Flash back on :Beberapa tahun yang lalu, "Gung, aku lagi malas pulang ke rumah nih. Cuma ada ibuk, mas Dedi juga masih kerja di pabrik. Aku pulang ke rumah kamu dulu ya," ujar Randi sambil menaiki motor megapro hitamnya.Agung mengangguk. "Kalau kamu mau, kamu bisa menginap sekalian. Ada banyak kamar di rumah," tawar Agung sambil menghidupkan motornya. Randi berpikir sejenak. "Hm, oke deh kalau begitu," ujar Randi. Dia pun segera melajukan motor nya mengikuti motor Randi. Hampir dua jam perjalanan melewati jalan tol, saat Randi dan Agung sampai di rumah Agung. Mereka berdua masih kuliah semester akhir di salah satu STIKES di kota Malang dan saat liburan, mereka pulang ke rumah mereka di surabaya. Randi turun dari motornya mengikuti langkah Agung. Dia menatap ke arah rumah temannya yang lumayan besar dan bersih itu. "Randi! Masuk, jangan bengong saja!" seru Agung yang ternyata sudah masuk ke dalam rumah. Randi mengangguk, mengikuti. Randi dan Agung yang memang satu kota tapi b
"Ih, ayah, ngomong apaan sih. Anak kamu itu noh, jelas jelas Agung dan Ratna yang sedang asyik bakar ikan. Kok malah ngakuin anak lain lho!" tegur Nita. Agus tertawa dan Randi terkekeh. "Iya, ya, maaf Bunda. Habisnya Randi ini pinter banget main caturnya. Beda banget dengan Agung yang tidak suka catur," ujar Agus lagi. "Udah ah, Yah. Catur nya disimpan dulu saja. Tuh, ikan nya sudah selesai dibakar,” ujar Nita sambil menunjuk ke arah kedua anaknya yang dengan riang membawa lima ekor ikan bakar. Mbok Siti pun sudah selesai menyiapkan piring dan es jeruk. "Nah, ayo makan!" ajak Agus. "Ayooo!"Randi dan Ratna yang akan mengambil piring secara bersamaan, secara tak sengaja saling menyenggol tangan satu sama lainnya. "Mbak Ratna dulu saja," ujar Randi saat mengambil pirang di hadapan nya lalu menyodorkan nya pada pada Ratna. "Makasih, Ran," sahut Ratna sambil mengambil piring lalu membenahi anak rambutnya yang tergeser ke pipi. Seketika pipi Ratna berwarna hitam, karena tangan Ratna
Masih flash back on :Ratna menatap ke arah Randi dengan ragu. "Ada karyawan pabrik. Pengunjung kafe. Sering banget makan di kafe tempat aku kerja. Dia ganteng banget. Kayak artis deh. Namanya Dedi, Dedi Setyoadi," ujar Ratna membuat napas Randi seakan terhenti karena nama itu sama persis dengan nama kakaknya."Hah, siapa tadi mbak namanya?" tanya Randi. Sebenar nya dia sudah mendengar dan memahami nama lelaki yang diucapkan oleh Ratna, tapi Randi ingin menegaskan sekali lagi bahwa nama itu adalah nama kakak kandung nya. Ratna menatap Randi yang tampak antusias. "Ih, apaan sih, Dek! Sudah deh, aku malu lho! Nggak ah, aku nggak ingin bercerita tentang hal itu lagi," ujar Ratna menoleh ke arah lain. Randi cepat - cepat merogoh saku celana selututnya dan meraih ponselnya. "Apa Dedi ini yang mbak maksud?" tanya Randi sambil menunjukkan foto kakaknya di galeri ponsel. Seorang lelaki hitam manis, dengan lesung pipi dan perawakan tegap. Ratna terkesiap melihat foto Dedi di ponsel Randi.
Pernikahan Dedi dan Ratna berlangsung khidmat dan meriah. Ibu Dedi bahkan menjual sebagian sawah untuk pesta, ditambah dengan tabungan Dedi saat bekerja selama ini, mampu mewujudkan wedding dream Ratna. Semua tampak berbahagia, hanya saja di sudut ruangan tampak Randi yang menahan air matanya karena melihat gadis yang dicintainya bersanding dengan kakaknya sendiri. 'Padahal aku sudah diterima bekerja sebagai pegawai di rumah sakit swasta yang cukup besar dan mempunyai pasien home visit yang cukup banyak, tapi apa gunanya jika aku tidak bisa menikah dengan perempuan yang kucintai,' batin Randi. Dia berusaha dengan segenap hatinya untuk mengikhlaskan Ratna dengan kakaknya. 'Semoga kamu selalu bahagia, Mbak Ratna. Mempunyai keluarga bahagia dan anak yang lucu dan sehat,' batin Randi sekali lagi. Randi selalu menahan perasaan nya saat melihat Dedi dan Ratna yang menjadi satu rumah dengannya, karena Dedi terkena PHK dan diperparah dengan ibunya yang mendadak mengalami stroke, sehingga
"Iya, aku memang mencintai mbak Ratna, Mas. Bahkan aku mencintai mbak Ratna sejak pertama kali bertemu dengan nya. Sebenarnya aku ingin berterus terang pada mbak Ratna tentang perasaan ku setelah aku lulus dan diterima bekerja di rumah sakit, tapi rupanya mbak Ratna mencintai mu lebih dulu. Kamu sudah menyia- nyiakan perempuan sebaik mbak Ratna, Mas. Maka lepaskan lah dia agar dia bisa mendapatkan lelaki terbaik yang setia dan bisa menghargai nya," ujar Randi tegas membuat Ratna dan Dedi terperangah. Suasana hening sejenak. Ingatan Ratna kembali ke masa beberapa tahun yang lalu saat dia baru bertemu dengan Randi. 'Hah? Jadi kapan Randi mulai mencintai aku? Apa sejak saat aku salah membuka pintu kamar Agung?' batin Ratna. Mendadak terdengar suara tepuk tangan. Prok! Prok! Prok! "Hebat, hebat sekali! Adik kandungku sendiri rupanya mencintai istriku? Lelucon macam apa ini? Jangan - jangan kamu pernah selingkuh atau tidur dengan istriku, hah? Jawab!" seru Dedi sambil mencekal lengan
"Tentu saja kalau mbak Ratna berkenan, aku akan menikahi nya," ujar Randi tegas. Agung dan Ratna terkesiap. "Kamu akan tetap menikah dengan kakakku walau pun kamu tahu kakakku sedang hamil? Kamu mau menjadi ayah dari anak yang bukan darah daging kamu sendiri?" tegas Agung lagi. "Iya. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik untk mbak Ratna dan ayah yang baik untuk anaknya, anak kami," sahut Randi tegas. "Dan kalau mbak Ratna berkenan menjadi istriku, terserah dia mau bekerja atau tidak. Tapi aku akan tetap menafkahi nya semampu ku. Kalau pun mbak Ratna senang bekerja di luar rumah agar tidak suntuk, biarlah hasilnya untuk dia saja," sambung Randi lagi. Agung menoleh ke arah kakaknya yang sedari tadi terdiam."Mbak Ratna, aku juga tidak tahu jika Randi selama ini mencintai mbak Ratna, karena dia tidak pernah bercerita padaku. Jadi terserah mbak Ratna untuk menerima perasaan Randi atau tidak," ujar Agung. Ratna menelan ludah. Belum selesai masalah dengan Dedi, sekarang dia harus m
Dedi tersenyum menyeringai. "Menikah lah dengan ku!!" "Hah, apa?!"Agustina melongo saat mendengar usul dari Dedi. "Ya, menikahlah dengan ku. Memangnya kenapa kalau menikah dengan ku? Apa kamu tidak mau!?" tanya Dedi menatap tajam pada Agustina. "Bukan kah kamu ingin balas dendam pada ayah mu?" sambung Dedi lagi. Agustina memindai wajah Dedi, mencari kemungkinan bercanda pada lelaki itu. "Apa kamu bercanda, Mas? Lantas bagaimana dengan istri kamu?" tanya Agustina. "Ratna.. Aku sudah menalakkannya tadi," ujar Dedi sambil menyugar rambutnya. Agustina mengerutkan keningnya. "Aku kira kamu akan mati - matian untuk meminta nya kembali padamu," ujar janda itu sambil menyedekapkan kedua tangan nya di depan dada. Dedi menggeleng. "Ratna hamil.”"Tuh kan, apalagi dia sedang hamil, pasti kamu berusaha agar dia kembali padamu, Mas," tukas Agustina cepat. Dia masih merasa heran dengan mendadak nya perubahan sikap Dedi. Tadi sore saat digrebek, seperti nya Dedi masih berharap untuk bisa ke
"Tidak! Tidak mau! Mana bukti nya kalau saya berzi na!?" tanya Agustina. Sementara itu Dedi yang sudah melihat video penggrebekan nya hanya tertunduk malu. Seorang perempuan setengah baya lainnya maju seraya menunjukkan ponselnya. "Kamu tanya buktinya?! Ini buktinya!" seru perempuan itu. Agustina mendelik menatap ke arah layar ponsel lalu menoleh ke belakang, ke arah Dedi yang tertunduk dan tidak bisa membelanya. Di ponsel itu hanya video auratnya saja yang disamarkan, wajahnya begitu jelas terpampang di layar ponsel. "Sudah puas melihat buktinya?! Keluar dari lingkungan ini sekarang!" seru beberapa penduduk desa. Agustina menelan ludah. "Saya tidak akan keluar kalau bukan pemilik kontrakan yang meminta saya keluar dan mengembalikan uang kontrakan yang sudah saya bayarkan setahun pen... Aawwww! Apa - apaan ini?!" ucapan Agustina terpotong saat ibu - ibu tambun menjambak rambutnya dengan kasar. Agustina pun tak tinggal diam, dia juga menjambak rambut ibu itu. "Heh, keluar nggak da
"Boleh, aku akan memberikan infus padamu yang berisi seluruh rasa di hatiku, sehingga kamu tidak akan mengalami dehidrasi cinta dan kasih sayang seumur hidup dan kupastikan jika semua perasaan ku yang ku berikan padamu steril tanpa kuman pihak ketiga atau CLBK," ujar Susi, membuat semua teman - temannya melongo."Astaga, kalian berdua so sweet banget! Bagaimana para saksi? SAH?" tanya salah seorang teman Agung dan Susi. "Sah!""Sah!""Alhamdulillah!" Ruang perawat kelas satu pun sejenak riuh dengan gurauan tenakesnya. Susi dan Agung bertatapan, tanpa saling berbicara, mereka tahu bahwa mereka saling mencintai satu sama lain. Dedi pulang dari kantor polisi dengan wajah gusar. "Ck, nggak ada bukti dan aku diminta tenang dulu sampai ada bukti kuat baru bisa melapor ke polisi? Ck, apa - apaan ini? Bagaimana kalau aku keburu mati? Tampaknya suami tante itu berbahaya," gerutu Dedi. Dia lalu melajukan motor nya menuju ke arah hotel bintang tiga yang mempunyai satpam yang sedang berjaga
Dedi terkejut dengan kata - kata penelepon nya. "Hutang mata dibalas mata, hutang istri dibalas istri. Sekarang selamat menikmati rasanya kehilangan istri," ujar laki - laki yang menelepon Dedi. Dedi terhenyak. 'Astaga! Jadi tante sudah meninggal bunuh diri karena terkena HIV? Dan lelaki yang mengaku suaminya tante sudah membunuh Agustina?' batin Dedi. 'Wah, jangan - jangan sebentar lagi, dia juga akan menuntut pertanggungjawaban ku! Padahal aku tidak tahu siapa yang menulari siapa.'"Heh, enak saja kamu menuduhku! Aku tidak kenal siapa kamu dan siapa istrimu! Jangan sembarangan memfitnah ya! Bisa jadi istri kamu ada main dengan orang lain, bukan dengan aku! Jangan asal tuduh!!" ujar Dedi memberanikan diri. Lelaki di seberangnya menggeram. "Jangan mengelak! Hari ini kamu dan istrimu harus mati, Dedi!" ujar suara seberang dengan nada marah. Tubuh Dedi gemetaran. Lelaki itu segera mengakhiri panggilan teleponnya. "Aku harus kabur kemana ini? Apa aku harus lapor polisi atas ancaman
Agung terdiam sejenak. "Kok sepi, Mama mana?" tanya Agung. "Mama tidur. Tadi seharian mama mengajakku nonton telenovela marathon kesukaan nya saat masih muda dulu dari Hp. Setelah itu mama ketiduran, padahal masih belum tamat filmnya," sahut Susi. "Apa perlu kubangunkan?" sambung Susi lagi. Agung buru- buru menggeleng. "Jangan! Kasihan mama kamu! Biar mama kamu tidur saja," sahut Agung cepat. Susi manggut- manggut. "Oke, tunggu di sini. Aku tadi bikin martabak manis tevlon. Semoga bisa dimakan," ujar Susi sambil berlalu meninggalkan ruang tamu, dan tak lama kemudian kembali dengan membawa sepiring martabak manis yang beraroma wangi. Susi meletakkan martabak manis itu di hadapan Agung. "Hm, kayaknya enak nih!" celetuk Agung tersenyum. "Enak! Ayo kita coba sama-sama! Kamu jangan ragu dengan masakan aku ya!" ujar Susi. Agung tertawa. "Asalkan tidak beracun dan tidak mentah saja, aku bisa nelen makanan, Yang," ujar Agung seraya mencomot martabak di hadapan nya. "Hm, enak kok, S
"Alhamdulillah, lancar ya acara lamaran mbak Ratna," ujar Agung sambil mengambil makanan di meja prasmanan. Di sebelah Agung, Ratna mengambil es buah dan tersenyum. "Iya, alhamdulillah, Gung. Semoga kamu cepet nyusul ya?!" sahut Ratna. Agung tersenyum dan mengangguk. "Aamiin, Mbak, makasih doanya. Semoga mbak Ratna juga dilancarkan sampai pernikahan," ujar Agung yang langsung diamini oleh Ratna. Ratna celingukan ke sekeliling taman tengah rumahnya. "Lho, Susi tidak kamu ajak kesini?" tanya Ratna."Hm, sudah. Tapi dia nggak bisa. Dia bilang mau nganter mamanya kontrol saja," sahut Agung, lalu menuju tempat duduk yang telah disediakan oleh pihak EO yang disewa oleh keluarga nya. Ratna mengerut kan kening nya. "Kok kamu biarkan Susi mengantarkan ibunya kontrol sendiri ke rumah sakit sih? Kenapa kamu nggak mengantarkan Susi dan ibunya, Gung?" tanya Ratna. "Kata Susi, ada saudara nya yang akan mengantarkan mereka kontrol. Jadi aku tidak diperlukan dulu," ujar Agung tertawa. "Hahaha,
"Kita akan melihat hal itu nanti, Bu. Jadi bapak dan ibu harus saya ke kantor polisi dulu untuk dimintai keterangan," ujar polisi itu tegas. Agustina melirik ke arah Dedi yang juga terlihat gamang. "Pak, saya tidak mungkin membunuh ibu saya sendiri, meskipun ibu saya selingkuh dengan suami saya. Saya hanya mengusir nya keluar dari rumah karena saya sangat sakit hati," ujar Agustina mencari aman dengan mengatakan permasalahan nya. Dedi mendelik mendengar ucapan Agustina. Sementara itu polisi semakin antusias melihat ke arah Agustina dan Dedi secara bergantian. "Kalau begitu kalian berdua segera ikut kami untuk penyelidikan lebih lanjut! Silakan ikut kami ke kantor polisi!" ujar polisi itu tegas. ***Agustina yang sudah selesai diinterogasi di kantor polisi, memutuskan untuk pulang ke rumahnya dulu. "Ck, sialan! Ini semua gara- gara mas Dedi! Mending aku jadi janda lagi aja deh. Aku nggak peduli dengan balas dendam mas Dedi pada Ratna, aku nggak mau lagi pura - pura kaya dan bahag
"Selamat malam, kami dari kepolisian, ibu anda tertabrak mobil dan meninggal seketika di jalan pahlawan. Dimohon anda segera kemari," sahut polisi itu membuat Agustina gemetaran seketika. "Hah, apa? Tidak mungkin, Pak!" desis Agustina tidak percaya. 'Jangan - jangan ibuk bun*h diri. Atau ibu sudah ada firasat kematian, jadi ibu menelepon ku dari tadi pagi untuk berpamitan,' batin Agustina dengan perasaan menyesal. "Kami dari kepolisian satlantas telah mengevakuasi korban dengan membawa korban kecelakaan ke rumah sakit terdekat. Kami juga melakukan olah tkp dan penyelidikan terhadap identitas korban. Hasilnya, kami menemukan KTP dan ponsel korban. Kontak paling atas di panggilan keluar yang dihubungi oleh korban, adalah nomor ibu. Jadi bisa kah ibu datang ke rumah sakit Sumber Sehat sekarang untuk memastikan tentang identitas korban kecelakaan?" tanya Polisi itu lagi. "Baiklah saya akan datang di Rumah Sakit Sumber Sehat. Bagaimana dengan orang yang menabrak ibu saya? Apakah orang
Suasana hening sejenak. Tina menunduk dan berjongkok membereskan cangkir yang dilemparkan sang anak. "Pergi dari sini, Bu!" usir Agustina dengan suara dingin. Dedi dan Tina menatap ke arah Agustina dengan terkejut. "Nak, tapi...""Pergi dari sini atau kuadukan pada warga bahwa kalian telah melakukan hal yang paling memalukan!" seru Agustina lagi. Dia menatap ke arah ibunya dengan mata berkaca. Tina menoleh ke arah Dedi. Berharap sang menantu membelanya. Namun sayang sekali, bukannya membela Tina, Dedi justru menatap ke arah pintu ruang tamunya, seolah mengisyaratkan dan menyetujui sang mertua untuk pergi dari rumah itu. Tina berdiri perlahan dan meletakan pecahan kaca di meja tamu, lalu menatap ke arah sang anak. "Baiklah, ibu akan pergi dari sini agar kamu memaafkan ibu, meskipun ibu tidak tahu akan pergi kemana," ujar Tina dengan nada putus asa sambil masuk ke dalam kamarnya dan membereskan semua pakaiannya kedalam tas nya. Dedi mendekati Agustina dan berusaha merayunya, tapi
"Astaga! Apa- apaan ini, Mas Dedi?! Ibuk!? Jadi begini kelakuan kalian saat aku tidak ada di rumah? B@jing*n kalian!" seru Agustina sambil menutup mata anaknya yang berdiri kebingungan di samping ibunya yang tengah mengumpat. Dedi segera menurunkan Tina dan melangkah mendekat sang istri. "Yang, aku bisa jelasin. Kamu bawa masuk dulu anak kamu ke kamar, dan aku akan menjelaskan nya," ujar Dedi meremas pelan bahu sang istri. Agustina mencebik. "Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Semua sudah jelas. Kamu menjijikkan, Mas. Masa mertua sendiri pun diembat!" omel Agustina. Dia lalu menoleh pada ibunya. "Ibu juga malu - maluin! Bisa - bisanya tertarik dengan mantu sendiri. Ck, kayak enggak ada orang lain saja!" seru Agustina. "Agustina, maafkan ibu. Ibu khilaf, Nak!" ujar Tina sambil mendekat ke arah sang anak. Perempuan itu merentang kan tangannya dan bermaksud memeluk Agustina, tapi anaknya lebih dulu menepis tangan ibunya. "Aku nggak bakal maafin ibu! Ibu sudah mengkhianati dan m
"Hm, sepertinya buah saja. Buah dalam bentuk parcel yang mewah dan cantik."Paman Dedi menghela napas dan menjeda kalimat nya sejenak. "Oh ya, apa kamu tidak merasakan cemburu dan marah saat adik kamu akan menikah dengan mantan istri kamu? Om sendiri juga tidak menyangka bahwa Randi memilih mantan istri kamu sebagai istri nya. Padahal gadis dan lajang banyak," ujar paman Dedi. Dedi tertawa. "Enggak. Biarlah saja, Paman. Lagi pula saya sudah menikah dengan istri saya yang sekarang," ujar Dedi dengan mata menerawang. Sebenarnya perasaan nya campur aduk.'Seandainya saja aku tidak selingkuh, seandainya saja aku setia dan tidak bekerja sebagai debt collector, mungkin aku masih mempunyai keluarga, bahkan aku masih mempunyai anak. Dan... aku tidak perlu mengidap penyakit sialan ini!' batin Dedi menyesal. Dedi berjalan memasuki rumahnya dengan gontai. Di dalam pikiran nya masih tersisa berjuta tanda tanya, siapa yang menulari nya. Dedi masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu dengan