Adela berlari keluar dari mobil Jery setelah parkir di area rumah sakit dan menyusuri koridor yang tidak terlalu ramai dengan perasaan kebas dan tangan gemetaran. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Samudra karena tadi siang dia masih menelepon Sam dan keadaannya baik-baik saja.Adela menghentikan langkah kakinya saat melihat sosok Boram yang berdiri di depan ruangan ICU dan merasakan amarah menguasainya. Dia yakin kalau apa yang dialami Sam pasti ada hubungannya dengan Boram jadi dia berjalan dengan agak tergesa dan Boram yang melihatnya langsung tersenyum lemah.Plak!Tamparan itu reflek Adela berikan untuk Boram yang terpaku di tempatnya dengan tangan yang kembali mulai bergetar karena merasa pipinya kembali tersengat rasa sakit setelah tadi salah satu preman itu menamparnya di tempat yang sama.Reihan yang datang dari kantin membelikan Boram minum langsung kaget melihatnya dan bergegas mendatanginya."Kamu pasti yang menyebabkan Sam harus masuk ICU kan?" bibir Adela bergetar se
"Mas—"Arbian berdiri, "Aku tahu kalau kamu pasti akan lewat sini,Neng." Arbian mendekat dan menggelengkan kepala saat melihatnya lalu mengusap air matanya. "Orang yang baik akan selalu mendapat kebaikan walaupun butuh waktu untuk merasakannya karena biasanya kebahagiaan itu akan bertahan lama. Kamu itu wanita yang kuat, Boram. Aku yakin kalau ke depannya kamu akan baik-baik saja."Boram tersenyum. "Aku tidak apa-apa Mas. Aku tidak memikirkan diriku tapi aku memikirkan Samudra. Hidupnya masih panjang dan kenapa Tuhan belum membawanya kembali ke sini supaya dia bisa mengejar cita-citanya lagi."Arbian melipat lengannya. "Dia akan bangun kalau memang sudah waktunya tapi apa kamu yakin memang akan pergi dari sini tanpa menunggunya?"Boram tersenyum sendu. "Tante Adela sama sekali tidak suka melihatku dan melarangku untuk datang. Bersyukur aku bisa mendapatkan kabarnya dari Reihan, Alka, Akmal dan juga Ratu. Aku akan menunggunya dengan doa karena yang kupikirkan sekarang hanya tentang kes
Dulu, Boram datang ke tempat yang baru dengan harapan kalau dia bisa menjalani hidup yang lebih baik. Tidak ada yang akan memandang dirinya sebelah mata hanya karena dia seorang janda yang bisa disalahkan karena membuat suami orang tergoda. Tidak menduga kalau dia hanya bertahan beberapa bulan dan harus pergi lagi membangun hidupnya dari awal.Namun, hatinya masih tetap tertinggal untuk seseorang yang berhasil membuatnya hidup lagi dengan merasakan getaran cinta seperti yang dirasakannya dulu untuk almarhum Mas Kelana.Pada sosok berondong tampan tukang modus bernama Samudra Arkana, hatinya dicuri begitu saja tanpa persiapan. Mungkin sejak pertemuan pertama mereka hari itu diiringi insiden tawuran anak sekolahan."Lari menyongsong masa depan kita berdua.""Iyalah Mbak. Memangnya Mbak kira mau di bawa langsung ke KUA. Sabar ya Mbak. Mungkin nanti."Boram masih ingat kalimat konyol Sam hari itu saat dibawa berlari menghindar dari kejaran murid-murid sekolah lain yang mengincarnya. Kony
Ayu langung melihat ke depan dan memekik riang melihat Ayahnya yang memang sudah waktunya datang menjemput dan melupakan pertanyaannya tadi. "AYAAAAHHHHHH!!!" Pekik Ayu sembari turun dari ayunan dan berlari dengan bersemangat mendekati sang Ayah yang tersenyum menyambut putrinya itu. Boram menggelengkan kepala, mencium kedua pipi Aryan dan menggendongnya lalu turun dari ayunan mendekat ke arah Ayu yang sudah berada di gendongan sang Ayah.Mas Panji, duda dua anak, bekerja sebagai PNS dan memiliki pekerjaan sambilan sebagai montir disalah satu bengkel besar dan bekerja saat weekend hingga menitipkan Ayu dan juga Aryan padanya sedangkan dihari biasa keduanya dijaga oleh mertuanya. Almarhum Istrinya meninggal setelah melahirkan Aryan ke dunia. Sejak setengah tahun yang lalu, Mas Panji beberapa kali berniat melamar Boram tapi dia belum sekalipun memberikan jawaban iya. Hatinya belum siap dan masih berharap kalau seseorang itu akan datang."Halo jagoannya Ayah," Panji tersenyum seraya men
"Aku tidak menyangka kalau kamu pintar memilih sesuatu yang berkilau seperti itu."Sam menoleh ke Beauty, wanita cantik seperti princess dengan rambut hitamnya yang menggandeng lengannya berjalan bersisian di salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Malbourne."Entahlah ya. Aku suka bentuknya yang sederhana tapi terlihat cantik dan elegan. Itu tuh seperti, ah ini dia takdirku karena membuat mataku terus terpaku melihatnya jadi kalau tidak di bawa pulang, aku yang akan merana karena terbayang-bayang. Love at the first sight. Kira-kira begitu.""Ih seperti jatuh cinta dengan wanita saja.""Loh memang seperti itu kok kenyataannya. Aku jatuh cinta bahkan saat pertama kali melihatnya sampai memenuhi otakku karena membayangkannya jadi kenapa aku harus melirik yang lain kalau aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan."Beauty menghela napas. "Yeah, aku tahu kamu seperti apa Samudra Arkana."Sam nyengir dan mengacak rambutnya membuatnya merengut. "Baguskan pilihanku?"Beauty mengangguk, "S
Flashback, 4 hari sebelum hari lamaran"Kamu menyerah menunggunya begitu saja setelah semua hal yang terjadi pada kalian selama ini?"Boram terdiam mendengar pertanyaan Reihan setelah laki-laki itu terbelalak maksimal saat Boram mengatakan kalau dia menerima lamaran lelaki lain. Seakan-akan dia yang disalahkan bukannya Sam yang tidak ada kabarnya sama sekali."Apa Mas sudah memberikan surat yang aku titipkan untuknya?"Gantian Reihan yang terdiam lalu tidak lama dia mengangguk pelan. "Ya, dia membacanya."Boram tersenyum miring, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. "Aku sudah menulis jelas di surat itu tentang apa yang akan aku lakukan selama menunggunya. Seharusnya dia datang mencariku supaya aku tahu bagaimana kabarnya tapi setelah satu setengah tahun berlalu yang aku tunggu hanya bayangan."Reihan bungkam. Boram memalingkan wajahnya dengan napas menderu. Terasa sesak di dadanya. Lalu kembali menatap Reihan melalui layanan video call langsung dari New York. "Bukankah ini
"Eh gila!!" Boram tanpa sadar bergumam di samping Barbara yang terkekeh geli mendengarnya. Sesaat setelah masuk ke dalam cafe, Boram dibuat terpana. Dekorasi cafe yang biasanya casual tapi terkesan hangat berubah lebih meriah. Banyak rangkaian bunga hidup yang tersebar menghiasi keseluruhan ruangan."Sebenarnya ini hari jadi kembali atau Anniversary sih?"Barbara tertawa. "Memangnya kalau kejutan untuk merayakan kembalinya sesama mantan yang saling mencintai tidak boleh semeriah ini?" Mereka masih berdiri di ambang pintu seraya mengedarkan pandangan. Boram berbisik. "Bukan gitu tapi kan terlalu berlebihan. Siapa yang menjamin kalau minggu depan mereka masih bersama."Barbara tertawa membahana membuat Boram nyengir lalu memyeretnya masuk melewati banyak meja yang sudah terisi tapi lebih banyak yang kosong dan membawanya duduk di salah satu sofa. Boram duduk seraya menghela napas dan bersandar nyaman di sana.Penyanyi cafe yang memang biasa manggung di sana sedang menyanyikan reff sal
Flashback Seminggu setelah bangun dari koma, Singapura. "Bagaimana keadaanmu sayang?" Adela mengelus puncak kepala Sam dengan penuh sayang. Bersyukur kalau anak lelakinya sudah melewati masa-masa rawan dan terbangun meski membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sam hanya diam memandangi Mamanya. Dia merindukan seseorang."Kenapa Mama harus membawaku jauh sampai ke sini?" Adela bergeming. Dia sudah menyiapkan diri kalau pada akhirnya Sam menanyakan dia. "Sam merindukan Boram. Sebelumnya bertanya-tanya sendiri kenapa dia tidak ada di sini saat aku membuka mata tapi ternyata karena aku jauh dari jangkauannya. Kenapa Ma?"Adela tersenyum dan menggenggam telapak tangan Sam. "Yang harus kamu pikirkan sekarang itu memulihkan diri sayang."Sam menggeleng. "Aku memikirkan Boram sejak aku bangun."Adela menghela napas. Dia tidak akan bisa menghindar lagi. "Dia hanya berada di rumah sakit saat kamu pertama kali di bawa ke sana." Sam menaikkan alisnya. Kepalanya masih terasa berdenyut tapi seleb
Sebulan kemudian,Area keberangkatan International Soekarno Hatta.“Tolong, berjanjilah pada kami untuk merawatnya dengan baik.”Boram menahan tangisannya saat meminta dengan sungguh-sungguh pada Nindy yang menggendong Mutia.Nindy tersenyum. “Aku berjanji,Boram. Aku akan membesarkannya dengan baik. Kalian bisa mengunjungi kami kapanpun ke Rusia. Kami akan selalu menerima kalian dengan baik.”“Iya.”Boram mengamgguk. Nina dan suaminya yang seorang warga Rusia akhirnya mengajukan diri menjadi wali sah Mutia dan akan membesarkannya di tempat tinggal mereka seperti pesan yang ditinggalkan Nina. Boram yang sudah menganggap Mutia seperti anak kandungnya itu begitu berat melepas Mutia.“Mama..” Mutia mengulurkan tangan ingin di gendong Boram yang langsung mengambil alih. Boram memeluknya dengan erat dan menciumi wajahnya dengan sayang. Sebentar lagi mereka akan berpisah dan Boram merasa sangat sedih, Setelah Boram gantian Sam yang memberikan pelukan terakhir untuk Mutia dan kemudian mengem
Sam dan Boram saling berangkulan di depan makan Nina yang satu jam lalu baru saja dikuburkan. Boram masih tidak percaya bahwa takdir Nina akan jadi seperti ini padahal dia adalah orang yang baik. Tadi pagi mereka mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan kalau Nina kembali kritis dan Sam langsung buru-buru ke sana sementara Boram harus menunggu Mbak Ina dulu. Sampai sana ternyata Sam sudah terkulai sedih dan mengatakan kalau Nina tidak bisa diselamatkan lagi karena pendarahan di otaknya. Boram langsung menangis histeris karena dia teringat dengan Mutia yang dia tinggalkan dengan buru-buru tadi.Meskipun dia masih memiliki ayah, tapi Reno tidak bisa menjaga anaknya sendiri karena saat ini berada di penjara."Sayang..."Sam menarik lamunan Boram membuatnya menoleh. "Ayo,kita pulang dan lihat keadaan Mutia."Boram mengangguk, teringat lagi dengan tangisan Mutia saat memeluk Ibunya untuk terakhir kalinya tadi sebelum dikuburkan. Kakak kandung Nina juga belum bisa ditemuk
"Sam..." Sam menoleh saat mendengar panggilan dari balik punggungnya dan menemukan Boram menghampirinya dengan wajah panik dan khawatir. "Apa yang terjadi sebenarnya?""Rumit,sayang." Sam memeluk Boram dengan erat, berdiri berdua tidak jauh dari ruang operasi."Kita fikir keadaan sudah menjadi lebih baik tapi ternyata masih ada yang mencoba untuk membahayakan Nina.""Apa maksudmu?"Sam menghela napas panjang, membawa Boram duduk di kursi tunggu dan mulai memberikan penjelasan."Istri kedua Reno sengaja menabrak mobil Nina hingga terpelanting dan terbalik menghantam pembatas jalan." Boram kaget seraya menutup mulutnya. "Anita, wanita itu sudah diamankan dan sekarang kita hanya bisa menunggu sambil berdoa. Bagaimana dengan Mutia?""Saat aku tinggalkan tadi dia sedang tidur dan dijaga sama Mbak Ina."Sam mengangguk, kembali menatap pintu ruang operasi karena luka yang di dapat Nina di kepala cukup serius. Sam berharap Nina bisa sembuh karena Mutia masih membutuhkannya."Semoga saja dia
Sidang kedua Nina selesai dengan lancar. Seminggu setelahnya Sam mengajak Boram untuk menunaikan ibadah Umrah dan akan dilanjutkan dengan jalan-jalan ke beberapa negara Timur Tengah selama tiga minggu. Setelah menempuh perjalanan panjang dan sampai di kota Madinah, semua rasa lelahnya terbayarkan saat melihat istrinya yang cantik menggunakan hijab. Mereka khusyuk beribadah dan Sam menumpahkan semua doa dan harapannya selama ini di depan Ka’bah untuk keberkahan hidupnya ke depan dan kebahagiaan dunia akhirat. Sam juga meminta skenario terbaik untuk rumah tangga mereka yang belum dikaruniai seorang anak. Berharap, doa-doa dan harapannya agar dikabulkan Tuhan. “Kenapa tidak dari dulu saja kita ke sini ya, sayang?” Sam menoleh, menatap wajah sendu istrinya yang menatap lurus ke depan di mana Ka’bah berada. Saat ini mereka sedang duduk santai tidak jauh dari Ka’bah hanya untuk sekedar duduk sembari berdoa dan membaca Al Qur’an. “Semua sudah ditakdirkan, sayang. Sekaranglah momen kita ja
Setelah masa pemulihan selama seminggu dan keadaannya sudah membaik, Boram menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia sadar tidak bisa terus terlarut dalam kehilangan hingga membuatnya terus merasa sedih. Waktu terus bergulir dan Boram akan menjadikan yang dia lewati itu sebagai sebuah pembelajaran. Kedepannya dia bertekad untuk mulai hidup sehat begitu juga dengan Sam, menghabiskan waktu berdua entah di rumah atau jalan-jalan dan lebih hati-hati lagi dalam bertindak.Sudah berlalu dua minggu sejak sidang pertama Nina di gelar yang hasilnya cukup baik dan memiliki harapan ke depannya, Boram mengajak Nina membawa Mutia untuk jalan-jalan ke mall.Saat ini mereka sedang berada di salah satu restoran steak di dalam mall untuk makan siang.“Kita harus lebih sering jalan-jalan deh ke depannya,” ujar Boram, menyuapi Mutia kentang halus yang dimakan gadis kecil itu dengan bersemangat. “Sepertinya Mutia senang sekali bisa melihat-lihat ke ramaian.”Nina mengangguk. “Kita bisa atur jadwal kapanp
Rasanya ada yang terasa kosong di hati Boram. Setelah sadar dari pengaruh bius pasca operasi kuret, Boram lebih banyak melamun sembari mengelus perutnya. Masih belum menyangka dengan apa yang telah dia alami saat ini. Bagaimana bisa, dia tidak menyadari sama sekali kehadiran calon bayi yang sudah ada di dalam perutnya sementara dia tidak henti-hentinya berharap keajaiban itu ada. Dia merasa sedang menyesali sesuatu tapi tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Tuhan sudah mengambil kembali sesuatu yang sejak awal memang bukan miliknya. “Boram, makan dulu yuk.” Boram tersenyum lemah sembari menggeleng pada Jenna di sampingnya yang baru saja mengambil alih makan siang yang di antarkan pegawai rumah sakit. “Jangan seperti itu. Kamu tetap butuh makan.” “Rasanya aku malas sekali melakukan apa-pun.” Jenna menghela napas, merapikan rambut Boram dengan senyuman hangat. “Kamu tidak kasihan dengan Samudra?” Boram terdiam, Suaminya tadi pulang sebentar ke rumah saat Jenna datang untuk membant
“Mutia, kamu ngegemesin banget sih.”Boram nampak senang setelah memakaikan gaun pink berenda untuk Mutia selepas mandi sore karena niatnya setelah ini adalah mengajak Mutia jalan-jalan ke taman dekat komplek.“SiniTante cium dulu. Pasti harum banget.”Mutia tertawa di dalam pelukan Boram hingga membuatnya geli dan ingin melepaskan diri. Boram semakin lama semakin sayang dengan Mutia dan mulai memperlakukannya seperti anak sendiri meskipun kenyataannya begitu pahit. Namun, untuk dirinya sendiri, kehadiran Mutia membawa kegembiraan tersendiri untuknya.“Bu Boram, cemilan sama strollernya sudah siap di bawah.”Boram menoleh dan tersenyum pada Bik Umang, tukang masak di rumah Nina yang usianya sudah lanjut tapi masih giat bekerja. “Oke, Bik. Sebentar lagi kami turun ke bawah.”Boram memakaikan pita di rambut Mutia yang sudah diikat dua kanan dan kiri dengan senyuman puas lalu menggendongnya untuk turun. Sampai di bawah bik Umang menungggu sembari memegang stroller Mutia dan membantu Bor
Sam yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di depan laptop yang menyala,melirik sekilas seseorang yang masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk terlebih dahulu dan mendengkus setelahnya.“Harap ketok pintu dulu sebelum masuk.”Laki-laki yang sudah masuk ke dalam ruangannya itu berhenti melangkah, mundur beberapa jengkal untuk kembali mengetuk pintu sembari tertawa dan masuk ke dalam.“Serius banget.” Sam menyandarkan punggungnya, meladeni laki-laki di depannya itu. “Ngopi yuk.”“Bukannya kamu lagi honeymoon ya? Kok cepat banget pulangnya.”Akmal, salah satu sahabatnya di sekolah dulu selain Alka tersenyum sumringah membuat Sam menaikkan alisnya heran.“Buat apa lagi honeymoon kalau istriku ternyata sudah positif hamil.”“Hah?” Sam cengok, menghitung dalam hati usia pernikahan Akmal dan Lili yang baru berlangsung hampir dua bulan itu. “Seriusan? Cepat banget. Lili enggak kamu buntingin duluan kan?”Akmal yang seorang anggota polisi itu mengepalkan tangannya. “Enak saja!” Akmal duduk di
Sehari setelah insiden, Nina diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah baik-baik saja dan ada beberapa polisi yang berjaga di sekitar rumah Nina agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi. Sam masih melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap kasus Nina di mana Reno, suaminya itu masih dalam status buron. Sementara Boram setiap pulang sekolah punya kegiatan baru jika sedang tidak ada jadwal mengajar les yaitu mampir ke rumah Nina untuk bermain dengan Mutia. “Mbak, saya tidak mau merepotkan sampai harus datang jauh-jauh ke sini,” ujar Nina suatu hari.“Tidak. Aku ini setelah pulang ke rumah kalau tidak ada jadwal les ya pengangguran. Terlebih jika Sam sedang menangani suatu kasus di mana dia lebih banyak lembur. Aku kadang suka main di tempat sahabatku dan bermain bersama anaknya. Jadi, kamu tidak usah khawatir.” Boram mencoba menjelaskan. “Atau kamu merasa kurang nyaman kalau aku datang terus?”Nina reflek langsung membantah. “Tentu saja tidak. Aku sangat berterima kasih tapi taku