Beberapa tetangga yang melihat Ratna masuk ke dalam mobil, tampak mengerutkan keningnya. Satu dua diantaranya bahkan saling berbisik - bisik. Akhirnya mbok Darmi, salah seorang tetangga Ratna yang rumahnya tepat di samping rumahnya dan mempunyai toko sembako, memberanikan diri menegur Ratna. "Lho, mbak Ratna mau kemana nih? Kok bawa - bawa koper segala?" tanya mbok Darmi. "Saya mau menginap di rumah bunda, Mbok," sahut Ratna singkat. Tapi rupanya mbok Darmi dan beberapa tetangga yang sedang berbelanja di warung nya tampak belum puas bertanya, "tapi kok nggak sama mas Dedi, memangnya mas Dedi kemana?" tanya Mbok Darmi lagi sambil menatap aneh ke arah Ratna. Agung yang sudah duduk di kursi depan di samping supir, memberi kode pada kakaknya untuk segera masuk ke dalam mobil. Dia sendiri lalu keluar dari mobil. "Saya adik kandung mbak Ratna, Bu. Bunda kami kangen anaknya. Kami jalan dulu ya," ujar Agung lalu masuk ke dalam mobil. Agung memang jarang bertandang ke rumah sang kakak. Ka
"Assalamu'alaikum, mas Dedi," ujar Ratna tenang meskipun sedang berusaha untuk meredam keinginan nya mengamuk di kamar itu. Dua insan tak bermoral yang sedang melakukan hubungan terlarang itu terperanjat lalu saling menjauh. Dedi bahkan langsung meraih bantal untuk menutupi a u r atnya. Sedangkan Agustina segera meraih selimut hotel. Dedi mendelik dan melihat ke arah Ratna yang baru datang. Dan pandangan nya tertuju ke arah Randi, sang adik, seketika tangan nya terkepal. "Ratna, aku bisa jelasin apa yang terjadi. Kamu hanya salah paham. Jangan marah, apa adik mu atau adikku yang mengajakmu kesini?" tanya Dedi mendekat ke arah Ratna. Ratna menghela napas dan menggeleng - gelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Mas. Kamu tidak perlu menjelaskan apapun. Semua nya sudah jelas. Kamu selingkuh dan melakukan hubungan terlarang dengan nasabah kamu. Dan aku... minta cerai!" ujar Ratna tegas. Dedi terperangah. "Maafkan aku, Ratna. Aku khilaf. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki dir
Ibu menyuruhku ke kota dan mencari ayah kita dengan membawa foto ayah. Tapi saat berjumpa dengan ayah kita, aku justru diusir dan diancam agar tidak kembali ke rumah nya. Dan di tengah perjalanan pulang ke kampung, aku justru dinodai oleh preman yang mabuk. Aku hancur dan pulang lagi ke kampung membawa kemalangan. Dan semakin merana saat aku hamil tanpa suami!" Agustina menceritakan jalan hidupnya dengan berapi - api. Bulir - bulir air mata menuruni pipi, mengalir menganak sungai. Ratna terkesiap mendengar hal itu. Tak menyangka jika ayahnya begitu jahat dan arogan pada gadis yang lemah. Pernikahan ku batal, calon suami ku tidak menginginkan ku karena aku telah hamil. Aku bernasib sama seperti ibuku. Hamil dan melahirkan tanpa di dampingi suami. Dan setelah melahirkan, aku memutus kan untuk keluar negeri selama tiga tahun.Setelah aku pulang ke Indonesia dan mempunyai tabungan, aku mengajak ibu dan anakku untuk tinggal di kota ini mencari ayah ku. Aku masih dendam pada ayah! Ayahku,
Mobil boks itu menyalakan klakson dan membuat Dedi mengerem mendadak, akibatnya mobil di belakang Dedi yang sedang melaju pun menabrak motor Dedi dari belakang. Ciiittt!Brakkkkk!!! Spakbor belakang motor ninja milik Dedi remuk ditabrak oleh mobil sedan yang melaju di belakang Dedi. Seketika motor yang dinaiki Dedi oleng, tapi tidak jatuh karena Dedi segera menurunkan kedua kakinya untuk menyangga motor. "Ck, si*lan!" desis Dedi saat melihat ke belakang. Sementara sedan itu juga berhenti dan bumper bagian depannya juga penyok.Dedi hampir saja melaju kan mobilnya kembali saat mobil boks yang melaju dari arah yang berlawanan dari depannya telah berlalu saat sebuah teriakan memanggilnya. "Heh, Mas! Tanggung jawab dulu! Mobilku penyok nih! Main kabur saja!" omel pengemudi sedan berwarna hitam itu yang berbicara dengan melongok kan kepala dari jendela mobil nya. Dedi menengok ke arah belakang lalu menepi. "Duh, si*lan! Lagi pusing malah ada orang yang nyari masalah!" ujar Dedi lirih
Akhir nya Dedi melanjutkan langkah nya melalui koridor rumah sakit. Tujuan utamanya adalah meja resepsionis. Dedi lalu menanyakan kamar atas nama pasien Ratna Indaryati dari Ketintang, dirawat di kamar mana, Bu?" tanya Dedi pada perempuan berjilbab yang duduk di belakang meja resepsionis. Perempuan itu melihat ke layar monitor komputer di hadapan nya sejenak lalu menatap ke arah Dedi. "Di ruang kelas 1, Pak," sahut karyawan di balik meja resepsionis itu ramah. Setelah mengucapkan terimakasih, Dedi segera bergegas menuju ke arah kamar yang dimaksud oleh perawat. Dedi nyaris berlari hingga sampai di depan ruang rawat inap Ratna. Pintu ruangan itu tertutup dan Dedi berdiri di depan pintu dengan was - was. "Duh, pengen masuk ke dalam kamar ini tapi kalau ada bapak nya si Ratna bisa - bisa aku menjadi samsak tinju. Tapi kalau tidak masuk ke dalam, aku tidak bisa membujuk agar Ratna membatalkan gugatan cerai sekaligus penjualan rumah ku," gumam Dedi ragu. Baru saja Dedi bingung memiki
"Astaga, Mas! Jadi kamu mempunyai anak lain di luar nikah dan dia yang menyebabkan retaknya rumah tangga Ratna?" Dedi dan Agus menoleh ke arah suara. Terlihat wajah terkejut dari Nita, ibu Ratna. "Tega kamu, Mas!"Agus menoleh ke arah istrinya. "Nit, aku bisa menjelaskan..." ujar Agus lalu menghambur ke arah sang istri. Dedi mengikuti dari belakang. Tapi dengan cepat, Nita, ibu Ratna menutup pintu dan menatap tajam ke arah Dedi dan Agus. "Saya kecewa dengan perbuatan kamu. Sangat kecewa. Gara - gara kamu, anak saya terancam keguguran. Tapi saya juga butuh informasi tentang suami saya. Dimana saya bisa bertemu dengan selingkuhan kamu yang juga anak kandung suami saya?" tanya Nita dengan ekspresi dingin ke arah Dedi. Dedi dan Agus terhenyak. "Baiklah, Bunda. Ayo kuantar ke rumah Agustina," ujar Dedi."Ssst, jangan memanggilku dengan Bunda. Anggap saja kita orang lain, karena aku mendukung keputusan Ratna untuk berpisah dengan kamu."Dedi terperangah tidak menyangka jika mertuanya a
"Dedi, kamu boleh menemui istrimu, tapi ingat satu hal, kalau Ratna tidak mau menemui mu, kamu harus pergi dan jangan memaksanya untuk menerima, memaafkan, atau memahami perselingkuhan kamu," ujar Nita lalu mengikuti Dedi masuk ke dalam kamar rawat inap anaknya. Sedangkan Agus, sibuk meminta maaf dan berjanji tidak ada keributan lagi pada satpam dan suster yang ada di hadapan nya. Dedi terenyuh melihat kondisi Ratna yang diinfus tampak lemah dan memejam kan matanya. Agung yang duduk di samping ranjang pasien, segera berdiri dan menghadang Dedi. "Kamu! Masih berani kesini? Masih kurangkah kamu menyakiti kakakku?!" desis Agung saat melihat mendekat ke arah Ratna. Dedi menatap ke arah adik iparnya itu. "Aku tahu kalau aku bersalah. Aku mengakuinya dan aku ingin minta maaf dengan tulus pada istriku sendiri. Ratna masih istri sahku meskipun dia nanti akan menggugat cerai aku," sahut Dedi. Mendengar suara Dedi dan Agung, Ratna pun membuka matanya. "Mas, jangan mendekat! Aku tidak ingi
"Selamat sore, ayah! Selamat datang di kontrakan anak mu dan silakan duduk," sapa Agustina ramah. Agus dan Nita berjalan masuk ke ruang tamu rumah Agustina tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mata Agus jelalatan menatap ke dalam rumah anak di luar nikahnya itu. Dia duduk berdampingan dengan istrinya di hadapan Agustina, tak ada foto apapun di ruang tamu itu yang bisa menunjukkan identitas Agustina maupun ibunya. Mendadak rasa rindu menyergap hati Agus. Dia teringat saat perkenalan nya dengan Tina, gadis polos yang ditemuinya di kampung saat KKN dulu. "Ayah? Nyari apa? Pasti nyari ibu ya!? Percuma ibu tidak tinggal di sini. Cie, kangen ibu ya?! Ups, lupa, ada tante di sini. Maaf ya, Tan.. Nggak maksud untuk membuat tante cemburu," ujar Agustina tertawa. Wajah Agus dan Nita merah padam. Tapi mereka berusaha untuk tetap tenang sampai tawa Agustina mereda. "Ehem, terus terang saja, Mbak. Apa benar kamu adalah anak dari suami saya?" tanya Nita sambil menatap tajam ke arah Agustina. "Y
"Boleh, aku akan memberikan infus padamu yang berisi seluruh rasa di hatiku, sehingga kamu tidak akan mengalami dehidrasi cinta dan kasih sayang seumur hidup dan kupastikan jika semua perasaan ku yang ku berikan padamu steril tanpa kuman pihak ketiga atau CLBK," ujar Susi, membuat semua teman - temannya melongo."Astaga, kalian berdua so sweet banget! Bagaimana para saksi? SAH?" tanya salah seorang teman Agung dan Susi. "Sah!""Sah!""Alhamdulillah!" Ruang perawat kelas satu pun sejenak riuh dengan gurauan tenakesnya. Susi dan Agung bertatapan, tanpa saling berbicara, mereka tahu bahwa mereka saling mencintai satu sama lain. Dedi pulang dari kantor polisi dengan wajah gusar. "Ck, nggak ada bukti dan aku diminta tenang dulu sampai ada bukti kuat baru bisa melapor ke polisi? Ck, apa - apaan ini? Bagaimana kalau aku keburu mati? Tampaknya suami tante itu berbahaya," gerutu Dedi. Dia lalu melajukan motor nya menuju ke arah hotel bintang tiga yang mempunyai satpam yang sedang berjaga
Dedi terkejut dengan kata - kata penelepon nya. "Hutang mata dibalas mata, hutang istri dibalas istri. Sekarang selamat menikmati rasanya kehilangan istri," ujar laki - laki yang menelepon Dedi. Dedi terhenyak. 'Astaga! Jadi tante sudah meninggal bunuh diri karena terkena HIV? Dan lelaki yang mengaku suaminya tante sudah membunuh Agustina?' batin Dedi. 'Wah, jangan - jangan sebentar lagi, dia juga akan menuntut pertanggungjawaban ku! Padahal aku tidak tahu siapa yang menulari siapa.'"Heh, enak saja kamu menuduhku! Aku tidak kenal siapa kamu dan siapa istrimu! Jangan sembarangan memfitnah ya! Bisa jadi istri kamu ada main dengan orang lain, bukan dengan aku! Jangan asal tuduh!!" ujar Dedi memberanikan diri. Lelaki di seberangnya menggeram. "Jangan mengelak! Hari ini kamu dan istrimu harus mati, Dedi!" ujar suara seberang dengan nada marah. Tubuh Dedi gemetaran. Lelaki itu segera mengakhiri panggilan teleponnya. "Aku harus kabur kemana ini? Apa aku harus lapor polisi atas ancaman
Agung terdiam sejenak. "Kok sepi, Mama mana?" tanya Agung. "Mama tidur. Tadi seharian mama mengajakku nonton telenovela marathon kesukaan nya saat masih muda dulu dari Hp. Setelah itu mama ketiduran, padahal masih belum tamat filmnya," sahut Susi. "Apa perlu kubangunkan?" sambung Susi lagi. Agung buru- buru menggeleng. "Jangan! Kasihan mama kamu! Biar mama kamu tidur saja," sahut Agung cepat. Susi manggut- manggut. "Oke, tunggu di sini. Aku tadi bikin martabak manis tevlon. Semoga bisa dimakan," ujar Susi sambil berlalu meninggalkan ruang tamu, dan tak lama kemudian kembali dengan membawa sepiring martabak manis yang beraroma wangi. Susi meletakkan martabak manis itu di hadapan Agung. "Hm, kayaknya enak nih!" celetuk Agung tersenyum. "Enak! Ayo kita coba sama-sama! Kamu jangan ragu dengan masakan aku ya!" ujar Susi. Agung tertawa. "Asalkan tidak beracun dan tidak mentah saja, aku bisa nelen makanan, Yang," ujar Agung seraya mencomot martabak di hadapan nya. "Hm, enak kok, S
"Alhamdulillah, lancar ya acara lamaran mbak Ratna," ujar Agung sambil mengambil makanan di meja prasmanan. Di sebelah Agung, Ratna mengambil es buah dan tersenyum. "Iya, alhamdulillah, Gung. Semoga kamu cepet nyusul ya?!" sahut Ratna. Agung tersenyum dan mengangguk. "Aamiin, Mbak, makasih doanya. Semoga mbak Ratna juga dilancarkan sampai pernikahan," ujar Agung yang langsung diamini oleh Ratna. Ratna celingukan ke sekeliling taman tengah rumahnya. "Lho, Susi tidak kamu ajak kesini?" tanya Ratna."Hm, sudah. Tapi dia nggak bisa. Dia bilang mau nganter mamanya kontrol saja," sahut Agung, lalu menuju tempat duduk yang telah disediakan oleh pihak EO yang disewa oleh keluarga nya. Ratna mengerut kan kening nya. "Kok kamu biarkan Susi mengantarkan ibunya kontrol sendiri ke rumah sakit sih? Kenapa kamu nggak mengantarkan Susi dan ibunya, Gung?" tanya Ratna. "Kata Susi, ada saudara nya yang akan mengantarkan mereka kontrol. Jadi aku tidak diperlukan dulu," ujar Agung tertawa. "Hahaha,
"Kita akan melihat hal itu nanti, Bu. Jadi bapak dan ibu harus saya ke kantor polisi dulu untuk dimintai keterangan," ujar polisi itu tegas. Agustina melirik ke arah Dedi yang juga terlihat gamang. "Pak, saya tidak mungkin membunuh ibu saya sendiri, meskipun ibu saya selingkuh dengan suami saya. Saya hanya mengusir nya keluar dari rumah karena saya sangat sakit hati," ujar Agustina mencari aman dengan mengatakan permasalahan nya. Dedi mendelik mendengar ucapan Agustina. Sementara itu polisi semakin antusias melihat ke arah Agustina dan Dedi secara bergantian. "Kalau begitu kalian berdua segera ikut kami untuk penyelidikan lebih lanjut! Silakan ikut kami ke kantor polisi!" ujar polisi itu tegas. ***Agustina yang sudah selesai diinterogasi di kantor polisi, memutuskan untuk pulang ke rumahnya dulu. "Ck, sialan! Ini semua gara- gara mas Dedi! Mending aku jadi janda lagi aja deh. Aku nggak peduli dengan balas dendam mas Dedi pada Ratna, aku nggak mau lagi pura - pura kaya dan bahag
"Selamat malam, kami dari kepolisian, ibu anda tertabrak mobil dan meninggal seketika di jalan pahlawan. Dimohon anda segera kemari," sahut polisi itu membuat Agustina gemetaran seketika. "Hah, apa? Tidak mungkin, Pak!" desis Agustina tidak percaya. 'Jangan - jangan ibuk bun*h diri. Atau ibu sudah ada firasat kematian, jadi ibu menelepon ku dari tadi pagi untuk berpamitan,' batin Agustina dengan perasaan menyesal. "Kami dari kepolisian satlantas telah mengevakuasi korban dengan membawa korban kecelakaan ke rumah sakit terdekat. Kami juga melakukan olah tkp dan penyelidikan terhadap identitas korban. Hasilnya, kami menemukan KTP dan ponsel korban. Kontak paling atas di panggilan keluar yang dihubungi oleh korban, adalah nomor ibu. Jadi bisa kah ibu datang ke rumah sakit Sumber Sehat sekarang untuk memastikan tentang identitas korban kecelakaan?" tanya Polisi itu lagi. "Baiklah saya akan datang di Rumah Sakit Sumber Sehat. Bagaimana dengan orang yang menabrak ibu saya? Apakah orang
Suasana hening sejenak. Tina menunduk dan berjongkok membereskan cangkir yang dilemparkan sang anak. "Pergi dari sini, Bu!" usir Agustina dengan suara dingin. Dedi dan Tina menatap ke arah Agustina dengan terkejut. "Nak, tapi...""Pergi dari sini atau kuadukan pada warga bahwa kalian telah melakukan hal yang paling memalukan!" seru Agustina lagi. Dia menatap ke arah ibunya dengan mata berkaca. Tina menoleh ke arah Dedi. Berharap sang menantu membelanya. Namun sayang sekali, bukannya membela Tina, Dedi justru menatap ke arah pintu ruang tamunya, seolah mengisyaratkan dan menyetujui sang mertua untuk pergi dari rumah itu. Tina berdiri perlahan dan meletakan pecahan kaca di meja tamu, lalu menatap ke arah sang anak. "Baiklah, ibu akan pergi dari sini agar kamu memaafkan ibu, meskipun ibu tidak tahu akan pergi kemana," ujar Tina dengan nada putus asa sambil masuk ke dalam kamarnya dan membereskan semua pakaiannya kedalam tas nya. Dedi mendekati Agustina dan berusaha merayunya, tapi
"Astaga! Apa- apaan ini, Mas Dedi?! Ibuk!? Jadi begini kelakuan kalian saat aku tidak ada di rumah? B@jing*n kalian!" seru Agustina sambil menutup mata anaknya yang berdiri kebingungan di samping ibunya yang tengah mengumpat. Dedi segera menurunkan Tina dan melangkah mendekat sang istri. "Yang, aku bisa jelasin. Kamu bawa masuk dulu anak kamu ke kamar, dan aku akan menjelaskan nya," ujar Dedi meremas pelan bahu sang istri. Agustina mencebik. "Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Semua sudah jelas. Kamu menjijikkan, Mas. Masa mertua sendiri pun diembat!" omel Agustina. Dia lalu menoleh pada ibunya. "Ibu juga malu - maluin! Bisa - bisanya tertarik dengan mantu sendiri. Ck, kayak enggak ada orang lain saja!" seru Agustina. "Agustina, maafkan ibu. Ibu khilaf, Nak!" ujar Tina sambil mendekat ke arah sang anak. Perempuan itu merentang kan tangannya dan bermaksud memeluk Agustina, tapi anaknya lebih dulu menepis tangan ibunya. "Aku nggak bakal maafin ibu! Ibu sudah mengkhianati dan m
"Hm, sepertinya buah saja. Buah dalam bentuk parcel yang mewah dan cantik."Paman Dedi menghela napas dan menjeda kalimat nya sejenak. "Oh ya, apa kamu tidak merasakan cemburu dan marah saat adik kamu akan menikah dengan mantan istri kamu? Om sendiri juga tidak menyangka bahwa Randi memilih mantan istri kamu sebagai istri nya. Padahal gadis dan lajang banyak," ujar paman Dedi. Dedi tertawa. "Enggak. Biarlah saja, Paman. Lagi pula saya sudah menikah dengan istri saya yang sekarang," ujar Dedi dengan mata menerawang. Sebenarnya perasaan nya campur aduk.'Seandainya saja aku tidak selingkuh, seandainya saja aku setia dan tidak bekerja sebagai debt collector, mungkin aku masih mempunyai keluarga, bahkan aku masih mempunyai anak. Dan... aku tidak perlu mengidap penyakit sialan ini!' batin Dedi menyesal. Dedi berjalan memasuki rumahnya dengan gontai. Di dalam pikiran nya masih tersisa berjuta tanda tanya, siapa yang menulari nya. Dedi masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu dengan