“Gue enggak tau kalau lo akrab sama Nik.” Rara tiba-tiba saja bersuara, mereka sudah dalam perjalanan pulang sekarang.
“Gue liat dia tadi keluar dari ruang ganti yang lo pake.”
“Ah, eng itu..” wajah Nilam kembali memerah begitu mengingan kejadian beberapa saat lalu, beruntungnya Nik sudah pergi begitu Nilam keluar dari ruang gantinya.
“Nik itu supel, gampang deket sama orang. Kadang sampe bisa bikin salah paham.” Rara melirik Nilam sekilas dari sudut matanya.
“Gue enggak mau lo berharap sama sesuatu yang enggak perlu sih.”
“Misalnya?”
“Cinta.” Nilam tertegun sebentar.
“Denger Nilam, kalau lo mau hidup di kota lo enggak boleh percaya cinta. Jadi, buang jauh-jauh apapun yang lo pikirin tentang Nik. Percuma, lo cuma bakalan sakit hati nantinya.” Rara mengetuk jarinya pelan, perempuan itu jelas sangat berhati-hati ketika berbicara dengan Nilam.
“Ya, gue sih cuma ngingetin aja. Sisanya terserah lo.” Nilam tidak menjawab, Rara juga tidak memaksa. Bagi Rara cukup satu peringatan dan sisanya biarkan Nilam sendiri yang memutuskan.
***
"Yuk sayang, kita udah sampai" Nilam tersentak dari lamunannya, perempuan itu gugup bukan main karena malam ini adalah perayaan pesta ulang tahunnya. Malam ini Nilam juga akan bertemu dengan banyak klien bu Darmi, Rara bahkan sudah memperingatkan Nilam sejak dua hari yang lalu. Perempuan itu bilang, lancar atau tidaknya pekerjaan Nilam tergantung sikapnya hari ini.
"Jangan gugup sayang, malam ini kamu bintangnya." Bu Darmi mengelus lengan Nilam yang terbuka, perempuan berusia setengah abad itu juga dengan sabar menuntun Nilam yang masih sedikit kesusahan berjalan dengan stilettonya.
"Nilam! astaga, cantik banget. Aura perawan emang beda! Hahaha." bersama bu Darmi, Nilam menghampiri Rara yang dengan heboh memeluknya begitu ia mendekat.
"Kembang desa!" Nilam langsung salah tingkah, hanya ada satu orang yang memanggilnya seperti itu. Nik, si fotografer yang beberpa hari lalu dengan kurang ajar menipunya. Nilam ingat sekali, bagaimana Nik dengan santainya memutar tubuhnya untuk kembali menghadap cermin dan mulai menaikan ritsletingnya dengan benar.
“Lo cantik Nilam, gue suka.” Ucap laki-laki itu sebelum benar-benar keluar dari bilik ruang gantinya.
"Selamat ulang tahun Nilam, semoga lo selalu bahagia." Nilam berusaha mengontrol debaran jantungnya ketika Nik memberi satu pelukan dan kecupan singkat di pipinya.
“Ah, ya. makasih.” Nilam masih menundukan kepala, sama sekali tidak berani mengangkat kepala. Perempuan itu belum siap terpesona pada penampilan Nik yang menurutnya malam ini benar-benar sangat rupawan.
“Nah, Nilam. Sekarang saya kenalin kamu ke klien saya, yuk.” Nilam yang diam-diam melirik Nik terkejut karena bu Darmi menarik tangannya dan membawanya berkeliling menghampiri satu demi satu kliennya yang kebanyakan laki-laki.
"Hai, birthday girl" Nilam sedang berdiri sendirian di sudut aula ketika seseorang menyapanya, setelah acara tiup lilin semua orang mulai menikmati hiburan yang di sediakan. Bu Darmi dan rekan-rekannya mulai berpencar menghampiri orang-orang yang mereka kenal untuk berbincang.
Nilam yang tidak mengenal orang-orang itu memilih berdiri di sudut aula untuk memperhatikan bagaimana orang-orang di ibu kota dengan luwesnya berbincang satu sama lain ketika laki-laki asing ini menyapanya.
"Saya baru liat kamu hari ini, udah lama ikut bu Darmi?"
"Ah, iya lumayan" Nilam dengan kikuk menjawab pertanyaan lelaki tanpa nama di hadapannya, Nilam semakin merasa serba salah ketika laki-laki di hadapannya hanya diam memandanginya lekat.
"Duh, kamu ini. Tau aja mana barang bagus" bu Darmi tiba-tiba saja datang, Nilam memutuskna untuk bersembunyi di balik tubuh bu Darmi begitu menyadari laki-laki itu masih terus menatapnya lekat. "Bu Darmi yang keterlaluan, ada barang bagus malah diem aja. Takut saya enggak bisa beli?" bu Darmi terkikik, perempuan yang menolak di sebut tua meski usianya sudah setengah abad itu sepertinya sedang benar-benar merasa bahagi malam ini. "Mana berani saya mikir kayak gitu, yang ini butuh penanganan special, kayak bayi baru lahir. masih polos." "Udah banyak yang nawar?" lagi Nilam mendengar laki-laki itu bertanya kepada bu Darmi "Lumayan, mereka semua penasaran mau nyobain gimana rasanya main sama yang masih polos. Kadang yang belum pengalaman itu bikin greget katanya"Nilam semakin merapat
“Astaga, Nik!” Rara berteriak heboh ketika Nik mengambil minuman yang sedang ia buka, dua sejoli itu memang sangat berisik sejak tadi. “Minta, pelit banget.” “Ambil sendiri!” Nik mengabaikan ucapan Rara, laki-laki itu dengan santai tetap membuka kaleng soda di tangannya dan menghabiskannya dalam satu tegukan cepat. “Nik! Lo gila ya?!” “Hahahaha, duh sakit tenggorokan gue.” Rara berdecak dan cepat-cepat mengulurkan air putih untuk si fotografer. Nilam memperhatikan semua interaksi itu dalam diam, perempuan itu tetap memangku popcorn di pahanya. Sama sekali
"Nik" “Hmm?” Nilam mengabaikan Nik yang sekarang menaikan sebelah alisnya seolah bertanya ada apa, Nilam hanya terus melangkah maju dan semakin mendorong Nik untuk menempel ke kulkas yang tertutup. Perempuan itu menyusuri dada Nik dengan jarinya sembari sesekali membuat pola abstrak, Nilam semakin merasa percaya diri ketika Nik sama sekali tidak menolaknya. Fotografer itu hanya diam bahkan ketika tangan Nilam sudah sampai di tengkuk laki-laki itu, kepalanya menengadah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengulum bibir tipis fotografer kesayangan Rara tersebut. Di kulumnya bibir Nik yang membuatnya penasaran. Seakan belum cukup Nilam juga menggunakan lidahnya untuk membelai bibir tipis yang masih tertutup rapat tersebut. Nilam hampir menyudahi ciuman sebelah pihak tersebut ketika akhirnya Nilam merasakan sebelah tangan Nik m
Nilam menatap bu Darmi untuk sekedar memastikan apakah betul ia akan menemui kliennya dengan pakaian seperti ini. Setelah melakukan perawatan dari ujung kaki hingga kepala, bu Darmi membawa Nilam untuk belanja. Katanya Nilam perlu pakaian baru untuk menemui kliennya, Nilam sudah menolak dan berkata ia masih memiliki banyak pakaian bagus di lemari. Tapi bu Darmi bilang kliennya ini meminta Nilam mengenakan pakaian khusus. Dan disini lah Nilam sekarang berada, di hotel yang sama tempat ia merayakan pesta ulang tahun ke dua puluhnya satu minggu yang lalu. Nilam tidak cukup percaya diri dengan dandanannya malam ini, Nilam tidak tau pekerjaan apa yang mengharuskannya mengenakan pakaian kemeja dengan dasi pita berwarna pink dan juga rok rampel hitam yang mengembang di atas paha, bu Darmi juga melengkapi penampilan Nilam dengan sebuah kaus kaki putih sepanjang lutut dan sepatu kets berwarna putih.
“Kita bilas dulu ya mba.” “Oh, iya.” Nilam sedang menikmati pelayanan yang terapis salon berikan kepadanya ketika mengingat raut wajah terkejutnya Rara mendapati Nilam baru saja pulang dari klinik kecantikan bersama bu Darmi. Saat itu Rara baru saja kembali setelah selama satu minggu mengikuti klien bu Darmi ke luar negeri. "Kamu istirahat ya sayang, lusa kamu udah ada klien jadi jaga tubuh kamu baik-baik. Oke?" Nilam mengangung riang pada bu Darmi yang dengan penuh senyum kemenangan berjalan memasuki galerinya. Nilam sudah memutuskan untuk mengikuti perkataan Rara, ia akan beradaptasi. Untuk itu ia kubur dalam-dalam sosok Nilam si gadis kampung dan melahirkan satu sosok baru, Nilam si gadis ibu kota yang penuh dengan percaya diri. "Hai Ra, gimana Eropa?" Nilam dengan santai mengapit tangan Rara dan menuntun temannya itu
Nilam menundukan kepala, ia memainkan jemarinya gusar. Nilam tau bagaimanapun Dewi menjelaskan kepada Dewa bahwa perempuan itu yang lebih dulu mendatanginya, bagi Dewa ia akan tetap menjadi penjahatnya “Sayang, kok langsung berdiri gitu sih. Inget kata dokter kandungan trisemester pertama itu rawan” ah jadi istri Dewa yang penyakitan itu sedang hamil “Berlebihan deh kamu” dari sudut matanya Nilam melihat bagaimana Dewa tersenyum lembut kemudian mencium kening istrinya penuh sayang “Ah iya, liat aku ketemu siapa.” Nilam panik ketika Dewi menuntun Dewa untuk lebih mendekat kepadanya, ia ingin sekali pergi tapi si penjaga justru terlihat tidak peduli.  
Nilam tersentak ketika Dewa tertawa keras dalam pelukannya, sebelumnya Nilam bertanya kepada laki-laki itu kenapa ia menginginkan Nilam untuk mengandung bayinya, apakah diam-diam Dewa menaruh perasaan terhadapnya. “Kamu benar-benar bodoh Nilam, saya hanya membutuhkan kamu karena di rumah ini hanya kamu yang belum di sentuh orang lain selain saya” Nilam mati kutu mendengar ucapan Dewa “Kamu mengharapkan cinta Nilam? Jangan mimpi, laki-laki idiot mana yang akan jatuh cinta pada pelacur!” Nilam terdiam mendengar perkataan Dewa, ia membiarkan Dewa mendorong kepalanya beberapa kali dengan telunjuknya. “Nilam..Nilam.. saya hanya butuh tubuh kamu mengandun
Nilam sekali lagi memastikan bahwa klinik yang di datanginya sama dengan alamat klinik yang sebelumnya di berikan oleh Ru melalui pesan. Nilam berhasil membujuk Dewa untuk datang ke klinik yang di tunjuk oleh Ru dengan alasan di tempat terpencil seperti ini sedikit sekali orang yang mengenal mereka. Nilam meyakinkan Dewa kalau di klinik besar laki-laki itu bisa saja bertemu salah satu kenalannya yang akan mencurigai Nilam, isu miring tentang suaminya tentu dapat membuat kesehatan Dewi menurun. “Kamu yakin disini kliniknya?” Nilam merisingis mendengar petanyaan Dewa karena kenyataannya ia juga tidak tau apakah bangunan kumuh di depannya ini adalah klinik kandungan yang di maksud oleh Ru. “Iya mas, temen kerja aku yang lain suka periksa kesini kalau mereka ke bobolan. Klinik ini juga buka jasa aborsi ilegal”