Flashback, 4 hari sebelum hari lamaran"Kamu menyerah menunggunya begitu saja setelah semua hal yang terjadi pada kalian selama ini?"Boram terdiam mendengar pertanyaan Reihan setelah laki-laki itu terbelalak maksimal saat Boram mengatakan kalau dia menerima lamaran lelaki lain. Seakan-akan dia yang disalahkan bukannya Sam yang tidak ada kabarnya sama sekali."Apa Mas sudah memberikan surat yang aku titipkan untuknya?"Gantian Reihan yang terdiam lalu tidak lama dia mengangguk pelan. "Ya, dia membacanya."Boram tersenyum miring, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. "Aku sudah menulis jelas di surat itu tentang apa yang akan aku lakukan selama menunggunya. Seharusnya dia datang mencariku supaya aku tahu bagaimana kabarnya tapi setelah satu setengah tahun berlalu yang aku tunggu hanya bayangan."Reihan bungkam. Boram memalingkan wajahnya dengan napas menderu. Terasa sesak di dadanya. Lalu kembali menatap Reihan melalui layanan video call langsung dari New York. "Bukankah ini
"Eh gila!!" Boram tanpa sadar bergumam di samping Barbara yang terkekeh geli mendengarnya. Sesaat setelah masuk ke dalam cafe, Boram dibuat terpana. Dekorasi cafe yang biasanya casual tapi terkesan hangat berubah lebih meriah. Banyak rangkaian bunga hidup yang tersebar menghiasi keseluruhan ruangan."Sebenarnya ini hari jadi kembali atau Anniversary sih?"Barbara tertawa. "Memangnya kalau kejutan untuk merayakan kembalinya sesama mantan yang saling mencintai tidak boleh semeriah ini?" Mereka masih berdiri di ambang pintu seraya mengedarkan pandangan. Boram berbisik. "Bukan gitu tapi kan terlalu berlebihan. Siapa yang menjamin kalau minggu depan mereka masih bersama."Barbara tertawa membahana membuat Boram nyengir lalu memyeretnya masuk melewati banyak meja yang sudah terisi tapi lebih banyak yang kosong dan membawanya duduk di salah satu sofa. Boram duduk seraya menghela napas dan bersandar nyaman di sana.Penyanyi cafe yang memang biasa manggung di sana sedang menyanyikan reff sal
Flashback Seminggu setelah bangun dari koma, Singapura. "Bagaimana keadaanmu sayang?" Adela mengelus puncak kepala Sam dengan penuh sayang. Bersyukur kalau anak lelakinya sudah melewati masa-masa rawan dan terbangun meski membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sam hanya diam memandangi Mamanya. Dia merindukan seseorang."Kenapa Mama harus membawaku jauh sampai ke sini?" Adela bergeming. Dia sudah menyiapkan diri kalau pada akhirnya Sam menanyakan dia. "Sam merindukan Boram. Sebelumnya bertanya-tanya sendiri kenapa dia tidak ada di sini saat aku membuka mata tapi ternyata karena aku jauh dari jangkauannya. Kenapa Ma?"Adela tersenyum dan menggenggam telapak tangan Sam. "Yang harus kamu pikirkan sekarang itu memulihkan diri sayang."Sam menggeleng. "Aku memikirkan Boram sejak aku bangun."Adela menghela napas. Dia tidak akan bisa menghindar lagi. "Dia hanya berada di rumah sakit saat kamu pertama kali di bawa ke sana." Sam menaikkan alisnya. Kepalanya masih terasa berdenyut tapi seleb
Dua hari setelah mendapat kabar Boram dilamar lelaki lain, Indonesia."Siapa namanya?" tanya Sam ke Jenna."Panji. Kamu sudah sampai di kampungnya Boram?"Sam mengedarkan pandangan setelah memarkirkan mobilnya. "Sudah. Aku sedang mencari rumah lelaki itu.""Gampang kok. Rumahnya bersebelahan dengan rumah ketua RT." Sam berjalan perlahan memandangi deretan rumah dan menemukan papan RT di salah satu dindingnya. "Ah iya ketemu. Makasih banyak ya Mbak.""Sama-sama. Kabari aku perkembangannya.""Siap."Sam memasukkan ponselnya di saku celana, bingung antara rumah di sebelah kanan atau kiri saat lelaki berpakaian PNS keluar dari rumah sebelah kanan. Sam terdiam memandangi lelaki itu yang akhirnya menyadari keberadaanya dan balik memandanginya. Sam tersenyum dan mendekat."Apa benar ini rumahnya Mas Panji?"Panji jelas bingung melihat ada lelaki muda dengan pakaian casualnya yang terlihat mahal mencarinya. "Iya benar. Kebetulan saya sendiri. Ada apa?"Sam mengulurkan tangan. "Samudra Arkana
Sebulan setelah keluar dari rumah sakit, Singapura "Sayang—" Sam mengangkat pandangannya. Menemukan Mamanya, Om Jery, Papanya Anthony dan juga Ratu yang menghampirinya dengan senyuman. Sam memasukkan ponselnya setelah memandangi wajah Boram di ayunan kayu dekat kolam renang di rumah Om Jery yang ada di Singapura."Ada apa?"Sam berdiri dan memandangi mereka bergantian seakan meminta penjelasan. Mamanya mendekat dan memeluk bahunya. "Papamu mau pamit."Sam kaget dan melihat ke arah Anthony. "Papa kau ke mana?"Anthony tersenyum. "Setelah bercerai, Papa akan pindah ke Vancouver tapi kamu tenang saja. Papa akan selalu ada jika kamu membutuhkan. Tinggal katakan saja. Juga semua biaya untuk sekolahmu sudah Papa siapkan jadi kamu tidak perlu memikirkan apapun. Tinggal berusaha keras untuk masuk dan belajar yang rajin supaya bisa jadi pengacara hebat nantinya.""Kenapa pindah?" Sam jelas heran. Lalu memandangi antara Papanya dan Mamanya. "Kalian tidak akan bersama?"Adela tersenyum dan men
Malam sebelum kejutan ulang tahun Boram, Malbourne"Sayaaang, coba sini deh." Sam mengetukkan bulpointnya di meja ruang tamu, melirik sekilas ke arah dapur. "Sayaaaangg, ini kok hitungannya susah ya." Sam berteriak lagi dengan suara manja.Boram datang dari arah dapur membawa segelas susu coklat dan menghampiri Sam lalu duduk di sampingnya setelah meletakkan gelas di meja. "Mana coba lihat?" Sam menunjuk beberapa soal hitungan yang ada di buku. Boram melihat dengan cermat seraya berpikir. "Hmm." Lalu diambilnya bulpoint di tangan Sam dan mulai mencoret-coret di kertas. "Diurai dulu supaya bisa di cari rumusnya."Sam bertopang dagu memperhatikan Boram yang menunduk serius, sementara dia sudah salah fokus."Memangnya rumusnya lari ke mana?" celetuknya.Boram menaikkan padangan dan mendelik, "Mas, yang serius dong belajarnya." Lalu kembali menunduk."Masih geli ah di panggil begitu," kekeh Sam seraya menarik-narik ujung rambut Boram. "Yang tua siapa yang ngerasa tua siapa." Lalu tertawa
Seumur hidupnya, Boram sama sekali tidak pernah merayakan yang namanya ulang tahun. Selama tinggal di panti asuhan, biasanya setiap anak yang ulang tahun hanya ditandai dengan berdoa bersama saat makan malam. Hanya itu. Tidak ada perayaan spesial seperti yang didapat anak-anak lain seusianya di luar sana. Tidak ada perayaan, balon warna-warni, kue ulang tahun, badut lucu, kado dan ucapan spesial dari keluarga terdekat. Sudah jelas karena mereka bukan termasuk kelompok orang-orang yang beruntung mendapatkan itu semua. Mereka sudah dibuang dan disisihkan karena takdir sudah menggariskannya seperti itu.Mengenaskan memang tapi Boram tidak pernah bersedih akan hal itu. Baginya, dia dalam keadaan sehat saja itu sebentuk anugrah tidak terkira yang sangat disyukurinya.Saat bersama almarhum Mas Kelana pun, mereka hanya merayakan dengan jalan-jalan terus makan di warung tenda dan pulang dengan perasaan bahagia. Sederhana tapi Boram menyukai hal-hal seperti itu.Boram hidup di dunia nyata yan
Inilah sebentuk kebahagiaan yang Samudra inginkan sejak dia pertama kali bertemu dengan Istrinya. Perjumpaan mereka di tengah medan tawuran dan insiden lari-lari modelan FTV untuk sampai ke sekolah. Dia masih ingat dengan semua kalimat absurdnya hari itu yang tidak biasanya dia lakukan. Sam bukan seorang penggombal ulung dan melakukan modusan remeh seperti itu padahal mereka baru saja bertemu. Tapi hari itu segalanya berbeda dan setelahnya Boram tidak bisa lepas dari pikirannya."Kado apa yang kamu inginkan dariku?"Boram yang berjalan bersisian di sampingnya menoleh dan menggeleng. "Aku tidak butuh apapun cukup kita tidur nyenyak malam ini berdua saling berpelukan."Sam mendesah. Menghentikan langkah kakinya begitu juga Boram dan berdiri saling berhadapan. Jarak antara cafe dengan apartemen mereka lumayan jauh sekitar 1 km tapi mereka lebih suka pulang dengan berjalan kaki berdua. Tidak akan terasa lelahnya."Tidak bisa seperti itu sayang." Sam menatap Boram lekat. "Setiap malam kita