“Nilam, kamu di panggil pak Tono.” Nilam yang sedang beristirahat langsung menghela napas, meski enggan perempuan itu tetap bangkit dan menghampiri perempuan tua yang sudah menunggunya di ujung jalan.
"Tuh kan bener, si Nilam ini sekarang jadi simpenan pak Tono"
"Diem-diem nusuk ya dia, gimana si Ayu enggak gila. Udah pak Tono di rebut dianya di gilir jahat juga si Nilam" Tanpa melihat kanan dan kiri Nilam terus berjalan mengikuti perempuan tua yang beberapa bulan lalu membantunya mandi di rumah pak Tono, pemilik perkebunan tempatnya mencari nafkah. Ia abaikan semua gunjingan rekan kerjanya, meski dalam hati ingin sekali Nilam berteriak kepada semua orang bahwa ia bukan simpanan. Nilam sama sekali belum menjawab tawaran pak Tono meski yang bersangkutan sudah berkali-kali membuat alasan agar bisa menemuinya untuk menanyakan jawaban dari tawarannya tempo hari.
“Pak, Nilam sudah datang." Seperti biasa perempuan tua tadi akan pergi setelah membawa Nilam kehadapan pria berusia empat puluh tahun yang hobi menghisap cerutu itu.
"Sudah makan Nilam? Sebentar lagi waktunya makan siang, makan saja di sini." Nilam menatap berbagai hidangan yang sudah di tata dengan apik di atas meja.
"Saya bukan simpanan bapak, jadi bapak enggak punya kewajiban untuk manjain saya" Nilam menguatkan hati, perempuan itu sudah siap dengan segala resiko yang akan ia terima karena keputusannya hari ini.
"Saya udah mikirin baik-baik tawaran bapak, tapi maaf pak saya menolak menjadi simpanan bapak." Nilam mengangguk singkat tanda undur diri dari ruang makan, pak Tono tidak melarang laki-laki itu hanya diam memperhatikan Nilam sembari menopang dagunya dengan kedua tangan yang terkepal.
***
"Nilam.. Nilam!"
Samar-samar Nilam seperti mendengar namanya di panggil oleh seseorang, ini tengah malam manusia mana yang masih berkeliaran di malam gelap seperti ini. Nilam yang ketakutan memutar pandangan untuk memperhatikan sekelilingnya, ia mencoba mencari benda apapun yang dapat di gunakan untuk melindungi diri.
"Nilam!"
Nilam mengambil kayu bakar yang di temuinya tergeletak di sudut rumah begitu seseorang mencoba membuka paksa pintu rumahnya, beruntungnya Nilam sempat menahan diri ketika menyadari bahwa perempuan tua dari rumah pak Tono lah yang memaksa masuk ke gubuknya di tengah malam seperti ini.
"Lari Nilam, kamu harus lari! Sebentar lagi mereka akan datang, cepat!" Perempuan tua itu menarik Nilam yang masih belum mengerti dengan situasi yang sedang di hadapinya.
"Cari jalan pintas menuju jalan besar Nilam, ikut menumpang pada kendaraan pembawa sayur yang akan mengantar sayuran ke kota. Jangan pernah kembali lagi ke kampung ini" perempuan tua itu berbisik, Nilam juga dapat merasakan tangan perempuan tua itu sedikit bergetar ketika menyerahkan bungkusan kain kecil kepadanya.
"Pakai ini untuk bekal kamu di kota, semoga di sana nasib mu lebih baik Nilam." Nilam masih tidak mengerti apa yang sebenernya terjadi, ia hendak bertanya tapi perempuan tua itu sudah mendorongnya pergi dan meminta Nilam untuk tidak pernah menengok kebelakang.
“Di mana perempuan sundal itu?! kamu sembunyikan di mana dia!” Nilam mempercepat larinya ketika samar-samar ia mendengar suara beberapa laki-laki yang berteriak menanyakan di mana keberadaannya. Nilam juga mendengar suara pukulan dan jeritan kesakitan si perempuan tua.
“Sa.. saya enggak tau pak, sumpah saya enggak tau. Ampun. Argh!” Dengan kaki telanjang Nilam terus berlari meski pandangannya mulai kabur karena air mata, di genggamnya dengan erat bungkusan kain kecil berisi uang yang di berikan oleh perempuan tua tadi dengan erat. Nilam berjanji, ia akan membalas kebaikan perempuan tua itu jika mereka kembali bertemu suatu saat nanti.
“Eh, siapa itu?” “Astaga, gila ya dia?” “Buk, itu orang gila?” “Sttt, jangan di tunjuk. Udah ayo, ikut ibuk belanja aja.” Nilam gugup, ia begitu saja menjadi pusat perhatian begitu turun dari mobil pengangkut sayuran yang berhasil di temuinya begitu sampai di jalan besar. Beberapa orang menunjuknya sembari berteriak kata ‘gila’ “Oh, maaf. Maaf saya enggak sengaja, maaf.” Nilam langsung menunduk, memungut satu persatu belanjaan seorang ibu-ibu yang tidak sengaja ia senggol. “Enggak apa-apa neng, enggak apa-apa.” si ibu memperhatikan Nilam leka
Nilam hanya pasrah ketika petugas salon memotong rambut ikalnya menjadi sebahu dan mengubah rambutnya yang sudah ke coklatan menjadi lebih berwarna lagi, dark honey-blonde kata petugas salonnya ketika Nilam bertanya apa nama warna rambut barunya. Perempuan itu menatap wajah barunya dengan perasaan asing, wajahnya mulai bersih dan penampilannya semakin trendi selama enam bulan ini tinggal di ibu kota. “Nilam cantik banget!” Rara yang hari ini menemaninya ke salon berseru heboh, perempuan cantik itu memotretnya beberapa kali dan mengirimkan fotonya ke bu Darmi. “Yuk, kita harus ke studio sekarang. Nik sama timnya udah nunggu.” Nilam lagi-lagi hanya pasrah, ia masih belum bekerja. Bu Darmi bilang Nilam masih harus membuat portofolio, karena itu sekarang Rara menemaninya menemui Nik fotografer langganan bu Darmi. “Nik!” Rara langsung berlari menghampiri laki-laki yang sedang memegang kamera, Nilam hanya mengikuti. “Nik, ini Nilam. Anak baru dan Nilam ini
Nik beberapa kali mengambil gambar Nilam sebelum akhirnya mengacungkan jempol ketika pose Nilam yang sedang berdiri di atas kedua lututnya sembari menggigit jari telunjuknya dan menatap malu-malu pada kamera terabadikan, di foto itu kemeja Nilam yang kancing atasnya sudah terbuka hingga memperlihatkan belahan dadanya terlihat melekat di beberapa tempat karena keringat. "Bagus loh Nilam, keliatan polos tapi seksi hahaha" itu komentar Rara setelah melihat hasil fotonya dari kamera Nik. Untuk sesi foto kedua Rara menyarankan Nilam untuk memakai sweater rajut yang di lengkapi dengan kaus kaki sepanjang lutut sebagai aksesori. Sweater itu jauh lebih pendek dari kemejanya barusan karena hanya mampu menutupi hingga bawah bokongnya saja, belum lagi kerah sweater rajut ini lumayan mengekspos leher, bahu dan tulang selangkan Nilam. Di sesi foto kedua ini Nik mengacungkan jempolnya untuk foto Nilam yang menyenderkan tubuh ke dinding sembari menekuk salah satu kakinya ya
Nilam yang baru saja selesai olahraga terkejut menemukan Nik si fotografer yang satu bulan lalu memotretnya ada di dapur rumah bu Darmi. Laki-laki itu hanya mengenakan celana jeans yang menggantung rendah di pinggulnya tanpa mengenakan atasan, Nilam spontan menunduk demi mengalihkan pandangannya dari otot Nik yang kencang. "Hai kembang desa, udah liat hasil portofolionya?" tanya Nik sembari membuka tutup air mineral yang ia dapat dari kulkas rumah bu Darmi. "Belum, memang udah jadi?" Nilam berusaha bersikap sesantai mungkin ketika berjalan ke meja makan dan mengambi sebutir apel dari keranjang. "Udah, ada di Rara. Tanya aja" Perempuan itu mengangguk dan mulai menaiki tangga menuju kamarnya. Nilam mengerutkan dahinya ketika melihat Nik mengikutinya naik ke lantai tiga, semua pekerja bu Darmi entah laki-laki atau perempuan memang tinggal
“Nik!” Nilam spontan langsung mendorong tubuh Nik menjauh begitu Rara mendekat, perempuan itu menundukan kepala untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. “Eh, kalian kenapa? Nilam, Nik gangguin lo ya?” “Eh, enggak, enggak kok. Eng saya ke bu Darmi dulu deh.” Nilam pergi begitu saja, sama sekali tidak mau tau apa yang Rara bicarakan dengan Nik. Dari tempatnya berdiri, Nilam hanya sekilas melihat dua sejoli itu seperti sedang berdebat. Nilam masih terus merasa Nik memperhatikannya, hal itu membuat perempuan itu salah tingkah. Akibatnya Nilam tidak bisa dengan jelas menyimak obrolannya dengan bu Darmi. “Nilam.”  
“Gue enggak tau kalau lo akrab sama Nik.” Rara tiba-tiba saja bersuara, mereka sudah dalam perjalanan pulang sekarang. “Gue liat dia tadi keluar dari ruang ganti yang lo pake.” “Ah, eng itu..” wajah Nilam kembali memerah begitu mengingan kejadian beberapa saat lalu, beruntungnya Nik sudah pergi begitu Nilam keluar dari ruang gantinya. “Nik itu supel, gampang deket sama orang. Kadang sampe bisa bikin salah paham.” Rara melirik Nilam sekilas dari sudut matanya. “Gue enggak mau lo berharap sama sesuatu yang enggak perlu sih.” “Misalnya?” “Cinta.” Nilam tertegun sebentar. “Denger Nilam, kalau lo mau hidup di kota lo enggak boleh percaya cinta. Jadi, buang jauh-jauh apapun yang lo pikirin tentang Nik. Percuma, lo cuma bakalan sakit hati nantinya.” Rara mengetuk jarinya pelan, perempuan itu jelas sangat berhati-hati ketika berbicara dengan Nilam. “Ya, gue sih cuma ngingetin aja. Sisanya terserah lo.” Nilam tidak menjawab, Rar
"Duh, kamu ini. Tau aja mana barang bagus" bu Darmi tiba-tiba saja datang, Nilam memutuskna untuk bersembunyi di balik tubuh bu Darmi begitu menyadari laki-laki itu masih terus menatapnya lekat. "Bu Darmi yang keterlaluan, ada barang bagus malah diem aja. Takut saya enggak bisa beli?" bu Darmi terkikik, perempuan yang menolak di sebut tua meski usianya sudah setengah abad itu sepertinya sedang benar-benar merasa bahagi malam ini. "Mana berani saya mikir kayak gitu, yang ini butuh penanganan special, kayak bayi baru lahir. masih polos." "Udah banyak yang nawar?" lagi Nilam mendengar laki-laki itu bertanya kepada bu Darmi "Lumayan, mereka semua penasaran mau nyobain gimana rasanya main sama yang masih polos. Kadang yang belum pengalaman itu bikin greget katanya"Nilam semakin merapat
“Astaga, Nik!” Rara berteriak heboh ketika Nik mengambil minuman yang sedang ia buka, dua sejoli itu memang sangat berisik sejak tadi. “Minta, pelit banget.” “Ambil sendiri!” Nik mengabaikan ucapan Rara, laki-laki itu dengan santai tetap membuka kaleng soda di tangannya dan menghabiskannya dalam satu tegukan cepat. “Nik! Lo gila ya?!” “Hahahaha, duh sakit tenggorokan gue.” Rara berdecak dan cepat-cepat mengulurkan air putih untuk si fotografer. Nilam memperhatikan semua interaksi itu dalam diam, perempuan itu tetap memangku popcorn di pahanya. Sama sekali