“Eh, siapa itu?”
“Astaga, gila ya dia?”
“Buk, itu orang gila?”
“Sttt, jangan di tunjuk. Udah ayo, ikut ibuk belanja aja.”
Nilam gugup, ia begitu saja menjadi pusat perhatian begitu turun dari mobil pengangkut sayuran yang berhasil di temuinya begitu sampai di jalan besar. Beberapa orang menunjuknya sembari berteriak kata ‘gila’
“Oh, maaf. Maaf saya enggak sengaja, maaf.” Nilam langsung menunduk, memungut satu persatu belanjaan seorang ibu-ibu yang tidak sengaja ia senggol.
“Enggak apa-apa neng, enggak apa-apa.” si ibu memperhatikan Nilam lekat, hal itu tiddak urung membuat Nilam merasa jengah.
“Kamu orang baru di sini? Ibu enggak pernah liat.”
“Eng, sa.. saya baru aja dateng bu, dari desa.”
“Oalah, mau kemana?” Nilam menggelengkan kepala, ia juga tidak tau harus kemana. Tapi sepertinya ia perlu mencari warung terlebih dahulu karena perutnya sudah sangat lapar.
“Ikut ke rumah ibu dulu mau?”
“Eh?”
“Jangan salah paham, ibu cuma kasian sama kamu. Liat, orang-orang di sini pada takut karena ngira kamu itu gila.”
“Saya enggak gila!”
“Ibu, tau. Makanya, ikut ke rumah ibu dulu ya? bersihkan badan kamu di sana, abis itu terserah kalau kamu mau pergi.” Nilam mengernyitkan dahi, sedikit merasa curiga dengan kebaikan yang tiba-tiba di tawarkan kepadanya.
“Ibu juga punya makanan kalau kamu mau.”
“Makanan?”
“Iya. Mau ya, mampir dulu ke rumah ibu.” Nilam menganggukan kepala cepat, perempuan itu membuang semua kecurigaannya ketika mendengar kata ‘makanan’ dari mulut ibu yang mengaku bernama Darmi tersebut. Nilam memutuskan untuk menerima bantuan ibu paruh baya yang sepertinya memiliki banyak uang karena bisa mengenakan banyak perhiasan di tangannya.
"Jadi kamu itu nekat ke kota mau ngadu nasib?" Nilam menganggukan kepala dengan cepat, bibirnya masih belum bisa di ajak melakukan hal lain selain menguyah makanan. Pipi perempuan itu bahkan membengkak saking banyaknya makanan yang ia masukan kedalam mulutnya.
"Kamu juga enggak punya siapa-siapa di sini? Kamu ini nekat loh Nilam." Bu Darmi menggelengkan kepala, sama sekali tidak habis pikir dengan kenekatan perempuan muda di hadapannya.
“Terus sekarang rencana kamu apa?” Nilam menggelengkan kepala, sejak tadi kepalanya sudah semerawut memikirkan nasibnya setelah ini. Uang yang di berikan oleh perempuan tua di rumah pak Tono juga pasti tidak banyak, karena perempuan itu sama miskinnya dengan Nilam.
“Haah, begini saja. Kamu ikut ibu aja ke kota yang lebih besar ya? Ikut kerja sama ibu di sana?" Nilam mengangkat kepalanya begitu mendengar tawaran bu Darmi.
"Kota ini tidak ada apa-apanya di bandingkan kota tempat ibu kerja Nilam, di sana ada banyak hal yang bisa di jadikan pekerjaan." Ibu Darmi meminum tehnya sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.
"Kamu tamatan apa?" ragu-ragu Nilam menggelengkan kepala, Bu Darmi mengangguk seolah mengerti arti gelengan perempuan itu.
"Enggak apa-apa Nilam, di kota tempat ibu kerja perempuan bisa tetap cari uang walau enggak punya ijazah. Kamu pikir-pikir aja dulu, lusa ibu berangkat. Malam ini istirahat dulu di sini ya." Nilam lagi-lagi menganggukan kepala, otaknya masih belum bisa di ajak berfikir karena makanan di piringnya belum habis.
Nilam keluar dari kamar dengan rambut masih berantakan, perempuan itu bahkan belum sempat mencuci wajahnya dengan air. Nilam panik karena hari itu untuk pertama kalinya ia bangun ke siangan.
“Hahaha, pelan-pelan Nilam. enggak apa-apa saya tau kamu pasti lelah.”
“Ma..maaf bu.”
“Enggak apa-apa, yuk makan. Oh, atau kamu mau cuci muka dulu?” Nilam memilih mencuci wajahnya terlebih dahulu sebelum akhirnya bergabung bersama bu Darmi di meja makan.
"Ibu kerja di pelayanan jasa gitu, orang-orang di kota besar itu lebih gampang ngerasa suntuk. Mereka juga terlalu sibuk untuk bisa ngurus rumah atau bahkan ngurus diri mereka sendiri" Nilam mengunyah makanannya pelan, sembari menyimak penjelasan bu Darmi soal pekerjaannya di ibu kota.
"Kalau kamu ikut ibu, kamu juga enggak akan sendirian Nilam. Kamu bisa punya banyak temen di sana, ada banyak sekali gadis-gadis kampung yang kayak kamu ini merantau tapi enggak punya bekal kemampuan. Ibu yang nampung mereka semua supaya bisa bekerja" Bu Darmi bangkit dari duduknya sebentar dan kembali dengan ponsel di genggamannya, Nilam tidak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi benda canggih tersebut.
"Nih, ini namanya Rara. Dia dulu dari kampung juga. Duh ibu kalau inget gimana dia pas pertama dateng masih suka sedih. Kurus enggak ke urus, untung anaknya mau kerja apa aja enggak suka pilih-pilih ikut ibu akhirnya." Nilam melihat gambar di ponsel bu Darmi berubah, kali ini Nilam melihat perempuan bernama Rara itu sedang berfoto di depan sebuah mobil yang kelihatan mewah. Mobil itu bahkan lebih bagus di banding mobil milik pak Tono.
"Nah ini, sekarang kemana-mana udah pake mobil anaknya. Ibu seneng banget litanya, udah banyak ketawa, bisa ngurus diri berasa kayak ngeliat anak sendiri yang akhirnya sukses."
"Tapi.." Nilam ragu-ragu menatap bu Darmi yang sekarang sudah berhenti bercerita dan memandang Nilam bingung.
"Tapi saya bukan cuma enggak punya ijazah bu, saya enggak pernah sekolah. Enggak bisa baca tulis" Nilam melihat bu Darmi tersenyum sembari meletakan ponselnya di atas meja, bu Darmi juga membelai rambut ikal Nilam yang tergerai dengan sayang.
"Enggak apa Nilam, saya udah bilangkan? Di kota besar ada perkerjaan yang bisa kita dapatkan walau tidak pernah sekolah, tidak punya ijazah dan bahkan tidak bisa baca tulis sekalipun. Kamu hanya perlu punya tubuh yang sehat dan juga kenalan, itu aja" Nilam menatap bu Darmi yang masih membelai rambutnya lembut kemudian mengangguk, keputusannya sudah bulat ia akan memulai hidup barunya dengan mengikuti ibu Darmi ke ibu kota.
Nilam hanya pasrah ketika petugas salon memotong rambut ikalnya menjadi sebahu dan mengubah rambutnya yang sudah ke coklatan menjadi lebih berwarna lagi, dark honey-blonde kata petugas salonnya ketika Nilam bertanya apa nama warna rambut barunya. Perempuan itu menatap wajah barunya dengan perasaan asing, wajahnya mulai bersih dan penampilannya semakin trendi selama enam bulan ini tinggal di ibu kota. “Nilam cantik banget!” Rara yang hari ini menemaninya ke salon berseru heboh, perempuan cantik itu memotretnya beberapa kali dan mengirimkan fotonya ke bu Darmi. “Yuk, kita harus ke studio sekarang. Nik sama timnya udah nunggu.” Nilam lagi-lagi hanya pasrah, ia masih belum bekerja. Bu Darmi bilang Nilam masih harus membuat portofolio, karena itu sekarang Rara menemaninya menemui Nik fotografer langganan bu Darmi. “Nik!” Rara langsung berlari menghampiri laki-laki yang sedang memegang kamera, Nilam hanya mengikuti. “Nik, ini Nilam. Anak baru dan Nilam ini
Nik beberapa kali mengambil gambar Nilam sebelum akhirnya mengacungkan jempol ketika pose Nilam yang sedang berdiri di atas kedua lututnya sembari menggigit jari telunjuknya dan menatap malu-malu pada kamera terabadikan, di foto itu kemeja Nilam yang kancing atasnya sudah terbuka hingga memperlihatkan belahan dadanya terlihat melekat di beberapa tempat karena keringat. "Bagus loh Nilam, keliatan polos tapi seksi hahaha" itu komentar Rara setelah melihat hasil fotonya dari kamera Nik. Untuk sesi foto kedua Rara menyarankan Nilam untuk memakai sweater rajut yang di lengkapi dengan kaus kaki sepanjang lutut sebagai aksesori. Sweater itu jauh lebih pendek dari kemejanya barusan karena hanya mampu menutupi hingga bawah bokongnya saja, belum lagi kerah sweater rajut ini lumayan mengekspos leher, bahu dan tulang selangkan Nilam. Di sesi foto kedua ini Nik mengacungkan jempolnya untuk foto Nilam yang menyenderkan tubuh ke dinding sembari menekuk salah satu kakinya ya
Nilam yang baru saja selesai olahraga terkejut menemukan Nik si fotografer yang satu bulan lalu memotretnya ada di dapur rumah bu Darmi. Laki-laki itu hanya mengenakan celana jeans yang menggantung rendah di pinggulnya tanpa mengenakan atasan, Nilam spontan menunduk demi mengalihkan pandangannya dari otot Nik yang kencang. "Hai kembang desa, udah liat hasil portofolionya?" tanya Nik sembari membuka tutup air mineral yang ia dapat dari kulkas rumah bu Darmi. "Belum, memang udah jadi?" Nilam berusaha bersikap sesantai mungkin ketika berjalan ke meja makan dan mengambi sebutir apel dari keranjang. "Udah, ada di Rara. Tanya aja" Perempuan itu mengangguk dan mulai menaiki tangga menuju kamarnya. Nilam mengerutkan dahinya ketika melihat Nik mengikutinya naik ke lantai tiga, semua pekerja bu Darmi entah laki-laki atau perempuan memang tinggal
“Nik!” Nilam spontan langsung mendorong tubuh Nik menjauh begitu Rara mendekat, perempuan itu menundukan kepala untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. “Eh, kalian kenapa? Nilam, Nik gangguin lo ya?” “Eh, enggak, enggak kok. Eng saya ke bu Darmi dulu deh.” Nilam pergi begitu saja, sama sekali tidak mau tau apa yang Rara bicarakan dengan Nik. Dari tempatnya berdiri, Nilam hanya sekilas melihat dua sejoli itu seperti sedang berdebat. Nilam masih terus merasa Nik memperhatikannya, hal itu membuat perempuan itu salah tingkah. Akibatnya Nilam tidak bisa dengan jelas menyimak obrolannya dengan bu Darmi. “Nilam.”  
“Gue enggak tau kalau lo akrab sama Nik.” Rara tiba-tiba saja bersuara, mereka sudah dalam perjalanan pulang sekarang. “Gue liat dia tadi keluar dari ruang ganti yang lo pake.” “Ah, eng itu..” wajah Nilam kembali memerah begitu mengingan kejadian beberapa saat lalu, beruntungnya Nik sudah pergi begitu Nilam keluar dari ruang gantinya. “Nik itu supel, gampang deket sama orang. Kadang sampe bisa bikin salah paham.” Rara melirik Nilam sekilas dari sudut matanya. “Gue enggak mau lo berharap sama sesuatu yang enggak perlu sih.” “Misalnya?” “Cinta.” Nilam tertegun sebentar. “Denger Nilam, kalau lo mau hidup di kota lo enggak boleh percaya cinta. Jadi, buang jauh-jauh apapun yang lo pikirin tentang Nik. Percuma, lo cuma bakalan sakit hati nantinya.” Rara mengetuk jarinya pelan, perempuan itu jelas sangat berhati-hati ketika berbicara dengan Nilam. “Ya, gue sih cuma ngingetin aja. Sisanya terserah lo.” Nilam tidak menjawab, Rar
"Duh, kamu ini. Tau aja mana barang bagus" bu Darmi tiba-tiba saja datang, Nilam memutuskna untuk bersembunyi di balik tubuh bu Darmi begitu menyadari laki-laki itu masih terus menatapnya lekat. "Bu Darmi yang keterlaluan, ada barang bagus malah diem aja. Takut saya enggak bisa beli?" bu Darmi terkikik, perempuan yang menolak di sebut tua meski usianya sudah setengah abad itu sepertinya sedang benar-benar merasa bahagi malam ini. "Mana berani saya mikir kayak gitu, yang ini butuh penanganan special, kayak bayi baru lahir. masih polos." "Udah banyak yang nawar?" lagi Nilam mendengar laki-laki itu bertanya kepada bu Darmi "Lumayan, mereka semua penasaran mau nyobain gimana rasanya main sama yang masih polos. Kadang yang belum pengalaman itu bikin greget katanya"Nilam semakin merapat
“Astaga, Nik!” Rara berteriak heboh ketika Nik mengambil minuman yang sedang ia buka, dua sejoli itu memang sangat berisik sejak tadi. “Minta, pelit banget.” “Ambil sendiri!” Nik mengabaikan ucapan Rara, laki-laki itu dengan santai tetap membuka kaleng soda di tangannya dan menghabiskannya dalam satu tegukan cepat. “Nik! Lo gila ya?!” “Hahahaha, duh sakit tenggorokan gue.” Rara berdecak dan cepat-cepat mengulurkan air putih untuk si fotografer. Nilam memperhatikan semua interaksi itu dalam diam, perempuan itu tetap memangku popcorn di pahanya. Sama sekali
"Nik" “Hmm?” Nilam mengabaikan Nik yang sekarang menaikan sebelah alisnya seolah bertanya ada apa, Nilam hanya terus melangkah maju dan semakin mendorong Nik untuk menempel ke kulkas yang tertutup. Perempuan itu menyusuri dada Nik dengan jarinya sembari sesekali membuat pola abstrak, Nilam semakin merasa percaya diri ketika Nik sama sekali tidak menolaknya. Fotografer itu hanya diam bahkan ketika tangan Nilam sudah sampai di tengkuk laki-laki itu, kepalanya menengadah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengulum bibir tipis fotografer kesayangan Rara tersebut. Di kulumnya bibir Nik yang membuatnya penasaran. Seakan belum cukup Nilam juga menggunakan lidahnya untuk membelai bibir tipis yang masih tertutup rapat tersebut. Nilam hampir menyudahi ciuman sebelah pihak tersebut ketika akhirnya Nilam merasakan sebelah tangan Nik m
Hai temen-temen, sebelumnya saya minta maaf atas ketidak nyamanannya. Tapi beberapa hari lalu saya memutuskan untuk merevisi bab cerita Nilam agar lebih menarik dan enak untuk di baca :) semoga kalian akan menyukai versi cerita yang baru sebagaimana kalian menyukai versi sebelumnya :)Ada beberapa sedikit perubahan, dan sekarang sedang di tinjau oleh editor. Kemungkinan perubahan bisa di liat hari senin atau hari selasa, semoga kalian bisa tetep menikmati ceritanya :)SalamminipauHai temen-temen, sebelumnya saya minta maaf atas ketidak nyamanannya. Tapi beberapa hari lalu saya memutuskan untuk merevisi bab cerita Nilam agar lebih menarik dan enak untuk di baca :) semoga kalian akan menyukai versi cerita yang baru sebagaimana kalian menyukai versi sebelumnya :)Ada beberapa sedikit perubahan, dan semoga kalian bisa tetep menikmati ceritanya :)Salamminipau
“Hati-hati sayang turunnya.” Seorang perempuan mengulurkan tangan, membantu balita berusia lima tahun turun dari mobil yang di tumpanginya. “Kita mau ngapain bu, kok ke sini lagi?” “Jenguk temen ibu dulu ya.” “Temen ibu masih sakit ya? belum sembuh-sembuh?” si anak bertanya dengan suara khasnya. “Iya, makanya masih kita tengok di sini. Ana udah bawa sup yang kita bikin di rumah kan?” “Udah dong, nih.” Si anak mengacungkan rantang mungil dengan motif bunga-bunga. “Pinter,
Nilam gemetaran, laki-laki di luar sana memang Dewa. Ia sudah memastikannya berkali-kali. Yang tidak Nilam ketahui adalah bagaimana bisa Dewa mengetahui tempat persembunyiannya. Di tengah kekalutannya itu ponsel Nilam berdering, nama Ru muncul di layarnya. “Gimana, suka kejutannya?” “Ru, brengsek! Penghiakat lo, gue udah kasih uang sesuai sama yang lo minta!” “Lo enggak akan ngerti Nilam, lo enggak akan ngerti. ini semua bukan soal uang, tapi dendam. Lo enggak bisa egois kan? Hidup bahagia sendirian sementara orang-orang yang udah ngebantu lo hidup menderita.” “Apa maksud lo?!” &n
Dewa sedang sibuk menggoda bayinya yang sekarang sudah tumbuh dengan sangat sehat ketika kepala pelayan datang, laki-laki itu mendelik sebal karena waktu bermainnya dengan sang putri harus terganggu. “Saya udah bilangkan, saya enggak suka di intrupsi waktu lagi main sama Ghiana.” “Maaf pak, tapi di depan ada yang nyari bapak dan ngotot mau ketemu.” “Kamu enggak bisa ngusir dia? Harus saya yang turun tangan langsung ngurus beginian?!” Desis Dewa dengan sebal, jika tidak ada Ghiana di dekatnya laki-laki itu pasti sudah menghajar kepala pelayan yang menurutnya sudah sangat tidak kompeten itu. “Laki-laki itu bilang, dia bawa informasi yang selam
Setelah memastikan pintu dan pagar rumahnya terkunci sebelum berjalan menyusuri gang kecil menuju tempat kerjanya yang baru, warung kelontong milik bu Retno. “Mau berangkat kerja Nilam?” “Ah iya bu, mari.” Nilam malas berbasa basi, karena itu ia langsung melangkah pergi. Perempuan itu sama sekali tidak peduli pada segerombolan ibu-ibu kurang kerjaan yang sibuk menggosipkannya. Nilam sampai di toko kelontong dan terkejut mendapati bu Retno sudah berdiri depan pintu roling. Nilam sedikit curiga karena tidak biasanya perempuan itu datang sepagi ini. “Nilam, akhirnya
“Jangan lupa jadwal periksa kamu Nilam, Dewa udah wanti-wanti saya sejak jauh-jauh hari.” Bu Darmi langsung pergi setelah menyampaikan pesan tersebut, sejak malam itu Dewa memang tidak lagi pernah datang mengunjungi Nilam dan selalu menggunakan bu Darmi sebagai perantara komunikasi mereka. “Haah, alat ini bener-bener nyiksa!” Nilam melemparkan bantal-bantalan pemberian Ru ke atas ranjang setelah bu Darmi keluar dari kamarnya. Belakangan Nilam merasa tubuhnya tidak enak, ia sering merasa kembung dan juga begah. “Nih, obat lo.” Rara masuk dan kemudian langsung mengunci pintu begitu melihat Nilam tidak mengenakan bantal kehamilannya. “Nilam! lo nih kebiasaan, teledor. Kalau bu Darmi tiba-tiba masuk gimana?!” “Ck enggak akan, bu Darmi sekarang males banget ketemu gue. Kalau bukan untuk ngurusin urusan gue sama Dewa dia enggak akan dateng.” “Tapi tetep aja, lo harus lebih
“Ya ampun jambu air!” Dewa yang baru saja memasuki ruang tamu tersenyum mendengar suara antusias istrinya yang dengan sangat semangat menyambutnya di ruang keluarga. “Mbok! Mbok!” “Pelan-pelan sayang.” “Duh, Mbok!” “Iya bu,” “Ini jambu airnya tolong di buatin petisan ya, pake rawit sama garem jangan lupa.” “Iya bu,” “Jangan banyak-banyak Mbok rawitnya.” “Iya pak.” Dewa kemudian berjalan sembari merangkul istrinya menuju kamar mereka, di sana Dewi membantu mengurusi keperluan mandi dan juga baju ganti suaminya. “Kamu katanya mau pulang sore mas, kok jam tujuh jadi baru dateng?” “Aku tadi lama ngambil jambu airnya dulu, karyawan aku yang mau bawain malah kelupaan jadi aku ikut kerumah dia tadi.” “Oh. Makasih ya mas, aku seneng banget akhirnya kesampean makan jambu air.” Dewa yang sedang mengeringkan rambutnya hanya mengangguk sembari tersenyum. Laki-laki itu mengelusi wajah istrinya penuh s
Begitu membuka pintu kamarnya, Nilam sudah menemukan bu Darmi duduk di atas ranjangnya sembari melipat tangan di dada. Dewa pasti sudah mengadukan tingkahnya selama di restoran tadi, tapi apa peduli Nilam saat ini bu Darmi tidak bisa melakukan kekerasan untuk menghukumnya. “Kamu kira, dengan keadaan sekarang kamu bisa bebas melakukan apapun Nilam?” “Saya enggak paham maksud bu Darmi.” “Nilam..Nilam.. kamu cuma akan kehilangan banyak hal jika terus bersikap sembarang seperti sekarang.” Nilam memutar bola matanya jengah mendengar nasihat bu Darmi, perempuan itu menggerakan bibirnya mengulangi perkataan bu Darmi barusan dengan nada yang di buat-buat. Hal itu membuat bu Darmi geram, tapi perempuan itu cukup sadar diri untuk harus menahan diri. “Gimana saya bisa takut kehilangan banyak hal bu? Selama ini kan saya memang enggak punya apa-apa.” perempuan itu dengan santai melangkahkan kaki ke meja riasnya dan mulai menghapus makeupnya. “Sehar
Nilam sekali lagi memastikan bahwa klinik yang di datanginya sama dengan alamat klinik yang sebelumnya di berikan oleh Ru melalui pesan. Nilam berhasil membujuk Dewa untuk datang ke klinik yang di tunjuk oleh Ru dengan alasan di tempat terpencil seperti ini sedikit sekali orang yang mengenal mereka. Nilam meyakinkan Dewa kalau di klinik besar laki-laki itu bisa saja bertemu salah satu kenalannya yang akan mencurigai Nilam, isu miring tentang suaminya tentu dapat membuat kesehatan Dewi menurun. “Kamu yakin disini kliniknya?” Nilam merisingis mendengar petanyaan Dewa karena kenyataannya ia juga tidak tau apakah bangunan kumuh di depannya ini adalah klinik kandungan yang di maksud oleh Ru. “Iya mas, temen kerja aku yang lain suka periksa kesini kalau mereka ke bobolan. Klinik ini juga buka jasa aborsi ilegal”