan dengan pria lain?”“Mas ….” Kepala Puspita semakin menggeleng. Bibirnya bergetar.“Kemarin kamu bisa bilang aku salah paham karena hanya melihat foto. Apa aku masih salah paham juga jika sudah melihat dengan mata sendiri
Puspita mencuri-curi pandang saat Pram berbincang dengan Rangga dan istrinya. Ia mencari keberadaan Prabu. Ia berharap bisa bicara dengan pria itu sebelum acara dimulai. Sayangnya, pria itu tidak terlihat di mana pun di ruangan itu. Matanya justru menangkap seseorang yang wajahnya sangat familiar.Puspita sampai terjengkit kaget.Di sana, di antara para tamu undangan yang ia yakin semuanya adalah relasi bisnis keluarga Bimantara, ia melihat ada pria berusia lebih dari setengah abad yang menatap sinis ke arahnya.Puspita mengucek matanya setelah beberapa saat terperangah. Sayangnya, setelah ia mengucek mata, orang itu sudah tak terlihat lagi di sana. Puspita berkedip beberapa kali, lalu mencari dengan matanya ke semua penjuru ruangan, tetapi ia tidak mendapati orang yang dicarinya.Wanita itu kemudian menggeleng. Mungkin ia sedang berhalusinasi karena melihat pamannya berada di antara para tamu undangan.Bagaimana mungkin sang paman ada di sana? Bukankah semua tamu hanya dari kalangan
Puspita menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Dadanya terasa sangat sesak karena selama dalam perjalanan menuju rumah keluarga Bimantara itu, tak sepatah kata pun Pram berucap. Mereka hanya saling diam meski duduk berdampingan.Saat menerima surat undangan dari Prily, sebenarnya ia malas untuk ikut datang. Toh, hubungannya dengan Pram sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Pram hanya menitipkan surat itu pada anaknya. Sebenci itukah Pram padanya, bahkan sekadar menyampaikan kartu undangan saja tidak sudi?Kalau mau egois, Puspita lebih baik tidak ikut datang. Toh, ia juga tidak tahu pesta apa gerangan yang harus dihadirinya itu. Namun, ia tidak ingin Pram malu. Ia bahkan masih memikirkan reputasi Pram meski sang suami sedang marah padanya.Lagipula, bukankah di sana ia bisa bertemu dengan Prabu? Ini kesempatan baik, harus ia gunakan untuk meminta tolong Prabu menjelaskan yang sesungguhnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bicara dengan pria itu. Jika bukan pada kesempatan ini, i
Wanita berrok pendek berlari menuju pintu ruangan Prabu saat mendengar suara gaduh dari dalam sana. Ia sebenarnya sudah curiga sejak awal karena tamu bosnya datang dengan wajah tegang dan penuh amarah.Suara bentakan terdengar menggema di ruangan megah itu. Sekretaris membuka pintu dan langsung memekik melihat bosnya tersungkur di lantai dengan tamunya masih melayangkan tangan.Wanita itu berlari untuk melerai, berusaha menenangkan Pram yang tengah dikuasai amarah. Setelahnya, ia membantu Prabu untuk bangun dan memapahnya ke sofa.Pram berdiri dengan rahang mengeras, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan amarah yang membara dalam dadanya.Sementara itu, Prabu yang kini duduk bersandar di sofa mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tatapannya tetap lurus di wajah merah Pram. Senyum sinis tersungging dari bibir pecah Prabu. Sama sekali tidak ada rasa marah atau takut yang ia tampakkan."Beginikah cara seorang Pramudya Adiguna menyelesaikan masalah?" tanya Prabu san
Puspita berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dadanya sesak, pikirannya kusut, dan hatinya penuh dengan kegelisahan. Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, dan Pram tetap diam. Pria itu bahkan memilih tidur di ruang kerjanya, seolah kehadiran Puspita di rumah ini hanyalah gangguan yang harus dihindari.Tidak ada pengusiran dan kata talak seperti dulu, tidak ada kata-kata kasar yang menghujam lagi, tapi didiamkan seperti ini jauh lebih menyakitkan.Ia tinggal di rumah seseorang, tapi si empunya rumah sama sekali tak menganggapnya ada. Pram selalu menghindarinya seolah tak ingin lagi melihatnya. Waktu makan yang biasanya mereka gunakan untuk bercengkerama hangat, hanya kekosongan meja makan yang didapatkan Puspita. Hingga terkadang ia pun malas untuk sekadar mengisi perut.Pram selalu meminta pelayan yang mengantar makan ke ruang kerjanya dan bukan dirinya.Puspita sampai bingung bagaimana melanjutkan hidup. Ia tidak mungkin pergi karena tidak ada kata talak dan pengusiran seperti dulu
“Aku kembalikan kamu ke agensi. Sejak hari ini kamu tidak bekerja di sini lagi.”Kalimat itu meluncur dari pria yang sejak tadi berdiri di teras, menunggu Puspita dan Joseph keluar. Sikapnya dingin, tatapannya tajam, dan ucapannya tak terbantah.Kalimat itu langsung meluncur dari bibir sang pria bahkan saat kaki Puspita dan pengawal yang menyertainya baru saja turun dari mobil.Kedua bola mata Puspita serta-merta melebar. Ia melirik lelaki tinggi tegap yang berdiri di samping pintu mobil. Lelaki yang diam saja tanpa ekspresi mendengar ucapan Pram, meskipun tahu dirinya dipecat.Puspita menggeleng tegas. Suaminya memecat Joseph begitu saja di saat mereka baru saja tiba. Tidak ada interogasi, tidak ada kesempatan untuk menjelaskan, bahkan mereka tidak diberi waktu sekadar untuk menghirup udara di luar mobil. Pram langsung menyambut dengan pemecatan itu.Puspita ingin bertanya, tetapi Pram sudah masuk ke rumah hanya dalam waktu kedipan mata. Dengan berlari-lari kecil, wanita itu menyusul
“Kamu tidak apa-apa?” Pertanyaan lembut penuh kekhawatiran meluncur dari bibir pria yang menahan tubuh seorang wanita. Namun, wanita dalam pelukan itu gegas melepaskan diri setelah beberapa saat terpaku.Puspita—wanita itu—buru-buru mundur, merapikan hijabnya yang sedikit berantakan. Jantungnya yang mendadak bertalu cepat berusaha ia kendalikan. Ini tidak boleh terjadi, Prabu tidak boleh menyentuhnya. tapi semua di luar kendalinya. Semua ini hanya kecelakaan. Prabu menolongnya.Tapi, kenapa tiba-tiba ada Prabu ada di sana?Ah, ya. Pria itu pasti mencari Tika.“Maaf, tapi apa yang terjadi di sini?” tanya Prabu karena melihat Puspita menepuk bajunya seolah telah bersentuhan dengan debu. “Abang ….” Rengekan manja tiba-tiba terdengar, dan itu tentu saja berasal dari mulut Tika. Gadis yang semula amarahnya meluap-luap itu kini berubah ekspresi. Ia mendekati Prabu dengan mimik sedih, seolah tertindas.“Dia menyakitiku, Bang … istrinya Pak Pram ini berusaha menindasku,” adunya dengan suara