"Astaga, Mas! Jadi kamu mempunyai anak lain di luar nikah dan dia yang menyebabkan retaknya rumah tangga Ratna?" Dedi dan Agus menoleh ke arah suara. Terlihat wajah terkejut dari Nita, ibu Ratna. "Tega kamu, Mas!"Agus menoleh ke arah istrinya. "Nit, aku bisa menjelaskan..." ujar Agus lalu menghambur ke arah sang istri. Dedi mengikuti dari belakang. Tapi dengan cepat, Nita, ibu Ratna menutup pintu dan menatap tajam ke arah Dedi dan Agus. "Saya kecewa dengan perbuatan kamu. Sangat kecewa. Gara - gara kamu, anak saya terancam keguguran. Tapi saya juga butuh informasi tentang suami saya. Dimana saya bisa bertemu dengan selingkuhan kamu yang juga anak kandung suami saya?" tanya Nita dengan ekspresi dingin ke arah Dedi. Dedi dan Agus terhenyak. "Baiklah, Bunda. Ayo kuantar ke rumah Agustina," ujar Dedi."Ssst, jangan memanggilku dengan Bunda. Anggap saja kita orang lain, karena aku mendukung keputusan Ratna untuk berpisah dengan kamu."Dedi terperangah tidak menyangka jika mertuanya a
"Dedi, kamu boleh menemui istrimu, tapi ingat satu hal, kalau Ratna tidak mau menemui mu, kamu harus pergi dan jangan memaksanya untuk menerima, memaafkan, atau memahami perselingkuhan kamu," ujar Nita lalu mengikuti Dedi masuk ke dalam kamar rawat inap anaknya. Sedangkan Agus, sibuk meminta maaf dan berjanji tidak ada keributan lagi pada satpam dan suster yang ada di hadapan nya. Dedi terenyuh melihat kondisi Ratna yang diinfus tampak lemah dan memejam kan matanya. Agung yang duduk di samping ranjang pasien, segera berdiri dan menghadang Dedi. "Kamu! Masih berani kesini? Masih kurangkah kamu menyakiti kakakku?!" desis Agung saat melihat mendekat ke arah Ratna. Dedi menatap ke arah adik iparnya itu. "Aku tahu kalau aku bersalah. Aku mengakuinya dan aku ingin minta maaf dengan tulus pada istriku sendiri. Ratna masih istri sahku meskipun dia nanti akan menggugat cerai aku," sahut Dedi. Mendengar suara Dedi dan Agung, Ratna pun membuka matanya. "Mas, jangan mendekat! Aku tidak ingi
"Selamat sore, ayah! Selamat datang di kontrakan anak mu dan silakan duduk," sapa Agustina ramah. Agus dan Nita berjalan masuk ke ruang tamu rumah Agustina tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mata Agus jelalatan menatap ke dalam rumah anak di luar nikahnya itu. Dia duduk berdampingan dengan istrinya di hadapan Agustina, tak ada foto apapun di ruang tamu itu yang bisa menunjukkan identitas Agustina maupun ibunya. Mendadak rasa rindu menyergap hati Agus. Dia teringat saat perkenalan nya dengan Tina, gadis polos yang ditemuinya di kampung saat KKN dulu. "Ayah? Nyari apa? Pasti nyari ibu ya!? Percuma ibu tidak tinggal di sini. Cie, kangen ibu ya?! Ups, lupa, ada tante di sini. Maaf ya, Tan.. Nggak maksud untuk membuat tante cemburu," ujar Agustina tertawa. Wajah Agus dan Nita merah padam. Tapi mereka berusaha untuk tetap tenang sampai tawa Agustina mereda. "Ehem, terus terang saja, Mbak. Apa benar kamu adalah anak dari suami saya?" tanya Nita sambil menatap tajam ke arah Agustina. "Y
Tina dan anaknya berpandangan. "Hm, gimana ya? Kamu kan sudah menelantarkan kami lama sekali, masa hanya minta maaf saja. Kami sudah mencari tahu aset yang kamu punya. Berikan toko sembako kamu untuk kami. Maka kami tidak akan membayangi kehidupan kamu sekeluarga lagi," ujar Tina tersenyum penuh kemenangan. Kini giliran Agus dan Nita yang berpandangan. "Kami sudah meminta maaf secara tulus. Lagipula kamu sudah membuat anak kami menderita, jangan meminta yang berlebihan lagi, Tin!" ujar Agus tegas. "Oh, oke. Kalau begitu, kita liat saja apa yang bisa kami lakukan untuk semakin membuat anak kamu terpuruk melebihi apa yang kami alami," ujar Tina tak kalah garang. "Baik lah, anak kami tidak akan mudah dibodohi lagi! Kami tidak akan pernah menyerahkan aset kami. Padahal kami sudah sengaja datang untuk meminta maaf, kalian justru bersikap sombong. Kalau begitu, apapun yang akan kalian lakukan, kami tidak akan menyerah begitu saja. Kalau kalian sampai menganggu dan membahayakan anak ka
Ratna mengelus perutnya yang masih datar dan menatap sekilas pada Agung yang baru saja menutup pintu ruang rawat inapnya. "Ada apa, Gung? Apa yang bunda katakan padamu?" tanya Ratna, menatap kearah adiknya yang baru saja duduk di sofa samping ranjangnya. "Hm, bunda minta nomor WA dan alamat Agustina," sahut Agung pendek. Ratna menautkan kedua alisnya. "Lalu kamu beri?" Agung mengangguk. "Iya. Tentu saja. Kata bunda, ayah ingin minta maaf pada ibunya Agustina. Biar Agustina nggak balas dendam pada mbak Ratna lagi."Ratna tersenyum kecut. "Baru kali ini aku menemukan keluarga istri sah meminta maaf pada pelakor," ujar Ratna. Agung mengedikkan bahunya dan menghela napas panjang. "Aku juga serba salah dengan kejadian ini. Memang sih Agustina itu salah banget karena menjadi selingkuhan laki - laki beristri, apalagi sampai kegerebek di hotel. Tapi masa lalu Agustina dan ibunya juga kelam gara - gara ayah. Tapi mereka salah banget karena balas dendam pada orang yang bukan pelaku nya,
Baru saja bundanya akan menimpali ucapan Agung, mendadak terdengar dering telepon dari ponsel nya. Nita segera menerima panggilan telepon itu lalu memgangguk - anggukkan kepalanya. "Gung, bunda sebenarnya ingin menggantikan kamu menjaga mbak Ratna, tapi ternyata ada barang datang ke toko satu truk, dan ada kabar juga alat olah raga yang dipesan papamu sudah sampai juga di tempat gym. Jadi Bunda dan Ayah harus pulang dulu untuk melihat toko ya. Tolong temani kakak kamu di sini," ujar bundanya. Seketika wajah Agung menjadi manyun. "Ck, Agung juga capek, Bun. Nanti dinas malam. Ingin istirahat dulu di rumah sebelum bekerja," ujar Agung. Bundanya berpikir sejenak. "Kalau begitu biar mbok Siti yang menemani Ratna di sini," putus Bunda. Mbok Siti adalah asisten rumah tangga ayah dan bundanya yang tinggal di rumah mereka setelah suaminya meninggal. Janda berusia lima puluh lima tahun itu hidup tanpa anak dan sudah dianggap keluarga oleh orang tua Agung. Meskipun mbok Siti sudah berusia l
Flash back on :Beberapa tahun yang lalu, "Gung, aku lagi malas pulang ke rumah nih. Cuma ada ibuk, mas Dedi juga masih kerja di pabrik. Aku pulang ke rumah kamu dulu ya," ujar Randi sambil menaiki motor megapro hitamnya.Agung mengangguk. "Kalau kamu mau, kamu bisa menginap sekalian. Ada banyak kamar di rumah," tawar Agung sambil menghidupkan motornya. Randi berpikir sejenak. "Hm, oke deh kalau begitu," ujar Randi. Dia pun segera melajukan motor nya mengikuti motor Randi. Hampir dua jam perjalanan melewati jalan tol, saat Randi dan Agung sampai di rumah Agung. Mereka berdua masih kuliah semester akhir di salah satu STIKES di kota Malang dan saat liburan, mereka pulang ke rumah mereka di surabaya. Randi turun dari motornya mengikuti langkah Agung. Dia menatap ke arah rumah temannya yang lumayan besar dan bersih itu. "Randi! Masuk, jangan bengong saja!" seru Agung yang ternyata sudah masuk ke dalam rumah. Randi mengangguk, mengikuti. Randi dan Agung yang memang satu kota tapi b
"Ih, ayah, ngomong apaan sih. Anak kamu itu noh, jelas jelas Agung dan Ratna yang sedang asyik bakar ikan. Kok malah ngakuin anak lain lho!" tegur Nita. Agus tertawa dan Randi terkekeh. "Iya, ya, maaf Bunda. Habisnya Randi ini pinter banget main caturnya. Beda banget dengan Agung yang tidak suka catur," ujar Agus lagi. "Udah ah, Yah. Catur nya disimpan dulu saja. Tuh, ikan nya sudah selesai dibakar,” ujar Nita sambil menunjuk ke arah kedua anaknya yang dengan riang membawa lima ekor ikan bakar. Mbok Siti pun sudah selesai menyiapkan piring dan es jeruk. "Nah, ayo makan!" ajak Agus. "Ayooo!"Randi dan Ratna yang akan mengambil piring secara bersamaan, secara tak sengaja saling menyenggol tangan satu sama lainnya. "Mbak Ratna dulu saja," ujar Randi saat mengambil pirang di hadapan nya lalu menyodorkan nya pada pada Ratna. "Makasih, Ran," sahut Ratna sambil mengambil piring lalu membenahi anak rambutnya yang tergeser ke pipi. Seketika pipi Ratna berwarna hitam, karena tangan Ratna
"Boleh, aku akan memberikan infus padamu yang berisi seluruh rasa di hatiku, sehingga kamu tidak akan mengalami dehidrasi cinta dan kasih sayang seumur hidup dan kupastikan jika semua perasaan ku yang ku berikan padamu steril tanpa kuman pihak ketiga atau CLBK," ujar Susi, membuat semua teman - temannya melongo."Astaga, kalian berdua so sweet banget! Bagaimana para saksi? SAH?" tanya salah seorang teman Agung dan Susi. "Sah!""Sah!""Alhamdulillah!" Ruang perawat kelas satu pun sejenak riuh dengan gurauan tenakesnya. Susi dan Agung bertatapan, tanpa saling berbicara, mereka tahu bahwa mereka saling mencintai satu sama lain. Dedi pulang dari kantor polisi dengan wajah gusar. "Ck, nggak ada bukti dan aku diminta tenang dulu sampai ada bukti kuat baru bisa melapor ke polisi? Ck, apa - apaan ini? Bagaimana kalau aku keburu mati? Tampaknya suami tante itu berbahaya," gerutu Dedi. Dia lalu melajukan motor nya menuju ke arah hotel bintang tiga yang mempunyai satpam yang sedang berjaga
Dedi terkejut dengan kata - kata penelepon nya. "Hutang mata dibalas mata, hutang istri dibalas istri. Sekarang selamat menikmati rasanya kehilangan istri," ujar laki - laki yang menelepon Dedi. Dedi terhenyak. 'Astaga! Jadi tante sudah meninggal bunuh diri karena terkena HIV? Dan lelaki yang mengaku suaminya tante sudah membunuh Agustina?' batin Dedi. 'Wah, jangan - jangan sebentar lagi, dia juga akan menuntut pertanggungjawaban ku! Padahal aku tidak tahu siapa yang menulari siapa.'"Heh, enak saja kamu menuduhku! Aku tidak kenal siapa kamu dan siapa istrimu! Jangan sembarangan memfitnah ya! Bisa jadi istri kamu ada main dengan orang lain, bukan dengan aku! Jangan asal tuduh!!" ujar Dedi memberanikan diri. Lelaki di seberangnya menggeram. "Jangan mengelak! Hari ini kamu dan istrimu harus mati, Dedi!" ujar suara seberang dengan nada marah. Tubuh Dedi gemetaran. Lelaki itu segera mengakhiri panggilan teleponnya. "Aku harus kabur kemana ini? Apa aku harus lapor polisi atas ancaman
Agung terdiam sejenak. "Kok sepi, Mama mana?" tanya Agung. "Mama tidur. Tadi seharian mama mengajakku nonton telenovela marathon kesukaan nya saat masih muda dulu dari Hp. Setelah itu mama ketiduran, padahal masih belum tamat filmnya," sahut Susi. "Apa perlu kubangunkan?" sambung Susi lagi. Agung buru- buru menggeleng. "Jangan! Kasihan mama kamu! Biar mama kamu tidur saja," sahut Agung cepat. Susi manggut- manggut. "Oke, tunggu di sini. Aku tadi bikin martabak manis tevlon. Semoga bisa dimakan," ujar Susi sambil berlalu meninggalkan ruang tamu, dan tak lama kemudian kembali dengan membawa sepiring martabak manis yang beraroma wangi. Susi meletakkan martabak manis itu di hadapan Agung. "Hm, kayaknya enak nih!" celetuk Agung tersenyum. "Enak! Ayo kita coba sama-sama! Kamu jangan ragu dengan masakan aku ya!" ujar Susi. Agung tertawa. "Asalkan tidak beracun dan tidak mentah saja, aku bisa nelen makanan, Yang," ujar Agung seraya mencomot martabak di hadapan nya. "Hm, enak kok, S
"Alhamdulillah, lancar ya acara lamaran mbak Ratna," ujar Agung sambil mengambil makanan di meja prasmanan. Di sebelah Agung, Ratna mengambil es buah dan tersenyum. "Iya, alhamdulillah, Gung. Semoga kamu cepet nyusul ya?!" sahut Ratna. Agung tersenyum dan mengangguk. "Aamiin, Mbak, makasih doanya. Semoga mbak Ratna juga dilancarkan sampai pernikahan," ujar Agung yang langsung diamini oleh Ratna. Ratna celingukan ke sekeliling taman tengah rumahnya. "Lho, Susi tidak kamu ajak kesini?" tanya Ratna."Hm, sudah. Tapi dia nggak bisa. Dia bilang mau nganter mamanya kontrol saja," sahut Agung, lalu menuju tempat duduk yang telah disediakan oleh pihak EO yang disewa oleh keluarga nya. Ratna mengerut kan kening nya. "Kok kamu biarkan Susi mengantarkan ibunya kontrol sendiri ke rumah sakit sih? Kenapa kamu nggak mengantarkan Susi dan ibunya, Gung?" tanya Ratna. "Kata Susi, ada saudara nya yang akan mengantarkan mereka kontrol. Jadi aku tidak diperlukan dulu," ujar Agung tertawa. "Hahaha,
"Kita akan melihat hal itu nanti, Bu. Jadi bapak dan ibu harus saya ke kantor polisi dulu untuk dimintai keterangan," ujar polisi itu tegas. Agustina melirik ke arah Dedi yang juga terlihat gamang. "Pak, saya tidak mungkin membunuh ibu saya sendiri, meskipun ibu saya selingkuh dengan suami saya. Saya hanya mengusir nya keluar dari rumah karena saya sangat sakit hati," ujar Agustina mencari aman dengan mengatakan permasalahan nya. Dedi mendelik mendengar ucapan Agustina. Sementara itu polisi semakin antusias melihat ke arah Agustina dan Dedi secara bergantian. "Kalau begitu kalian berdua segera ikut kami untuk penyelidikan lebih lanjut! Silakan ikut kami ke kantor polisi!" ujar polisi itu tegas. ***Agustina yang sudah selesai diinterogasi di kantor polisi, memutuskan untuk pulang ke rumahnya dulu. "Ck, sialan! Ini semua gara- gara mas Dedi! Mending aku jadi janda lagi aja deh. Aku nggak peduli dengan balas dendam mas Dedi pada Ratna, aku nggak mau lagi pura - pura kaya dan bahag
"Selamat malam, kami dari kepolisian, ibu anda tertabrak mobil dan meninggal seketika di jalan pahlawan. Dimohon anda segera kemari," sahut polisi itu membuat Agustina gemetaran seketika. "Hah, apa? Tidak mungkin, Pak!" desis Agustina tidak percaya. 'Jangan - jangan ibuk bun*h diri. Atau ibu sudah ada firasat kematian, jadi ibu menelepon ku dari tadi pagi untuk berpamitan,' batin Agustina dengan perasaan menyesal. "Kami dari kepolisian satlantas telah mengevakuasi korban dengan membawa korban kecelakaan ke rumah sakit terdekat. Kami juga melakukan olah tkp dan penyelidikan terhadap identitas korban. Hasilnya, kami menemukan KTP dan ponsel korban. Kontak paling atas di panggilan keluar yang dihubungi oleh korban, adalah nomor ibu. Jadi bisa kah ibu datang ke rumah sakit Sumber Sehat sekarang untuk memastikan tentang identitas korban kecelakaan?" tanya Polisi itu lagi. "Baiklah saya akan datang di Rumah Sakit Sumber Sehat. Bagaimana dengan orang yang menabrak ibu saya? Apakah orang
Suasana hening sejenak. Tina menunduk dan berjongkok membereskan cangkir yang dilemparkan sang anak. "Pergi dari sini, Bu!" usir Agustina dengan suara dingin. Dedi dan Tina menatap ke arah Agustina dengan terkejut. "Nak, tapi...""Pergi dari sini atau kuadukan pada warga bahwa kalian telah melakukan hal yang paling memalukan!" seru Agustina lagi. Dia menatap ke arah ibunya dengan mata berkaca. Tina menoleh ke arah Dedi. Berharap sang menantu membelanya. Namun sayang sekali, bukannya membela Tina, Dedi justru menatap ke arah pintu ruang tamunya, seolah mengisyaratkan dan menyetujui sang mertua untuk pergi dari rumah itu. Tina berdiri perlahan dan meletakan pecahan kaca di meja tamu, lalu menatap ke arah sang anak. "Baiklah, ibu akan pergi dari sini agar kamu memaafkan ibu, meskipun ibu tidak tahu akan pergi kemana," ujar Tina dengan nada putus asa sambil masuk ke dalam kamarnya dan membereskan semua pakaiannya kedalam tas nya. Dedi mendekati Agustina dan berusaha merayunya, tapi
"Astaga! Apa- apaan ini, Mas Dedi?! Ibuk!? Jadi begini kelakuan kalian saat aku tidak ada di rumah? B@jing*n kalian!" seru Agustina sambil menutup mata anaknya yang berdiri kebingungan di samping ibunya yang tengah mengumpat. Dedi segera menurunkan Tina dan melangkah mendekat sang istri. "Yang, aku bisa jelasin. Kamu bawa masuk dulu anak kamu ke kamar, dan aku akan menjelaskan nya," ujar Dedi meremas pelan bahu sang istri. Agustina mencebik. "Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Semua sudah jelas. Kamu menjijikkan, Mas. Masa mertua sendiri pun diembat!" omel Agustina. Dia lalu menoleh pada ibunya. "Ibu juga malu - maluin! Bisa - bisanya tertarik dengan mantu sendiri. Ck, kayak enggak ada orang lain saja!" seru Agustina. "Agustina, maafkan ibu. Ibu khilaf, Nak!" ujar Tina sambil mendekat ke arah sang anak. Perempuan itu merentang kan tangannya dan bermaksud memeluk Agustina, tapi anaknya lebih dulu menepis tangan ibunya. "Aku nggak bakal maafin ibu! Ibu sudah mengkhianati dan m
"Hm, sepertinya buah saja. Buah dalam bentuk parcel yang mewah dan cantik."Paman Dedi menghela napas dan menjeda kalimat nya sejenak. "Oh ya, apa kamu tidak merasakan cemburu dan marah saat adik kamu akan menikah dengan mantan istri kamu? Om sendiri juga tidak menyangka bahwa Randi memilih mantan istri kamu sebagai istri nya. Padahal gadis dan lajang banyak," ujar paman Dedi. Dedi tertawa. "Enggak. Biarlah saja, Paman. Lagi pula saya sudah menikah dengan istri saya yang sekarang," ujar Dedi dengan mata menerawang. Sebenarnya perasaan nya campur aduk.'Seandainya saja aku tidak selingkuh, seandainya saja aku setia dan tidak bekerja sebagai debt collector, mungkin aku masih mempunyai keluarga, bahkan aku masih mempunyai anak. Dan... aku tidak perlu mengidap penyakit sialan ini!' batin Dedi menyesal. Dedi berjalan memasuki rumahnya dengan gontai. Di dalam pikiran nya masih tersisa berjuta tanda tanya, siapa yang menulari nya. Dedi masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu dengan