Puspita duduk di teras belakang vila, mengamati hamparan hijau di hadapannya. Udara sejuk menyentuh wajahnya, membawa ketenangan yang jarang ia rasakan belakangan ini. Prily sedang bermain di taman bersama Mbak Sari, tertawa ceria seperti anak kecil seharusnya.Sudah dua hari Pramudya tidak ke vila. Sejak mengantarnya ke sana, pria itu tidak menampakkan lagi dirinya. Dan Puspita mulai menikmati kebersamaannya bersama Prily dengan tenang.Secara berkala Pramudya akan menelepon. Tetapi bukan padanya. Melainkan menghubungi Sari atau suami istri penjaga vila itu untuk menanyakan kabar Prily dan kondisi di vila secara keseluruhan.Mungkin, Pram juga menelepon ke ponselnya. Entahlah, Puspita tidak tahu karena ia sudah tak lagi membuka benda itu semenjak membaca pesan dari Tika. Pesan yang terlalu menyakitkan dan tentu menakutkan.Sejak membaca pesan itu, Puspita menonaktifkan HP-nya. Rasanya lelah menghadapi keluarganya yang toxic itu. Padahal kondisinya masih pemulihan.Di saat ia sakit, a
“Dari mana kamu, Pram? Di mana Prily? Kenapa tidak ada di rumah?”Pramudya yang baru turun dari mobil langsung diberondong banyak pertanyaan oleh Hasna. Wanita lebih separuh abad itu buru-buru keluar dari rumah saat mendengar deru mesin mobil putranya.“Pram, Ibu sedang bertanya padamu. Kata pembantu kamu jarang pulang. Prily juga sudah beberapa hari tidak di rumah. Kamu sembunyikan dia di mana? Imel sudah berkali-kali ke sini, tapi rumah ini selalu kosong.”Pramudya tetap berjalan memasuki rumah tanpa mempedulikan sang ibu yang terus menyamai langkahnya. Ia berjalan menuju ruang kerjanya.“Pram!”Kali ini suara Hasna meninggi karena pria berkemeja hitam itu benar-benar tak menghiraukannya. Hasna bahkan sengaja berdiri di jalanan yang akan dilalui Pram untuk menghadang langkahnya.“Kamu sembunyikan Prily di mana?”Pram memejam sebentar untuk menekan emosinya.“Maaf, Bu, aku tidak bisa bilang. Ini privasi Prily, karena walaupun anakku masih kecil, ia butuh privasi demi kenyamanannya.”
“Si-apa mereka, Pram?” Hasna bertanya dengan wajahnya yang memias.Pram menggeleng sambil mematikan komputernya.“Ibu dan Imel lebih mengenal mereka daripada aku.”“Ibu tidak kenal mereka, Pram. Mungkin temannya Imel.”Pram memejam sebentar, lalu mengembuskan napasnya dengan kasar. “Mungkin Ibu tidak tahu kalau aku sudah mengecek semua CCTV di rumah ini. Mungkin Ibu juga lupa kalau di rumahku ini dipasang kamera pengintai. Jadi, aku sudah tahu apa yang Ibu dan calon menantu idaman Ibu itu lakukan di sini.”“Memangnya, apa yang Ibu lakukan, Pram?”“Teruslah berpura-pura, Bu. Aku bahkan bisa mempolisikan kalian berdua dengan bukti yang sudah aku pegang.”“Pram ….” Hasna memekik dengan suaranya yang seolah tercekik di tenggorokan. “kenapa mulutmu begitu busuk?”“Lebih busuk mulutku atau hati kalian?” Alis Pram bertaut. “Kalian bahkan sudah merusak nama baik dan hidup seseorang.”“Maksudmu apa?”“Puspita sampai harus terusir dari sini karena ulah kalian.”“Kamu yang mengusir dan menceraika
“Apa kamu merindukanku?”Puspita membuang pandangan. Entahlah, Pram itu sebenarnya percaya dirinya yang terlalu tinggi atau tidak tahu malu? Padahal tahu seberapa besar ia membencinya, tapi seolah tidak tahu atau tidak peduli.Pria itu terus saja bersikap seperti seorang suami.Kalau saja tidak ada yang ingin disampaikan, niscaya Puspita sudah pergi sejak tadi. Atau bahkan tidak akan menampakkan diri sekalian. Lebih baik mengunci diri di kamarnya.Hanya saja, rasanya ia tidak akan bisa tidur sebelum bicara dengan Pramudya.“Tidurlah, sudah malam. Kamu sudah melihatku pulang dengan selamat, kan?” ujar Pram pada akhirnya dengan sangat percaya diri.“Sayangnya aku tidak membawa buah tangan. Padahal kamu sudah menungguku hingga semalam ini.”“Berhenti mengoceh hal yang tidak jelas, Pak. Saya ingin menyampaikan sesuatu.” Puspita menukas setelah sebelumnya mendengus.“Menyampaikan apa? Prily baik-baik saja, kan? Tidak ada masalah selama aku tidak pulang?”Puspita membuang pandangan. Pram ma
“Apa kalau aku minta maaf, kamu akan memaafkanku?”Awalnya Puspita tertegun mendengar pertanyaan Pram itu. Minta maaf? Jadi, Pram mengaku salah? Laki-laki egois itu?Rasanya Puspita tidak percaya. Bukankah Pram selama ini tidak pernah merasa dirinya bersalah? Hanya ia yang salah di mata pria itu. Ya, selalu salah. Mau menjadi istri kedua salah, melayani sebagai istri salah, Prily alergi salah, lalu saat Pram meminta kembali dan ia menolak, masih juga salah. Ia tidak pernah benar di mata Pram. Lalu kenapa tiba-tiba pria itu minta maaf?“Maafkan aku ya, Puspita.” Pram mengulang ucapannya dengan ekspresi datar. Tanpa rasa. Siapa pun yang melihat dan mendengarnya akan sepakat dengan Puspita jika pria itu tidak bersungguh-sungguh.“Minta maaf untuk apa, ya?” Puspita memancing. Ingin tahu sejauh mana permainan Pram. Apa benar-benar menyesal, atau hanya di mulut saja.“Kesalahanku terlalu banyak, ya. Sampai kamu bertanya begitu.”Puspita memutar bola mata. Masih juga nanya ternyata pria yang
Puspita buru-buru mengelap bibirnya dengan tisu, berharap batuknya tak menarik perhatian lebih dari yang sudah terjadi. Namun, harapannya pupus ketika ayah dan ayah itu sama-sama mendekatinya.“Mama kenapa?” tanya Prily sambil mendongak dan mengguncang ujung tunik Puspita.Puspita yang masih terbatuk-batuk, hanya menunduk sambil menatap. Sementara segelas air tersodor di depannya. Puspita mendongak. Pram berdiri di sana dengan wajah tenang, tetapi tatapan itu membuat Puspita bertambah gugup.Puspita menggeleng pelan, menahan diri agar tidak salah bicara. Tangannya menolak gelas yang Pram sodorkan. Apa Pram lupa jika ia tersedak karena air?Prily masih memandangnya dengan cemas, tetapi senyum kecil yang dipaksakan Puspita berhasil mengusir raut khawatir gadis kecil itu.“Pelan-pelan kalau minum.” Pram bersuara, sebelum kembali duduk di kursinya dengan santai. Namun, Puspita tahu, tatapan pria itu masih sesekali tertuju padanya. Ia tahu sejak malam tadi, Pram tidak akan melepasnya denga
Puspita menelan ludah dengan susah payah. Tatapannya berubah kosong. Lidahnya kelu dan pundaknya meluruh. Ia baru ingat tidak mengaktifkan HP cukup lama. Sebelumnya memang banyak pesan masuk dari Tika yang mengabarkan ayahnya tengah mencarinya lagi.Puspita masih bergeming di tempatnya saat sebuah sentuhan lembut dan disusul tarikan lemah di ujung jarinya terasa.“Mama … main, yuk ….” Rengekan manja menyapa telinganya.Puspita mengerjap sebelum menoleh. Prily di sana mendongak dengan tatapan memelas. Setelahnya, Puspita tersenyum dan beranjak menuju teras di mana mainan terserak di atas karpet.“Mama … lihat, Cantik sudah sehat.” Prily memperlihatkan boneka kain yang kemarin tangannya putus, kini sudah tersambung lagi.“Cantik udah sehat kayak Mama.”Puspita berlutut hingga sejajar dengan Prily, lalu mencubit kecil kedua pipi Prily yang mulai berisi lagi. Anak itu membuatnya gemas. Bahkan kegundahannya sedikit terobati hanya dengan berinteraksi dengannya.Setelahnya, Puspita menemani
[Lu kan, udah cerai sama orang kaya itu, apa susahnya nikah sama Juragan Kosim? Kan, sama saja dimadu juga.]Mata Puspita semakin basah, seiring hatinya yang kian terluka. Kalimat-kalimat Tika bagai belati yang menikam. Ia tahu betapa pamannya memaksa dan mengancamnya untuk menikah dengan pria tua itu demi melunasi utang keluarga. Ia pikir, setelah kedatangan pria paruh baya ke rumah Pram waktu itu, sang paman akan kapok. Nyatanya... Dan yang lebih menyakitkan, Tika yang dulunya bak saudara kandung, kini bahkan menganggapnya sebagai musuh bebuyutan yang sangat membenci.Puspita ingat, sejak ia mengingatkan Tika soal cara berpacarannya, Tika mulai membencinya. Padahal dulu, ia begitu baik dan melindungi.[Kenapa tidak kamu saja yang nikah sama Juragan Kosim? Kan, kamu anaknya Paman.]Akhirnya, dengan tangan gemetar dan hati yang bergemuruh tak karuan, Puspita mengetik balasan. Rasanya cukup dirinya diinjak-injak dan diintimidasi selama ini.[Bukankah kamu yang seharusnya bertanggung ja
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p
“Din … kamu lihat dasiku yang navy ada titik kecil putih, tidak?” Suara Prabu terdengar dari kamar, sedikit meninggi karena jarak kamar tidur dan dapur lumayan jauh.Andini sedang berkutat di dapur. Tangannya sibuk mengaduk telur orak-arik sambil sesekali melirik roti yang mulai kecokelatan di toaster. Aroma kopi menguar dari cangkir di sebelahnya. Pagi ini seperti medan perang baginya. Mbak Sri—ART mereka—kebetulan sedang cuti.Kompor menyala, toaster bunyi klik, air galon tinggal sedikit, dan... kakinya hampir terpeleset karena butter yang tadi tumpah dari spatula.Sebagai ibu rumah tangga baru yang belum berpengalaman—karena tiba-tiba menjadi seorang istri dan ibu—tentu saja ini perjuangan tersendiri bagi Andini. Ia yang terbiasa hanya mengurus dirinya sendiri, kini harus membagi tenaga untuk mengurus dan menyiapkan keperluan orang lain.Keadaan jadi sangat riweuh karena Prabu yang sudah terbiasa segala dilayani, dan juga Chiara yang belum bisa mengurus dirinya sendiri—minta dilaya