Dennis melirik Azyan yang duduk di sampingnya. Pagi ini, keduanya melaksanakan tugas masing-masing. Dennis yang kerja di kantor—lelaki itu menempati posisi sebagai ilustrator. Ya, hobby menggambar dari kecil, membuat Dennis terus mengembangkan imajinasinya. Dennis tak lagi menekuni dunia berenang, ketika ia menang olimpiade cabang berenang di tingkat SMA.
walau hidupnya terlalu serius, tapi Dennis adalah anak yang patut dibanggakan. Ia selalu berprestasi di bidang renang, dan menggambar.
Dennis melirik ke arah Azyan yang mengendong Danish. Bayi itu begitu enteng, sedang tertidur, dengan gaya khas bayi yang begitu mengemaskan.
Hari ini, Azyan memakai dress berwarna pink soft. Warna pink, sudah menjadi pemadangan yang biasa bagi Dennis, karena sang bunda juga tergila-gila dengan warna pink. Sebenarnya, ada apa para wanita dan warna pink?
"Jam berapa pulang?" tanya Dennis tanpa menoleh pada pengasuhnya Danish.
"U-um.. jam 10."
"Saya jemput!" putus Dennis. Azyan hanya diam. Jika Dennis tidak menjemputnya, ia bisa pulang bersama Ilene. Ilene dan kembarannya beda jurusan. Ilene memilih jurusan Sastra Inggris seperti dirinya. Sedangkan kembarannya-- Darris memilih jurusan yang sangat sulit—Oseanografi.
Berbeda dengan Dennis, Darris anak yang humoris. Setiap saat, ia bertengkar bersama kembarannya. Walau hanya melihat sekilas, Azyan mengenal Darris, begitu sebaliknya—karena mereka sebenarnya mantan kekasih.
Dennis mengantar Azyan ke kampus. Dan dib ada asisten rumah tangga, khusus mengurus rumah. Tugas Azyan hanya mengurus bayi. Melihat bagaimana Azyan mencium pipi merah Danish, ada ngelenyer aneh di dada Dennis. Tapi, lelaki itu mengabaikan semuanya. Ia tak suka anak kecil, semenjak dari kecil, ia sudah dituntut sanga bunda menjadi dewasa sebelum waktunya, bahkan harus mengurus adik-adiknya. Sehingga ada dendam tersendiri pada diri Dennis, ia benci anak kecil, dan berjanji dalam hati, tak ingin punya anak kecil. Masa lalu yang kejam, bisa membuat siapa saja membawa dendam hingga masa depan.
Saat Azyan pergi ke kampus. Baby Danish akan bersama Bu Amin, pengasuh Dennis dari kecil. Karena sudah dianggap nenek sendiri, Dennis tak perlu khawatir meninggalkan Danish berada di bawah pengasuhan Bu Amin. Sebelum pergi, Azyan harus memompa ASI agar stock makanan baby Danish tidak kekurangan. Bayi yang awalnya terlihat mengkerut, lama-lama berevolusi jadi bayi mengemaskan.
Azyan terus menciumi Danish ketika akan turun dari mobil. Hal itu, turut menjadi perhatian Dennis. Lelaki dewasa itu, menelan ludahnya. Lagi-lagi ngelenyer aneh itu bergejolak di dadanya.
"Babay baby." ucap Azyan. Bayi merah itu tidak terpengaruh sama sekali. Wajahnya yang bulat, dan bibirnya mungilnya membuat hati siapa saja meluruh melihat kepolosannya. Dennis terus memperhatikan Azyan.
"S-saya kuliah dulu bang." Azyan berujar dengan gugup. Dennis hanya diam, menatap Azyan.
Dennis hanya mengerutkan hidungnya. Ketika, sebuah tangan sudah ditadahkan ke depannya.
"Mau 50 ribu buat jajan." Ilene masih mengadahkan tangannya, meminta uang ke abangnya.
"Uang yang bunda kasih kurang?" tanya Dennis. Ilene tanpa dosa menggeleng. Ia tak pernah kekurangan, apa salahnya memeras abang sendiri, jika ia tahu, Dennis punya banyak uang, juga tidak pelit?
"Eh, dapat dong. Eh, buntut sapi, mau duit nggak?" teriak Ilene yang mengundang semua perhatian. Ia memanggil Darris yang sudah masuk ke halam fakultasnya.
Darris pun berbalik, dengan senyum andalan, senyum melas minta uang. Dan tersenyum kompak bersama saudari kembarnya, dan meminta uluran tangan. Dennis mengeluarkan lagi uang selembar berwarna biru.
"Asyik. Bisa rental PS nih." ucap Darris bangga.
"Kubilang bunda." Ilene melotot pada kembarannya. Darris hanya mengedihkan bahunya.
"Kau upil onta diam aja. Aku tuh, nyari uang tambahan buat penelitan." Darris membela diri.
"Alasan lo banyak buntut sapi. Aku ngadu bunda tahu rasa." Darris menarik rambut kakaknya.
"Abang.." teriak Ilene. Inilah pemandangan setiap saat, ketika Dennis berada di rumah orang tuanya. Akhirnya, ia memilih menempati rumah sendiri. Daripada harus mendengar renggekan dari saudara kembarnya yang rese, tapi mereka tetap kesayangan. Ilene melempari kembarannya berkali-kali pakai batu kerikil di depannya. Tapi Darris terus berlari.
Tidak di rumah, di kampus, tetap saja resenya tak bisa hilang. Di rumah, hanya Dennis dan Darren yang diam. Selain itu, semuanya berisik. Apalagi sang induk, suka teriak-teriak dalam rumah. Bahkan, Dennis suka menegur bundanya karena teriak tak tahu tempat, dan menjadi kebiasaan wanita itu.
"Hai Ai." Azyan berdiri di samping Ilene, ketika mendengar cewek itu teriak.
"Eh, mamah muda. Abang, bagi jatah buat bini dong." ujar Ilene tanpa malu. Azyan hanya memalingkan wajahnya. Ia tak berani menatap Dennis.
"Buat tugas kampus." Tiba-tiba Dennis mengeluarkan uang selembar berwarna merah. Wajah Azyan juga sudah semerah duit itu. Gaji yang ditawarkan Bunda Ilene juga sudah banyak, Dennis juga suka memberinya tanpa diminta, padahal Azyan bahkan tidak meminta uang sepeserpun. Ia hanya berbagi, karena punya penyakit langka, dan ia menyayangi Danish layaknya anak sendiri.
"Makasih bang." ujar Azyan malu-malu.
"Ih.. abang. Sama bini aja kasih merah, sama adik sendiri pelit." sungut Ilene. Azyan semakin malu, Ya Tuhan ini masih pagi, ia sudah dibuat wajahnya memerah.
"Makasih abang." ujar Azyan lagi, walau Dennis kaku, tapi ia tak pelit. Hanya saja, Dennis sedikit sangsi jika mendengar suara tangisan Danish.
"Kok abang? Kenapa nggak papa aja? Atau ayah. Bunda aja manggilnya papa?" ujar Ilene seperti orang bodoh. Wajah Azyan makin memerah dan memalingkan wajahnya.
Dennis menutup kaca mobilnya, dan berbelok pulang. Karena ia sudah mengantarkan Azyan tepat di depan fakultasnya.
Melayani para wanita di keluarganya, sama saja menggali kuburan buat diri sendiri.
_____________________________________Dennis bolak-balik melirik jam yang melingkar cantik di pergelangan tangan. Jam mahal itu terasa bergerak begitu lambat. Lelaki itu, memilih agar tidak pergi ke kantor, dan menghabiskan pekerjaan di rumah.
Ada sebuah rasa asing, rasa ingin melindungi Azyan dan baby Danish. Apalagi, melihat bayi mungil itu, lagi-lagi ada ngelenyer aneh di dada Dennis. Lelaki matang itu, merasa baby Danish mempunyai semacam magnet yang membuatnya ingin terus menempel. Tapi, Dennis tak ingin bayi itu menangis, atau mengompol. Dennis benci hal-hal seperti itu.
Perlahan, kaki panjang Dennis menuntun lelaki itu, menuju kamar Azyan. Baby Danish, sedang tertidur di ranjang bayi miliknya. Keputusan bundanya untuk mengadopsi anaknya, menurutnya tepat. Walau awalnya ia benci tangisan bayi, akhir-akhir ini, Dennis betah menciumi aroma bayi yang menguar dari kamar tersebut.
Dengan perlahan, Dennis memindahkan bayi mungil itu dan ia letakan di atas tempat tidur. Baby Danish tidak terpengaruh sama sekali, bahkan, sesekali mulut mungil itu menyedot-nyedot.
Dennis memegangi tangannya. Danish langsung menggengam kuat jari telunjuk Dennis. Laki-laki itu menopang kepalanya, dan ikut berbaring sambil menatap lekat bayi yang masih merah tersebut. Sangat tak ada dosa. Dennis memperhatikan urat-urat kecil yang terlihat di pipi mungil tersebut. Dennis terus mengagumi Baby Danish. Dennis mengusap-ngusap kening Danish dengan jarinya, jangan sampai tidur Danish terganggu.
Mungkin euforia ini yang bundanya rasakan, hingga menyuruh nekat mengadopsi bayi yang masih merah.
Cup!
Jantung Dennis berpacu, layaknya mencium gebetan. Ia begitu senang, mencium Baby Danish. Mungkin, mencium bayi adalah hobby barunya sekarang.
"Cepat besar." bisik Dennis. Sambil mengusap kepala Baby Danish.
_________________________________Masih dengan memakai dress sederhana berwarna pink. Dan flat shoes, ditambah clutch. Berhubung, Azyan hany pengasuh bayi, gadis itu memakai dress yang begitu sederhana. Ia juga, harus mempertimbangkan makanan Baby Danish. Dengan memakai dress yang ada zipper di depan.
Ilona mengundang Dennis dan Azyan untuk makan malam. Wanita yang sudah berumur tersebut, begitu bersemangat. Bahkan, meneror Azyan dan Dennis, agar makan malam bersama. Karena, ia sudah menyiapkan banyak makanan.
"Ya ampun baby tidur ya?" Ilona mencium pipi Azyan, pengasuh bayi tersebut.
"Iya bunda." Azyan begitu terharu. Keluarga ini, menerima dirinya layaknya anak sendiri.
"Ya ampun, mau gendong." Ilona mengambil alih, Baby Danish.
"Ai, siapkan makanan." teriak Ilona. Bayi yang berumur 3 minggu itu terkejut. Dan menangis.
"Alah, cup-cup."
"Bunda kebiasaan, suka teriak-teriak nggak tahu tempat." tegur Dennis. Ia heran, semangat bundanya tak pernah pudar, padahal wanita itu sudah memasuki setengah abad.
"Iya, maaf popo." ujar Ilona. Membuat suaranya seperti anak kecil.
Azyan yang merasa tak enak hati, karena teguran Dennis pada bundanya. Ia merasa, dirinya penyebab hal tersebut."Bunda.. udah!" teriak Ilene. Dennis hanya mengelus dadanya, pantasnya disebut, keluarga raja hutan, karena suka teriak-teriak.
Dennis mendekati meja makan yang panjang. Papanya—Darren sudah duduk disana, sambil meminum kopi.
"Jangan biasakan suka teriak-teriak. Apalagi ada bayi!" Dennis menegur Ilene yang sedang mengatur piring dan lauk di atas meja. Darren menatap putra sulungnya. Dennis itu pendiam, tapi sekali berbicara atau marah, sangat menakutkan. Makanya, semua orang di rumah pada takut pada Dennis.
Melihat aura abangnya yang menyeramkan. Ilene bergegas, membereskan semuanya dan kabur dari hadapan Dennis.
"Bella, lagi nyusuin Baby Danish di luar." Ilona datang dan mengambil makanan untuk suaminya. Semua orang memanggil Azyan dengan panggilan Bella. Nama gadis itu Azyan Frabella. Hanya Dennis yang memanggilnya Zyan. Menurutnya nama Bella sudah terlalu pasaran. Ia ingin memberi nama baru yang terdengar enak di telinganya.
Dennis mencari keberadaan Azyan. Gadis malah, berada di atas. Di kamar Ilene dan Darris yang bersebrangan.
Dengan penerangan yang kecil, Azyan berdiri di tepi balkon. Dennis ingin menegur Azyan. Kenapa harus berdiri di luar, angin malam tak bagus untuk bayi.
"Ya ampun comelnya baby. Coba aja, papa ijinkan aku nikah sekarang." Dennis melewati kamar Ilene. Gadis itu mengoceh sendiri. Rupanya, ia berbicara dengan Baby Danish yang membuka matanya kecil. Bayi merah itu terganggu, dengan suara teriakan induk singa hutan.
Dennis ingin mengajak Azyan agar masuk ke dalam. Ia tak mau, Azyan masuk angin. Jika gadis itu sakit, bisa jadi Baby Danish ikut tertular. Rasa untuk melindungi begitu mendominasi Dennis sekarang.
Lelaki itu melewati kamar Darris. Dan menuju balkon.
"Aku hanya pengasuh."
"Kamu bukan pengasuh. Kamu Bella si cantik. Beri aku kesempatan lagi, aku akan merubah semuanya." Dennis hanya berdiri kaku di sana Ia mengepalkan tangannya. Ada rasa tak rela di sudut hatinya paling dalam.
_________________________________Bab 1. Udah drama aja, wkwkkw.
Gapapa biar cepat kelar, jadi gak bikin bosan.
Jujur, ini bukan aku bangat, nulis ini. Tapi aku berusaha keras menantang diri, semoga feelnya nyampe ke kalian.
Suasana canggung lagi-lagi tercipta. Setelah, makan malam yang gagal, akhirnya Dennis dan Azyan pulang, karena Baby Danish terus menangis.Sekarang sudah pukul 10 malam, memang bukan waktu yang bagus, karena bayi yang masih merah, tak boleh kena angin malam.Azyan mengendong Baby Danish yang mendadak menangis, padahal bayi merah itu sempat tertidur saat dalam mobil. Dan sekarang, ketika menginjak udara rumah, auranya menjadi ribut. Dennis membuka pintu rumah berwarna putih gading tersebut, dan mempersilahkan Azyan masuk terlebih dahulu.Azyan sempat duduk di sofa, sambil menimang Danish yang terus menangis. Bahkan, sudah diberi ASI, bayi itu terus menangis."Udah ya baby. Neny sedih, kalau baby nangis terus." bisik Azyan lembut. Ia tak tega, melihat bayi merah itu terus menangis. Ia berharap Danish bisa berbicara, agar ia tahu, apa yang bayi itu keluhkan.Sudah diberi ASI berkali-kali, Danish tetap menolak. Bayi itu terus m
"Selamat pagi." Azyan mendengar suara bariton yang mengantar tidurnya. Gadis itu tersadar, ia baru tertidur selama 45 menit. Ia tak bisa tidur karena perlakuan Dennis yang tiba-tiba, dan sekarang ia harus bangun lagi.Sebenarnya, Azyan masih mengantuk, tapi ia sadar diri. Akhirnya dengan senyuman ia terbangun. Keduanya saling menyapa dengan senyuman pagi."Dia nggak sadar-sadar." Dennis melihat ke arah Baby Danish, dan tersenyum. Azyan hanya tersenyum, ia juga heran, Baby Danish begitu nyenyak. Biasanya bayi merah itu terbangun 2-4 kali karena pampers penuh atau ingin makan. Tapi, tidak sama sekali. Sepertinya, ia kelelahan karena menangis.Dennis bangun dari ranjang. Dan menggaruk rambutnya sambil menguap, semua hal itu tak pernah lepas dari pandangan Azyan."Saya mau buat sarapan. Kalau ngantuk tidur aja." Dennis pun keluar. Meninggalkan Azyan yang memerah. Hey, ia hanya seorang pengasuh tapi kenapa ia bersi
"Bang, makan." Dennis mengepalkan tangannya. Ia masih ingat, mereka berasal dari kandungan yang sama. Berasal dari satu perut. Kalau saja, Darris bukan anak Ilona, Dennis akan menendang Darris ke sungai dekat rumahnya.Cowok itu tanpa malu, duduk di meja makan, dan membuka tudung saji, rupanya kosong. Ia sudah terbiasa, di rumahnya disajikan berbagai makanan berbagai macam oleh bundanya."Disini bukan warung makan.""Aelah bang. Tinggal pesan aja, yaudah aku suruh bini masak dulu ya.""Bella!" Suara Darris mengema di seluruh ruangan. Benar-benar gen raja hutan. Di manapun berada, pasti teriak-teriak seperti Tarzan."Saya usir kamu! Jangan teriak-teriak, disini ada bayi!" peringat Dennis. Darris hanya nyegir. Cowok tampan itu melihat abangnya dan tersenyum. Jarak usia yang lumayan jauh, membuat kedua cowok dalam keluarga raja hutan tak terlalu dekat. Darris lebih dekat dengan kembarannya.
"Kok, Bunda nggak pernah lihat, kamu bawa pasangan ya bang? Apa adopsi bayi juga kurang? Apa perlu, bunda cari cewek juga nih?" Dennis menghembuskan napas gusar. Minggu pagi yang cerah, rencana ingin menghabiskan waktu dengan bersantai, atau memanjakan diri, dengan pergi gym, atau berenang untuk meregangkan otot-ototnya. Malah, diundang sang raja hutan ke rumah, alhasil ia harus membiasakan telinganya mendengar kata-kata ini setiap saat.Dennis sedang duduk di teras samping rumahnya, dengan sang Papah yang juga duduk di depannya. Dan sang bunda yang masih segar dan cantik, sedang memakai masker sepagi buta ini, tapi sudah sibuk masalah jodoh."Udahlah bun. Yang penting Dennis udah ada tanggung jawab sekarang." jawab Darren menenangkan istrinya. Ia tahu, wanita yang telah ia kenal puluhan tahun ini sangat ambisius orangnya."Oh tidak bisa! Bunda mau gendong cucu sekarang, bunda mau punya banyak cucu." Dennis hanya diam, dan me
Terdiam. Berdiri kaku.Dennis melakulan hal ini dalam waktu yang ia sendiri tidak memastikan, ia hanya berdiri di kuburan. Ya, kuburan seseorang yang takkan pernah ia lupakan hingga sekarang, bayangan dan penyesalan terus menghantuinya.Laki-laki minim ekspresi itu hanya berdiri disana, sambil membaca berulang-ulang nama yang tertulis dan batu nisan tersebut, dan berharap ketika hitungan ke 100, nama itu bisa berubah. Nyatanya, sudah 342 kali Dennis membaca nama itu, tetap sama. Nama seseorang yang sangat membekas hingga sekarang. Teman masa kecil, yang membuat Dennis terus belajar agar menunjukan pada 'sosok' tersebut, ia layak diperhatikan. Tapi, saat gadis itu meinggalkan dunia fana itu, apa yang ia rasakan hanya tertahan dan tiggal di angan.Bahkan, sudah berdiri lama, lelaki itu tak pernah dapat melupakan bayang-bayang dan penyesalan. Dennis berjongkok, dan hanya mengelus-elus kuburan, ia tak bisa berbicara sekata-pata,
Dennis membersihkan tenggorokannya. Ia akhirnya menuruti, saran bundanya untuk bertemu Alena. Wanita yang akan ia jadikan masa depan.Hari ini, Dennis hanya memakai pakaian santai, kemeja kotak-kotak kecil garis merah dengan warna dasar dongker dan celana jeans belel. Dennis juga memakai topi, sebelum berangkat ke restoran yang dijanjikan, ia pergi dulu ke rumah bundanya, dan banyak mendapat wejangan."Bunda jadi ingat papah kamu saat masih muda. Sama persis." Dennis hanya berdiri kaku di sana, melihat mata bundanya yang sudah berkaca-kaca. Wanita yang sudah berumur tersebut, hanya memakai daster rumahan, dengan warna biru les merah. Dennis melihat ke arah ayahnya yang duduk tenang, tak banyak bicara sama seperti dirinya."Pokoknya bang, kali ini harus jadi. Jangan kaku-kaku amat jadi orang. Kalau bingung mau ngomong apa, chat bunda, biar bunda ajarkan kata-katanya." Darren terkekeh, pada tingkah istrinya. Ada saja, kelakuan
"Anjirrr lah." umpat Darris. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang keras mendarat tepat di kepalanya. Sakit tentu saja. Lelaki itu melihat benda apa yang melayang ke kepalanya, dan itu kunci mobil. Ia melirik ke sana, dan melihat tatapan abangnya yang ingin membunuhnya."Papa pulang. Anak lagi tidur, tuh mama lagi nyusuin." canda Darris sambil meringis, karena rasa kepalanya seperti mau copot. Sakit sekali.Dennis masuk dan duduk di sofa ujung. Ia mengeluarkan ponselnya. Ia menelpon, dan menloudspeaker, ponsel tersebut."Gimana bang berhasil? Ah... bunda senang bangat nih, ada pencerahan." Darris menoleh pada abangnya, itu suara bundanya."Jangan kasih uang ke Darris selama seminggu. Dia bicara tak senonoh, bahkan mau buat mesum!""Ada apa ini?" suara Ilona di ujung terdengar panik. Darris hanya menganga. Gila! Abangnya nekat, dan jika ancamannya uang, ia tak bisa buat apa-apa. Karena ia tak puny
Familier.Dennis semakin menelan salivanya. Lelaki itu merasa dalam hidupnya, tak pernah berciuman dengan siapapun. Tapi, ia merasa seperti sudah pernah berciuman sebelumnya. Dengan siapakah? Mustahil, jika ia pernah berciuman dengan Azyan, padahal mereka baru kenal satu bulan terakhir.Dennis memiringkan wajahnya, meraup apa yang ada dalam mulut Azyan yang bisa ia sedot. Laki-laki itu meremas rambut tebal Azyan. Ia suka rambut Azyan."Em..." tanpa sadar Azyan mendesah. Ciuman ini membuatnya mabuk. Gadis polos dan pemalu dan tak melekat pada dirinya, Azyan menyambut ciuman dengan rakus. Gadis itu menutup matanya, membiarkan perasaannya makin mengakar. Walau tak ada yang tahu bagaimana perasaan Azyan pada Dennis.Keduanya tak ingin ada hari esok."Sorry." Azyan masih menunduk, ia tak berani menatap Dennis. Demi apa, ia terbawa perasaan membalas ciuman Dennis. Walau Dennis yang memulai, harusnya
"Manusia bisa punya rencana, tapi Tuhan yang menentukan."Kata-kata bullshit yang bikin Azyan muak. Semua orang akan sok bijak pada waktunya, dan ia tak ingin mendengar kata-kata laknat itu. Dua tahun, ia dan Dennis jungkir-balik program kehamilan dan sampai saat belum ada kabar bahagia tersebut.Setiap bulan, Azyan harus bolak-balik kamar mandi memegang testpack dan hasilnya tetap garis satu. Kadang gadis itu menangis diam-diam, tapi tak pernah tunjukan di depan suami, karena tak ingin menunjukan di depan suami kelemahannya yang membuat Dennis semakin banyak pikiran san beban. Iya tahu, Dennis juga stress dengan semua ini. Bagaimana semua cara mereka lakukan agar menambah anggota keluarga tapi tetap Tuhan belum mengizinkan atau memang Tuhan cukupkan.Danish sudah memasuki Pra Sekolah. Saat mengurus Danish, membuat perhatian Azyan sedikit teralihkan dengan anaknya. Terkadang ia berpikir, mungkin Tuhan menginginkan agar ia
"Ini serius?" Azyan berbalik pada Dennis dan mencoba bertanya meyakinkan penglihatannya. Matanya masih jernih, ia belum rabun, Azyan belum butuh kacamata, rambutnya belum putih hingga ia belum pikun dan juga, ia sedang tidak bermimpi.Siang ini, Dennis mengajaknya ke sebuah rumah makan di pinggir laut. Azyan mengira, mereka hanya makan seafood seperti orang pergi, ke rumah makan dan memesan sesukanya. Tapi Dennis mempunyai kejutan lain. Laki-laki itu, memberinya banyak kerang di hadapannya. Azyan juga mengira mereka akan berburu kerang hari ini. Tapi, Azyan selalu salah dari dugaannya. Laki-laki itu sengaja memberinya, banyak kerang yang di dalamnya terdapat banyak mutiara berbagai warna. Makanya, Azyan tak percaya dengan penglihatannya.Azyan awalnya meringis, ini disebut romantis atau menjijikan?"Saya sengaja memberi kamu ini, biar kamu tahu bahwa kamu berharga seperti mutiara. Langka tapi sangat berharga dan begitu can
Kebahagiaan demi kebahagiaan menghampiri Azyan. Saat ini, usia Danish sudah berumur 2 tahun. Tentu, makin pintar dan tetap mengemaskan seperti biasa. Dennis hanya bisa geleng-geleng, jika anak semata wayangnya sangat cerewet seperti neneknya si raja hutan.Ngomong-ngomong raja hutan, Azyan masih tak percaya jika ia mempunya mertua yang cantik, enerjik dan tak pernah terlihat tua. Garis kecantikannya masih bersinar, walau sudah kepala lima.Azyan menoleh pada anaknya yang sedang bermain. Gigi Danish yang dulunya hanya dua biji, sekarang sudah banyak gigi. Bahkan, Danish rajin menyikat gigi, karena ajaran dari ibunya. Membuat Dennis tak berhenti bersyukur dan kagum, dengan didikan Azyan. Dia benar ibu yang hebat, Dennis tak salah memilih orang. Berawal dari musibah, mereka menjadi keluarga kecil yang sempurna, di dalam rumah mereka hanya ada kebahagiaan di dalamnya. Membuat semua orang betah bertamu ke rumah Dennis.Darris s
Terdiam untuk waktu yang lama. Semua orang sedang senyap, mengheningkan cipta. Hanya Danish yang mulai risih berada dalam gendongan ibunya."Mam.." Danish mengulurkan tangannya, meminta biskuit yang ibunya beri karena bayi ini tak bisa diam dalam gendongan. Tak puas, karena terus terkurung dalam gendongan, Danish ingin turun. Bayi itu terus menunjuk ke bawah, minta diturunkan. Ayolah, dia sudah bisa jalan kenapa harus digendong terus?Dennis menoleh mengode pada istrinya agar menurut saja, karena bayi itu risih dan belum mengerti apa yang terjadi.Azyan akhirnya pergi dari sana.Hari ini adalah peringatan hari kematian Jasmine. Tanggal 24 Agustus. Dan Dennis hadir untuk memperingati kepergian Jasmine untuk selamanya, dan datanglah semua keluarga Jasmine.Saat Azyan pergi, Danish menangis tangannya ia ulur padanya. Danish ingin bersama Yaya."Yaya." Azyan menggeleng. Tapi D
Azyan tengah bersiap-siap, untuk pergi memenuhi undangan Dennis. Surprise. Walau ia sudah menduga surprise seperti apa. Tapi, Azyan akan pura-pura tak tahu, bahagia demi menyenangkan hati pasangannya.Anak mereka—sebut saja anak mereka, karena buatnya berdua. Danish sedang bermain, Azyan senang bayi itu sudah pandai bermain. Ia akan jengkel dan menangis ketika mainan yang ia mau tak bisa dikunyah.Azyan sudah memandikan Danish memakaikan baju yang rapi, bedak, minyak wangi. Azyan tak tahu, jika sudah besar wajah Danish terlihat lebih mirip seperti Dennis sekarang, padahal dulu saat bayi ia senang wajah Danish mirip dirinya.Azyan sedang menyisir rambutnya dan mungkin sedikit bedak yang tipis di pipinya. Ia merasa hari-harinya berubah. Saat Dennis sudah tahu segalanya, ia tak perlu berpura-pura di hadapan suaminya. Azyan mendekati anaknya yang sedang enteng bermain. Dennis benar membelikan banyak mainan untuk Danish. Membuat bayi itu langsung banya
"Bunda ..." Dennis berbalik pada bundanya. Dennis tahu, pasti bundanya juga menyimpan sesuatu yang tak beres disini."Kejarlah. Dia pasti punya alasan."Dennis langsung berlari, turun dari panggung. Ia mencari di mana ponselnya, dan segera menyusul Azyan.Ketika menjumpai ponselnya, Dennis melihat Azyan memberinya pesan.ABella : Jumpa di cafe Tebing.Sekarang masih siang, tapi cuaca selalu mendung seperti suasana hati Dennis tak sudah karuan seperti sekarang. Laki-laki itu memasukan ponsel dalam sakunya dan bergegas pergi. Ia harus mengejar Azyan, dan meminta penjelasan dari semua ini. Mengapa tiba-tiba Azyan menolaknya? Apa gadis itu sudah menemukan sesorang pengganti dirinya? Kenapa Azyan bisa begitu tega menolaknya? Padahal Dennis tahu, gadis itu juga mencintainya. Siapa yang tiba-tiba mencuci otak gadis itu?Dengan gerimis yang mengundang rindu, Dennis menyusul Azyan
Minggu yang sibuk.Dennis ingin memastikan semuanya berjalan seperti yang ia mau. Sempurna—untuk orang yang sempurna."Saya ingin dekornya warna hijau, jadi nanti panggungnya dibuat bulat gitu." Dennis menjelaskan bagaimana dekornya nanti. Ia yang turun tangan sendiri, memastikan semuanya seperti yang ia inginkan. Biasanya, hal-hal seperti ini bundanya yang akan turun tangan, tapi sekarang Dennis ingin membuatnya sendiri, ingin membuat Azyan terkesima dan meyakinkan gadis itu, ia tak pernah salah memilih.Pekerjaan telah dimulai, besok hari H. Dan saat itu, Dennis akan berdidih dengan gagah dan berani, sambil meminta anak gadis orang untuk menghabiskan masa tua mereka bersama."Zyan, maukah kamu menemani saya sampai hari tua?""Zyan, saya tahu. Saya dulu brengsek dan juga bodoh, telah menyia-nyiakan kamu, sekarang saya ingin kita menghabiskan masa kita bersama, menua bersama bersama
"Maaf, saya hanya laki-laki brengsek dan juga pengecut mungkin. Membawa kamu terbang tinggi dan tiba-tiba harus memutuskan ini tiba-tiba." ujar Dennis sungguh-sungguh. Ia sudah memikirkan semuanya dengan matang dan ya, Azyan rumah terakhirnya. Tempatnya berlabuh. Azyan dan Danish harta yang paling berharga yang tak bisa ia sia-siakan.Dennis juga sedikit banyak, sudah tahu bagaimana sifat Azyan yang sebenarnya. Gadis pemalu, kalem dan juga, ia akan bersifat manja sewaktu-waktu. Keluarga bahagia impiannya sebentar lagi tercapai."Jadi maaf sekali lagi.""Hahaha. Santai aja, sebenarnya aku cuman bantu kamu dulu buat kamu ingat kembali ke masa lalu, maksudnya ingat keluarga kecilmu, ingat anakmu. Tapi sepertinya nggak ya?" tanya Alena seperti merasa tak enak pada amnesia yang dialami Dennis."Ya saya tak ingat sama sekali, yang saya tahu Zyan hanya pengasuh buat Danish. Bayi yang diadopsi dari panti asuhan. B
Dennis semacam membenci teknologi, karena selalu membawa berita buruk dalam hidupnya. Atau memang Dennis benci dirinya sendiri, karena saat-saat seperti ini, ia tidak bisa berbuat apa-apa.Laki-laki itu butuh suatu pelampiasan untuk meledakan semua amarah yang ia simpan sendiri. Begini tak enaknya jadi lelaki, harus menahan segala emosi, membuat kasus bunuh diri lebih banyak dilakukan kamu adam. Jika wanita dianggap lemah, mak laki-laki harus serba kuat, bahkan laki-laki tak boleh menangis. Dan Dennis benci pada keadaan sekarang, ia tak bisa meluapkan semua perasannya yang terasa menyesakkan di dada. Dennis ingin berteriak di mana Azyan dan Danish sekarang? Bahkan, pesan Alena ia abaikan, seperti suara cicak di dinding yang berlalu begitu saja.Dennis pulang, pulang dengan tangan kosong, dada yang terasa berat dan kepala yang penuh prasangka yang buruk. Jika tidak bisa meminjam sempak Superman, Dennis ingin meminjam palu milik Thor. Atau t