Tampak perempuan cantik berambut pirang memakai daster tanpa lengan sedang menjemur baju di halaman rumahnya. "Huft, enaknya aku apain dia ya?" gumamku. "Itu kan mbak orangnya? Di foto profilnya sih itu? Tapi seperti nya lebih cantik di foto. Mungkin pakai filter," bisik Agung membuyarkan lamunan ku yang sedang membayangkan sedang menjambak rambut janda itu sepuasnya. "Hm, memang cantik. Bukannya tipe kamu yang cantik, bening, seksi, dan rambut panjang seperti dia?" tanyaku menunjuk ke arah rumah janda itu dengan dagu. "Heh sembarangan! Kata siapa tipe ku seperti dia? Duh, jangan lah mbak, aku pingin istri spek yalli yalli yalli," ucapan Agung membuat tawaku nyaris tersembur. "Aduh, Gung, Gung, spek yalli yalli kamu bilang? Duh, emangnya kamu punya apa sampai pingin memiliki istri spek yalli yalli?" tanyaku. "Yah, aku punya pekerjaan sebagai pegawai tetap di rumah sakit swasta. Aku juga sedang proses membuat kafe dari uang tabungan ku dan join dengan temanku sesama perawat. Nant
[Mbak, ayo kita pulang saja kalau tidak ada yang perlu dilakukan pada perempuan itu.][Yang penting kita udah tahu rumahnya, kalau ada apa-apa, kita bisa langsung labrak saja ke sini.]Mendadak Agung mengirim pesan padaku. [Tunggu, aku ingin mendengar jawaban dari Agustina.]Aku menajamkan pendengaran dan berusaha menangkap pembicaraan Agustina dengan pemilik warung. "Hm, kalau ada istri yang tidak bisa menjaga diri dan menjaga suaminya, lalu mendekati saya apa salahnya dong kalau saya menerima suami yang malang itu, Bu?" tanya Agustina sambil menyerah kan selembar uang seratus ribuan pada pemilik warung. "Ambil saja kembalian nya, Bu. Saya akan menikah dengan lelaki kaya. Jadi saya tidak butuh nasihat dari ibu. Permisi," ujar Agustina. Dia melenggang pergi diiringi dengan tatapan kesal pemilik warung. 'Kenapa pemilik warung itu terlihat kesal dengan Agus? Apa suaminya juga dalam 'gangguan' perempuan itu?!' batinku. Diam - diam aku melirik nya dari helm yang kacanya sudah kuturun
Flash back on :Pov DEDI'Duh, kok bisa sih perut mules gini?! Salah makan apa dah?!" gumamku saat merasakan perut melilit dan akhirnya aku harus nongkrong di kamar mandi. Aku memejam kan mata saat suara dentuman sisa makanan keluar dari 'pintu belakang'. 'Hm, agak lega juga rasanya. Eh, HP ku kan di luar tadi! Duh, lupa menghapus chat dengan Agustina! Gimana nih, pasti si Ratna buka- buka HP ku,' batinku bingung. Aku bergegas menyiram sisa pencernaan dan buru - buru keluar dari kamar mandi. Wajah Ratna terlihat aneh, tapi dia tampak berusaha keras untuk bersikap biasa saja. 'Hadeh, Ratna, Ratna, kamu itu cantik dan polos sekali, membuat ku sangat mencintai mu. Tapi sayang sekali, badan kamu terlalu langsing, berbeda dengan badan Agustin yang sangat berisi dan sintal. Lagipula, Agustin dulu yang menawarkan padaku untuk membayar cicilan dalam bentuk yang lain dan bukan uang. Ah, laki- laki mana yang tidak tertarik dengan Agustin. Tentu saja aku tidak akan menyia - nyiakan kesempat
Biarlah permintaan Agustin, kubalas nanti saja. Sebenarnya banyak juga yang menawarkan ngamar daripada membayar hutang, tapi aku tak ingin sembarangan menerima tawaran itu. Memang nya aku laki- laki murahan? Aku juga mempunyai standar bagi nasabah yang ingin membayar hutang nya lewat jalur ranjang. Akhirnya setelah aku memikirkan baik - baik tentang tawaran Agustin, akhirnya aku memutuskan untuk tetap menemuinya di waktu dan tempat yang telah kita sepakati. Tentu saja aku tidak bermaksud untuk menikah dengan Agustina, dia memang cantik dan lebih berisi daripada Ratna, tapi aku curiga kalau Agustina pernah celup sana sini. Dan aku juga hanya ingin bermain - main dengan perempuan itu saja. **Aku sudah menghapus chat, sekaligus foto dan video, serta memblokir nomor Agustina sementara lalu pulang ke rumah. Sebenarnya jantung ku juga berdebar lebih cepat setiap selesai berkencan dengan Agustina. Entah kenapa aku takut kalau perselingkuhan nya terbongkar. Tapi sore itu saat aku pulang
Flash back on :Sampai di situ percakapan mas Dedi dan Agustina. Aku pun segera menscreen shoot dan mengirimkan nya ke Agung yang pamit keluar salon karena ada urusan berkaitan dengan pengoperasian kafe nya. [Kalau seperti ini, apa yang akan kita lakukan, Gung? Aku ingin menangkap basah mereka.]Aku menahan napas karena Agung tidak juga membalas pesan whatsapp ku. Bahkan ponsel nya tidak aktif. Duh, kemana lagi itu anak.Aku menghela napas dan mencoba mencari solusi nya sendiri. Selama ini seperti nya aku terlalu mengandalkan adik sendiri untuk menyelesaikan masalahku, padahal Agung belum menikah. Bahkan dia juga belum mempunyai kekasih. 'Aku belum kelar morotin mas Dedi, tapi mendadak aku harus menangkap basah dia dengan Agustina dan menggugat cerainya? Duh, kalau aku yang meminta harta gono gini, apa akan dikabulkan oleh pengadilan? Lagipula mas Dedi pasti dengan segala cara tidak akan membagi harta gono gini. Karena memang rumah itu dibeli dari uang mas Dedi sendiri dari warisan
Eh, tunggu! Tapi tidak ada jaminan suami tetap setia meskipun istri nya cantik. Hm, sudahlah. Yang penting sekarang aku rapikan diri dan mencari sertifikat rumah. Aku bergegas mencari sertifikat rumah mas Dedi di dalam lemari dan setelah ketemu, aku sembunyikan di tas koperku. Baiklah, tinggal menunggu mas Dedi pulang dan akan kudapat kan tanda tangannya. Mas Dedi yang pulang dari menagih cicilan hutangnya akhirnya pulang ke rumah, dan sekali lagi menyantap makanan dan meminum yang kububuhi obat tidur tanpa rasa curiga. Dan seperti yang telah kuperkirakan, tak lama kemudian mas Dedi pun tampak mengantuk. Dia masuk ke kamar dan aku menunggu nya selama beberapa saat sampai mas Dedi terpejam. Saat mas Dedi baru saja terbuai di alam mimpi, aku membangun kannya, dan saat dia masih dalam pengaruh obat tidur, aku segera menyodorkan lembaran kertas surat kuasa pada mas Dedi. Semoga saja dia segera menandatangani nya tanpa perlu membacanya. Tapi saat kulihat mas Dedi berusaha membaca sura
"Halo, mbak. Aku jemput sekarang ya! Mbak siap- siap, kita gerebek mas Dedi," ujar Agung lalu mengakhiri panggilan telepon. [Oh ya, lupa bilang, bawa surat nikah dan KK kalian. Kata kenalan ku yang pengacara, kalau pihak hotel tidak mau menunjukkan kamar menginap mas Dedi, surat nikah itu akan berguna. Besok, kuantar untuk bertemu dengan pengacara, Mbak.][Oh, ya. Oke, Gung.]Ratna terdiam beberapa saat, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Perlahan dia duduk di sofa ruang tamu, 'duh, ya Allah, kenapa aku harus mengalami pengkhianatan ini saat hamil muda?' batin Ratna. Ratna lalu mengambil kopernya yang berisi sertifikat rumah dan persetujuan surat kuasa, lalu menata baju- bajunya sampai tidak tersisa satupun di lemarinya. Tak lupa pula dia memasukkan surat nikah dan kartu keluarga sesuai dengan saran pengacara kenalan Agung.Ratna menghela napas panjang saat dia juga memasukkan sisir, bedak tabur, dan lipstik ke dalam tas tentengnya. Memang hanya itu alat kecanti
Beberapa tetangga yang melihat Ratna masuk ke dalam mobil, tampak mengerutkan keningnya. Satu dua diantaranya bahkan saling berbisik - bisik. Akhirnya mbok Darmi, salah seorang tetangga Ratna yang rumahnya tepat di samping rumahnya dan mempunyai toko sembako, memberanikan diri menegur Ratna. "Lho, mbak Ratna mau kemana nih? Kok bawa - bawa koper segala?" tanya mbok Darmi. "Saya mau menginap di rumah bunda, Mbok," sahut Ratna singkat. Tapi rupanya mbok Darmi dan beberapa tetangga yang sedang berbelanja di warung nya tampak belum puas bertanya, "tapi kok nggak sama mas Dedi, memangnya mas Dedi kemana?" tanya Mbok Darmi lagi sambil menatap aneh ke arah Ratna. Agung yang sudah duduk di kursi depan di samping supir, memberi kode pada kakaknya untuk segera masuk ke dalam mobil. Dia sendiri lalu keluar dari mobil. "Saya adik kandung mbak Ratna, Bu. Bunda kami kangen anaknya. Kami jalan dulu ya," ujar Agung lalu masuk ke dalam mobil. Agung memang jarang bertandang ke rumah sang kakak. Ka
"Belum. Belum terpikir tentang hal itu. Aku hanya ingin menjalani waktu dulu dan memberikan kesempatan bagi ku dan Randi agar lebih saling mengenal. Mumpung masa iddahku sudah selesai. Kalau untuk menikah lagi, sejujurnya aku masih takut diselingkuhi kembali. Tapi setidaknya jika aku dengan Randi, kamu kan ada kesempatan untuk mendekati Susi. Tunjukkan sinyal kamu jatuh cinta sama dia. Jangan diam saja. Dia mana tahu perasaan kamu. Cinta itu datang karena terbiasa. Witing tresno soko saking jalaran kulino, kata orang Jawa," jelas Ratna panjang lebar. "Hm, baiklah! Aku akan meraih dan mendapatkan cintaku. Minimal biar dia tahu perasaanku dan memberikan kesempatan kami untuk saling mengenal!" tekad Agung. "Nah, gitu dong. Ya sudah, ayo siap -siap berangkat ke pernikahan mantan ku," ujar Ratna sambil mengacungkan kedua jempolnya. *Ratna dan Agung memasuki aula hotel mahkota dengan dress code yang telah ditentukan. Ratna tampak cantik dan anggun dengan make up flawless ala Korea deng
"Hah? Jadi selama ini Agung mencintai Susi? Tapi Susi malah mencintai Randi, teman Agung," gumam Ratna kaget. Dia lalu menyimpan foto - foto dan surat - surat yang ditulis Agung untuk Susi di kamarnya, kemudian meminta mbok Siti untuk menyetrika gaun nya dan baju Agung yang akan dipakai di acara resepsi pernikahan Dedi. Agung pulang ke rumah dengan terburu-buru lalu masuk ke dalam kamarnya dan membuka lemari. Dengan panik, lelaki muda itu memeriksa tiap helai pakaiannya. Beberapa saat memeriksa tumpukan baju, Agung duduk di ranjang dengan kecewa. Lalu dia menghela napas panjang dan memeriksa lipatan baju di lemari nya sekali lagi. "Apa kamu mencari ini?" tanya Ratna berdiri di depan pintu kamar adiknya. Agung menoleh ke arah suara dan terhenyak saat melihat Ratna yang memegang surat- surat dan foto Susi. "Mbak, tolong kembalikan!" seru Agung mendekat ke arah Ratna. Tapi Ratna justru menyembunyikan foto dan surat milik Agung tersebut di balik punggung nya. "Tenang. Aku pasti meng
Suasana hening sejenak. "Mas, jangan kebanyakan mikir! Kalau kamu bersedia, aku akan menjaga omongan ku sekaligus omongan Si Agustina agar dia nggak nyebarin informasi tentang masa lalu kamu yang menelantarkan kami. Tapi kalau kamu tidak mau ya, siap - siap saja kamu menjadi bahan gibah semua orang di komplek perumahan ini!" ujar Tina tersenyum menyeringai. "Baiklah, aku bersedia untuk menikah kan Agustina. Bagaimana pun kan dia anak yang terlahir dari pernikahan yang sah secara agama," ujar Agus akhirnya. ***Sebulan kemudian, "Mbak, ada undangan dari mantan nih!" ujar Agung yang baru saja masuk ke dalam rumah. Dia membawa sepucuk undangan berwarna emas dan menyerahkan nya pada Ratna. Ratna menatap undangan itu sekilas. "Wah, mereka jadi menikah akhirnya," ujar Ratna sambil membaca nama yang tertera di surat undangan itu. "Apa mbak Ratna mau datang?" tanya Agung pada kakaknya. Ratna terdiam sejenak. "Hadeh, aku malas. Mending buat kerja di kafe saja," ujar Ratna mencebik. Agu
Pak RT dan para pengunjung warung pun tercengang, sementara wajah Agus merah padam. "Lho, jadi pak Agus ini suaminya Bu Tina?" tanya Pak RT dengan wajah bingung. Baru saja Tina hendak menjawab pertanyaan dari Pak RT, saat Agustina menyela. "Betul, Pak RT, beliau ayah saya, namanya Agus dan ibu saya bernama Tina, jadi saya diberi nama Agustina," sahut Agustina mantap. Sementara itu Agus semakin salah tingkah. Pak RT langsung menangkap arah pembicaraan Agustina dan mengira Agus dan Tina adalah pasangan suami istri yang sudah bercerai."Hm, jadi begitu. Baiklah, saya harap walaupun sudah berpisah, pak Agus dan bu Tina tetap menjaga kerukunan di kampung ini ya?! Bapak dan ibu tinggal di satu komplek perumahan dengan saya. Kalau ada masalah atau beda pendapat, boleh meminta saran saya atau warga desa yang dituakan. Tidak usah takut atau malu," ujar pak RT sambil menatap Agus dan Tina bergantian. Keduanya mengangguk dengan kikuk. Agustina mendekat ke arah bu RT yang sedang mengantarkan
Ratna dan Agung segera memeluk sang bunda sambil bertangisan. "Maafkan bunda! Maafkan karena bunda membuat keluarga kita terpecah. Bunda sungguh tidak kuat serumah dengan ayah kalian. Maafkan bunda karena telah membiarkan Augustina menang!" ujar Bunda dalam dekapan kedua anaknya. "Iya, Bunda. Kami mengerti. Bunda tenang saja. Kami tetap di sini untuk menjaga bunda," ujar Ratna dan Agung hampir bersamaan. *Agus mengendarai mobilnya dengan perasaan masygul. Dia menuju ke gedung gym miliknya. Dalam hati menimbang- nimbang akan bermalam dimana untuk sementara waktu. Dengan langkah gontai, Agus memasuki gedung gym nya lalu mulai memeriksa berbagai peralatan di sana. Satu per satu berdatangan lah pelatih yang bekerja di tempat gymnya, diikuti dengan member lama dan member baru. Agus terlihat melamun saat seorang pelatih yang bekerja di tempat gymnya menghampirinya. "Kenapa Bos? Kucel amat wajahnya? Kayak enggak diberi jatah sama bini berhari-hari," tegur salah seorang pelatihnya. Agu
"Ceraikan aku, Mas! Aku ingin bebas dari bayang- bayang kesalahan masa lalu kamu!" tukas Nita tegas. Agus tampak terkejut dengan keputusan Nita. "Kamu serius mengatakan hal itu?!" tanya Agus, menatap sang istri tak percaya. "Iya, Mas. Aku... Ternyataa tidak bisa hidup dengan kamu yang telah membohongi ku sejak awal pernikahan," ujar Nita dengan mata berkaca. Agus berdiri dan segera berlutut di depan istri sahnya. "Maafkan aku, Nit. Maafkan aku! Aku sungguh tidak bermaksiat untuk membohongi mu. Aku khilaf di masa lalu dan menikah siri dengan Tina saat KKN. Dan aku tahu jika kita awalnya memang dijodohkan, tapi aku benar-benar jatuh cinta padamu, Nit! Jangan tinggal kan aku!" ujar Agus menghiba. Nita menatap suami nya dengan nanar. "Kalau kita mempertahankan rumah tangga kita hanya demi anak, kamu dan aku akan sama - sama tersiksa. Aku tersiksa karena membayang kan kamu yang pernah membohongi ku dengan menikahi perempuan lain sebelum denganku. Dan kamu pasti akan tersiksa juga ji
"Aku mau menempati rumah baruku sekarang, Randi," ujar Dedi sambil menyeret kopernya ke hadapan Randi yang sedang duduk di ruang tengah melihat tivi. Randi mengangkat wajahnya dan melihat sang kakak yang sedang mengotak atik ponselnya."Ya syukur lah kalau mas Dedi bisa membeli rumah lagi. Emangnya kamu kerja apa, Mas? Cepet banget beli rumah, memangnya kamu kerja apa, Mas?" tanya Randi penuh selidik. Dedi seketika menyimpan ponselnya di saku celana. "Yang jelas bukan sekedar menjadi office boy di rumah sakit tempat kamu bekerja," ujar Dedi dengan nada mencemooh. "Tapi pekerjaan kamu halal kan, Mas?" tanya Randi penuh selidik. Dedi langsung mendelik. "Apa maksud kamu bicara seperti itu, Randi!? Kamu iri dengan rejeki dan keberuntungan aku!?" tanya Dedi sengit. Randi menggeleng. "Sama sekali tidak! Aku justru tidak ingin mas Dedi menjalani pekerjaan haram hanya agar cepat mendapat uang,” ujar Randi tegas. " Kasihin orang tua kita jika mereka tahu kalau pekerjaan mas Dedi haram,
Beberapa saat sebelum nya, "Kamu tega sekali! Masa lulusan S1 ekonomi jadi OB sih, Randi!?" tanya Dedi dengan nada tak suka. Randi melihat Dedi dan menghela napas panjang. "Memangnya kenapa kalau menjadi OB? Yang penting kan halal. Sekarang banyak kok sarjana yang mempunyai pekerjaan yang nggak nyambung dengan title. Lancar - lancar saja. Asalkan ulet dan cekatan. Banyak pula yang lulusan SMA tapi mempunyai penghasilan lebih tinggi daripada sarjana karena mereka nggak gengsi dan nggak pilih- pilih pekerjaan. Daripada enggak ada kerjaan atau punya pekerjaan tapi haram, ya mending pekerjaan apapun asal halal. Memangnya bisa makan gengsi?!" tanya Randi menatap kakaknya dengan serius. Dedi meletakkan sendoknya di atas piring. 'Duh, sudah capek - capek membuat rencana membakar pagar kafe untuk bekerja di kafe Randi, malah permintaanku ditolak lagi,' keluh Dedi dalam hati. Dedi pun memilih berdiri dan meninggalkan makan siangnya yang baru berkurang beberapa sendok. "Nggak usah, deh.
Keesokan paginya, "Rekaman CCTV yang terpasang di kafe menunjukkan bahwa sekitar jam 1 malam, ada bayangan orang yang menyiram sesuatu ke pagar kafe sebelum kemudian menyalakan api lalu bayangan tersebut langsung lari ke barat. Dan sekitar 30 menit kemudian, datanglah Dedi yang melewati kafe dan memanggil tetangga yang mempunyai rumah di sekitar kanan dan kiri kafe lalu berusaha memadamkan api. "Apa kita akan lapor polisi?" tanya Randi menatap ke arah Agung dengan bingung. Mereka berdua sedang berdiskusi di ruang khusus untuk staf. Agung berpikir sejenak, "takutnya kalau lapor polisi, kita harus bayar. Ehm, aku pernah denger sih, suatu kasus akan dikerjakan oleh polisi jika ada duitnya atau kasus itu viral," ujar Agung lirih. Randi menghela napas kasar. "Apa kita diamkan saja. Lagi pula yang rusak kan cuma pintu gerbang. Kita bisa beli lagi. Daripada nyari pelakunya lalu membayar lagi lebih mahal daripada harga pagar pada polisi," usul Randi. "Ck, kita laporkan sajalah. Kalau tid