“Nik!” Nilam spontan langsung mendorong tubuh Nik menjauh begitu Rara mendekat, perempuan itu menundukan kepala untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Eh, kalian kenapa? Nilam, Nik gangguin lo ya?”
“Eh, enggak, enggak kok. Eng saya ke bu Darmi dulu deh.” Nilam pergi begitu saja, sama sekali tidak mau tau apa yang Rara bicarakan dengan Nik. Dari tempatnya berdiri, Nilam hanya sekilas melihat dua sejoli itu seperti sedang berdebat.
Nilam masih terus merasa Nik memperhatikannya, hal itu membuat perempuan itu salah tingkah. Akibatnya Nilam tidak bisa dengan jelas menyimak obrolannya dengan bu Darmi.
“Nilam.”
“Hah? Kenapa bu?”
“Ck, kamu ini dengerin saya enggak sih dari tadi.” Perempuan tua itu menggerutu.
“Maaf bu, tadi ibu bilang apa ya?”
“Duh kamu ini.” Bu Darmi membuka kipas di tangannya dan kembali mengulang ucapannya tadi.
“Kamu sebentar lagi ulang tahun kan? Nah, kali ini saya mau bikin perayaan besar untuk kamu.”
“Eh, jangan bu. Enggak usah, saya enggak mau semakin merepotkan.” Nilam sedang tidak berbasa basi, ia memang tidak ingin merepotkan bu Darmi lebih banyak lagi.
“Enggak apa-apa, kita akan tetep rayain ulang tahun kamu. Di hotel ya, nanti kamu juga beli gaun, ajak Rara.” Bu Dari masih sibuk mengipasi wajahnya dengan kipas besar di tangannya.
“Lagian ini kesempatan bagus untuk ngenalin kamu ke klien saya Nilam, di pesta nanti mereka semua akan lihat kalau kamu jauh lebih cantik aslinya di bandingkan di foto portofolio kamu itu.” Nilam sedikit tersipu, ia senang di katakana cantik.
“Tapi apa enggak terlalu merepotkan bu? Biaya hidup saya aja sampe sekarang masih ibu tanggung. Ngerayain pesta ulang tahun di hotel itu pasti butuh biaya banyak.”
“Enggak masalah, atau kalau kamu merasa terbebani kamu bisa menganggap itu semua sebagai hutang.” Nilam terlalu polos untuk bisa melihat sebaris senyum licik di bibir Darmi.
“Kamu bisa melunasinya setelah mulai bekerja nanti.”
“Iya bu, saya pasti akan ngeganti semua kalau udah mulai bekerja nanti.”
“Yah, saya harap kamu enggak akan pura-pura lupa nanti.” Nilam menggelengkan kepala kuat, perempuan itu meyakinkan Darmi kalau ia bukan manusia tidak tau diri seperti itu.
***
“Coba yang ini.” Nilam mengambil gaun yang pilihkan Rara, mereka sedang berada di pusat perbelanjaan sekarang.
“Eng, enggak ada model yang lain Ra?”
“Loh, kenapa. Enggak suka sama gaun yang ini?”
“Eng, terlalu terbuka enggak sih?”
“Hahahaha, astaga Nilam. Enggak, percaya gue. Lo pasti cantik banget pake gaun ini.” Nilam mengamati lagu gaun pilihan Rara, gaun itu tidak berlengan dan hanya memiliki satu tali tipis di pundak. Panjangnya memang sampai mata kaki, tapi belahannya nyaris setengah paha.
“Di coba Nilam.”
“Haah, oke.” Nilam masih terus mengamati gaun pilihan Rara, gaun di tangannya benar-benar sangat terbuka. Perempuan itu sama sekali tidak mengerti kenapa orang kota yang memiliki banyak uang suka sekali mengenakan pakaian seperti ini.
“Ck, susah lagi.” Ritsleting gaunnya menyangkut.
“Haah, Ra! Rara, kamu di luar kan? Bisa tolong bantu saya?” Tidak ada jawaban.
“Ra!”
“Kenapa Nilam?” Itu bukan suara Rara, Nilam yakin sekali kalau suara temannya itu tidak seberat itu.
“Nilam?”
“Eng, Nik?” Nilam hanya asal menebak, tapi seseorang di luar sana justru mengiyakan.
“Kamu kok di sini, Rara mana?”
“Kebetulan lewat terus liat Rara, ternyata dia bareng sama lo.”
“Iya, Raranya mana sekarang?”
“Ke kamar mandi sebentar.” Nilam menggigit bibirnya, ritsleting gaunnya masih menyangkut.
“Nik, boleh minta tolong panggilin mba penjaganya?”
“Kenapa, lo butuh sesuatu?” Nilam ragu, tapi akhirnya ia mengatakan masalahnya.
“Iya, ritsleting gaunnya nyangkut.”
“Ah, sini biar gue bantu.”
“Eh, jangan!” Nilam menahan tirai yang menutupi ruang ganti saat Nik berusaha membukanya, bisa di bilang saat ini perempuan itu sedang dalam keadaan setengah telanjang. Nilam tidak akan membiarkan Nik melihatnya dalam kondisi seperti itu.
“Mereka semua sibuk Nilam, bukan cuma lo yang harus mereka layanin.”
“Kalau gitu nunggu Rara aja.”
“Lama, bu Darmi bisa marah kalau kalian kelamaan di sini.” Nilam menggigit bibir bingung, karena perkataan Nik memang benar.
“Oke, tapi kamu tutup mata.”
“Gimana caranya gue bantu lo kalau sambil tutup mata?”
“Pokoknya tutup mata!” Nilam keras kepala, setelah Nik menyetujui syaratnya barulah perempuan itu melepaskan tangannya dari tirai dan membiarkan laki-laki itu masuk ke bilik ruang ganti.
“Gue udah tutup mata Nilam.”
“Saya cuma mau mastiin kalau kamu enggak bohong.” Setelah memastikan Nik benar-benar menutup matanya Nilam berbalik mengarahkan punggungnya tepat di hadapan Nik.
Nilam menahan napas, ketika jari-jari Nik mulai menyusuri punggungnya. Mungkin karena matanya terpejam Nik kesulitan menemukan letak ritsleting gaunnya, jari-jari laki-laki itu justru menyusri punggung telanjangnya sejak tadi.
“Di sini Nik.” Nilam yang jengah akhirnya menuntun tangan laki-laki itu.
“Lumayan.” Nilam mengeryitkan dahi, tidak mengerti dengan ucapan Nik.
“Dengan ukuran sebesar itu, lo pasti bakal bisa muasin klien lo nanti.”
“Nik!” Nilam langsung berbalik badan meski gaunnya belum benar-benar terpasang perempuan itu terkejut karena ternyata sejak tadi Nik membohonginya. Laki-laki itu membuka matanya dan melihat seluruh tubuh bagian atasnya yang terbuka.
“Gue enggak tau kalau lo akrab sama Nik.” Rara tiba-tiba saja bersuara, mereka sudah dalam perjalanan pulang sekarang. “Gue liat dia tadi keluar dari ruang ganti yang lo pake.” “Ah, eng itu..” wajah Nilam kembali memerah begitu mengingan kejadian beberapa saat lalu, beruntungnya Nik sudah pergi begitu Nilam keluar dari ruang gantinya. “Nik itu supel, gampang deket sama orang. Kadang sampe bisa bikin salah paham.” Rara melirik Nilam sekilas dari sudut matanya. “Gue enggak mau lo berharap sama sesuatu yang enggak perlu sih.” “Misalnya?” “Cinta.” Nilam tertegun sebentar. “Denger Nilam, kalau lo mau hidup di kota lo enggak boleh percaya cinta. Jadi, buang jauh-jauh apapun yang lo pikirin tentang Nik. Percuma, lo cuma bakalan sakit hati nantinya.” Rara mengetuk jarinya pelan, perempuan itu jelas sangat berhati-hati ketika berbicara dengan Nilam. “Ya, gue sih cuma ngingetin aja. Sisanya terserah lo.” Nilam tidak menjawab, Rar
"Duh, kamu ini. Tau aja mana barang bagus" bu Darmi tiba-tiba saja datang, Nilam memutuskna untuk bersembunyi di balik tubuh bu Darmi begitu menyadari laki-laki itu masih terus menatapnya lekat. "Bu Darmi yang keterlaluan, ada barang bagus malah diem aja. Takut saya enggak bisa beli?" bu Darmi terkikik, perempuan yang menolak di sebut tua meski usianya sudah setengah abad itu sepertinya sedang benar-benar merasa bahagi malam ini. "Mana berani saya mikir kayak gitu, yang ini butuh penanganan special, kayak bayi baru lahir. masih polos." "Udah banyak yang nawar?" lagi Nilam mendengar laki-laki itu bertanya kepada bu Darmi "Lumayan, mereka semua penasaran mau nyobain gimana rasanya main sama yang masih polos. Kadang yang belum pengalaman itu bikin greget katanya"Nilam semakin merapat
“Astaga, Nik!” Rara berteriak heboh ketika Nik mengambil minuman yang sedang ia buka, dua sejoli itu memang sangat berisik sejak tadi. “Minta, pelit banget.” “Ambil sendiri!” Nik mengabaikan ucapan Rara, laki-laki itu dengan santai tetap membuka kaleng soda di tangannya dan menghabiskannya dalam satu tegukan cepat. “Nik! Lo gila ya?!” “Hahahaha, duh sakit tenggorokan gue.” Rara berdecak dan cepat-cepat mengulurkan air putih untuk si fotografer. Nilam memperhatikan semua interaksi itu dalam diam, perempuan itu tetap memangku popcorn di pahanya. Sama sekali
"Nik" “Hmm?” Nilam mengabaikan Nik yang sekarang menaikan sebelah alisnya seolah bertanya ada apa, Nilam hanya terus melangkah maju dan semakin mendorong Nik untuk menempel ke kulkas yang tertutup. Perempuan itu menyusuri dada Nik dengan jarinya sembari sesekali membuat pola abstrak, Nilam semakin merasa percaya diri ketika Nik sama sekali tidak menolaknya. Fotografer itu hanya diam bahkan ketika tangan Nilam sudah sampai di tengkuk laki-laki itu, kepalanya menengadah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengulum bibir tipis fotografer kesayangan Rara tersebut. Di kulumnya bibir Nik yang membuatnya penasaran. Seakan belum cukup Nilam juga menggunakan lidahnya untuk membelai bibir tipis yang masih tertutup rapat tersebut. Nilam hampir menyudahi ciuman sebelah pihak tersebut ketika akhirnya Nilam merasakan sebelah tangan Nik m
Nilam menatap bu Darmi untuk sekedar memastikan apakah betul ia akan menemui kliennya dengan pakaian seperti ini. Setelah melakukan perawatan dari ujung kaki hingga kepala, bu Darmi membawa Nilam untuk belanja. Katanya Nilam perlu pakaian baru untuk menemui kliennya, Nilam sudah menolak dan berkata ia masih memiliki banyak pakaian bagus di lemari. Tapi bu Darmi bilang kliennya ini meminta Nilam mengenakan pakaian khusus. Dan disini lah Nilam sekarang berada, di hotel yang sama tempat ia merayakan pesta ulang tahun ke dua puluhnya satu minggu yang lalu. Nilam tidak cukup percaya diri dengan dandanannya malam ini, Nilam tidak tau pekerjaan apa yang mengharuskannya mengenakan pakaian kemeja dengan dasi pita berwarna pink dan juga rok rampel hitam yang mengembang di atas paha, bu Darmi juga melengkapi penampilan Nilam dengan sebuah kaus kaki putih sepanjang lutut dan sepatu kets berwarna putih.
“Kita bilas dulu ya mba.” “Oh, iya.” Nilam sedang menikmati pelayanan yang terapis salon berikan kepadanya ketika mengingat raut wajah terkejutnya Rara mendapati Nilam baru saja pulang dari klinik kecantikan bersama bu Darmi. Saat itu Rara baru saja kembali setelah selama satu minggu mengikuti klien bu Darmi ke luar negeri. "Kamu istirahat ya sayang, lusa kamu udah ada klien jadi jaga tubuh kamu baik-baik. Oke?" Nilam mengangung riang pada bu Darmi yang dengan penuh senyum kemenangan berjalan memasuki galerinya. Nilam sudah memutuskan untuk mengikuti perkataan Rara, ia akan beradaptasi. Untuk itu ia kubur dalam-dalam sosok Nilam si gadis kampung dan melahirkan satu sosok baru, Nilam si gadis ibu kota yang penuh dengan percaya diri. "Hai Ra, gimana Eropa?" Nilam dengan santai mengapit tangan Rara dan menuntun temannya itu
Nilam menundukan kepala, ia memainkan jemarinya gusar. Nilam tau bagaimanapun Dewi menjelaskan kepada Dewa bahwa perempuan itu yang lebih dulu mendatanginya, bagi Dewa ia akan tetap menjadi penjahatnya “Sayang, kok langsung berdiri gitu sih. Inget kata dokter kandungan trisemester pertama itu rawan” ah jadi istri Dewa yang penyakitan itu sedang hamil “Berlebihan deh kamu” dari sudut matanya Nilam melihat bagaimana Dewa tersenyum lembut kemudian mencium kening istrinya penuh sayang “Ah iya, liat aku ketemu siapa.” Nilam panik ketika Dewi menuntun Dewa untuk lebih mendekat kepadanya, ia ingin sekali pergi tapi si penjaga justru terlihat tidak peduli.  
Nilam tersentak ketika Dewa tertawa keras dalam pelukannya, sebelumnya Nilam bertanya kepada laki-laki itu kenapa ia menginginkan Nilam untuk mengandung bayinya, apakah diam-diam Dewa menaruh perasaan terhadapnya. “Kamu benar-benar bodoh Nilam, saya hanya membutuhkan kamu karena di rumah ini hanya kamu yang belum di sentuh orang lain selain saya” Nilam mati kutu mendengar ucapan Dewa “Kamu mengharapkan cinta Nilam? Jangan mimpi, laki-laki idiot mana yang akan jatuh cinta pada pelacur!” Nilam terdiam mendengar perkataan Dewa, ia membiarkan Dewa mendorong kepalanya beberapa kali dengan telunjuknya. “Nilam..Nilam.. saya hanya butuh tubuh kamu mengandun
Hai temen-temen, sebelumnya saya minta maaf atas ketidak nyamanannya. Tapi beberapa hari lalu saya memutuskan untuk merevisi bab cerita Nilam agar lebih menarik dan enak untuk di baca :) semoga kalian akan menyukai versi cerita yang baru sebagaimana kalian menyukai versi sebelumnya :)Ada beberapa sedikit perubahan, dan sekarang sedang di tinjau oleh editor. Kemungkinan perubahan bisa di liat hari senin atau hari selasa, semoga kalian bisa tetep menikmati ceritanya :)SalamminipauHai temen-temen, sebelumnya saya minta maaf atas ketidak nyamanannya. Tapi beberapa hari lalu saya memutuskan untuk merevisi bab cerita Nilam agar lebih menarik dan enak untuk di baca :) semoga kalian akan menyukai versi cerita yang baru sebagaimana kalian menyukai versi sebelumnya :)Ada beberapa sedikit perubahan, dan semoga kalian bisa tetep menikmati ceritanya :)Salamminipau
“Hati-hati sayang turunnya.” Seorang perempuan mengulurkan tangan, membantu balita berusia lima tahun turun dari mobil yang di tumpanginya. “Kita mau ngapain bu, kok ke sini lagi?” “Jenguk temen ibu dulu ya.” “Temen ibu masih sakit ya? belum sembuh-sembuh?” si anak bertanya dengan suara khasnya. “Iya, makanya masih kita tengok di sini. Ana udah bawa sup yang kita bikin di rumah kan?” “Udah dong, nih.” Si anak mengacungkan rantang mungil dengan motif bunga-bunga. “Pinter,
Nilam gemetaran, laki-laki di luar sana memang Dewa. Ia sudah memastikannya berkali-kali. Yang tidak Nilam ketahui adalah bagaimana bisa Dewa mengetahui tempat persembunyiannya. Di tengah kekalutannya itu ponsel Nilam berdering, nama Ru muncul di layarnya. “Gimana, suka kejutannya?” “Ru, brengsek! Penghiakat lo, gue udah kasih uang sesuai sama yang lo minta!” “Lo enggak akan ngerti Nilam, lo enggak akan ngerti. ini semua bukan soal uang, tapi dendam. Lo enggak bisa egois kan? Hidup bahagia sendirian sementara orang-orang yang udah ngebantu lo hidup menderita.” “Apa maksud lo?!” &n
Dewa sedang sibuk menggoda bayinya yang sekarang sudah tumbuh dengan sangat sehat ketika kepala pelayan datang, laki-laki itu mendelik sebal karena waktu bermainnya dengan sang putri harus terganggu. “Saya udah bilangkan, saya enggak suka di intrupsi waktu lagi main sama Ghiana.” “Maaf pak, tapi di depan ada yang nyari bapak dan ngotot mau ketemu.” “Kamu enggak bisa ngusir dia? Harus saya yang turun tangan langsung ngurus beginian?!” Desis Dewa dengan sebal, jika tidak ada Ghiana di dekatnya laki-laki itu pasti sudah menghajar kepala pelayan yang menurutnya sudah sangat tidak kompeten itu. “Laki-laki itu bilang, dia bawa informasi yang selam
Setelah memastikan pintu dan pagar rumahnya terkunci sebelum berjalan menyusuri gang kecil menuju tempat kerjanya yang baru, warung kelontong milik bu Retno. “Mau berangkat kerja Nilam?” “Ah iya bu, mari.” Nilam malas berbasa basi, karena itu ia langsung melangkah pergi. Perempuan itu sama sekali tidak peduli pada segerombolan ibu-ibu kurang kerjaan yang sibuk menggosipkannya. Nilam sampai di toko kelontong dan terkejut mendapati bu Retno sudah berdiri depan pintu roling. Nilam sedikit curiga karena tidak biasanya perempuan itu datang sepagi ini. “Nilam, akhirnya
“Jangan lupa jadwal periksa kamu Nilam, Dewa udah wanti-wanti saya sejak jauh-jauh hari.” Bu Darmi langsung pergi setelah menyampaikan pesan tersebut, sejak malam itu Dewa memang tidak lagi pernah datang mengunjungi Nilam dan selalu menggunakan bu Darmi sebagai perantara komunikasi mereka. “Haah, alat ini bener-bener nyiksa!” Nilam melemparkan bantal-bantalan pemberian Ru ke atas ranjang setelah bu Darmi keluar dari kamarnya. Belakangan Nilam merasa tubuhnya tidak enak, ia sering merasa kembung dan juga begah. “Nih, obat lo.” Rara masuk dan kemudian langsung mengunci pintu begitu melihat Nilam tidak mengenakan bantal kehamilannya. “Nilam! lo nih kebiasaan, teledor. Kalau bu Darmi tiba-tiba masuk gimana?!” “Ck enggak akan, bu Darmi sekarang males banget ketemu gue. Kalau bukan untuk ngurusin urusan gue sama Dewa dia enggak akan dateng.” “Tapi tetep aja, lo harus lebih
“Ya ampun jambu air!” Dewa yang baru saja memasuki ruang tamu tersenyum mendengar suara antusias istrinya yang dengan sangat semangat menyambutnya di ruang keluarga. “Mbok! Mbok!” “Pelan-pelan sayang.” “Duh, Mbok!” “Iya bu,” “Ini jambu airnya tolong di buatin petisan ya, pake rawit sama garem jangan lupa.” “Iya bu,” “Jangan banyak-banyak Mbok rawitnya.” “Iya pak.” Dewa kemudian berjalan sembari merangkul istrinya menuju kamar mereka, di sana Dewi membantu mengurusi keperluan mandi dan juga baju ganti suaminya. “Kamu katanya mau pulang sore mas, kok jam tujuh jadi baru dateng?” “Aku tadi lama ngambil jambu airnya dulu, karyawan aku yang mau bawain malah kelupaan jadi aku ikut kerumah dia tadi.” “Oh. Makasih ya mas, aku seneng banget akhirnya kesampean makan jambu air.” Dewa yang sedang mengeringkan rambutnya hanya mengangguk sembari tersenyum. Laki-laki itu mengelusi wajah istrinya penuh s
Begitu membuka pintu kamarnya, Nilam sudah menemukan bu Darmi duduk di atas ranjangnya sembari melipat tangan di dada. Dewa pasti sudah mengadukan tingkahnya selama di restoran tadi, tapi apa peduli Nilam saat ini bu Darmi tidak bisa melakukan kekerasan untuk menghukumnya. “Kamu kira, dengan keadaan sekarang kamu bisa bebas melakukan apapun Nilam?” “Saya enggak paham maksud bu Darmi.” “Nilam..Nilam.. kamu cuma akan kehilangan banyak hal jika terus bersikap sembarang seperti sekarang.” Nilam memutar bola matanya jengah mendengar nasihat bu Darmi, perempuan itu menggerakan bibirnya mengulangi perkataan bu Darmi barusan dengan nada yang di buat-buat. Hal itu membuat bu Darmi geram, tapi perempuan itu cukup sadar diri untuk harus menahan diri. “Gimana saya bisa takut kehilangan banyak hal bu? Selama ini kan saya memang enggak punya apa-apa.” perempuan itu dengan santai melangkahkan kaki ke meja riasnya dan mulai menghapus makeupnya. “Sehar
Nilam sekali lagi memastikan bahwa klinik yang di datanginya sama dengan alamat klinik yang sebelumnya di berikan oleh Ru melalui pesan. Nilam berhasil membujuk Dewa untuk datang ke klinik yang di tunjuk oleh Ru dengan alasan di tempat terpencil seperti ini sedikit sekali orang yang mengenal mereka. Nilam meyakinkan Dewa kalau di klinik besar laki-laki itu bisa saja bertemu salah satu kenalannya yang akan mencurigai Nilam, isu miring tentang suaminya tentu dapat membuat kesehatan Dewi menurun. “Kamu yakin disini kliniknya?” Nilam merisingis mendengar petanyaan Dewa karena kenyataannya ia juga tidak tau apakah bangunan kumuh di depannya ini adalah klinik kandungan yang di maksud oleh Ru. “Iya mas, temen kerja aku yang lain suka periksa kesini kalau mereka ke bobolan. Klinik ini juga buka jasa aborsi ilegal”