Nilam tersentak ketika Dewa tertawa keras dalam pelukannya, sebelumnya Nilam bertanya kepada laki-laki itu kenapa ia menginginkan Nilam untuk mengandung bayinya, apakah diam-diam Dewa menaruh perasaan terhadapnya.
“Kamu benar-benar bodoh Nilam, saya hanya membutuhkan kamu karena di rumah ini hanya kamu yang belum di sentuh orang lain selain saya” Nilam mati kutu mendengar ucapan Dewa
“Kamu mengharapkan cinta Nilam? Jangan mimpi, laki-laki idiot mana yang akan jatuh cinta pada pelacur!” Nilam terdiam mendengar perkataan Dewa, ia membiarkan Dewa mendorong kepalanya beberapa kali dengan telunjuknya.
“Nilam..Nilam.. saya hanya butuh tubuh kamu mengandun
Nilam sekali lagi memastikan bahwa klinik yang di datanginya sama dengan alamat klinik yang sebelumnya di berikan oleh Ru melalui pesan. Nilam berhasil membujuk Dewa untuk datang ke klinik yang di tunjuk oleh Ru dengan alasan di tempat terpencil seperti ini sedikit sekali orang yang mengenal mereka. Nilam meyakinkan Dewa kalau di klinik besar laki-laki itu bisa saja bertemu salah satu kenalannya yang akan mencurigai Nilam, isu miring tentang suaminya tentu dapat membuat kesehatan Dewi menurun. “Kamu yakin disini kliniknya?” Nilam merisingis mendengar petanyaan Dewa karena kenyataannya ia juga tidak tau apakah bangunan kumuh di depannya ini adalah klinik kandungan yang di maksud oleh Ru. “Iya mas, temen kerja aku yang lain suka periksa kesini kalau mereka ke bobolan. Klinik ini juga buka jasa aborsi ilegal”
Begitu membuka pintu kamarnya, Nilam sudah menemukan bu Darmi duduk di atas ranjangnya sembari melipat tangan di dada. Dewa pasti sudah mengadukan tingkahnya selama di restoran tadi, tapi apa peduli Nilam saat ini bu Darmi tidak bisa melakukan kekerasan untuk menghukumnya. “Kamu kira, dengan keadaan sekarang kamu bisa bebas melakukan apapun Nilam?” “Saya enggak paham maksud bu Darmi.” “Nilam..Nilam.. kamu cuma akan kehilangan banyak hal jika terus bersikap sembarang seperti sekarang.” Nilam memutar bola matanya jengah mendengar nasihat bu Darmi, perempuan itu menggerakan bibirnya mengulangi perkataan bu Darmi barusan dengan nada yang di buat-buat. Hal itu membuat bu Darmi geram, tapi perempuan itu cukup sadar diri untuk harus menahan diri. “Gimana saya bisa takut kehilangan banyak hal bu? Selama ini kan saya memang enggak punya apa-apa.” perempuan itu dengan santai melangkahkan kaki ke meja riasnya dan mulai menghapus makeupnya. “Sehar
“Ya ampun jambu air!” Dewa yang baru saja memasuki ruang tamu tersenyum mendengar suara antusias istrinya yang dengan sangat semangat menyambutnya di ruang keluarga. “Mbok! Mbok!” “Pelan-pelan sayang.” “Duh, Mbok!” “Iya bu,” “Ini jambu airnya tolong di buatin petisan ya, pake rawit sama garem jangan lupa.” “Iya bu,” “Jangan banyak-banyak Mbok rawitnya.” “Iya pak.” Dewa kemudian berjalan sembari merangkul istrinya menuju kamar mereka, di sana Dewi membantu mengurusi keperluan mandi dan juga baju ganti suaminya. “Kamu katanya mau pulang sore mas, kok jam tujuh jadi baru dateng?” “Aku tadi lama ngambil jambu airnya dulu, karyawan aku yang mau bawain malah kelupaan jadi aku ikut kerumah dia tadi.” “Oh. Makasih ya mas, aku seneng banget akhirnya kesampean makan jambu air.” Dewa yang sedang mengeringkan rambutnya hanya mengangguk sembari tersenyum. Laki-laki itu mengelusi wajah istrinya penuh s
“Jangan lupa jadwal periksa kamu Nilam, Dewa udah wanti-wanti saya sejak jauh-jauh hari.” Bu Darmi langsung pergi setelah menyampaikan pesan tersebut, sejak malam itu Dewa memang tidak lagi pernah datang mengunjungi Nilam dan selalu menggunakan bu Darmi sebagai perantara komunikasi mereka. “Haah, alat ini bener-bener nyiksa!” Nilam melemparkan bantal-bantalan pemberian Ru ke atas ranjang setelah bu Darmi keluar dari kamarnya. Belakangan Nilam merasa tubuhnya tidak enak, ia sering merasa kembung dan juga begah. “Nih, obat lo.” Rara masuk dan kemudian langsung mengunci pintu begitu melihat Nilam tidak mengenakan bantal kehamilannya. “Nilam! lo nih kebiasaan, teledor. Kalau bu Darmi tiba-tiba masuk gimana?!” “Ck enggak akan, bu Darmi sekarang males banget ketemu gue. Kalau bukan untuk ngurusin urusan gue sama Dewa dia enggak akan dateng.” “Tapi tetep aja, lo harus lebih
Setelah memastikan pintu dan pagar rumahnya terkunci sebelum berjalan menyusuri gang kecil menuju tempat kerjanya yang baru, warung kelontong milik bu Retno. “Mau berangkat kerja Nilam?” “Ah iya bu, mari.” Nilam malas berbasa basi, karena itu ia langsung melangkah pergi. Perempuan itu sama sekali tidak peduli pada segerombolan ibu-ibu kurang kerjaan yang sibuk menggosipkannya. Nilam sampai di toko kelontong dan terkejut mendapati bu Retno sudah berdiri depan pintu roling. Nilam sedikit curiga karena tidak biasanya perempuan itu datang sepagi ini. “Nilam, akhirnya
Dewa sedang sibuk menggoda bayinya yang sekarang sudah tumbuh dengan sangat sehat ketika kepala pelayan datang, laki-laki itu mendelik sebal karena waktu bermainnya dengan sang putri harus terganggu. “Saya udah bilangkan, saya enggak suka di intrupsi waktu lagi main sama Ghiana.” “Maaf pak, tapi di depan ada yang nyari bapak dan ngotot mau ketemu.” “Kamu enggak bisa ngusir dia? Harus saya yang turun tangan langsung ngurus beginian?!” Desis Dewa dengan sebal, jika tidak ada Ghiana di dekatnya laki-laki itu pasti sudah menghajar kepala pelayan yang menurutnya sudah sangat tidak kompeten itu. “Laki-laki itu bilang, dia bawa informasi yang selam
Nilam gemetaran, laki-laki di luar sana memang Dewa. Ia sudah memastikannya berkali-kali. Yang tidak Nilam ketahui adalah bagaimana bisa Dewa mengetahui tempat persembunyiannya. Di tengah kekalutannya itu ponsel Nilam berdering, nama Ru muncul di layarnya. “Gimana, suka kejutannya?” “Ru, brengsek! Penghiakat lo, gue udah kasih uang sesuai sama yang lo minta!” “Lo enggak akan ngerti Nilam, lo enggak akan ngerti. ini semua bukan soal uang, tapi dendam. Lo enggak bisa egois kan? Hidup bahagia sendirian sementara orang-orang yang udah ngebantu lo hidup menderita.” “Apa maksud lo?!” &n
“Hati-hati sayang turunnya.” Seorang perempuan mengulurkan tangan, membantu balita berusia lima tahun turun dari mobil yang di tumpanginya. “Kita mau ngapain bu, kok ke sini lagi?” “Jenguk temen ibu dulu ya.” “Temen ibu masih sakit ya? belum sembuh-sembuh?” si anak bertanya dengan suara khasnya. “Iya, makanya masih kita tengok di sini. Ana udah bawa sup yang kita bikin di rumah kan?” “Udah dong, nih.” Si anak mengacungkan rantang mungil dengan motif bunga-bunga. “Pinter,