"Selamat sore, ayah! Selamat datang di kontrakan anak mu dan silakan duduk," sapa Agustina ramah. Agus dan Nita berjalan masuk ke ruang tamu rumah Agustina tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mata Agus jelalatan menatap ke dalam rumah anak di luar nikahnya itu. Dia duduk berdampingan dengan istrinya di hadapan Agustina, tak ada foto apapun di ruang tamu itu yang bisa menunjukkan identitas Agustina maupun ibunya. Mendadak rasa rindu menyergap hati Agus. Dia teringat saat perkenalan nya dengan Tina, gadis polos yang ditemuinya di kampung saat KKN dulu. "Ayah? Nyari apa? Pasti nyari ibu ya!? Percuma ibu tidak tinggal di sini. Cie, kangen ibu ya?! Ups, lupa, ada tante di sini. Maaf ya, Tan.. Nggak maksud untuk membuat tante cemburu," ujar Agustina tertawa. Wajah Agus dan Nita merah padam. Tapi mereka berusaha untuk tetap tenang sampai tawa Agustina mereda. "Ehem, terus terang saja, Mbak. Apa benar kamu adalah anak dari suami saya?" tanya Nita sambil menatap tajam ke arah Agustina. "Y
Tina dan anaknya berpandangan. "Hm, gimana ya? Kamu kan sudah menelantarkan kami lama sekali, masa hanya minta maaf saja. Kami sudah mencari tahu aset yang kamu punya. Berikan toko sembako kamu untuk kami. Maka kami tidak akan membayangi kehidupan kamu sekeluarga lagi," ujar Tina tersenyum penuh kemenangan. Kini giliran Agus dan Nita yang berpandangan. "Kami sudah meminta maaf secara tulus. Lagipula kamu sudah membuat anak kami menderita, jangan meminta yang berlebihan lagi, Tin!" ujar Agus tegas. "Oh, oke. Kalau begitu, kita liat saja apa yang bisa kami lakukan untuk semakin membuat anak kamu terpuruk melebihi apa yang kami alami," ujar Tina tak kalah garang. "Baik lah, anak kami tidak akan mudah dibodohi lagi! Kami tidak akan pernah menyerahkan aset kami. Padahal kami sudah sengaja datang untuk meminta maaf, kalian justru bersikap sombong. Kalau begitu, apapun yang akan kalian lakukan, kami tidak akan menyerah begitu saja. Kalau kalian sampai menganggu dan membahayakan anak ka
Ratna mengelus perutnya yang masih datar dan menatap sekilas pada Agung yang baru saja menutup pintu ruang rawat inapnya. "Ada apa, Gung? Apa yang bunda katakan padamu?" tanya Ratna, menatap kearah adiknya yang baru saja duduk di sofa samping ranjangnya. "Hm, bunda minta nomor WA dan alamat Agustina," sahut Agung pendek. Ratna menautkan kedua alisnya. "Lalu kamu beri?" Agung mengangguk. "Iya. Tentu saja. Kata bunda, ayah ingin minta maaf pada ibunya Agustina. Biar Agustina nggak balas dendam pada mbak Ratna lagi."Ratna tersenyum kecut. "Baru kali ini aku menemukan keluarga istri sah meminta maaf pada pelakor," ujar Ratna. Agung mengedikkan bahunya dan menghela napas panjang. "Aku juga serba salah dengan kejadian ini. Memang sih Agustina itu salah banget karena menjadi selingkuhan laki - laki beristri, apalagi sampai kegerebek di hotel. Tapi masa lalu Agustina dan ibunya juga kelam gara - gara ayah. Tapi mereka salah banget karena balas dendam pada orang yang bukan pelaku nya,
Baru saja bundanya akan menimpali ucapan Agung, mendadak terdengar dering telepon dari ponsel nya. Nita segera menerima panggilan telepon itu lalu memgangguk - anggukkan kepalanya. "Gung, bunda sebenarnya ingin menggantikan kamu menjaga mbak Ratna, tapi ternyata ada barang datang ke toko satu truk, dan ada kabar juga alat olah raga yang dipesan papamu sudah sampai juga di tempat gym. Jadi Bunda dan Ayah harus pulang dulu untuk melihat toko ya. Tolong temani kakak kamu di sini," ujar bundanya. Seketika wajah Agung menjadi manyun. "Ck, Agung juga capek, Bun. Nanti dinas malam. Ingin istirahat dulu di rumah sebelum bekerja," ujar Agung. Bundanya berpikir sejenak. "Kalau begitu biar mbok Siti yang menemani Ratna di sini," putus Bunda. Mbok Siti adalah asisten rumah tangga ayah dan bundanya yang tinggal di rumah mereka setelah suaminya meninggal. Janda berusia lima puluh lima tahun itu hidup tanpa anak dan sudah dianggap keluarga oleh orang tua Agung. Meskipun mbok Siti sudah berusia l
Flash back on :Beberapa tahun yang lalu, "Gung, aku lagi malas pulang ke rumah nih. Cuma ada ibuk, mas Dedi juga masih kerja di pabrik. Aku pulang ke rumah kamu dulu ya," ujar Randi sambil menaiki motor megapro hitamnya.Agung mengangguk. "Kalau kamu mau, kamu bisa menginap sekalian. Ada banyak kamar di rumah," tawar Agung sambil menghidupkan motornya. Randi berpikir sejenak. "Hm, oke deh kalau begitu," ujar Randi. Dia pun segera melajukan motor nya mengikuti motor Randi. Hampir dua jam perjalanan melewati jalan tol, saat Randi dan Agung sampai di rumah Agung. Mereka berdua masih kuliah semester akhir di salah satu STIKES di kota Malang dan saat liburan, mereka pulang ke rumah mereka di surabaya. Randi turun dari motornya mengikuti langkah Agung. Dia menatap ke arah rumah temannya yang lumayan besar dan bersih itu. "Randi! Masuk, jangan bengong saja!" seru Agung yang ternyata sudah masuk ke dalam rumah. Randi mengangguk, mengikuti. Randi dan Agung yang memang satu kota tapi b
"Ih, ayah, ngomong apaan sih. Anak kamu itu noh, jelas jelas Agung dan Ratna yang sedang asyik bakar ikan. Kok malah ngakuin anak lain lho!" tegur Nita. Agus tertawa dan Randi terkekeh. "Iya, ya, maaf Bunda. Habisnya Randi ini pinter banget main caturnya. Beda banget dengan Agung yang tidak suka catur," ujar Agus lagi. "Udah ah, Yah. Catur nya disimpan dulu saja. Tuh, ikan nya sudah selesai dibakar,” ujar Nita sambil menunjuk ke arah kedua anaknya yang dengan riang membawa lima ekor ikan bakar. Mbok Siti pun sudah selesai menyiapkan piring dan es jeruk. "Nah, ayo makan!" ajak Agus. "Ayooo!"Randi dan Ratna yang akan mengambil piring secara bersamaan, secara tak sengaja saling menyenggol tangan satu sama lainnya. "Mbak Ratna dulu saja," ujar Randi saat mengambil pirang di hadapan nya lalu menyodorkan nya pada pada Ratna. "Makasih, Ran," sahut Ratna sambil mengambil piring lalu membenahi anak rambutnya yang tergeser ke pipi. Seketika pipi Ratna berwarna hitam, karena tangan Ratna
Masih flash back on :Ratna menatap ke arah Randi dengan ragu. "Ada karyawan pabrik. Pengunjung kafe. Sering banget makan di kafe tempat aku kerja. Dia ganteng banget. Kayak artis deh. Namanya Dedi, Dedi Setyoadi," ujar Ratna membuat napas Randi seakan terhenti karena nama itu sama persis dengan nama kakaknya."Hah, siapa tadi mbak namanya?" tanya Randi. Sebenar nya dia sudah mendengar dan memahami nama lelaki yang diucapkan oleh Ratna, tapi Randi ingin menegaskan sekali lagi bahwa nama itu adalah nama kakak kandung nya. Ratna menatap Randi yang tampak antusias. "Ih, apaan sih, Dek! Sudah deh, aku malu lho! Nggak ah, aku nggak ingin bercerita tentang hal itu lagi," ujar Ratna menoleh ke arah lain. Randi cepat - cepat merogoh saku celana selututnya dan meraih ponselnya. "Apa Dedi ini yang mbak maksud?" tanya Randi sambil menunjukkan foto kakaknya di galeri ponsel. Seorang lelaki hitam manis, dengan lesung pipi dan perawakan tegap. Ratna terkesiap melihat foto Dedi di ponsel Randi.
Pernikahan Dedi dan Ratna berlangsung khidmat dan meriah. Ibu Dedi bahkan menjual sebagian sawah untuk pesta, ditambah dengan tabungan Dedi saat bekerja selama ini, mampu mewujudkan wedding dream Ratna. Semua tampak berbahagia, hanya saja di sudut ruangan tampak Randi yang menahan air matanya karena melihat gadis yang dicintainya bersanding dengan kakaknya sendiri. 'Padahal aku sudah diterima bekerja sebagai pegawai di rumah sakit swasta yang cukup besar dan mempunyai pasien home visit yang cukup banyak, tapi apa gunanya jika aku tidak bisa menikah dengan perempuan yang kucintai,' batin Randi. Dia berusaha dengan segenap hatinya untuk mengikhlaskan Ratna dengan kakaknya. 'Semoga kamu selalu bahagia, Mbak Ratna. Mempunyai keluarga bahagia dan anak yang lucu dan sehat,' batin Randi sekali lagi. Randi selalu menahan perasaan nya saat melihat Dedi dan Ratna yang menjadi satu rumah dengannya, karena Dedi terkena PHK dan diperparah dengan ibunya yang mendadak mengalami stroke, sehingga
"Belum. Belum terpikir tentang hal itu. Aku hanya ingin menjalani waktu dulu dan memberikan kesempatan bagi ku dan Randi agar lebih saling mengenal. Mumpung masa iddahku sudah selesai. Kalau untuk menikah lagi, sejujurnya aku masih takut diselingkuhi kembali. Tapi setidaknya jika aku dengan Randi, kamu kan ada kesempatan untuk mendekati Susi. Tunjukkan sinyal kamu jatuh cinta sama dia. Jangan diam saja. Dia mana tahu perasaan kamu. Cinta itu datang karena terbiasa. Witing tresno soko saking jalaran kulino, kata orang Jawa," jelas Ratna panjang lebar. "Hm, baiklah! Aku akan meraih dan mendapatkan cintaku. Minimal biar dia tahu perasaanku dan memberikan kesempatan kami untuk saling mengenal!" tekad Agung. "Nah, gitu dong. Ya sudah, ayo siap -siap berangkat ke pernikahan mantan ku," ujar Ratna sambil mengacungkan kedua jempolnya. *Ratna dan Agung memasuki aula hotel mahkota dengan dress code yang telah ditentukan. Ratna tampak cantik dan anggun dengan make up flawless ala Korea deng
"Hah? Jadi selama ini Agung mencintai Susi? Tapi Susi malah mencintai Randi, teman Agung," gumam Ratna kaget. Dia lalu menyimpan foto - foto dan surat - surat yang ditulis Agung untuk Susi di kamarnya, kemudian meminta mbok Siti untuk menyetrika gaun nya dan baju Agung yang akan dipakai di acara resepsi pernikahan Dedi. Agung pulang ke rumah dengan terburu-buru lalu masuk ke dalam kamarnya dan membuka lemari. Dengan panik, lelaki muda itu memeriksa tiap helai pakaiannya. Beberapa saat memeriksa tumpukan baju, Agung duduk di ranjang dengan kecewa. Lalu dia menghela napas panjang dan memeriksa lipatan baju di lemari nya sekali lagi. "Apa kamu mencari ini?" tanya Ratna berdiri di depan pintu kamar adiknya. Agung menoleh ke arah suara dan terhenyak saat melihat Ratna yang memegang surat- surat dan foto Susi. "Mbak, tolong kembalikan!" seru Agung mendekat ke arah Ratna. Tapi Ratna justru menyembunyikan foto dan surat milik Agung tersebut di balik punggung nya. "Tenang. Aku pasti meng
Suasana hening sejenak. "Mas, jangan kebanyakan mikir! Kalau kamu bersedia, aku akan menjaga omongan ku sekaligus omongan Si Agustina agar dia nggak nyebarin informasi tentang masa lalu kamu yang menelantarkan kami. Tapi kalau kamu tidak mau ya, siap - siap saja kamu menjadi bahan gibah semua orang di komplek perumahan ini!" ujar Tina tersenyum menyeringai. "Baiklah, aku bersedia untuk menikah kan Agustina. Bagaimana pun kan dia anak yang terlahir dari pernikahan yang sah secara agama," ujar Agus akhirnya. ***Sebulan kemudian, "Mbak, ada undangan dari mantan nih!" ujar Agung yang baru saja masuk ke dalam rumah. Dia membawa sepucuk undangan berwarna emas dan menyerahkan nya pada Ratna. Ratna menatap undangan itu sekilas. "Wah, mereka jadi menikah akhirnya," ujar Ratna sambil membaca nama yang tertera di surat undangan itu. "Apa mbak Ratna mau datang?" tanya Agung pada kakaknya. Ratna terdiam sejenak. "Hadeh, aku malas. Mending buat kerja di kafe saja," ujar Ratna mencebik. Agu
Pak RT dan para pengunjung warung pun tercengang, sementara wajah Agus merah padam. "Lho, jadi pak Agus ini suaminya Bu Tina?" tanya Pak RT dengan wajah bingung. Baru saja Tina hendak menjawab pertanyaan dari Pak RT, saat Agustina menyela. "Betul, Pak RT, beliau ayah saya, namanya Agus dan ibu saya bernama Tina, jadi saya diberi nama Agustina," sahut Agustina mantap. Sementara itu Agus semakin salah tingkah. Pak RT langsung menangkap arah pembicaraan Agustina dan mengira Agus dan Tina adalah pasangan suami istri yang sudah bercerai."Hm, jadi begitu. Baiklah, saya harap walaupun sudah berpisah, pak Agus dan bu Tina tetap menjaga kerukunan di kampung ini ya?! Bapak dan ibu tinggal di satu komplek perumahan dengan saya. Kalau ada masalah atau beda pendapat, boleh meminta saran saya atau warga desa yang dituakan. Tidak usah takut atau malu," ujar pak RT sambil menatap Agus dan Tina bergantian. Keduanya mengangguk dengan kikuk. Agustina mendekat ke arah bu RT yang sedang mengantarkan
Ratna dan Agung segera memeluk sang bunda sambil bertangisan. "Maafkan bunda! Maafkan karena bunda membuat keluarga kita terpecah. Bunda sungguh tidak kuat serumah dengan ayah kalian. Maafkan bunda karena telah membiarkan Augustina menang!" ujar Bunda dalam dekapan kedua anaknya. "Iya, Bunda. Kami mengerti. Bunda tenang saja. Kami tetap di sini untuk menjaga bunda," ujar Ratna dan Agung hampir bersamaan. *Agus mengendarai mobilnya dengan perasaan masygul. Dia menuju ke gedung gym miliknya. Dalam hati menimbang- nimbang akan bermalam dimana untuk sementara waktu. Dengan langkah gontai, Agus memasuki gedung gym nya lalu mulai memeriksa berbagai peralatan di sana. Satu per satu berdatangan lah pelatih yang bekerja di tempat gymnya, diikuti dengan member lama dan member baru. Agus terlihat melamun saat seorang pelatih yang bekerja di tempat gymnya menghampirinya. "Kenapa Bos? Kucel amat wajahnya? Kayak enggak diberi jatah sama bini berhari-hari," tegur salah seorang pelatihnya. Agu
"Ceraikan aku, Mas! Aku ingin bebas dari bayang- bayang kesalahan masa lalu kamu!" tukas Nita tegas. Agus tampak terkejut dengan keputusan Nita. "Kamu serius mengatakan hal itu?!" tanya Agus, menatap sang istri tak percaya. "Iya, Mas. Aku... Ternyataa tidak bisa hidup dengan kamu yang telah membohongi ku sejak awal pernikahan," ujar Nita dengan mata berkaca. Agus berdiri dan segera berlutut di depan istri sahnya. "Maafkan aku, Nit. Maafkan aku! Aku sungguh tidak bermaksiat untuk membohongi mu. Aku khilaf di masa lalu dan menikah siri dengan Tina saat KKN. Dan aku tahu jika kita awalnya memang dijodohkan, tapi aku benar-benar jatuh cinta padamu, Nit! Jangan tinggal kan aku!" ujar Agus menghiba. Nita menatap suami nya dengan nanar. "Kalau kita mempertahankan rumah tangga kita hanya demi anak, kamu dan aku akan sama - sama tersiksa. Aku tersiksa karena membayang kan kamu yang pernah membohongi ku dengan menikahi perempuan lain sebelum denganku. Dan kamu pasti akan tersiksa juga ji
"Aku mau menempati rumah baruku sekarang, Randi," ujar Dedi sambil menyeret kopernya ke hadapan Randi yang sedang duduk di ruang tengah melihat tivi. Randi mengangkat wajahnya dan melihat sang kakak yang sedang mengotak atik ponselnya."Ya syukur lah kalau mas Dedi bisa membeli rumah lagi. Emangnya kamu kerja apa, Mas? Cepet banget beli rumah, memangnya kamu kerja apa, Mas?" tanya Randi penuh selidik. Dedi seketika menyimpan ponselnya di saku celana. "Yang jelas bukan sekedar menjadi office boy di rumah sakit tempat kamu bekerja," ujar Dedi dengan nada mencemooh. "Tapi pekerjaan kamu halal kan, Mas?" tanya Randi penuh selidik. Dedi langsung mendelik. "Apa maksud kamu bicara seperti itu, Randi!? Kamu iri dengan rejeki dan keberuntungan aku!?" tanya Dedi sengit. Randi menggeleng. "Sama sekali tidak! Aku justru tidak ingin mas Dedi menjalani pekerjaan haram hanya agar cepat mendapat uang,” ujar Randi tegas. " Kasihin orang tua kita jika mereka tahu kalau pekerjaan mas Dedi haram,
Beberapa saat sebelum nya, "Kamu tega sekali! Masa lulusan S1 ekonomi jadi OB sih, Randi!?" tanya Dedi dengan nada tak suka. Randi melihat Dedi dan menghela napas panjang. "Memangnya kenapa kalau menjadi OB? Yang penting kan halal. Sekarang banyak kok sarjana yang mempunyai pekerjaan yang nggak nyambung dengan title. Lancar - lancar saja. Asalkan ulet dan cekatan. Banyak pula yang lulusan SMA tapi mempunyai penghasilan lebih tinggi daripada sarjana karena mereka nggak gengsi dan nggak pilih- pilih pekerjaan. Daripada enggak ada kerjaan atau punya pekerjaan tapi haram, ya mending pekerjaan apapun asal halal. Memangnya bisa makan gengsi?!" tanya Randi menatap kakaknya dengan serius. Dedi meletakkan sendoknya di atas piring. 'Duh, sudah capek - capek membuat rencana membakar pagar kafe untuk bekerja di kafe Randi, malah permintaanku ditolak lagi,' keluh Dedi dalam hati. Dedi pun memilih berdiri dan meninggalkan makan siangnya yang baru berkurang beberapa sendok. "Nggak usah, deh.
Keesokan paginya, "Rekaman CCTV yang terpasang di kafe menunjukkan bahwa sekitar jam 1 malam, ada bayangan orang yang menyiram sesuatu ke pagar kafe sebelum kemudian menyalakan api lalu bayangan tersebut langsung lari ke barat. Dan sekitar 30 menit kemudian, datanglah Dedi yang melewati kafe dan memanggil tetangga yang mempunyai rumah di sekitar kanan dan kiri kafe lalu berusaha memadamkan api. "Apa kita akan lapor polisi?" tanya Randi menatap ke arah Agung dengan bingung. Mereka berdua sedang berdiskusi di ruang khusus untuk staf. Agung berpikir sejenak, "takutnya kalau lapor polisi, kita harus bayar. Ehm, aku pernah denger sih, suatu kasus akan dikerjakan oleh polisi jika ada duitnya atau kasus itu viral," ujar Agung lirih. Randi menghela napas kasar. "Apa kita diamkan saja. Lagi pula yang rusak kan cuma pintu gerbang. Kita bisa beli lagi. Daripada nyari pelakunya lalu membayar lagi lebih mahal daripada harga pagar pada polisi," usul Randi. "Ck, kita laporkan sajalah. Kalau tid